Sengketa Perbatasan di Laut Cina Selatan

Dengan latar tiga faktor di atas, kemarahan rakyat Cina dengan membakar bendera Jepang, menyerang kantor perwakilan Jepang, dan yang menyebabkan banyak perusahaan besar Jepang di Cina ditutup, sesungguhnya hanya ”puncak es” saja. Jika faktor pertama terutama dan kedua tidak segera dicari jalan keluarnya, hubungan ekonomi keduanya menjadi terganggu. Apalagi bila ditambah dengan luapan kemarahan yang semakin kencang, bertepatan dengan peringatan hari ”Manchuria Incident” 18 September 1931 invasi militer Jepang ke wilayah utara Cina, yaitu Manchuria di Cina dipakai sebagai ”momen” yang mengantar emosional rakyat Cina semakin garang. Belakangan hubungan Cina dan Jepang kian memanas terkait sengketa ini. Beberapa bulan yang lalu pemerintah Jepang mengumumkan untuk membeli pulau- pulau di wilayah sengketa tersebut. Sejak itu aksi-aksi unjuk rasa anti-Jepang marak digelar di dalam negeri RRC. Hubungan bilateral RRC-Jepang yang memburuk juga berakibat pada menurunnya penjualan produk-produk Jepang di Cina sehingga merugikan banyak perusahaan. Memburuknya situasi di Laut Cina Timur juga diperparah dengan sejumlah manuver kapal patroli dan kapal angkatan laut dari kedua negara di wilayah yang dipersengketakan. Selain itu, entah berkaitan dengan peroalan sengketa atau tidak PLAN Angkatan Laut RRC mulai mengoperasikan kapal induk pembawa pesawat tempur pertama milik Cina. Penggunaan kapal bernama Liaoning ini merupakan bagian dari peningkatan kemampuan militer Cina dalam fungsi pertahanan, di tengah ketegangan maritim di kawasan tersebut. Liaoning merupakan kapal bekas milik Soviet yang dibeli dari Ukraina, kemudian diperbaiki dan dimodifikasi untuk digunakan oleh militer Cina. RRC menapik kehadiran kapal induk tersebut sebagai upaya memberikan tekanan kepada Jepang, namun upaya tersebut jelas-jelas sebuah ancaman yang ditujukan langsung pada siapa saja yang ingin berhadapan dengan RRC.

2.2. Sengketa Perbatasan di Laut Cina Selatan

Bulan Juli 2012 menjadi catatan sejarah paling mencengangkan dalam hubungan diplomatik negara-negara ASEAN. Pasalnya, selama hampir 45 tahun berdirinya organisasi yang menghimpun negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Universitas Sumatera Utara untuk pertama kalinya para menteri luar negeri perhimpunan ini gagal menyepakati komunike bersama untuk kode tata berperilaku di Laut Cina Selatan. Hal tersebut bukan saja menjadi peristiwa yang memalukan bagi Indonesia sebagai ketua ASEAN pada waktu itu melainkan juga menunjukkan betapa Cina sudah demikian besar memainkan pengaruh mereka kepada sejumlah anggota ASEAN yang tidak terlibat sengketa. Kegagalan penyepakatan komunike tersebut sangat erat kaitannya dengan sengketa klaim tumpang tindih atas perairan Laut Cina Selatan. Munculnya persoalan ini bukan persoalan baru, karena perebutan sejumlah wilayah di perairan ini telah lebih dulu terjadi, misalnya perang Cina-Vietnam atas Pulau Spratly pada tahun 1974 dan 1988 yang menewaskan personil militer kedua negara. Namun, yang membuatnya menarik ialah, skala perebutan kedaulatan atas wilayah di kawasan ini menjadi memanas belakangan seiring dengan kebangkitan RRC sebagai sebuah kekuatan regional yang disegani serta respon negara-negara ASEAN lainnya yang terbelah dalam menyikapi isu klaim RRC di kawasan tersebut. Kamboja yang menjadi tuan rumah dalam forum yang bertujuan menyepakati komunike bersama bersikap jauh dari harapan negara-negara anggota ASEAN lainnya. Phnom Penh justru menolak tindakan-tindakan yang dinilai dapat memicu kemarahan Cina. Tidak mengherankan bila Filipina langsung menuding Kamboja yang kukuh menentang setiap pernyataan keras itu sebagai biang kegagalan penyepakatan komunike tersebut. Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Kamboja Hor Namhong menyangkal tudingan itu. Dia menyatakan kegagalan tersebut adalah kegagalan bersama ASEAN. Kawasan Laut Cina Selatan yang disengketakan diperkirakan memiliki cadangan kandungan minyak sebanyak 30 miliar metrik ton dan 16 triliun meter kubik gas. Menurut kantor berita Cina Xinhua, jumlah itu sama dengan sepertiga cadangan gas dan minyak Cina. Karena itu, tidak berlebihan bila ‘Negeri Tirai Bambu’ yang dikenal haus akan energi itu berkeras mengklaim hampir seluruh kawasan Laut Cina Selatan. Klaim Cina termasuk perairan yang berada di dekat negara-negara tetangga mereka. Universitas Sumatera Utara Di sisi lain, Filipina mengatakan wilayah yang disengketakan berada dalam zona eksklusif ekonomi mereka, yang berjarak 200 mil laut dari bibir pantai. Filipina bersama Vietnam menolak peta wilayah perairan yang dikeluarkan Cina sebagai basis bagi pengembangan bersama kawasan itu. Mereka gencar mencari penyelesaian masalah itu di tingkat regional, terutama dengan dukungan Amerika Serikat, sekutu Filipina yang juga memiliki kepentingan besar di wilayah tersebut. Kegagalan ASEAN dalam menyepakati komunike bersama sangat menguntungkan Beijing disatu sisi dan sangat merugikan Amerika Serikat di sisi yang lain. Perpecahan ASEAN dalam menyikapi persoalan ini membuat posisi tawar mereka rendah dalam menghadapi Cina yang kian ekspansif. Sedangkan Amerika Serikat menyadari kegagalan ASEAN sebagai langkah mundur dalam upaya membendung pengaruh RRC di kawasan tersebut. Kepentingan Amerika Serikat di Laut Cina Selatan terkait dengan kebebasan pelayaran di perairan seluas 1,2 juta mil persegi yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Setiap tahun, nilai perdagangan yang melintasi perairan tersebut mencapai US5,3 triliun. Dari jumlah itu, sekitar US1,2 triliun merupakan nilai perdagangan AS. Banyak pengalihan kapal kargo di wilayah tersebut. Jika terjadi konflik di Laut Cina Selatan, itu akan menimbulkan dampak ekonomi yang sangat besar. Setelah perang Vietnam-Cina tahun 1974, RRC menguasai Paracel. Juni 2012 yang lalu Cina membangun kota Sansha di Provinsi Hainan dan memasukkan Paracel sebagai bagian kota tersebut. Pada tahun 1988 kedua negara itu berkonflik lagi, kali ini di Kepulauan Spratly, tepatnya di Karang Johnson. Cina memenangi konflik ini dan 60 orang tewas di pihak Vietnam. Bila dibandingkan dengan kedua konflik ini, perselisihan antara Filipina, baik dengan Cina, Vietnam, maupun Malaysia, tergolong minor. Cina mendeklarasikan memiliki bagian terbesar teritori Laut Cina Selatan, mencakup ratusan kilometer di selatan dan timur Hainan, provinsi paling selatan negara itu. Cina mengklaim berhak berdasarkan sejarah berusia dua ribu tahun yang menyatakan Paracel dan Spratly sebagai bagian integral bangsa Cina. Pada tahun 1947 Cina menerbitkan sebuah peta yang memerinci klaim wilayahnya, tentu saja Universitas Sumatera Utara menyertakan kedua kepulauan tersebut. Taiwan, yang memiliki nama resmi Republik Cina, juga mengklaim Paracel dan Spratly sebagai bagian teritorinya dengan alasan historis yang sama. Vietnam jelas menentang klaim peta Cina tersebut. Vietnam berpendapat Cina tidak pernah menyatakan kedaulatannya di kedua kepulauan tersebut sebelum tahun 1940-an. Sama seperti Cina dan Taiwan, Vietnam bersikeras Paracel dan Spratly ada di teritorinya. Vietnam menyatakan memiliki dokumen-dokumen yang membuktikan telah berkuasa di Paracel dan Spratly sejak abad ke-17. Sedangkan Filipina hanya menginginkan Spratly. Yang kerap menjadi sengketa adalah Beting Scarborough, berjarak 160 km dari pulau terluar Filipina dan sekitar 800 km dari daratan terdekat Cina. Filipina bersenjatakan Konvensi PBB tentang Hukum Laut yang menetapkan zona ekonomi eksklusif tidak boleh melebihi 200 mil laut sekitar 321 km dari garis pangkal