Demokrasi dalam Wacana Keislaman

C. Demokrasi dalam Wacana Keislaman

Meski Islam dari segi ajaran paling dekat dengan demokrasi dibanding dua agama monoteis lain, Yahudi dan Kristen, tapi respon dunia Islam terhadap demokrasi relatif beragam. Sebagian menerima demokrasi secara penuh. Islam dalam dirinya sudah demokratis, karenanya tidak ada yang perlu dipertentangkan dengan demokrasi. Sebagian lagi dengan berbagai dalih menolak demokrasi, dengan pandangan pesimistik maupun dibumbui justifikasi keagamaan. Sebagian lagi menerima demokrasi secara bersyarat, di mana diakui bahwa dalam hal-hal tertentu demokrasi selaras dengan nilai-nilai

Islam, tetapi tidak dalam segala hal. 20 Ini dapat dipahami dikarenakan demokrasi memang

berkembang lepas dari pengalaman kesejarahan Islam. Demokrasi

Tim Penyusun PUSLIT IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan..., p. 192. Liberalisme dan demokrasi memiliki kaitan erat, meski keduanya merupakan konsep yang terpisah. Lord Bryce sebagaimana dikutip Fukuyama membatasi definisi demokrasi ke dalam tiga aspek hak-hak sipil , yaitu: pembebasan dari kontrol negara, hak beragama dan hak politik. Fukuyama, The End of History…, p. 73-4.

20 Riza Sihbudi”, Demokrasi dalam Pandangan Komunitas Islam: Kasus Timur Tengah” dalam Jurnal Ilmu Politik, no. 12, 1993, p. 36-9.

26 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

DEMOKRASI DALAM WACANA POLITIK ISLAM

merupakan produk pemikiran Barat, sebuah impian sebuah komunitas bangsa untuk berusaha keluar dari penderitaan panjang yang menyejarah. Hal yang sama kurang dirasakan bangsa-bangsa lain di dunia, terutama di Asia, meski sama-sama pernah mengalami era pemerintahan monarkhi dan struktur sosial herarkhis. Ekspedisi- ekspedisi bangsa Eropa ke kawasan Asia dan Amerika mencatat bahwa bentuk-bentuk represi dan despotisme yang dilakukan raja dan kalangan aristokrat sebagaimana dialami bangsa Eropa lebih terasa menyakitkan dibanding bangsa-bangsa di kawasan lain,

termasuk dunia Islam. 21 Banyak negara di kawasan dunia Islam yang pada era pasca

kolonialisme memilih sistem republik menerima demokrasi, meski sebagian disertai beberapa persyaratan ataupun penyesuaian tertentu. Khusus pada kasus Indonesia, hampir tidak ditemukan respon pemikiran yang nyata-nyata menolak demokrasi secara konseptual. Banyak pemikir muslim, bahkan dengan bersemangat mencoba meyakinkan bahwa demokrasi kampatabel dengan Islam melalui berbagai upaya memahami kembali prinsip-prinsip kemasyarakatan yang ada dalam ajaran Islam.

Kompatabilitas Islam dengan demokrasi diberikan justifikasi ’aqliyah dan naqliyah, serta merujuk pada sejarah Islam periode awal, nabi dan sahabat. Para pemikir muslim mengidentifikasi adanya

prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam khazanah pemikiran Islam, terutama al-Qur’an. Prinsip-prinsip tersebut meliputi, musyawarah

( sy ūrā), ijtihād, konsensus atau kemufakatan (ijma’), persamaan (al- mus āwah) dan keadilan (al- ‘adl). Menurut Artani Hasbi kedua prinsip

William Brandon, New Worlds for Old: Reports from New World and Their Effect on The Development of Social Thought in Europe 1500-1800, (Athens: Ohio State University Press, 1986), p. 13-4.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB II

terakhir merupakan bagian dari prinsip dasar sy ūrā, yang meliputi prinsip persamaan, keadilan dan kebebasan. 22

