Latar Belakang Agresifitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina Dalam Sengketa Perbatasan Di Kawasan Asia Pasifik

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Abad 21 merupakan abad kebangkitan Asia. Kesuksesan pembangunan yang terjadi di negeri-negeri di kawasan tersebut dalam beberapa dekade terakhir menjadi alasan dari pernyataan tersebut. Tidak dipungkiri lagi, munculnya sejumlah negara dengan tingkat penghasilan yang tinggi di Asia telah mengubah wajah negeri-negeri tersebut dari semula hanyalah negeri miskin yang tak begitu disegani namun kini menjadi salah satu pemain kunci dalam percaturan global. Kesuksesan pembangunan dan industrialisasi di sejumlah negara Asia seperti Jepang, Republik Rakyat Cina RRC, Taiwan Republik Cina, Korea Selatan, Singapura, India, serta diikuti pula oleh sejumlah negara berpenghasilan menengah seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Filipina menjadikan wilayah Asia sebagai kekuatan ekonomi global yang baru. Seiring dengan kemajuan dalam pembangunan infrastruktur, Asia sudah tidak lagi sekedar dipandang sebagai penghasil bahan mentah untuk kepentingan industri maju yang berbasis di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Beralihnya kawasan produksi manufaktur dari negara-negara maju ke wilayah Asia menyebabkan pergeseran yang dramatis terhadap neraca ekspor-impor, dimana produk-produk manufaktur Asia mulai dipasarkan di negara-negara maju yang sudah beralih ke industri jasa dan teknologi tinggi. Meskipun, peralihan produksi tersebut lebih disebabkan oleh hukum rimba dalam bidang ekonomi, dimana tenaga kerja yang murah dan melimpah di wilayah Asia lebih menjanjikan margin keuntungan yang besar bagi Multi National Corporation MNC, tetapi dampak yang ditimbulkan dari perubahan tersebut setidaknya membawa peningkatan penghasilan per kapita di negara-negara Asia. Kemajuan dalam bidang ekonomi inilah yang kemudian mengubah pola hubungan dan interaksi dalam politik global. Sebab, kebangkitan sejumlah negara-negara di kawasan Asia telah membawa konsekuensi logis berupa peningkatan anggaran dalam bidang pertahanan serta status posisi tawar negara-negara tersebut dalam rejim internasional. Kondisi tersebut menyebabkan munculnya poros kekuatan-kekuatan baru dalam konstelasi global, dimana negara-negara baru yang memiliki power sebagai akibat dari peningkatan posisi Universitas Sumatera Utara tawarnya tidak lagi bisa didikte oleh negara-negara besar yang menguasai panggung rejim internasional selama ini. Dunia mulai beralih dari masa bipolarisme era perang dingin menuju masa multipolarisme yang ditunjukkan dengan semakin menguatnya institusi negara sebagai aktor dalam politik internasional. Dalam bukunya, Post-American World, Fareed Zakaria menulis, dunia tengah bergerak dari kebencian ke ketidakpedulian, dari anti-Amerikaisme ke post-Amerikaisme. Fakta bahwa kekuatan baru lebih kuat menegaskan kepentingan mereka adalah realitas dunia pasca-Amerika. Hal ini juga menimbulkan teka-teki politik tentang bagaimana untuk mencapai tujuan internasional di dunia yang banyak aktor, negara dan bukan negara. 1 Hal ini menegaskan bahwa tidak ada lagi dominasi kekuatan tunggal dalam percaturan politik internasional, dan bahwa kekuatan politik global tengah terdistribusi ke negara-negara lain di luar barat, khususnya Asia yang kini tengah berkembang menjadi pusat perekonomian global. Yang menjadi persoalan kemudian, apakah pola multipolarisme yang saat ini tengah terjadi dalam tata dunia internasional dapat menjamin berlangsungnya kedamaian, harmoni, dan stabilitas ? Meskipun terdapat rejim internasional yang berkomitmen menjaga perdamaian dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta terdapat mekanisme perdagangan internasional yang menjamin terpenuhinya