Sengketa Perbatasan di Laut Cina Timur

yang melibatkan sejumlah negara tetangga RRC seperti Jepang dan Taiwan di kawasan Laut Cina Timur, serta Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia di Laut Cina Selatan. Apakah munculnya sejumlah persoalan sengketa kedaulatan tersebut berkaitan dengan semakin gencarnya kebangkitan RRC adalah sebuah persoalan yang hendak ditelusuri dalam penelitian ini. Berikut ini dijabarkan gambaran umum seputar permasalahan sengketa perbatasan yang terjadi serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi hubungan bilateral RRC dengan negara-negara yang bersengketa dalam politik dan ekonomi.

2.1. Sengketa Perbatasan di Laut Cina Timur

Sengketa perbatasan di Laut Cina Timur terjadi antara RRC dengan Jepang. Persoalan tumpang-tindih kedaulatan bermula saat kedua negara saling mengklaim atas wilayah Kepulauan yang disebut Senkaku oleh Jepang atau Diayou oleh Cina Diayoutai oleh Taiwan. Lantas apa saja yang dipersengketakan oleh kedua belah pihak dalam kasus kepemilikan pulau SenkakuDiayou ini? Pertama, perbedaan paham garis perbatasan laut di Laut Cina Timur antara Jepang dan RRC hingga kini belum dicapai kesepakatan bersama. Walau keduanya sama-sama meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut UNCLOS 1982, tetapi mereka membangun pemahaman sendiri yang belum tuntas dibicarakan. Jepang mengusulkan pembagian wilayah berdasar garis tengah di zona ekonomi eksklusifnya berjarak 200 mil dari garis dasarbaseline, sedangkan Cina mengacu pada kelanjutan alamiah dari landas kontinennya berjarak di luar 200 mil. Mengenai paham garis tengah ala Jepang memang tidak sesuai dengan isi konvensi. Sebab, jika sudah berkait dengan hal kedaulatan, keputusan yang bersifat sepihak tak punya basis legal. Landasan kontinental seharusnya didasarkan pada sebuah perjanjian antarkedua pihak agar tercapai solusi adil. Selanjutnya, pengukuran wilayah berdasarkan garis tengah hanya sebuah cara pengukuran, bukan sebuah prinsip dari hukum internasional kebiasaan dalam delimitasi. Kedua, perbedaan persepsi sejarah kepemilikan Senkaku di setiap pihak bermuara pada klaim berbeda. Cina yakin kepemilikan atas Senkaku berdasarkan pada aspek historis yakni sejak Dinasti Ming 1368-1644, di mana namanya sudah Universitas Sumatera Utara tercantum di sebuah buku berjudul Departure Along the Wind terbit 1403. Selain itu, kepulauan ini beserta pulau-pulau kecil yang mengitari kerap kali disebutkan dalam lingkup pertahanan maritim Cina saat itu. Lagi pula, Kepulauan Diaoyu yang saat itu menjadi bagian dari Taiwan biasa digunakan para nelayan Cina sebagai basis operasional. Pada saat kekalahan Cina dalam perang Sino-Jepang 1894-1895, Taiwan termasuk Kepulauan Diaoyu diserahkan ke Jepang. Namun, akhir PD II, kepulauan ini dikembalikan oleh AS ke Cina berdasarkan perjanjian ”Tiga Besar” AS, Inggris, Cina di Kairo tahun 1943. Jepang setelah kemenangannya dalam perang Sino-Jepang menerima penyerahan Senkaku dari Cina. Ini dianggap sebagai bagian teritorial Jepang secara resmi. Sejak itu, survei atas kepulauan ini dilakukan Jepang dan diyakini bahwa kepulauan ini tidak berpenghuni. Survei saat itu menunjukkan tiadanya tanda-tanda bahwa kepulauan Senkaku berada di bawah kontrol Cina. Berdasarkan keputusan Kabinet 14 Januari 1895, kepulauan ini dimasukkan ke teritorial Jepang. Sejak itu, Senkaku menjadi bagian integral dari Kepulauan Nansei Shoto, di mana ini diyakini tidak menjadi bagian dari Taiwan ataupun lainnya, yang diserahkan ke Cina setelah PD II. Lagi pula, sebuah peta tahun 1969 buatan Pemerintah RRC berlabel “rahasia” memasukkan Kepulauan Senkaku ke wilayah Jepang. Berarti ada pengakuan resmi sejak itu bahwa Senkaku masuk dalam wilayah otoritas Jepang. Ketiga, munculnya sengketa ini dipicu setelah kedua pihak menyadari adanya sumber cadangan minyak dan gas di sekitar Kepulauan Senkaku pada pertengahan 1990-an, yang berlanjut hingga kini. Ketika kepentingan nasional dipicu kepentingan bisnis prospektif berupa temuan cadangan minyak dan gas, segala daya penguat dan bukti pembenaran akan dihimpun demi basis legal untuk penguasaan sumber energi itu. Apalagi Jepang dan Cina adalah dua negara yang sangat bergantung pada suplai minyak dan gas dari luar. Dan, ketika keduanya menyadari adanya cadangan energi yang tidak jauh dari wilayah mereka, keduanya akan ”mati-matian” memperjuangkannya. Universitas Sumatera Utara Dengan latar tiga faktor di atas, kemarahan rakyat Cina dengan membakar bendera Jepang, menyerang kantor perwakilan Jepang, dan yang menyebabkan banyak perusahaan besar Jepang di Cina ditutup, sesungguhnya hanya ”puncak es” saja. Jika faktor pertama terutama dan kedua tidak segera dicari jalan keluarnya, hubungan ekonomi keduanya menjadi terganggu. Apalagi bila ditambah dengan luapan kemarahan yang semakin kencang, bertepatan dengan peringatan hari ”Manchuria Incident” 18 September 1931 invasi militer Jepang ke wilayah utara Cina, yaitu Manchuria di Cina dipakai sebagai ”momen” yang mengantar emosional rakyat Cina semakin garang. Belakangan hubungan Cina dan Jepang kian memanas terkait sengketa ini. Beberapa bulan yang lalu pemerintah Jepang mengumumkan untuk membeli pulau- pulau di wilayah sengketa tersebut. Sejak itu aksi-aksi unjuk rasa anti-Jepang marak digelar di dalam negeri RRC. Hubungan bilateral RRC-Jepang yang memburuk juga berakibat pada menurunnya penjualan produk-produk Jepang di Cina sehingga merugikan banyak perusahaan. Memburuknya situasi di Laut Cina Timur juga diperparah dengan sejumlah manuver kapal patroli dan kapal angkatan laut dari kedua negara di wilayah yang dipersengketakan. Selain itu, entah berkaitan dengan peroalan sengketa atau tidak PLAN Angkatan Laut RRC mulai mengoperasikan kapal induk pembawa pesawat tempur pertama milik Cina. Penggunaan kapal bernama Liaoning ini merupakan bagian dari peningkatan kemampuan militer Cina dalam fungsi pertahanan, di tengah ketegangan maritim di kawasan tersebut. Liaoning merupakan kapal bekas milik Soviet yang dibeli dari Ukraina, kemudian diperbaiki dan dimodifikasi untuk digunakan oleh militer Cina. RRC menapik kehadiran kapal induk tersebut sebagai upaya memberikan tekanan kepada Jepang, namun upaya tersebut jelas-jelas sebuah ancaman yang ditujukan langsung pada siapa saja yang ingin berhadapan dengan RRC.

2.2. Sengketa Perbatasan di Laut Cina Selatan