Teori Realisme Klasik dalam Perspektif Kajian Politik Luar Negeri

dalam hubungan dengan negara lain. Karena itu, mereka ingin selalu memastikan keseimbangan kekuasaan yang ada tidak bergeser ke pihak lawan. Menurut Mearsheimer, power didasarkan pada kemampuan militer yang dikuasai oleh negara. Walaupun demikian, menurutnya, negara-negara memiliki juga apa yang disebut dengan kekuatan laten yang meliputi potensi sosial ekonomi yang dapat dikembangkan untuk menjadi kekuatan militer. Kekuatan laten ini meliputi apa yang sering disebut dengan sumber-sumber kekuatan nasional oleh Morgenthau, seperti penduduk, sumber alam, ekonomi dan teknologi. Jadi, mereka mendapatkan power bukan saja dari menaklukkan negara lain tetapi juga melalui pengelolaan terhadap latent power atau sumber kekuatan nasional ini. 12 Konsep power ini terus berubah mulai dari yang satu dimensi, seperti Morgenthau, ke yang lebih canggih. Menurut Morgenthau, power adalah kontrol manusia terhadap pikiran dan tindakan manusia yang lain. 13 ’Power harus dipahami dalam hubungan dengan negara lain, jadi bukan dalam situasi vacuum. Power sifatnya relatif karena dilihat dalam perbandingan dengan kekuatan negara lain. Pengertian yang lebih kompleks adalah power sebagai prestige yakni kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, bukan dengan senjata atau ancaman penggunaan senjata, tetapi melalui pengaruh diplomasi dan otoritas. Terakhir sekali, kelompok neo-realis menyamakan power dengan kapabilitas. Kapabilitas dapat dirangking menurut kekuatannya dalam ukuran penduduk dan wilayah, sumber dana, kemampuan militer, stabilitas dan kompetisi politik. 14

