termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian dan faktor mana saja yang termasuk dalam ruang lingkup penelitian tersebut. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Penelitian yang dilakukan terbatas pada faktor-faktor internal RRC yang menyebabkan munculnya sejumlah kebijakan luar negeri yang agresif di kawasan
regional. Sehingga, penelitian ini akan meminggirkan persoalan sengketa perbatasan sebagai akibat saja. Fokus utama penelitian ini tetap pada analisis penyebab
munculnya sikap agresif dalam politik luar negeri RRC itu sendiri. Karena itu sebenarnya tidak terlalu relevan untuk menyimpulkan hasil penelitian hanya pada
wilayah Asia Pasifik saja, sebab RRC juga terlibat konflik perbatasan dengan India di wilayah barat daya negerinya.
b. Penelitian hanya dilakukan dengan melihat perkembangan sengketa klaim kedaulatan antara RRC dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang mulai mengemuka
pada 2012 hingga 2013. Sehingga penelitian tidak akan terlalu mendalami kajian historis dari sengketa perbatasan tersebut, ataupun sengketa perbatasan lain yang
pernah terjadi pada masa sebelumnya yang melibatkan RRC dengan negara di kawasan Asia Pasifik Lainnya.
4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan munculnya sejumlah kebijakan politik luar negeri Republik Rakyat Cina
RRC yang bersifat agresif di kawasan regional yang berimplikasi pada terjadinya sengketa klaim kedaulatan dengan negara-negara tetangga RRC di kawasan Asia Pasifik.
5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah: a. Secara akademis penelitian ini hendak memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu
politik khususnya kajian seputar Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional. b. Secara praktis, dari hasil penelitian ini menggambarkan prespektif RRC sebagai
sebuah aktor negara dalam pusaran politik internasional. Sehingga dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan-tindakan sebuah negara dalam
berinteraksi dengan negara-negara lainnya, sehingga menimbulkan apa yang kita kenal sebagai hubungan internasional.
Universitas Sumatera Utara
6. Kerangka Teori
Secara umum penelitian ini didasari atas kerangka berpikir realis yang melihat negara sebagai aktor dalam politik internasional, dan bahwa struktur politik internasional pada
hakikatnya bersifat anarkis. Para realis memperlakukan negara sebagai aktor yang rasional yaitu mengikuti prinsip mengejar, melindungi, dan mempertahankan kepentingan nasionalnya
yang didefenisikan sebagai kekuasaan sesuai dengan kemampuan dan keterbatasanya di dunia internasional.
5
6.1. Asumsi- Asumsi Utama Realisme
Ada tiga asumsi utama realisme yang sering dikelompokkan dalam 3S : statism, survival, self-help
6
. State adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang anarkis. Asumsi ini berasal dari kenyataan bahwa untuk bisa survive dan
mencapai level subsisten manusia perlu hidup bersatu berdasarkan suatu solidaritas kelompok. Kohesi dalam grup ini juga berpotensi untuk berkonflik dengan kelompok-
kelompok lain. State merupakan pengelompokan manusia groupism yang paling penting dewasa ini, dan sumber kohesi in-group yang paling kuat adalah
nasionalisme.
7
Negara sebagai satu komunitas politik yang independen mempunyai kedaulatan terhadap suatu wilayah dalam dunia yang anarkis. Perlu dijelaskan bahwa
anarkis bagi realis bukan keadaan benar-benar chaos dan tidak ada aturan, tetapi ketiadaan kekuasaan sentral. Berbeda dengan struktur organisasi dalam politik
domestik yang hirarkis, dalam hubungan internasional, struktur dasarnya adalah anarkis di mana negara-negara adalah berdaulat dan menganggap kekuasaan tertinggi
ada di tangan mereka. State diasumsikan seperti black-box yang mewakili keseluruhan kepentingan di suatu negara.
8
Ide tentang negara yang utuh berdaulat ini berasal dari defenisi Weber yaitu ‘monopoli terhadap penggunaan kekuatan fisik secara sah dalam suatu wilayah.’