kepentingan nasional tiap-tiap negara melalui Organisasi Perdagangan Dunia, dimana peraturan perdangangan yang ada, merupakan hasil kesepakatan oleh mayoritas negara di dunia, tetapi adakah yang bisa menjamin bahwa semua itu mampu meredam potensi konflik yang mungkin muncul akibat perebutan kepentingan antar negara ? Sebab, bukanlah hal yang baru jika kita mengatakan bahwa rejim internasional telah kehilangan legitimasinya sejak lama. Ada banyak sengketa dan konflik yang tidak mampu diselesaikan melalui prosedur dan mekanisme politik yang berlangsung di PBB. Ada banyak sekali resolusi dalam rangka perdamaian yang diabaikan oleh entitas politik dan negara akibat berbenturan dengan kepentingan negaranya masing-masing, serta bukanlah hal yang aneh jika dikatakan bahwa PBB dikuasai oleh segelintir negara besar 2 yang ingin tetap mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh organisasi tersebut demi kelangsungan 1 Fareed Zakaria, The Post-American World, New York, W.W Norton Company Inc, 2009, hal 36 - 37 2 Hal ini tercermin dalam pemberian hak veto yang merupakan hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi pada Dewan Keamanan PBB kepada 5 negara besar yakni Amerika Serikat, Rusia dulu Uni Soviet, Republik Rakyat Cina dulu Republik CinaTaiwan, Inggris dan Perancis. Universitas Sumatera Utara pencapaian kepentingannya sendiri. Sehingga bukannya memberikan solusi, yang terjadi tak jarang justru menimbulkan persoalan dalam proses penyelesaian konflik di berbagai belahan dunia. Berdasarkan fakta tersebut, relitas dan hakikat hubungan internasional yang dibangun melalui rejim internasional bersifat semu. PBB dibentuk sebagai upaya untuk mengendalikan karakteristik anarkis yang sesungguhnya menjadi pola alami dari hubungan internasional itu sendiri. Karena itu, tidak ada yang bisa menjamin konflik di dunia akan berakhir hanya dengan mengandalkan konsensus pada tataran rejim internasional. Dalam pandangan realisme klasik, perimbangan kekuasan balance of power menjadi syarat mutlak untuk menciptakan stabilitas. Peningkatan anggaran belanja pertahanan di suatu negara misalnya, hendaknya direspon dengan peningkatan anggaran yang serupa di negara-negara kawasan sekitarnya untuk memastikan negara-negara tersebut aman dari intervensi politik dan militer dari negara yang dikhawatirkan akan bersikap agresif. Selain itu, negara-negara juga hendaknya menjalin aliansi pertahanan apabila secara sadar tidak mampu mengimbangi kekuatan-kekuatan besar disekelilingnya. Melihat fenomena yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir, terutama setelah tumbangnya model tata dunia bipolar sejak runtuhnya Uni Soviet awal 90-an, terlihatlah bahwa peran negara bangsa kian menguat. Amerika Serikat yang tetap bertahan sebagai negara superpower tunggal pasca perang dingin, awalnya dianggap sebagai poros pemersatu yang akan membawa nilai-nilai globalisasi pada taraf universal, sehingga nilai-nilai demokrasi liberal, HAM, dan sistem ekonomi pasar bebas akan berlaku untuk satu dunia. Akan tetapi, realitas yang terjadi membuktikan, bahwa homogenitas dalam nilai dan teknologi yang dibawa bersamaan dengan globalisasi tidak menjamin lunturnya kedaulatan negara-bangsa dalam pentas politik internasional. Sebaliknya, kecendrungan sentimen nasionalisme semakin menguat di banyak negara, bahkan perpecahan secara kultural juga tengah terjadi pada masyarakat yang berada di level lebih rendah. Dalam kasus krisis ekonomi yang melanda Eropa misalnya, muncul fenomena di kalangan masyarakat Jerman yang merasa tidak sudi apabila pajak yang dibayarkannya kepada negara justru dipakai untuk menanggulangi persoalan kredit yang ada di Yunani, meskipun kedua negara dipersatukan dalam Uni Eropa. Sedangkan, di Asia Tenggara ketegangan antara Indonesia dan Malaysia dalam