merupakan negara revisionis yang ingin mengubah balance of power atau pro-status quo yang tidak ingin mengubah keadaan itu secara militer, namun adalah susah untuk
memastikan intensi atau maksud suatu negara secara empirik. Cara terbaik adalah memperkuat diri sehingga negara lain tidak berani menyerang.
69
Keagresifan RRC dalam menyikapi isu sengketa perbatasan di kawasan perairan Laut Cina Timur dengan Jepang, serta di kawasan perairan Laut Cina Selatan
dengan sejumlah negara ASEAN sesungguhnya merupakan hal yang patut dimengerti nalar logika berpikir realis yang melihat bahwa berdasarkan konsep perimbangan
kekuasaan, RRC memiliki kekuatan yang lebih besar dari negara-negara lain di kawasan tersebut baik dari segi ekonomi, pertahanan, teknologi, maupun jumlah
penduduk. Karena itu, adalah merupakan hal yang wajar bila mereka dengan percaya diri menunjukkan sikap agresifnya untuk memenangkan tujuan-tujuan stretegis
negaranya.
2.1.2. Cina Sebagai Negara Kunci di Kawasan Asia Pasifik
Sadar dengan power yang dimilikinya, RRC tentu memanfaatkan hal tersebut untuk meningkatkan statusnya sebagai kekuatan regional utama di kawasan. Hal
tersebut berkaitan dengan semangat nasionalisme dan prestise Cina yang mencita- citakan suatu kondisi dimana sentral kepemimpinan global berada dalam kendali
bangsanya. RRC tentu memiliki tekad yang kuat untuk bisa menggantikan kepemimpinan barat, terutama Amerika Serikat dalam panggung politik global, dan
menjadikan hal tersebut sebagai tujuan jangka panjang yang kelak akan benar-benar terwujud seiring dengan semakin berkembangnya kemajuan Cina dalam aspek
ekonomi, militer, teknologi, dan statusnya dalam panggung internasional. Sebagai pijakan awal untuk merebut kepemimpinan dunia, RRC harus
melakukan uji coba terlebih dahulu dalam skala yang lebih kecil, yakni di kawasan regional sebagai semacam ajang latihan. Untuk itu, kemelut tumpang tindih
kedaulatan yang terjadi belakangan, sesungguhnya dimanfaatkan oleh rezim RRC untuk membuktikan keampuhan diplomasi dan posisi tawar yang semakin menguat
seiring dengan kemajuan ekonomi dan kekuatan pertahanan negeri tersebut.
69
Log Cit. 2007 hal. 74
Universitas Sumatera Utara
Seperti yang dikemukakan pada BAB sebelumnya, RRC bersama dengan negara-negara berkembang dengan skala ekonomi besar seperti Brazil, Rusia, India,
dan Afrika Selatan merupakan kekuatan ekonomi yang dalam sekian puluh tahun kedepan akan menggeser posisi Amerika Serikat dalam hitungan Produk Domestik
Bruto. Kecepatan pertumbuhan negara-negara tersebut termasuk Cina adalah yang tercepat dalam sejarah peradaban, suatu pencapaian yang bahkan tidak pernah terjadi
saat kebangkitan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa beberapa dekade yang lalu.
Untuk mempersiapkan tata dunia baru yang kelak berada dalam kendali Cina, para pengambil keputusan politik di negeri itu hendak bermaksud untuk menguji
potensi power yang dimiliki dengan mengerahkan segenap strategi diplomasi yang bersifat unilateral serta menghadirkan unit-unit militernya pada wilayah-wilayah yang
dipersengketakan sebagai ajang show of force dan membuktikan sejauh mana hal tersebut menghasilkan efek yang bersifat menggertak, bahkan melakukan provokasi
dengan menerbitkan paspor resmi bergambar peta kawasan Laut Cina Selatan yang masih diperselisihkan.
Respon yang kemudian muncul dari segala tindakan ataupun kebijakan luar negeri yang agresif tersebut kemudian akan diukur oleh para analis kebijakan di
Beijing sehingga mereka dapat mempelajari karakteristik intensi politik tiap-tiap negara di kawasan regional yang menjadi tetangganya. Seluruh respon yang kemudian
muncul akan dijadikan sebagai feedback untuk dikemudian hari RRC bisa menerapkan sebuah kebijakan politik luar negeri yang jauh lebih jitu untuk meraih
segala kepentingan nasional yang telah digariskannya Meskipun terlihat seperti tengah melakukan sebuah percobaan yang bersifat
trial and error dari kebijakan luar negerinya yang agresif, RRC sesungguhnya hendak mengendalikan lingkungan luar negerinya yang terdekat agar mampu disesuaikan
dengan tujuan-tujuan strategis-pragmatik yang menjadi kepentingan nasionalnya. Dalam konteks tersebut, RRC tidak hanya menggunakan gertakan serta ancaman saja
melainkan juga melakukan pendekatan diplomasi. Kasus kegagalan komunike bersama para mentri luar negeri ASEAN di Phom Phen menjadi contoh yang paling
nyata akan kedigdayaan diplomasi Cina yang terbukti sukses memecah negara-negara ASEAN dalam menyikapi agresivitas RRC di kawasan perairan Laut Cina Selatan.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini sejalan dengan konsep power dalam terminologi realisme. Menurut Morgenthau, power adalah kontrol manusia terhadap pikiran dan tindakan manusia
yang lain.