pengukuran lebar laut teritorial. Sama-sama memakai senjata Konvensi PBB tersebut, Malaysia dan Brunei Darussalam mengklaim memiliki beberapa pulau kecil di gugus Spratly. Militer Malaysia telah menduduki tiga pulau kecil di gugus kepulauan tersebut, sedangkan Brunei menyatakan memiliki bagian terselatan Spratly. Alasan utama sengketa perebutan wilayah Laut Cina Selatan adalah kandungan gas alam dan minyak buminya. Cina menerbitkan estimasi tertinggi, menyatakan Paracel dan Spratly mungkin mengandung 213 miliar barel minyak bumi. Angka ini sekitar tujuh kali lipat perkiraan para peneliti Amerika Serikat. Gas alamnya pun melimpah. Menurut Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat, Laut Cina Selatan memiliki sekitar 25 triliun meter kubik gas alam, sama besar dengan cadangan gas alam Qatar. Belum lagi kekayaan ekosistem perairannya. Selain itu, lebih dari 50 persen perdagangan dunia melewati Laut Cina Selatan. Lokasinya pun strategis untuk pos pertahanan militer. Akhir Februari lalu Filipina mengundang perusahaan-perusahaan asing untuk berinvestasi melalui eksplorasi minyak bumi di lepas pantai Laut Cina Selatan. Izin eksplorasi direncanakan diberikan kepada 15 blok, tiga di antaranya ada di wilayah sengketa. Cina menyatakan tindakan Filipina tersebut ilegal karena tanpa izin mereka. Universitas Sumatera Utara Urusan tuduh-menuduh bukan hal baru dalam sejarah sengketa Laut Cina Selatan. Tahun lalu Filipina menuduh Cina masuk tanpa izin ke wilayah perairannya dan mencoba mengganggu sebuah eksplorasi minyak bumi lepas pantai di dekat Pulau Palawan. Filipina juga menuduh Cina mencoba membangun pertahanan militer di Spratly. Vietnam juga pernah menuduh Cina mencoba menyabotase dua operasi eksplorasi Vietnam. Tuduhan ini memicu protes anti-Cina di jalan-jalan di Hanoi dan Ho Chi Minh. Sebaliknya, Cina menuduh Vietnam memprovokasinya karena pernah melakukan latihan menembak di salah satu pesisirnya. Cina berusaha bernegosiasi dengan negara-negara lain yang menginginkan kedaulatan di Laut Cina Selatan. Namun Cina cenderung ingin bersepakat di belakang layar, yang kemudian ditentang pihak seberang meja dengan membawa isu ini ke mediasi internasional. Salah satu hasil mediasi internasional adalah Konvensi PBB tahun 1982 yang mencantumkan kesepakatan berisi kerangka solusi. Saat dipraktikkan, konvensi itu malah memicu salip-menyalip pengakuan kedaulatan. Konvensi itu juga tidak berpengaruh apa-apa terhadap klaim historis Cina dan Vietnam atas Paracel dan Spratly. Pada 4 November 2002, ASEAN dan Cina juga mendeklarasikan kesepakatan kode etik, salah satunya menyelesaikan sengketa tanpa ancaman atau penggunaan senjata. Filipina dan Vietnam juga telah mempunyai perjanjian bilateral dengan Cina, namun perjanjian itu hampir tidak berpengaruh dalam menyelesaikan sengketa di Laut Cina Selatan. Perkembangan sengketa wilayah kedaulatan di kawasan ini meningkat menjelang akhir periode kepemimpinan Presiden Hu Jintao yakni pada tahun 2012, dimana sikap, tindakan, maupun kebijakan politik luar negeri RRC kian bertambah agresif dengan dimasukkannya wilayah kepualauan Paracel yang masih dipersengketakan sebagai bagian dari kota administratif Sansha yang berada di pulau Hainan. Pada bulan september, menjelang pemilihan Sekretaris Jenderal Komite Sentral Partai Komunis Cina, People Liberation Army Navy secara resmi mengoperasikan kapal induk yang disinyalir kuat sebagai upaya RRC untuk mendikte kepentingan-kepentingan nasionalnya di kawasan regional Asia Pasifik, terutama dalam merespon sengketa perbatasan di Laut Cina Selatan. Universitas Sumatera Utara BAB III PENYEBAB AGRESIVITAS POLITIK LUAR NEGERI REPUBLIK RAKYAT CINA DALAM SENGKETA PERBATASAN DI ASIA PASIFIK

1. Meningkatnya Agresivitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina