Tempaan Heroisme Bersenjata pada Kurun Akhir Era Kolonial

G. Tempaan Heroisme Bersenjata pada Kurun Akhir Era Kolonial

Jepang mulai bersikap defensif sejak kalah dari Amerika dan sekutunya dalam pertempuran Laut Karang Mei 1942 dan Guadalcanal Agustus 1942. Luasnya daerah pendudukan mengharuskan Jepang melakukan rekrutmen tenaga perang dari penduduk lokal secara besar-besaran. Jepang mulai melakukan rekrutmen tenaga perang secara besar-besaran di setiap daerah. Mulai

29 April 1943, Jepang mengumumkan pembentukan seinendan dan keibodan. Jepang juga merekrut pembantu prajurit (Heiho), kemudian

Masa penjajahan Jepang yang hanya tiga setengah tahun melahirkan penderitaan luar biasa pada rakyat Indonesia, sebab demi kepentingan perang banyak rakyat harus dikorbankan, baik berupa kemiskinan akibat penjarahan hasil bumi maupun kerja paksa. Kahin, Nationalism and Revolution, p. 108. Pospoprodjo dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 38-9.

Gerakan mahasiswa pada kurun pendudukan Jepang relatif terbatas yang dapat diidentifikasi. Namun demikian, beberapa catatan menunjukkan bahwa sebagian di antara mereka dipecat dari perguruan tinggi karena melakukan kegiatan

politik di luar kampus. Simak Abu Bakar Loebis, Kilas Balik Revolusi: Kenangan

Saksi dan Pelaku (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1992), p. 43-5.

124 Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

KOLONIALISME DAN MASUKNYA SISTEM

POLITIK MODERN DI INDONESIA

disusul pasukan Pembela Tanah Air (PETA), yang di kemudian hari merupakan organisasi militer penting dalam sejarah awal Indonesia. 103

Meski ditujukan sebagai pasukan cadangan, tetapi organisasi ini dipropagandakan sebagai usaha untuk melatih pemuda Indonesia mempertahankan daerahnya dengan kekuatan sendiri. Propaganda Jepang membawa hasil berupa besarnya sambutan dari pemuda negeri ini, hingga mencapai jumlah tidak kurang dari 500.000 pemuda. Seinendan dipersiapkan menjadi tentara, sehingga diberi latihan- latihan kemiliteran untuk pertahanan maupun penyerangan. Mereka dipersiapkan sebagai barisan pasukan cadangan yang berperan mengamankan garis pertahanan belakang. Pelatihan tidak terbatas pada markas-markas latihan, tapi juga di institusi-institusi sosial

ekonomi, seperti sekolah, pabrik dan perkampungan. 104 Keibodan dipersiapkan sebagai pembantu polisi dalam tugas-

tugas sipil. Jumlah keibodan lebih banyak dibanding seinendan. Tidak kurang dari satu juta orang terekrut melalui keibodan ini. Sukabumi merupakan tempat pelatihan khusus bagi para kader keibodan. Namun demikian, pembentukan keibodan ini diusahakan Jepang agar tidak dipengaruhi kaum nasionalis. Karena itu, konsentrasi pelatihan ini berada di desa-desa di mana kaum nasionalis kurang banyak

berpengaruh. Sementara seinendan, mengingat terkonsentrasi di perkotaan maka tidak terhindarkan masuknya pengaruh kaum nasionalis di dalamnya. Dengan nama berbeda, hal serupa dibentuk di luar pulau Jawa. Di sumatera, keibodan diselenggarakan dengan nama

b ōgōdan dan di Kalimantan diberi nama Borneo Konan Hōkōkudan. Tidak hanya itu, pelatihan kemiliteran sejenis tidak hanya ditujukan pada kaum pria, melainkan juga diberikan kepada wanita dengan nama fujinkai (himpunan wanita). 105

103 Kahin, Nationalism and Revolution, p. 109. 104 Pospoprodjo, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 33. 105 Ibid., p. 23.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB IV

Heiho adalah prajurit Indonesia yang ditempatkan dalam organisasi militer Jepang, baik Angkatan Darat maupun Laut. Sampai akhir pendudukan Jepang tercatat tidak kurang dari 42.000 anggota Heiho direkrut, yang dilatih menggunakan beragam senjata militer sungguhan, mulai dari senapan, tank, artileri medan, senjata anti pesawat udara, sopir dan sebagainya. Dengan demikian, pasukan ini sebenarnya lebih terlatih dibanding PETA yang dibentuk kemudian. Hanya saja, berbeda dari PETA, seluruh anggota pasukan tidak ada yang berpangkat perwira. Meski tidak menunjukkan kepangkatan, namun PETA memiliki komandan sendiri mulai dari komandan

bataliyon hingga prajurit sukarela. 106 PETA dibentuk lebih provokatif, karena dikesankan seolah-olah

atas inisiatif Indonesia. Pimpinan nasionalis diminta membuat surat permohonan pembentukan pasukan bernuansa nasionalis. Pada dasarnya pasukan ini tidak lebih terlatih dibanding Heiho karena pemilihan komandan lebih didasarkan atas status sosial seseorang di masyarakat. Meski demikian, gemblengan selama mengikuti PETA telah menumbuhkan keberanian dan kepercayaan diri yang kuat pada pemuda-pemuda negeri ini untuk bangkit melawan penjajah. Perbedaan perlakuan antara PETA yang berbeda dari tentara Jepang, di samping kekecewaan melihat situasi masyarakat menyebabkan

separo anggota PETA memberontak. 107 Memasuki 1944, Jepang mulai terdesak. Satu demi satu daerah

jatuh ke tangan sekutu dan bahkan mengarah ke Jepang sendiri. Upaya-upaya Jepang tidak lagi mampu menunjang kepentingan perangnya. Perdana Menteri Koiso dalam sidang Parlemen menyatakan bahwa Indonesia (Hindia-Timur) kelak di kemudian hari diperkenankan merdeka. Langkah lebih nyata ini diambil menyusul kekalahan yang sudah sangat dekat, terutama sejak jatuhnya