70
Power harus dipahami dalam hubungan dengan negara lain, jadi bukan dalam situasi vacuum. Power sifatnya relatif karena dilihat dalam perbandingan
dengan kekuatan negara lain. Pengertian yang lebih kompleks adalah power sebagai prestige yakni kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, bukan dengan
senjata atau ancaman penggunaan senjata, tetapi melalui pengaruh diplomasi dan otoritas.
71
Cina menggunakan Kamboja yang dekat dengan rezim komunis terbesar di kawasan tersebut untuk bersikap berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya
seperti Vietnan dan Filipina dengan menghimbau mereka untuk tidak menginternasionalisasikan persoalan persengketaan tersebut, sebab diplomasi yang
bersifat multilateral dalam proses penyelesaian sengketa di kawasan perairan Laut Cina Timur akan merugikan RRC karena pola penyelesaiannya akan diwarnai dengan
tarik-menarik kepentingan bukan hanya dengan negara-negara yang bersengketa tetapi juga negara-negara lain yang memiliki kepentingan tidak langsung dengan kawasan
yang dipersengketakan. Seperti misalnya Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai jalur perdagangan mereka.
Sebagai tuan rumah forum menteri luar negeri negara-negara ASEAN untuk menentukan Kode Tata Berperilaku di kawasan Laut Cina Selatan, Kamboja sebagai
perpanjangan tangan dari RRC telah sukses melakukan pemecahan sikap negara- negara ASEAN lainnya yang menganggap penting untuk mengangkat persoalan
kebebasan bernavigasi di kawasan tersebut sebagai isu internasional yang vital. Untuk pertama kalinya dalam sejarah forum para menteri luar negeri negara-negara ASEAN
gagal membuat komunike bersama untuk menentukan Kode Tata Berperilaku di perairan Laut Cina Selatan, sebuah langkah mundur negara-negara ASEAN dalam
berhadapan dengan RRC untuk menyelesaikan persoalan tumpang tindih klaim kedaulatannya, serta menimbulkan kekecewaan sekaligus kekhawatiran negara-negara
luar yang berkepentingan terhadap kawasan yang dipersengketakan. Sebaliknya, peristiwa itu benar-benar telah menguntungkan Cina, dan membuktikan keampuhan
strategi diplomasinya yang kuat.
70
Log Cit, 1970
71
Log Cit, 1979 hal 131
Universitas Sumatera Utara
Padahal bersatunya negara-negara ASEAN dalam menyikapi isu tumpang- tindih kedaulatan di kawasan Laut Cina Selatan akan meningkatkan posisi tawar
mereka dalam berhadapan dengan RRC. Karena gabungan ekonomi negara-negara di kawasan Asia Tenggara tersebut merupakan yang terbesar di kawasan, dan selama ini
negara-negara ASEAN menjadi pasar strategis bagi ekspor produk-produk asal RRC. ASEAN yang bersatu bisa saja merenegoisasi ulang perjanjian perdagangan bebas
CAFTA China-ASEAN Free Trade Aggrement yang tengah berlangsung, yang selama ini sangat menguntungkan Cina dari sisi perdagangan. Tentu hal tersebut akan
membuat Cina berpikir ulang sebelum mengusik negara-negara ASEAN di masa yang akan datang.
Karena itu, skenario bersatunya ASEAN dalam berhadapan dengan Cina dalam konteks ini sesungguhnya adalah hal yang paling dihindari oleh Cina.
Sedangkan Amerika Serikat yang menyadari hal tersebut lantas langsung bersikap tanggap. Melalui menteri luar negerinya, Amerika Serikat mendororong Indonesia
sebagai ketua ASEAN periode 2011-2012 kemarin untuk sesegera mungkin meyelesaikan ketidaksepahaman antara negara-negara ASEAN dalam menentukan
Kode Tata Berperilaku tersebut secepatnya. Indonesia pun bersikap cepat tanggap dengan mengutus menteri luar negerinya ‘menjemput bola,’ mendatangi satu-satu
negara ASEAN untuk menyelesaikan persoalan ini sesegera mungkin. Namun, untuk konteks hari ini, kekuatan diplomasi dan pengaruh Cina lebih
unggul, sehingga Beijing mendapatkan lampu hijau untuk meneruskan kebijakan politik luar negerinya yang agresif dalam berhadapan dengan negara-negara di
kawasan ASEAN terkait dengan klaim kedaulatannya atas perairan Laut Cina Selatan yang strategis.
2.2. Dari Aspek Rasionalitas Mencapai Kepentingan Nasional