Sedemikian besarnya apresiasi terhadap demokrasi, sampai- sampai menjadikan prinsip persamaan dalam Islam yang sebenarnya terbatasi ruang ideologis keislaman digeralisir ke dalam egalitarianisme universal. Posisi dan status politik kelompok- kelompok non-muslim sebagai warga negara kelas dua ( dzimmi) tenggelam dalam semangat menyepadankan Islam dengan pemikiran humanisme kontemporer. Demikian halnya dengan prinsip-prinsip lain yang terbatasi oleh ketentuan normatif keagamaan, ketentuan baku yang tidak dapat diubah meski mengatasnamakan demokrasi, mengingat pengubahan akan dapat berarti mengubah ketentuan

Tuhan. 23 Memadankan prinsip keagamaan dengan demokrasi akan

berarti harus mengesampingkan keterkaitan prinsip-prinsip tersebut dengan konteks tertentu, serta mengabaikan ketentuan-ketentuan tertentu dalam Islam yang tidak mungkin diubah. Bagaimanapun tradisi politik dan teori-teori yurisprudensi Islam sebenarnya tidak ditujukan secara spesifik untuk mengagas suatu bentuk

pemerintahan. 24 Kesadaran akan perbedaan konteks tersebut menjadikan sebagian penerimaan demokrasi disertai syarat-syarat

tertentu melalui penyesuaian demokrasi Barat dengan visi keislaman.

Artani Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi, Analisis Konseptual Aplikatif dalam Lintasan Sejarah Politik Islam, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2001), p. 35- 50.

23 Dapat diandaikan bagaimana bila atas nama demokrasi suatu negara di dunia Islam melegalkan prostitusi sebagai pekerjaan, perjudian dan minuman keras

sebagai perbuatan sah menurut undang-undang negara? Simak A.A. Wiranatakusumah, Demokrasi dalam Islam, Teori dan Praktik, terj. Muhammad Tahrir Ibrahim, (Bandung: NV Masa Baru, t..t.), p. 33.

24 Mahmood Moshipouri, “Islamism, Civil Society and Democracy Cunundrum ” dalam The Muslim World, Vol. LXXXVII, No. 1, Januari 1997, p. 62-6.

Fauzi M. Najjar, “Democracy in Islamic Political Philosophy ” dalam Stvdia Islamica, Vol. MCMLXXX, 1980, p. 120-2.

28 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

DEMOKRASI DALAM WACANA POLITIK ISLAM

Demokrasi tidak ditempatkan sebagai the leading paradigm, tetapi dibatasi oleh otoritas keagamaan, di mana hukum Tuhan dan privillage

umat Islam ditempatkan di atas yang lain. Di antara gagasan dan praktik yang telah berkembang adalah sebagaimana teodemokrasi al-

Maududi dan praktik demokrasi di Republik Islam Iran. 25 Dasar kesejarahan demokrasi dalam Islam dijustifikasi dengan

praktik pemerintahan masa nabi Muhammad saw dan Khulafa’ur Rasyidin. Pemerintahan nabi dan khalifah yang empat diidealkan sebagai bentuk pemerintahan demokratis khas Islam, yang perlu dijadikan acuan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan era modern. Masa pemerintahan Islam periode awal tersebut

diidentifikasikan sebagai sebuah negara yang mapan. Keberadaan d ār an-Nadwah dan ahl al-halli wa al-‘aqdi dalam praktik pemerintahan tersebut dipandang sebagai embrio demokrasi Islam yang lebih maju dibanding demokrasi era Yunani kuno. Kelebihan tersebut terletak pada adanya konsep ulil amri yang dimaknai sebagai azas

parlementarisme atau perwakilan, di samping azas musyawarah. 26

Bagi al-Maududi, dalam negara sekaligus terdapat kedaulatan Tuhan dan manusia. Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna…, p. xiii. Iran menerapkan pemilihan umum yang fair, namun demikian memberikan privillage pada kelompok

tertentu, pemimpin keagamaan ( Mullah) dan tidak memberikan kebebasan penuh pada warganya. Fukuyama, The End of History…, p. 75.