Dalam teori kedaulatan Barat, diasumsikan bahwa persoalan di dalam negeri ini sudah
5
Abu Bakar Ebi Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri, Nuansa, 2011, hal 34
6
Dunne and Schmidt, The Globalization of World Politics : An Introduction to International Relations, Oxfort University Press 2001, hal 155 - 156
7
Wohlforth, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, Oxfort University Press 2008 hal 32
8
Log Cit, 2011, hal 36
Universitas Sumatera Utara
terselesaikan dan negara berhasil mengamankan berbagai masalah dalam negeri. Rakyat di dalam pun mendapatkan rasa aman bahkan keadilan. Di sinilah kemudian
bermula perbedaan antara insideoutside. Di dalam semuanya aman, namun di luar tidak berlaku dan negara dapat melakukan apa saja untuk menjamin survival dari
negara. Dalam konteks internasional yang anarkis, prioritas politik luar negeri negara-
negara dengan demikian adalah menjaga kelangsungan hidupnya atau survival dari ancaman negara lain, yang juga merupakan inti dari kepentingan nasional. Sementara
kepentingan lainnya, seperti ekonomi, adalah kurang penting low politics. Kode etik realis adalah sesuatu yang harus dinilai dari hasilnya, bukan dari apakah tindakan
individu itu benar atau salah. Realis tidak percaya pada universalitas moral; kalaupun ada, itu hanya berlaku relatif untuk suatu masyarakat tertentu saja. Dengan kata lain,
dalam pandangan Wohlforth, negara seringkali harus bertindak egois, terutama bila dihadapkan pada pilihan kepentingan diri dan kepentingan kolektif. Ini juga
merupakan sifat dasar manusia sebagaimana diungkapkan adagium klasik realis: inhumanity is just humanity under pressure kekejaman berarti kemanusian di bawah
tekanan
9
Dalam keadaan anarkis ini, tiap negara harus menolong dirinya sendiri atau self-help. Negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi internasional,
tapi harus mencari cara sendiri, terutama meningkatkan kekuatan militernya. Struktur internasional tidak mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan dan kehormatan,
yang ada hanyalah kondisi abadi ketidakpastian karena tiadanya pemerintahan global. Walaupun penting untuk menilai apakah negara lain merupakan negara revisionis
yang ingin mengubah balance of power atau pro-status quo yang tidak ingin mengubah keadaan itu secara militer, namun adalah susah untuk memastikan intensi
atau maksud suatu negara secara empirik. Cara terbaik adalah memperkuat diri sehingga negara lain tidak berani menyerang.
10
Koeksistensi demikian bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan dan interaksi terbatas, tetapi pendirian negara tetap lebih untuk keuntungan dirinya sendiri
daripada negara lain. Di sini terjadi security dilemma yang lebih sering terjadi pada
9
Log Cit, 2008 hal 32
10
Log Cit, 2011 hal 36-37
Universitas Sumatera Utara
negara-negara besar daripada negara kecil karena peningkatan kekuatan militer mereka akan selalu mendorong meningkatkan kekuatan negara besar yang lain.
Keamanan bagi negara lain berarti ketidakamanan bagi negara sendiri. Inilah tragedi politik negara-negara besar.
11
Tetapi ada dua pandangan yang berbeda dalam melihat bagaimana dilema keamanan ini dapat dikelola. Realis historis dan klasik melihat balance of power dapat
mengurangkan dilema keamanan ini. Sementara kaum neo-realis atau disebut realis struktural berpendapat bahwa dilema keamanan ini adalah situasi yang abadi dalam
politik internasional. Bagi realis struktural atau neo-realis, balance of power akan muncul dengan sendirinya secara alamiah terlepas dari intensi negara-negara,
misalnya dengan munculnya aliansi-aliansi. Dalam kaitan dengan politik luar negeri, dengan melihat asumsi di atas harus
dipahami bahwa negara sebagai aktor utama harus menghadapi negara lain seperti bola biliar yang sedang dimainkan di atas mejanya bergerak dan bertabrakan satu
sama lain. Yang membuat konsep bola biliar ini menarik adalah adanya perasaan ketidakamanan bersama antarnegara dan ketiadaan otoritas kekuatan politik yang
disebut anarki di dunia internasional. Tindakan negara-negara karena itu didorong oleh keinginan untuk survive atau mempertahankan diri dari ancaman keamanan yang
terus-menerus. Karena tiap negara mengejar keamanan yang meningkatkan kekuatan militernya, maka politik luar negeri pun diorientasikan pertama kali untuk
mempertahankan keamanan. Mereka menghadapi dilema keamanan atau security dilemma yang tiada habisnya.
Dari sini kemudian kita mengenal konsep power atau kekuasaan yang merupakan kepentingan nasional yang harus selalu dikejar oleh negara. Walaupun
sering membingungkan karena begitu luas dan bermacam-macam maknanya, power tetap menjadi ukuran bagi analis realis. Ia pun sering dipertukarkan dengan konsep
pengaruh, kekuasaan, kekuatan senjata, perimbangan kekuasaan, kekuatan lunak soft power dan berbagai istilah lainnya. Power juga sering disamakan dengan uang dalam
ekonomi yang perlu dicari, ditambah dan digunakan. Negara-negara, terutama negara- negara besar, sangat khawatir power mereka berkurang atau menjadi relatif lemah
11
Mearsheimer, International Relations Theories: Discipline and Diversity, Oxfort University Press, 2007 hal 74
Universitas Sumatera Utara
dalam hubungan dengan negara lain. Karena itu, mereka ingin selalu memastikan keseimbangan kekuasaan yang ada tidak bergeser ke pihak lawan.
