Meningkatnya Agresivitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina

BAB III PENYEBAB AGRESIVITAS POLITIK LUAR NEGERI REPUBLIK RAKYAT CINA DALAM SENGKETA PERBATASAN DI ASIA PASIFIK

1. Meningkatnya Agresivitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina

Berdasarkan hasil pemungutan suara yang dilakukan oleh Kongres Rakyat Nasional pada 14 Maret 2013 yang lalu, diputuskanlah Sekertaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis China, Xi Jinping sebagai Presiden baru Republik Rakyat Cina menggantikan Presiden Hu Jintao yang telah berkuasa selama 10 tahun terakhir. Hasil pemungutan suara pada Kongres Rakyat Nasional sebenarnya hanyalah sebuah formalitas belaka, mengingat penentuan siapa yang akan meneruskan suksesi kepemimpinan RRC telah dilakukan pada bulan November tahun sebelumnya. Para pengamat bahkan telah jauh hari memperkirakan naiknya Xi Jinping ke puncak kepemimpinan nasional RRC, dimana ia pada saat sebelumnya menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Hu Jintao. Republik Rakyat Cina merupakan satu dari sejumlah negara di dunia dimana sistem kepemimpinan nasionalnya mengedepankan aspek stabilitas untuk memastikan keberlangsungan kemajuan negara lebih dari apapun. Karena itu tidak menjadi persoalan siapa yang memimpin di posisi puncak negeri itu, arah kebijakan tetap tidak akan berubah drastis kecuali lebih disebabkan oleh faktor lingkungan yang mengharuskan adanya sejumlah penyesuaian. Oleh sebab itu, tidak ada banyak perubahan berarti yang akan terjadi pada sikap RRC terhadap isu sengketa perbatasan yang melibatkan negeri tirai bambu tersebut. Meskipun dalam berbagai kesempatan, para pemimpin politik RRC selalu menyatakan bahwa kebangkitan Cina merupakan sebuah kebangkitan yang damai dan mengedepankan harmoni untuk menjaga kestabilan kawasan, serta memiliki pengaruh yang positif bagi kawasan regional bahkan dunia secara umum. Akan tetapi dalam politik internasional yang mengharuskan setiap negara untuk siap melakukan apa saja agar dapat bertahan atau untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasionalnya, maka menjadi sulit untuk menihilkan aspek- aspek negatif dari kebangkitan Cina. Universitas Sumatera Utara Kebangkitan RRC yang dinyatakan sebagai kebangkitan yang menyelaraskan harmoni dengan lingkungan, secara faktual sesungguhnya diiringi dengan kekhawatiran akan meningkatnya sikap dan tindakan agresif yang akan dilakukan oleh negara tersebut dalam memaksakan kepentingan-kepentingannya terutama oleh negara-negara di kawasan regional. Peningkatan aspek ekonomi dan militer Cina akan meningkatkan status posisi tawar negara tersebut dalam diplomasi internasional sekaligus menjadikan kian ditakuti sebagai raksasa regional yang tidak mungkin bisa dinafikan. Diantara sikap ataupun tindakan agresif yang ditampakkan oleh RRC dalam menangani persoalan perbatasan di kawasan Asia Pasifik ialah pengerahan kekuatan militer ke wilayah teritorial yang secara resmi di kontrol negara lain, misalnya saat armada kapal angkatan laut Cina memasuki kawasan perairan Senkaku, Jepang yang diklaim oleh Cina sebagai Diayou; menerbitkan paspor yang menggambarkan peta wilayah perairan yang masih dipersengketakan oleh negara-negara ASEAN, terutama Filipina dan Vietnam, sehingga kemudian menimbulkan protes keras dari kedua negara tersebut; tidak mengizinkan Presiden Filipina untuk datang ke RRC sebelum mencabut gugatan negara tersebut kepada Mahkamah Internasional atas persoalan sengketa yang melibatkan Cina; dan sejumlah tindakan lainnya. Masa Kepemimpinan Tahun Insiden Peristiwa Pra-1983 1974 RRC mengklaim kepemilikan Spartly yang secara defacto dikontrol oleh Vietnam. Peperangan pun terjadi antara RRC dan Vietnam. Terdapat korban tewas pada personil militer kedua negara. Yang Sangkun 1988 Perang RRC-Vietnam, RRC menganeksasi Spratly dalam perang terbatas di kawasan karang Johnson. 