6.2. Teori Realisme Klasik dalam Perspektif Kajian Politik Luar Negeri

Dalam politik internasional, kalau mengikuti realisme klasik seperti Morgenthou, negara-negara masih dianggap memiliki tujuan dan aspirasi politik luar negeri sendiri dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan pada struktur internasional seperti yang diasumsikan oleh kaum neo-realis. Morgenthou, menyadari bahwa negara memiliki contextual imperative yang sering dihubungkan dengan posisi geografis, sejarah, ekonomi dan politik. Morgenthou juga berbicara tentang tanggungjawab pemimpin dan artinya melihat pentingnya peranan individu 12 Ibid, 2007 hal 74 13 Morgenthau, Truth and Power, Essays of Decade, Praeger, 1970 14 Waltz, Theory of International Politics, Adison-Wesley, 1979 hal 131 Universitas Sumatera Utara dalam politik luar negeri. Dia juga mendiskusikan pentingnya karakter nasional sebagai satu aspek kekuatan nasional yang mempengaruhi politik luar negeri. Holsti, yang juga digolongkan sebagai pengikut realisme klasik penerus Morgenthou, mengejawantahkan lebih lanjut pandangan di atas dengan menyebutkan bahwa selain dipengaruhi oleh struktur sistem internasional, strategi umum politik luar negeri suatu negara juga dihubungkan dengan sifat dari keadaan domestik dan kebutuhan ekonomi. 15 Seperti Morgenthou, ia juga menyebutkan peranan pembuat keputusan dalam mempersepsikan ancaman eksternal yang tetap terhadap nilai-nilai dan kepentingan mereka akan sangat menentukan orientasi politik luar negeri negara itu. Juga faktor lokasi geografis, ciri-ciri topografi, potensi alam, menurut Holsti, adalah variabel-variabel yang mempengaruhi pilihan orientasi politik luar negeri. Dalam pandangannya, Holsti melihat negara sebagai aktor memiliki tujuan- tujuan, aspirasi, kebutuhan, sikap, pilihan, dan tindakan politik luar negeri yang dipengaruhi atau terbentuk oleh struktur kekuatan dan distribusi kekuasaan dalam politik internasional. Ia membagi empat komponen utama dalam politik luar negeri yaitu : Orientasi-orientasi politik luar negeri, peran-peran nasional, tujuan-tujuan dan tindakan-tindakan. 16 Menurut Holsti, orientasi dasar politik luar negeri ada tiga, orientasi pertama disebut isolasi di mana untuk menjaga kepentingannya, negara memilih membatasi hubungannya dengan negara lain. Negara yang melakukan ini biasanya merasa cukup sufisien secara ekonomi dan sosial sehingga tidak memerlukan banyak bantuan dari negara lain. Isolasi Amerika dan juga Jepang sebelum Perang Dunia I merupakan contoh dari orientasi politik luar negeri yang demikian. Orientasi jenis kedua adalah nonalignment atau non-blok, untuk kepentingan strategis, mereka bersatu untuk mencapai tujuan kemerdekaan dan mempertahankan diri dari pengaruh negara-negara besar. Orientasi ketiga disebut Holsti pembuatan koalisi dan pembangunan aliansi. Berbeda dengan isolasi, orientasi yang ketiga ini berangkat dari ketidakmampuan negara, baik dalam pertahanan maupun ekonomi, untuk berdiri sendiri. Jadi karena 15 K. J. Holsti,International Politics : A Framework for Analysis , Prentice-Hall 1988 hal 34 16 Ibid, 1983 hal 97-98 Universitas Sumatera Utara itu, mereka berusaha melakukan koalisi diplomatik dan kadangkala melakukan aliansi militer untuk melindungi pertahanan negara. 17 Komponen kedua dari politik luar negeri menurut Holsti adalah peran-peran nasional dan konsepsi tentang peran yang merupakan turunan dari komponen pertama orientasi politik luar negeri. Konsepsi peran nasional ini adalah sebagaimana yang didefenisikan oleh para pembuat keputusan tentang komitmen, aturan, tindakan yang sesuai untuk negara. Contoh peran nasional adalah ‘pelindung regional’ yaitu peranan untuk melindungi negara-negara lain dalam lingkungan tertentu. Juga ada perang sebagai ‘mediator’ yaitu membantu pemecahan konflik internasional. Banyak istilah lain untuk peran nasional ini, seperti pemimpin regional, bebas aktif, agen antiimperialis, pembebas dan beberapa peran khusus lain yang didefenisikan oleh negara sendiri. 18 Komponen ketiga disebut tujuan-tujuan politik luar negeri yang mengacu pada komponen kedua dan pertama dari politik luar negeri. Tujuan dan kepentingan sekurangnya ada tiga macam. Yang pertama adalah nilai-nilai dan kepentingan- kepentingan ‘inti’ atau core di mana secara umum semua orang akan rela mengorbankan diri untuk tujuan ini. Ini diistilahkan dengan macam-macam term seperti ‘merdeka atau mati’ untuk membela kedaulatan dan kemerdekaan, keamanan, memenangkan perang dan lain-lain tujuan yang harus dicapai dalam jangka pendek karena merupakan kepentingan vital. Kemudian ada tujuan dan kepentingan jangka menengah seperti kepentingan ekonomi dan perdagangan. Prestise negara juga masuk dalam kepentingan jenis jangka menengah ini, sama halnya seperti perluasan pengaruh di negara lain. Macam ketiga dari tujuan politik luar negeri adalah tujuan- tujuan jangka panjang yang sering disebut sebagai visi dan rencana universal, seperti mengkonsumsi dunia oleh rejim-rejim komunis atau tindakan sebagian negara Barat untuk menciptakan dunia demokratis. 19 Dalam analisis politik luar negeri Holsti ini, terdapat hubungan yang logis mulai dari orientasi yang menentukan peran-prean nasional negara-negara, kemudian juga mempengaruhi pilihan tujuan-tujuan politik luar negeri dan akhirnya akan mempengaruhi tindakan-tindakan politik luar negeri yang akan diambil oleh suatu 17 Ibid, 1983 hal 98 18 Ibid, 1983 hal 98 19 Ibid, 1983 hal 98 Universitas Sumatera Utara negara. Karena sifatnya yang demikian, maka orientasi-orientasi politik luar negeri dan peran nasional biasanya adalah yang paling langgeng, bertahan lama dan susah berubah. Kemudian diikuti oleh komponen yang lain. Politik luar negeri suatu negara, misalnya, akan selalu menggantikan tindakan politik luar negeri untuk mencapai tujuan, baik jangka pendek ataupun jangka panjang, namun jarang mereka menggantikan orientasi dan peran nasional politik luar negeri mereka.

6.3. Makna Agresivitas dalam Perspektif Realisme