Menurut Mearsheimer, power didasarkan pada kemampuan militer yang dikuasai oleh negara. Walaupun demikian, menurutnya, negara-negara memiliki juga
apa yang disebut dengan kekuatan laten yang meliputi potensi sosial ekonomi yang dapat dikembangkan untuk menjadi kekuatan militer. Kekuatan laten ini meliputi apa
yang sering disebut dengan sumber-sumber kekuatan nasional oleh Morgenthau, seperti penduduk, sumber alam, ekonomi dan teknologi. Jadi, mereka mendapatkan
power bukan saja dari menaklukkan negara lain tetapi juga melalui pengelolaan terhadap latent power atau sumber kekuatan nasional ini.
12
Konsep power ini terus berubah mulai dari yang satu dimensi, seperti Morgenthau, ke yang lebih canggih. Menurut Morgenthau, power adalah kontrol
manusia terhadap pikiran dan tindakan manusia yang lain.
13
’Power harus dipahami dalam hubungan dengan negara lain, jadi bukan dalam situasi vacuum. Power sifatnya
relatif karena dilihat dalam perbandingan dengan kekuatan negara lain. Pengertian yang lebih kompleks adalah power sebagai prestige yakni kemampuan untuk
mendapatkan apa yang diinginkan, bukan dengan senjata atau ancaman penggunaan senjata, tetapi melalui pengaruh diplomasi dan otoritas. Terakhir sekali, kelompok
neo-realis menyamakan power dengan kapabilitas. Kapabilitas dapat dirangking menurut kekuatannya dalam ukuran penduduk dan wilayah, sumber dana, kemampuan
militer, stabilitas dan kompetisi politik.
14
6.2. Teori Realisme Klasik dalam Perspektif Kajian Politik Luar Negeri
Dalam politik internasional, kalau mengikuti realisme klasik seperti Morgenthou, negara-negara masih dianggap memiliki tujuan dan aspirasi politik luar
negeri sendiri dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan pada struktur internasional seperti yang diasumsikan oleh kaum neo-realis. Morgenthou,
menyadari bahwa negara memiliki contextual imperative yang sering dihubungkan dengan posisi geografis, sejarah, ekonomi dan politik. Morgenthou juga berbicara
tentang tanggungjawab pemimpin dan artinya melihat pentingnya peranan individu
12
Ibid, 2007 hal 74
13
Morgenthau, Truth and Power, Essays of Decade, Praeger, 1970
14
Waltz, Theory of International Politics, Adison-Wesley, 1979 hal 131
Universitas Sumatera Utara
dalam politik luar negeri. Dia juga mendiskusikan pentingnya karakter nasional sebagai satu aspek kekuatan nasional yang mempengaruhi politik luar negeri.
Holsti, yang juga digolongkan sebagai pengikut realisme klasik penerus Morgenthou, mengejawantahkan lebih lanjut pandangan di atas dengan menyebutkan
bahwa selain dipengaruhi oleh struktur sistem internasional, strategi umum politik luar negeri suatu negara juga dihubungkan dengan sifat dari keadaan domestik dan
kebutuhan ekonomi.
15
Seperti Morgenthou, ia juga menyebutkan peranan pembuat keputusan dalam mempersepsikan ancaman eksternal yang tetap terhadap nilai-nilai
dan kepentingan mereka akan sangat menentukan orientasi politik luar negeri negara itu. Juga faktor lokasi geografis, ciri-ciri topografi, potensi alam, menurut Holsti,
adalah variabel-variabel yang mempengaruhi pilihan orientasi politik luar negeri. Dalam pandangannya, Holsti melihat negara sebagai aktor memiliki tujuan-
tujuan, aspirasi, kebutuhan, sikap, pilihan, dan tindakan politik luar negeri yang dipengaruhi atau terbentuk oleh struktur kekuatan dan distribusi kekuasaan dalam
politik internasional. Ia membagi empat komponen utama dalam politik luar negeri yaitu : Orientasi-orientasi politik luar negeri, peran-peran nasional, tujuan-tujuan dan
tindakan-tindakan.
16
Menurut Holsti, orientasi dasar politik luar negeri ada tiga, orientasi pertama disebut isolasi di mana untuk menjaga kepentingannya, negara memilih membatasi
hubungannya dengan negara lain. Negara yang melakukan ini biasanya merasa cukup sufisien secara ekonomi dan sosial sehingga tidak memerlukan banyak bantuan dari
negara lain. Isolasi Amerika dan juga Jepang sebelum Perang Dunia I merupakan contoh dari orientasi politik luar negeri yang demikian. Orientasi jenis kedua adalah
nonalignment atau non-blok, untuk kepentingan strategis, mereka bersatu untuk mencapai tujuan kemerdekaan dan mempertahankan diri dari pengaruh negara-negara
besar. Orientasi ketiga disebut Holsti pembuatan koalisi dan pembangunan aliansi. Berbeda dengan isolasi, orientasi yang ketiga ini berangkat dari ketidakmampuan
negara, baik dalam pertahanan maupun ekonomi, untuk berdiri sendiri. Jadi karena
15
K. J. Holsti,International Politics : A Framework for Analysis , Prentice-Hall 1988 hal 34
16
Ibid, 1983 hal 97-98
Universitas Sumatera Utara
itu, mereka berusaha melakukan koalisi diplomatik dan kadangkala melakukan aliansi militer untuk melindungi pertahanan negara.