60 tentara Vietnam tewas 1992 RRC mengambil alih Spartly dalam perang terbatas di kawasan perairan atas Vietnam Jiang Zemin 1996 RRC mengklaim kepemilikan wilayah kepulauan Spartly yang dikuasai oleh Filipina 1996 Aktivis dari RRC dan Jepang saling Universitas Sumatera Utara memprovokasi satu sama lain dengan menunjukkan simbol-simbol nasional masing- masing di kepulauan Senkaku Diayou 1997 RRC mengklaim kembali kepemilikan Spartly dari Filipina 1999 RRC menunjukkan sikap provokasi dengan menghadirkan kapal perang di wilayah sengketa dengan Filipina 2002 Pada bulan November, ASEAN dan RRC menyepakati deklarasi kode etik yang salah satu poinnya menyatakan pentingnya penyelesaian masalah perbatasan tanpa penggunaaan kekerasan. Akan tetapi deklarasi tersebut kemudian tidak berpengaruh dalam menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan Hu Jintao 2004 Jepang menangkap aktivis asal RRC yang memasuki wilayah Kepulauan Senkaku tanpa izin 2010 Sebuah kapal asal Cina menabrak kapal patroli Jepang di kawasan Senkaku Diayou, menyebabkan kapal asal Cina disita oleh pihak keamanan Jepang dan memicu persoalan diplomatik 2010 Protes anti-Jepang dilakukan di beberapa kota di Cina, sementara rencana kunjungan 1.000 siswa Jepang ke Expo Shanghai dan konser oleh band Jepang juga dibatalkan Universitas Sumatera Utara April 2012 Sengketa antara RRC dan Jepang kembali pecah setelah Gubernur Tokyo Shinataro Ishiara mengatakan ia akan menggunakan dana publik untuk membeli kepulauan Senkaku dari pihak swasta. Aksi sweeping warga Jepang di RRC terjadi. Sejumlah outlet produk asal Jepang yang ada di kota-kota besar Cina tutup. Juni 2012 RRC membangun dan mengembangkan kota Sansha di Provinsi Hainan dan memasukkan Paracel secara administratif sebagai bagian dari kota tersebut. Selain itu, Komisi Militer Pusat RRC menyetujui rencana untuk mendirikan sebuah markas garnisun militer di wilayah tersebut. Juli 2012 Untuk pertama kali dalam sejarah forum perhimpunan menteri luar negeri negara-negara ASEAN gagal menyepakati sebuah komunike bersama tentang kode tata berperilaku di perairan Laut Cina Selatan di Phom Phen, Kamboja. Kegagalan penyepakatan komunike disinyalir merupakan desakan RRC kepada tuan rumah penyelenggara forum yakni kamboja, yang dikenal dekat terhadap rezim komunis Cina. RRC tidak ingin persoalan di Laut Cina Selatan menjadi sorotan dunia internasional dengan proses penyelesaian yang melibatkan lembaga internasional maupun mediasi pihak asing di luar kawasan regional. Agustus 2012 sejumlah aktivis bertolak ke kepulauan Senkaku dari Hong Kong dan tujuh diantaranya mendarat di salah satu pulau. Semuanya ditahan dan kemudian dipulangkan Jepang. Beberapa hari Universitas Sumatera Utara kemudian, paling tidak 10 aktivis Jepang juga mendarat dengan bendera. September 2012 Dua pria ditahan di Beijing karena merobek bendera di mobil duta besar Jepang di Cina, sebagai protes atas tindakan Jepang atas kepulauan Senkaku September 2012 Cina mengirim dua kapal patroli ke perairan di dekat kepulauan Senkaku setelah Jepang