persoalan sengketa perbatasan dan isu budaya tak kunjung usai meskipun kedua negara dipertemukan dalam ASEAN yang mustinya mampu memberikan solusi berupa mekanisme penyelesaian sengketa diantara negara Universitas Sumatera Utara anggota. Hal yang sama juga terjadi misalnya dalam kasus Thailand dan Kamboja yang malah lebih jauh, dimana kedua negara sama-sama mengirimkan tentaranya untuk bertempur akibat persoalan sengeketa kedaulatan. Kecendrungan ini menimbulkan kesimpulan bahwa peran negara sebagai aktor dalam politik internasional tidaklah mungkin dinafikan, malah peran negara-bangsa sebagai aktor menunjukkan penguatan ketika tata pemerintahan global kian kehilangan bentuk dalam merumuskan konsensus internasional. Salah satu aktor negara yang dianggap muncul sebagai kekuatan baru dalam konstelasi politik internasional adalah Republik Rakyat Cina RRC. Kebangkitan RRC menjadi sebuah negara yang kuat dan stabil di Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang mencapai dua digit dalam beberapa tahun menjadikannya sebagai aktor berpengaruh dalam tatanan regional maupun internasional. Tak hanya pertumbuhan ekonomi, kebangkitan RRC juga diikuti dengan kebangkitan industri pertahanannya yang memang sejak lama dirintis melalui prinsip kemandirian. RRC berhasil meniru teknologi barat untuk merintis proyek- proyek industri strategisnya serta memodofikasinya sesuai dengan kebutuhan sendiri. Tak bisa dipungkiri, kebangkitan RRC dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan perubahan kebijakan luar negeri dari negara-negara barat, terutama Amerika Serikat yang kini terlihat lebih fokus pada isu keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik dari semula hanya fokus pada wilayah-wilayah rawan seperti Eropa Timur ataupun Timur Tengah yang merupakan daerah rawan konflik pada masa sebelumnya. Kebangkitan RRC ini patut untuk menjadi perhatian sebab wilayah Asia Pasifik masih menyisakan sejumlah potensi konflik yang belum berakhir seperti ketegangan di semenanjung Korea dan klaim RRC atas kepulauan Formosa yang saat ini merupakan wilayah kedaulatan Republik Cina Taiwan. Selain itu juga terdapat jalur perlintasan internasional di kawasan perairan Laut Cina Selatan yang juga sangat berkaitan erat dengan kepentingan negara-negara barat untuk memastikan area tersebut bebas untuk bernavigasi. Sejak 1970-an, RRC telah beranjak dari sistem perekonomian tertutup yang sentralistis menuju sistem terbuka yang berorientasi pasar. RRC merupakan negara dengan skala ekonomi terbesar dengan total Produk Domestik Bruto sebesal 12,38 triliun pada tahun 2012, memiliki angkatan kerja terbesar di dunia yakni sebesar 795,4 juta jiwa, serta menjadi negara pengekspor terbesar di dunia, yang pada tahun 2012 membukukan nilai ekspor senilai 201,7 miliar. 3 Dengan kondisi yang ada saat ini, RRC menjadi lawan yang 3 CIA World Factbook: www.cia.govlibrarypublicationsthe-world-factbook diakses pada 1 Mei 2013 Universitas Sumatera Utara seimbang bagi Amerika Serikat dalam kompetisi perebutan cengkraman hegemoni dan kepentingan kedua negara tersebut dalam politik internasional. Dilihat dari sudut pandang lainnya, kebangkitan RRC sebagai sebuah tinjauan peradaban dengan nilai-nilai yang dibawanya bersikap relatif dengan nilai-nilai barat. Peradaban Sino 4 tidak sepakat dengan konsep demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia ala barat yang selalu dijadikan justifikasi bagi barat untuk menegaskan kepentingan mereka dalam politik global. Sebab, nilai-nilai tersebut terkadang sering dianggap sebagai pembenaran bagi intervensi rejim internasional ke negara-negara dunia ketiga yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Karena itu, RRC kerap tampil menentang barat dalam perumusan sebuah keputusan pada badan-badan internasional. Salah