17
Komponen kedua dari politik luar negeri menurut Holsti adalah peran-peran nasional dan konsepsi tentang peran yang merupakan turunan dari komponen pertama
orientasi politik luar negeri. Konsepsi peran nasional ini adalah sebagaimana yang didefenisikan oleh para pembuat keputusan tentang komitmen, aturan, tindakan yang
sesuai untuk negara. Contoh peran nasional adalah ‘pelindung regional’ yaitu peranan untuk melindungi negara-negara lain dalam lingkungan tertentu. Juga ada perang
sebagai ‘mediator’ yaitu membantu pemecahan konflik internasional. Banyak istilah lain untuk peran nasional ini, seperti pemimpin regional, bebas aktif, agen
antiimperialis, pembebas dan beberapa peran khusus lain yang didefenisikan oleh negara sendiri.
18
Komponen ketiga disebut tujuan-tujuan politik luar negeri yang mengacu pada komponen kedua dan pertama dari politik luar negeri. Tujuan dan kepentingan
sekurangnya ada tiga macam. Yang pertama adalah nilai-nilai dan kepentingan- kepentingan ‘inti’ atau core di mana secara umum semua orang akan rela
mengorbankan diri untuk tujuan ini. Ini diistilahkan dengan macam-macam term seperti ‘merdeka atau mati’ untuk membela kedaulatan dan kemerdekaan, keamanan,
memenangkan perang dan lain-lain tujuan yang harus dicapai dalam jangka pendek karena merupakan kepentingan vital. Kemudian ada tujuan dan kepentingan jangka
menengah seperti kepentingan ekonomi dan perdagangan. Prestise negara juga masuk dalam kepentingan jenis jangka menengah ini, sama halnya seperti perluasan
pengaruh di negara lain. Macam ketiga dari tujuan politik luar negeri adalah tujuan- tujuan jangka panjang yang sering disebut sebagai visi dan rencana universal, seperti
mengkonsumsi dunia oleh rejim-rejim komunis atau tindakan sebagian negara Barat untuk menciptakan dunia demokratis.
19
Dalam analisis politik luar negeri Holsti ini, terdapat hubungan yang logis mulai dari orientasi yang menentukan peran-prean nasional negara-negara, kemudian
juga mempengaruhi pilihan tujuan-tujuan politik luar negeri dan akhirnya akan mempengaruhi tindakan-tindakan politik luar negeri yang akan diambil oleh suatu
17
Ibid, 1983 hal 98
18
Ibid, 1983 hal 98
19
Ibid, 1983 hal 98
Universitas Sumatera Utara
negara. Karena sifatnya yang demikian, maka orientasi-orientasi politik luar negeri dan peran nasional biasanya adalah yang paling langgeng, bertahan lama dan susah
berubah. Kemudian diikuti oleh komponen yang lain. Politik luar negeri suatu negara, misalnya, akan selalu menggantikan tindakan politik luar negeri untuk mencapai
tujuan, baik jangka pendek ataupun jangka panjang, namun jarang mereka menggantikan orientasi dan peran nasional politik luar negeri mereka.
6.3. Makna Agresivitas dalam Perspektif Realisme
Kata Agresif dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia berarti ‘bernafsu menyerang,’ sedangkan kata agresivitas diartikan sebagai ‘hal agresif,’ ‘sifat agresif,’
atau ‘tindakan yang agresif.’
20
Agresif dan agresivitas sesungguhnya merupakan sebuah kata sifat yang melekat pada manusia. Akan tetapi dilekatkannya kata ‘agresif’
dan ‘agresivitas’ pada negara dalam konteks penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan perilaku ataupun sikap sebuah negara yang secara personifikasi memiliki
defenisi yang serupa dengan makna kedua kata tersebut pada manusia, yakni berarti ‘bernafsu menyerang’ untuk kata agresif, serta ‘hal agresif,’’sifat agresif,’ atau
‘tindakan yang agresif,’ untuk kata agresivitas. Dalam perspektif realisme, negara merupakan suatu kohesi sosial yang penting
dalam masyarakat modern. Sebab, negara memberikan perlindungan terhadap individu-individu yang bernaung di dalamnya dalam menjalankan aktivitas
kehidupannya, terutama dalam konteks ketika berhadapan dengan ‘dunia luar.’ Perspektif realisme mengasumsikan ‘dunia luar’ sebagai suatu wilayah di luar batas
juridiksi negara, dimana jangkauan negara atas hak-hak individu yang berada dalam di luar naungannya terbatas.