menandatangani kontrak pembelian pulau tersebut September 2012 People Liberation Army Navy PLAN, angkatan laut RRC mengoperasikan kapal induk pertama. Kehadiran kapal induk ini menjadi daya gentar tersendiri bagi negara-negara di kawasan. November 2012 RRC menerbitkan paspor baru dengan tampilan gambar teritorial Laut Cina Selatan sesuai dengan klaim 9 garis putus yang selama ini dipersoalkan. Hal ini kemudian mendapat protes keras dari pemerintah Filipina dan Vietnam. Xi Jinping Agustus 2013 RRC dan Filipina memulai proses arbitrase di Mahkamah Internasional, Den Hag. Filipina menuduh klaim 9 garis putus Cina yang mencakup hampir seluruh Laut Cina Selatan bertentangan dengan Konvensi PBB Tentang Hukum Laut UNCLOS Agustus 2013 Presiden Filipina, Beniqno Aquino membatalkan rencana kunjungan ke RRC. Disinyalir RRC menolak memberikan visa kepada Aquino kecuali dengan syarat Filipina mencabut perkara atas sengketa terhadap benting Scarborough di Mahkamah Internasional. Pemerintah Filipina Universitas Sumatera Utara menolak dengan tegas keinginan Cina tersebut. Tabel 5: Periodesasi Insiden Sengketa Perbatasan Yang Melibatkan RRC 1978-2013 67 Sikap, tindakan, maupun kebijakan politik luar negeri RRC yang agresif dalam sengketa perbatasan di kawasan perairan timur maupun selatan yang melibatkan sejumlah negara di kawasan regional sesungguhnya tidak disebabkan oleh faktor ‘siapa’ yang berada pada posisi kepemimpinan tertinggi republik itu. Sebab, mereka yang duduk dalam lingkaran kekuasaan sesungguhnya tidak pernah jauh berubah sejak 4 dekade yang lalu. Jajaran inti politbiro Partai Komunis Cina sejak era Deng Xiao Ping dikuasai oleh kalangan reformis berhaluan moderat. Pola suksesi kepemimpinan yang kaku dan ditentukan oleh hegemoni PKC sebagai partai tunggal membuat kalangan lain yang jauh dari pusat kekuasaan hampir mustahil menyentuh posisi strategis di negeri tersebut. Xi Jinping yang saat ini menjabat sebagai Presiden RRC misalnya, telah menjabat sebagai Wakil Presiden RRC pada masa Hu Jintao, bahkan sebelumnya ia juga salah seorang tokoh penting dalam jajaran kepengurusan Partai Komunis Cina. Justru, lingkaran kekuasaan RRC memang didesain agar siapapun yang memimpin tidak akan bisa merubah kebijakan secara dramatis sehingga arah dan tujuan pembangunan pun tidak berubah. Karena itu tidak akan ada perubahan kebijakan yang fundamental dalam suksesi kepemimpinan di Cina. Akan tetapi, fenomena yang bisa dibaca ialah sejauh mana intensitas sikap agresif itu ditunjukkan oleh RRC terhadap negara-negara di kawasan yang memiliki sengketa wilayah dengannya. Berdasarkan tabel 5 di atas terlihat bahwa intensitas sikap atau tindakan agresif RRC meningkat pada akhir masa kepemimpinan Hu Jintao, yakni pada tahun 2012-2013. Pada tahun 2012 akhir, memang diadakan serangkaian agenda politik dalam negeri yang cukup krusial. Salah satu diantaranya ialah penetapan posisi Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis Cina PKC yang kemudian akan menentukan suksesi kepemimpinan RRC. Namun, apabila aspek kepemimpinan kita pinggirkan dalam membaca faktor penyebab sikap dan tindakan RRC yang agresif, maka faktor kebangkitan ekonomi dan anggaran militer RRC yang dalam 10 tahun terakhir meningkat drastis adalah jawaban yang paling logis. 67 Dikutip dari berbagai sumber media daring yakni kompas.com, okezone.com, sindonews.com, dan antaranews.com diakses pada 12 Oktober 2013 Universitas Sumatera Utara

2. Menjawab Penyebab Agresivitas