26 Dengan mengutip Amin Said, Ahmad menyatakan bahwa pemerintahan Nabi di Madinah telah memenuhi syarat rukun sebagai negara, yang berupa: adanya

peraturan dan hukum terutama dari al-Qur’an; pemerintahan yang teratur, aparat pemerintahan yang ditaati rakyat, serta adanya hubungan dengan negara lain; kekuatan bersenjata yang melindungi pelaksanaan perundang-undangan; sumber keuangan negara yang menjamin kelangsungan pemerintahan; rakyat yang mentaati pemerintahan; serta wilayah territorial. Kalimat Ul ū sendiri merupakan bentuk jamak dari waliy yang berarti wakil. Lebih dari itu, Zainal Abidin Ahmad mengidentifikasikan pemerintahan khulafa’ur rasyidin sebagai pemerintahan demokrasi parlementer. Zainal Abidin Ahmad, Membangun Negara Islam, (Jakarta: Iqra’, 2001) p. 4 dan 216-8.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB II

Rujukan pada sejarah nabi dan periode sahabat belum memadai untuk dijadikan legitimasi kesejalanan demokrasi dengan Islam, sebab faktanya hal itu tidak dijadikan rujukan penguasa muslim masa sesudahnya. Tradisi pemerintahan nabi dan para sahabat sebenarnya masih dapat dipilahkan kembali, antara sebuah tuntutan normatif yang didasarkan atas dogma-dogma keagamaan dengan pengaruh tradisi Arab dalam praktik kemasyarakatan masa nabi dan sahabat.

Beberapa aspek ajaran Islam sangat boleh jadi sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, tapi yang jelas dunia Islam miskin pengalaman dalam penerapannya. Sistem demokrasi yang diterima dan diterapkan di dunia Islam adalah pengaruh Barat, bukan hasil rujukan konseptual atau berkedudukan sebagai sunnah nabi dan sahabat, ataupun hasil penelaahan ( istimbath) atas dalil al-Qur’an dan

al-Hadits. 27 Penolakan sebagian kelompok Islam terhadap sistem demokrasi

bukanlah murni karena faktor agama, melainkan akumulasi multi faktor, terutama politik. Hal ini dapat dilihat pada penolakan

demokrasi oleh kelompok-kelompok status quo yang selama ini diuntungkan struktur sosial politik feodal. Alasan keagamaan mengemuka lebih dikarenakan ketidaksiapan menerima demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan, yang dilegitimasi dengan argumen bahwa demokrasi bukan ajaran Islam. Demokrasi dipandang sebagai bagian penting dari budaya yang berkembang di tengah kalangan non-Islam yang selama ini berseberangan dengan ajaran dan

kepentingan umat Islam. 28

Pengalaman kesejarahan Islam menunjukkan bahwa sistem ketatanegaraan tidak secara spesifik diatur dan mengacu pada al-Qur’an, melainkan karena

pengaruh konteks kesejarahan. Nasution, p. 222. Munawir Syadzali, Islam dan

Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1990), p. 233. 28 Melalui statemen diplomatis sebagaimana biasa dikeluarkan penolak

demokrasi, raja Fahd menyatakan bahwa demokrasi tidak sesuai untuk rakyat Saudi Arabia. Masykuri Abdillah, “Syura dan Demokrasi”, pengantar dalam Hasbi, Musyawarah dan Demokrasi…, p. xviii.

30 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

DEMOKRASI DALAM WACANA POLITIK ISLAM

Justifikasi keagamaan semacam itu dapat dipahami mengingat pihak-pihak tertentu potensial kehilangan privillage yang mereka nikmati bilamana sistem demokrasi diterapkan . Dikotomi Islam dan non-Islam juga tampak ambigu bilamana dibandingkan dengan praktik sosial politik pemerintahannya yang secara pragmatis lebih memilih bekerja sama dan mendukung berbagai negara-negara Barat

yang nyata-nyata merugikan kepentingan dunia Islam. 29 Penolakan demokrasi oleh para penyokong gerakan

kebangkitan Islam yang menekankan ortodoksi agama, pada dasarnya juga tidak sepenuhnya berpijak pada alasan normatif keagamaan. Penolakan tersebut lebih bermakna protes dan perlawanan atas hegemoni serta ketidakadilan akibat kebijakan Barat di berbagai wilayah dunia Islam. Keterpurukan Islam dalam sejarah dipandang sebagai akibat konspirasi kekuatan Barat, sebagai kelanjutan Perang Salib. Segala pemikiran dan tatanan sosial politik yang ditawarkan Barat dipahami tidak lebih dari wahana menindas kekuatan Islam. Sebagai solusi, mereka mengajak umat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, dan menolak segala yang mereka nilai berbau