21
Karena negara merupakan kumpulan dari individu-individu, serta digerakkan dan dikendalikan oleh manusia itu sendiri, maka sikap dan tindakan sebuah negara
sesungguhnya ialah perwujudan dari sikap dan tindakan manusia yang bernaung di dalamnya. Negara dalam perspektif realisme yang menganggap panggung global
sebagai suatu area yang bersifat anarki, tanpa struktur hirarkis, menyebabkan individu-individu yang bernaung di dalam negara menyelenggarakan suatu pola
20
Fajri, EM Zul dan Ratu Aprillia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher.
21
Log Cit, 1979
Universitas Sumatera Utara
kebijakan yang sesuai dan mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Sikap, tindakan dan kebijakan sebuah negara terhadap dunia luar yang dikendalikan oleh
individu-individu itulah yang kemudian disebut sebagai Politik Luar Negeri. Perspektif realis sebenarnya tidak menggarisbawahi perilaku ataupun sikap
negara yang bagaimana yang menunjukkan politik luar negeri yang agresif. Tetapi perspektif realis itu sendiri menganggap bahwa manusia dan negara sebagai kohesi
individu itu cenderung egois terhadap orang lain yang berada di’luar’ outside. Perspektif realis memandang bahwa pemenuhan kebutuhan di dalam inside negara
hendaknya dicapai dengan cara apapun termasuk apabila mengharuskan negara bersikap agresif terhadap dunia luar.
22
Meskipun di dalam teori realisme secara khusus tidak ada kriteria yang menyebutkan suatu tindakan politik luar negeri tertentu yang bisa diklasifikasikan
sebagai tindakan yang agresif, namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan sejumlah kriteria sebagai alat bantu untuk memberikan pola yang mengarahkan
pemahaman kita pada apa yang dimaksud sebagai tindakan-tindakan politik luar negeri yang agresif itu. Sejumlah kriteria yang peneliti tentukan ini merupakan
derivasi atas teori realisme dalam tahap aplikatif. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa kriteria-kriteria ini masih terbuka untuk diperdebatkan secara teoretik, serta tidak
bermaksud untuk mengeneralisir. Adapun sejumlah kriteria yang menunjukkan sikap atau tindakan agresif dalam politik luar negeri sebuah negara itu ialah sebagai berikut:
Sebuah negara yang secara eksplisit mengumumkan sikap dan posisinya yang bermusuhan terhadap sebuah negara berdaulat lainnya;
Sebuah negara yang mengklaim kepemilikan suatu wilayah teritorial dimana masih terdapat entitas politik berdaulat yang secara sah menguasai wilayah
tersebut; Sebuah negara yang melakukan provokasi ataupun bertujuan ekspansif dengan
menghadirkan kekuatan militer di kawasan teritorial negara lain atau di sebuah kawasan teritorial yang masih dalam tahap perselisihan di Mahkamah
Internasional;
22
Log Cit, 2011 hal 38
Universitas Sumatera Utara
Sebuah negara yang memiliki tujuan nasional baik yang tertulis melalui dokumen resmi kenegaraan, maupun visi misi pemimpin politiknya yang
secara gamblang mengutarakan ambisi ekspansionisme dalam kebijakan politik luar negerinya;
Sebuah negara yang memberlakukan kebijakan politik luar negeri yang bersifat unilateral tetapi mengancam kepentingan negara lain sehingga
mencederai hubungan bilateral dengan negara tersebut; Sebuah negara yang melalui pemimpin politik ataupun utusan diplomatik
resminya mengumumkan suatu pernyataan verbal yang bersifat mengancam kedaulatan, kepentingan, dan kehormatan negara lain;
Sebuah negara dengan sengaja mengadakan sebuah kegiatan di dalam negerinya yang bertentangan dengan norma ataupun asas keamanan yang telah
menjadi kesepakatan dalam komunitas internasional atau mengadakan kegiatan yang berpotensi membahayakan perdamaian dunia.
Adapun sejumlah kebijakan luar negeri Republik Rakyat Cina yang disoroti sebagai sebuah sikap ataupun tindakan yang agresif dalam penelitian ini ialah berkisar
seputar perselisihan sengketa perbatasan yang terjadi di kawasan regional Asia Pasifik, diantaranya ialah sebagai berikut: menghadirkan armada militer dan personil
bersenjata di kawasan yang secara resmi merupakan wilayah kedaulatan negara lain ataupun kawasan yang masih dipersengketakan; menerbitkan dokumen resmi baca:
paspor bergambar peta wilayah kedaulatan negara lain ataupun wilayah yang masih dipersengketakan; mengintervensi kebijakan politik luar negeri negara lain dengan
tujuan menguntungkan kepentingan nasional RRC; menghalangi kehadiran pemimpin politik negara lain ke RRC dengan tidak bersedia menerbitkan visa kunjungan dengan
maksud hendak mengadakan transaksi berupa pencabutan laporan negara tersebut pada Mahkamah Internasional atas sejumlah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan
oleh RRC; serta, melalui pemimpin politiknya menyuarakan pernyataan verbal yang bersifat memprovokasi negara lain atas perselisihan sengketa kedaulatan yang
melibatkan RRC.
Universitas Sumatera Utara
6.4. Beberapa Konsep dalam Teori Realis
Berikut dijabarkan sejumlah defenisi konsep yang mengemuka dalam teori realis, yang akan dipakai sebagai instrumen pembedah analisis dalam penelitian ini :
6.4.1 Konsep Kepentingan Nasional
Kepentingan Nasional National Interest adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan negara bangsa atau sehubungan
dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang relatif tetap dan sama diantara semua negarabangsa adalah keamanan, yang
mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah serta kesejahteraan.
Kedua hal pokok ini yaitu keamanan Security dan kesejahteraan Prosperity merupakan kepentingan nasional yang utama.
Kepentingan nasional diidentikkan dengan dengan “tujuan nasional”. Contohnya kepentingan pembangunan ekonomi, kepentingan pengembangan
dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia SDM atau kepentingan mengundang investasi asing untuk mempercepat laju industrialisasi.
23
Kepentingan nasional sering dijadikan tolok ukur atau kriteria pokok bagi para pengambil keputusan decision makers masing-masing negara
sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap langkah kebijakan luar negeri Foreign Policy perlu dilandaskan kepada
kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai ”Kepentingan Nasional.”
Sedangkan menurut Morgenthau, ”Kepentingan nasional adalah kemampuan minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik,
politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya
kerjasama atau konflik”.
24
23
T.May Rudy, Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin, Refika Aditama, Bandung, 2002, hal 116
24
Ibid, 2002 hal 116
Universitas Sumatera Utara
6.4.2. Konsep Perimbangan Kekuasaan Balance of Power
Konsep perimbangan kekuasaan Balance of Power merupakan suatu konsep yang menginginkan perimbangan kekuatan di antara kekuatan-
kekuatan utama aktor hubungan internasional. Dalam pandangan kaum realis, perang terjadi karena dunia tidak seimbang dalam aspek power. Karena pada
dasarnya manusia itu buruk, setiap negara memiliki hasrat untuk menguasai negara lainnya. Dengan hal ini, untuk menguasai negara lain maka suatu
negara yang memiliki power yang kuat akan menyerang negara yang dituju sehingga menimbulkan konflik dan peperangan. Hal ini dapat menimbulkan
ketidakstabilan keamanan di dunia. Jika hal ini terus berlangsung, peperangan di dunia akan terus terjadi. Morgenthau mengemukakan suatu konsep yang
disebut Balance of Power yang didasari dari pemikiran seorang sejarawan yaitu Thucydides.
Balance of power menganggap dunia akan aman jika semua negara memiliki kekuatan yang seimbang. Perimbangan kekuatan yang dimaksud
adalah pada aspek kekuatan militernya. Namun, hal ini akan sulit terwujud karena setiap negara mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Menurut kaum
realis, negara-negara yang paling penting dalam politik dunia adalah negara- negara berkekuatan besar great powers.
25
Akan tetapi, konsep ini bisa disambungkan dengan konsep polaritas dalam hubungan internasional. Ini
terlihat pada masa perang dingin yang merupakan masa bipolar. Hubungan internasional dipahami oleh kaum realis terutama sebagai perjuangan di antara
negara-negara berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanan.
26
6.4.3. Konsep Perimbangan Ancaman Balance of Threat
Teori Perimbangan Ancaman Balance of Threat merupakan kritik terhadap teori perimbangan kekuasaan. Menurut teori ini, dalam sistem
internasional yang anarkis dan cenderung pada tidak adanya distribusi kekuatan yang berimbang, negara akan menggalang aliansi dengan atau
25
Robert Jackson dan George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. terj. 2009, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal 89
26
Ibid, 2009 hal 89
Universitas Sumatera Utara
melawan kekuatan yang paling mengancam
27
. Aliansi adalah respon atas ketidakseimbangan ancaman imbalances of “threat”, bukan
ketidakseimbangan kekuatan imbalance of “power”
28
. Jadi, berbeda dengan Balance of Power yang melihat balancing sebagai kondisi alamiah dalam
sistem internasional yang terdiri dari unit-unit negara ketika terjadi ketidakmerataan distribusi kekuatan terutama militer lebih tepatnya, ini
adalah konsepsi Balance of Power menurut NeoralismStructrual Realism, Teori perimbangan ancaman berasumsi bahwa, balancing adalah respon yang
dilakukan oleh negara atau beberapa negara terhadap negara lain yang memiliki power militer, ekonomi, teknologi, dll besar atau lebih besar dari
yang dimiliki negara tersebut. Berbeda dari teori perimbangan kekuasaan yang melihat pengaruh power itu sendiri terhadap sistem internasional, konsep
perimbangan ancaman melihat akibat dari kepemilikan power tersebut terhadap sistem.