satu yang terbaru, RRC sebagai salah satu anggota dewan keamanan tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB menolak untuk menyetujui sebuah resolusi berisi sanksi terhadap Suriah dalam respon badan internasional tersebut terhadap persoalan konflik saudara di Suriah. Di tengah-tengah redefenisi poros politik internasional yang masih mencari format baru, muncul kekhawatiran lain atas bangkitnya RRC sebagai sebuah kekuatan baru dunia. Kekhawatiran itu muncul dari negara-negara di kawasan regional yang menjadi tetangga RRC. Pasalnya, RRC dengan kebangkitan ekonomi dan militernya yang semakin kuat menunjukkan kecendrungan yang kian agresif di kawasan Asia Pasifik dengan mempertegas klaimnya atas sejumlah wilayah yang masih dipersengketakan dengan negara tetangganya. Agresivitas RRC terlihat misalnya di kawasan perairan Asia Timur dengan mengklaim kepulauan Senkaku oleh Cina di sebut Diaoyu yang secara defacto milik Jepang sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, RRC mengklaim kepemilikan seluruh perairan Laut Cina Selatan yang meliputi kedaulatan sejumlah negara seperti Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia. Laut Cina Selatan selain memiliki kandungan sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam, juga merupakan jalur perlintasan internasional yang sangat strategis. Karena itu, klaim RRC tidak hanya akan membahayakan kedaulatan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik tetapi juga akan mengundang perhatian serius dari barat, terutama Amerika Serikat yang juga memiliki kepentingan isu kebebasan bernavigasi di kawasan perairan tersebut. 4 Salah satu tipologi peradaban menurut Samuel P. Huntington yang merujuk pada bangsa han, suku bangsa mayoritas di RRC. Termasuk di dalam tipologi ini ialah para perantau tiongkok yang ada di seluruh belahan dunia, utamanya di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Universitas Sumatera Utara Melihat perkembangan yang terjadi kekinian, terutama pada tahun 2011 hingga 2013, terlihat kecendrungan menguatnya upaya-upaya dari pihak tertentu untuk mengakhiri status quo. Sebagai contoh adalah upaya penegasan klaim dengan menghadirkan kapal perang dan pesawat militer, eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di kawasan sengketa, penerbitan paspor dengan menghadirkan peta kedaulatan yang masih dipersengketakan, serta bentuk-bentuk provokasi lainnya yang mengarah pada potensi konflik. Sebagai salah satu negara poros kekuatan baru dunia, pengaruh RRC dalam mendikte kebijakan negara-negara di kawasan sekitarnya cukup kuat. Hal ini terlihat misalnya ketika untuk pertama kalinya forum menteri luar negeri ASEAN gagal menyepakati komunike bersama di Phnom Phen, Kamboja untuk menentukan Kode Tata Berperilaku di kawasan perairan Laut Cina Selatan. Kondisi ini diyakini terjadi akibat sikap Kamboja sebagai tuan rumah yang tidak menginginkan isu yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan di- internasionalisasi-kan. Sikap Kamboja ini sesungguhnya merefleksikan kepentingan RRC yang bertentangan secara kontras dengan sikap Filipina, Brunei, dan Vietnam yang memiliki sengketa perbatasan dengan RRC di wilayah Laut Cina Selatan. Melihat perkembangan dan dinamika yang terjadi di kawasan Asia Pasifik yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global abad-21, peneliti merasa penting untuk menganalisa fenomena kebangkitan negara yang menjadi poros kekuatan baru dunia untuk melihat kecendrungan yang memungkinkan adanya potensi konflik di masa depan dalam panggung politik global yang multipolar. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dan menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya sikap agresif dalam politik luar negeri RRC dalam konteks regional di Asia Pasifik.

2. Perumusan Masalah