Barat, baik sains, rasionalisme maupun demokrasi. 30 Demokrasi memang masih menjadi perdebatan dalam wacana

keislaman. Selain kelompok yang apresiatif, ada pula kelompok yang menolak demokrasi. Selain penguasa-penguasa monarkhi yang masih banyak di dunia Islam, beberapa pemikir muslim memberikan dukungan konseptual untuk memastikan bahwa demokrasi tidak sejalan dengan Islam. Menurut Fatima Mernissi, hal ini dikarenakan

Fatima Mernissi, Islam dan Demokrasi, Antologi Ketakutan, terj. Amiruddin Arrani, (Yogyakarta: LKiS, 2001, p. 132-4.

30 Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas, antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Eva Y. Nukman dan Edi Wahyu, (Bandung: Mizan, 1996), p.

225-6.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB II

adanya ketakutan-ketakutan di kalangan Islamis yang takut akan ditinggalkan umat, pemimpin takut akan kehilangan kekuasaannya. 31

Abu Nashr Muhammad al-Imam bahkan memandang Pemilu menghadapi tiga puluh empat dosa dan lima belas kerancuan. Pandangan yang menyatakan bahwa demokrasi sejalan dengan Islam lebih banyak muncul sebagai hasil penafsiran arbitrer, di mana keinginan kuat untuk menyatakan bahwa Islam kompatable dengan demokrasi lebih besar dibanding dukungan informasi nash dan

kesejarahannya. 32 Demokrasi memang bukan konsep yang didasarkan atas dogma

keagamaan. Sekalipun dapat dijustifikasi dengan konsep-konsep keagamaan, tetapi harus diakui bahwa kemunculannya berangkat dari pemikiran humanistik murni, lepas dari konsep-konsep adikodrati. Kristen, Yahudi ataupun Konfusianisme juga dapat mengklaim hal yang sama bilamana aspek-aspek tertentu dalam ajaran agamanya diekaplorasi untuk memunculkan hal-hal yang

sejalan dengan demokrasi. 33 Wacana demokrasi yang ditelaah dengan sudut pandang keagamaan, dalam hal ini Islam, menimbulkan banyak

persoalan, sebab keduanya berangkat dari platform berfikir berbeda. Demokrasi berangkat dari pemikiran humanis dan agama berangkat

dari pandangan-pandangan adikodrati yang tidak selalu selaras dengan ide humanitis. 34

Mernissi, Islam dan Demokrasi…, p. 54-62. 32 Abu Nashr Muhammad al-Imam, Membongkar Dosa-dosa Pemilu, Pro

Kontra Praktik Pemilu Perspektif Syariat Islam, terj. Muhammad Azhar, (Yogyakarta: Himam Prisma Media, 2004), p. 181-233.

33 Penjelasan Markoff tentang dukungan agama Kristen terhadap perkembangan kiranya cukup berlebihan, sekalipun pembaharuan Luther atas

agama ini sangat radikal. Dapat dicermati Markoff, Gelombang Demokrasi

Dunia…, p. 82-5 dan Madjid p. 470. 34 The Islamic state is different from a secular democracy as it diametrically

opposed to the concept of the sovereignty of the people. Allah is the Supreme Law- Giver and shari’ ā, new problems are faced and their solutions worked out. This

32 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

DEMOKRASI DALAM WACANA POLITIK ISLAM

Para pemikir muslim semisal Nasr, Hassan Hanafi, Mahmud Muhammad Thaha, Ali Asghar dan sebagainya, telah berupaya keras untuk mereaktualisasikan pemikiran-pemikiran keagamaan Islam dengan mengetengahkan berbagai paradigma dan metodologi berfikir baru. Sebaik apapun gagasan mereka, hasilnya tetap saja bersifat ikhtilafi (debatable), dan produk pemikiran yang dihasilkan tidak dapat diklaim sebagai ajaran agama yang mengikat ( qath’y). Jangankan isu

demokrasi yang nota bene berangkat dari tradisi Barat non Islam, konsep-konsep politik pokok dalam tradisi dan pernah diterapkan sebagai institusi politik Islam periode awal semisal khilafah, Imamah

dan 35 sy ūrā juga masih penuh kontroversi.