Berangkat dari asumsi dasar neorealis bahwa sistem internasional adalah anarkis, bahwa tidak ada pemerintahan yang mengatur negara-negara
sehingga setiap negara harus menjamin keamananannya sendiri dalam pergaulan regional maupun global, dan bahwa setiap negara bertindak untuk
mencapai kepentingan nasionalnya baik ekomoni maupun keamanan, Walt memandang bahwa kepemilikan power oleh sebuah negara, misalnya rudal
balistik atau bahkan senjata nuklir, akan mengancam keamanan dan kepentingan nasional negara-negara lain terutama yang berada di sekitarnya.
Walt lebih lanjut menjabarkan sumber-sumber ancaman bagi negara sebagai berikut
29
:
Pertama, aggregate power. Jenis ancaman ini berasal dari level atau
jumlah relative power yang dimiliki oleh suatu negara. Semakin besar kekuatan yang dimiliki seperti populasi, industri, militer, teknologi, dan lain
sebagainya, akan semakin besar potensi ancamannya bagi negara lain. Uni Eropa “mungkin” dapat dikatakan sebagai mekanisme untuk
mendistribusikan kekuatan agregat di antara negara-negara Eropa Barat.
27
Walt, Stephen M. Spring. Alliance Formation and The Balance of World Power, 1985 hal 8-9
28
Legro, Jeffrey W. Andrew Moravcsik, Is Anybody Still a Realist ?, hal 36
29
Log cit, 1985 hal. 9-13
Universitas Sumatera Utara
Dalam sejarahnya, saat persebaran kekuatan di wilayah tersebut tidak merata, terjadi ketidakstabilan sistem sehingga menyebabkan peperangan
bebar dalam sejarah dunia Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Kedua, proximity. Semakin dekat dekat jarak sebuah negara, semakin besar
potensi ancaman yang dimiliki bagi negara lain. Sebagai contoh, Perang Arab-Israel I pada 1948 terjadi antara Israel melawan koalisi Arab yaitu
Mesir, Libanon, Yordania, Suriah dan Irak. Negara-negara Arab lain seperti Arab Saudi, Oman, Yaman dan Libya tidak terlibat perang, karena negara-
negara tersebut tidak berbatasan langsung dengan Israel.
Ketiga, offensive power. Negara yang memiliki kapabilitas militer kuat
lebih memprovokasi terjadinya aliansi dalam sistem daripada negara yang kemampuan militernya lemah atau yang militernya hanya untuk pertahanan
diri. Bagi Arab Saudi, pertumbuhan postur militer Iran akhir-akhir ini menjadi sangat mengkhawatirkan, karena dilihat dari kualitasnya,
kemampuan militer Iran tersebut lebih dari sekedar untuk pertahanan diri. Maka tidak mengherankan jika aliansi Arab Saudi dengan AS semakin erat
seiring dengan perkembangan agresivitas Iran. Keempat, offensive intention. Negara yang agresif selalu memicu terbentuknya aliansi negara-
negara lain. GCC terbentuk di antara negara-negara Arab Teluk adalah sebagai reaksi atas agresivitas Iran. Pada tahun 2006 GCC kembali
mempererat aliansinya dengan AS untuk merespon Iran yang kembali agresif sejak dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad
30
Bagi GCC Iran dianggap lebih berbahaya daripada AS karena AS tidak menunjukkan
ambisi ofensif di kawasan tersebut meskipun memiliki kapabilitas militer yang jauh lebih kuat dari pada Iran.
Keempat, sumber ancaman tersebut merupakan kondisi-kondisi yang
menggiring negara-negara dalam sistem internasional untuk membangun aliansi atau melakukan bandwagoning. Keempatnya juga menunjukkan
kompleksitas balancing dalam konsepsi Walt, sehingga dalam bukunya The Origins of Alliances Walt secara eksplisit dia menyebutnya sebagai
30
Knapp, Patrick. The Gulf States in the Shadow of Iran: Iranian Ambition, Middle East Quraterly, 2010, hal. 49-59
Universitas Sumatera Utara
parsimonious revision of realist balance-of-power theory
31
. Teori Walt mampu menjelaskan fenomena-fenomena yang tidak mampu dijelaskan
oleh teori Balance of Power.
6.4.4. Teori Dilema Keamanan
Dilema keamanan yaitu suatu keadaan ketergantungan pada
persenjataan yang menjadi kebijakan suatu negara yang seolah-olah demi kepentingan pertahanan suatu negara padahal untuk mengancam negara lain.
Ancaman persenjataan yang menyebabkan negara lain tertekan karena adanya ancaman-ancaman tersebut, menyebabkan negara yang tertekan tersebut
membuat kebijakan untuk meningkatkan nilai persenjataanya baik dari segi jumlah, maupun kualitasnya.
Dilema disini timbul antara kebijakan untuk peningkatan senjata mempengaruhi ekonomi negara. Sedangkan perekonomian negara yang stabil
sangat dibutuhkan bagi negara yang sedang berkembang untuk pembangunan nasionalnya, peningkatan sumber daya ekonomi, seperti sektor pertambangan,
sektor pertanian, perkebunan dan lain sebagainya yang seharusnya dibangun sarana untuk peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan
sarana dan prasarana seperti jalan, komunikasi yang sesungguhnya berdampak langsung dengan kekuatan militer disuatu negara.Sedangkan peningkatan
jumlah senjata, dan anggaran militer yang besar menyebabkan banyak menghabiskan dana, dan anggaran devisa negara sehingga akan menyebabkan
dampak langsung maupun tidak langsung akan menjadikan negara tersebut jatuh kepada kebinasaan.
Seandainya suatu negara boleh memilih suatu keadaan mana yang ia pilih pembangunan ekonomi atau peningkatan anggaran militer demi
keamanan. Di negara yang kondisi politik regionalnya masih relatif stabil maka akam memilih pembangunan ekonomi. Tetapi keadaan politik regional
kadang memaksa suatu negara meningkatkan anggaran militernya disebabkan adanya ancaman dari pihak luar. Pilihan untuk meningkatkan persenjataan
militer disebabkan karena ancaman dari peningkatan senjata dari negara lain,
31
Log Cit, 1999 hal. 36
Universitas Sumatera Utara
dengan mengorbankan perekonomian dalam negeri karena kepentingan keamanan yang mendesak.
7. Metodologi Penelitian
7.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan yang menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu metode penelitian yang hendak mencari fakta
berdasarkan pada interpretasi yang tepat.
32
Secara harfiah, metode deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai sesuatu atau kejadian,
sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.
33
Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang mendasari munculnya kebijakan politik luar negeri RRC yang agresif dalam sengketa
teritorial dengan negara-negara di Asia Pasifik yang bertetangga dengannya. Dengan menetapkan fokus pada masalah yang akan diteliti diharapkan nantinya penelitian ini
akan mendapat data yang maksimal untuk menggambarkan kondisi aktual yang terjadi.
7.2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan teknik penelaahan terhadap dokumen tertulis kepustakaan meliputi
pencarian data dari buku-buku, jurnal, koran, media daring, dan lainnya.
7.3. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis analisa data kualitatif, yaitu tanpa menggunakan alat bantu rumus
statistik. Penelitian kualitatif tidak berusaha untuk menguji hipotesis, dan penelitian ini bersifat alamiah natural setting, artinya peneliti tidak berusaha untuk
memanipulasi situs setting penelitian ataupun melakukan intervensi terhadap
32
Whitney, F.L, The elements of Research, 1960 hal 160
33
Nazir, Mohammad, Metode Penelitian, 2005 hal 54
Universitas Sumatera Utara
aktivitas subjek penelitian dengan memberikan perlakuan tertentu, namun peneliti berusaha untuk memahami fenomena yang dirasakan subjek sebagaimana adanya.
34
Data yang akan peneliti dapatkan dari buku-buku, surat kabar, maupun situs media daring kemudian akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis
kemudian dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.
8. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Pada Bab I ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi
penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II
: Kebangkitan RRC dan Sengketa Perbatasan di Asia Pasifik
Pada Bab II ini akan diuraikan tentang gambaran umum seputar kebangkitan Republik Rakyat Cina sebagai sebuah kekuatan baru serta meningkatnya isu
sengketa perbatasan yang terjadi di kawasan Asia Pasifik dalam beberapa tahun belakangan.
Bab III :Penyebab Agresivitas Politik Luar Negeri RRC dalam Sengketa
Perbatasan di Asia Pasifik
Dalam Bab III ini akan dijelaskan tentang peningkatan agresivitas kebijakan politik luar negeri Republik Rakyat Cina melalui sejumlah sikap, tindakan,
maupun kebijakan negara tersebut dalam rentang periode 2011-2013 terhadap sengketa perbatasan yang melibatkannya di kawasan Asia Pasifik, serta faktor-
faktor yang bisa dianggap sebagai alasan yang menyebabkan munculnya agresivitas dalam politik luar negeri terkait sengketa perbatasan tersebut.
Bab IV : Kesimpulan
Bab IV ini merupakan bab terakhir dari penulisan penelitian ini yang berisi kesimpulan dari hasil-hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.
34
Idrus, Muhammad. Metode Penelitian Ilmu Sosial, 2002 hal 24-25
Universitas Sumatera Utara
BAB II
KEBANGKITAN REPUBLIK
RAKYAT CINA
DAN SENGKETA
PERBATASAN DI
ASIA PASIFIK
1. Kebangkitan Cina Sebagai Raksasa Asia