106 Ibid., p. 33.

Kahin menduga pemberontakan PETA 1944 sebagai akibat infiltrasi kelompok Sjarifuddin dan Sjahrir, yang terus mengobarkan anti kolonialisme di bawah tanah. Kahin, Nationalism and Revolution, p. 114.

126 Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

KOLONIALISME DAN MASUKNYA SISTEM

POLITIK MODERN DI INDONESIA

kepulauan Saipan dan menimbulkan keguncangan dalam negeri. Janji Jepang memungkinkan terjadinya perang lanjutan antara Sekutu dengan negara merdeka bekas jajahannya, dan benar-benar terjadi saat Jepang benar-benar kalah sebelum mewujudkan janjinya.

Kolonialisme Jepang merupakan kolonialisme krisis, di mana penjajah sendiri belum menikmati hasil penjajahannya, bahkan Jepang baru dapat membentuk pemerintahan militer yang bersifat sementara. Jepang belum berhasil membangun struktur pemerintahan yang kokoh untuk melanggengkan penguasaannya atas wilayah nusantara. Masa penjajahan Jepang merupakan penjajahan yang penuh kepanikan dalam situasi perang, sehingga banyak diwarnai propaganda, yang karenanya pula eksploitasi penjajah Jepang lebih

banyak ditujukan untuk membiayai kegiatan perangnya. 108 Biaya perang yang tinggi menyebabkan penghisapan sumber

penghidupan rakyat terutama hasil bumi serta tenaga kerja paksa ( romusha) secara besar-besaran yang menimbulkan kesengsaraan luar biasa, yang mendorong keinginan merdeka semakin tak tertahankan. Frustasi masyarakat yang memuncak akibat pendudukan Jepang juga kian menyuburkan antipati pada penjajah manapun. Di sisi lain, pelatihan-pelatihan militer atau semi-militer Jepang telah menyuntikkan keberanian, disiplin dan kemampuan melakukan perlawanan bersenjata secara meluas pada masyarakat Indonesia di

kemudian hari. 109 Mobilisasi massa yang sedemikian massive merupakan hal baru

yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Meski sebelumnya

Bila penjajahan Belanda sudah terbentuk pemerintahan sipil, selama penguasaan Jepang hanya berdiri pemerintahan militer: Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara Keduapuluh Lima) untuk Sumatera; Pemerintahan Militer Angkatan Darat (Tentara keenambelas) untuk Jawa-Madura; dan Pemerintahan Militer Angkatan Laut (Armada Selatan Kedua) untuk Sulawesi, Kalimantan dan Maluku. Pospoprodjo dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 5

O.D.P. Sihombing, Pemuda Indonesia Menentang Fasisme Djepang, (Djakarta: Sinar Djaya, 1962), p. 93.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB IV

Heiho, Seinendan, Keibodan dan PETA disiapkan untuk membantu Jepang dalam perang, tapi dalam perkembangannya justeru menjadi titip awal perlawanan bersenjata menolak kehadiran kembali penjajahan Belanda, termasuk menghadapi Jepang sendiri. Demikian halnya dengan gerakan-gerakan propaganda yang pernah dimotori Jepang tampak lebih bermakna sebagai pelatihan dan konsolidasi gerakan nasionalis dari pada membangun ketaatan pada Jepang.

Di luar sikap keras dan himpitan perekonomian akibat penghisapan ekonomi yang luar biasa, maupun eksploitasi manusia

melalui kerja paksa ( romusa), penjajahan Jepang memberikan banyak perubahan karakter masyarakat bangsa secara drastis. Pelatihan- pelatihan kemiliteran yang diberikan Jepang bagaimanapun banyak menyuntikkan semangat juang ( seishin bushido), yaitu jiwa kesatria yang menekankan kepercayaan diri, disiplin, kerja keras, kesetiaan dan ketaatan pada pemimpin. Di samping itu, Jepang juga mengajarkan organisasi sosial yang lebih sistematis yang memungkinkan kekuatan massa dikelola secara solid dengan disiplin dan semangat juang tinggi, semangat yang kemudian membekali keberanian luar biasa pada masyarakat bangsa ini di kemudian hari ketika harus berhadapan kembali dengan ancaman kehadiran

Belanda. 110 Realitas politik yang dihadapi Jepang ketika menguasai

Indonesia memang cukup berat. Di satu sisi, Jepang berhadapan dengan pasukan sekutu dan masyarakat Indonesia di sisi lain yang dipenuhi pergolakan menuntut kemerdekaan. Karena itu Jepang perlu mengobral janji-janji guna menjamin stabilitas penguasaan wilayah ini. Jepang bahkan menghadapi situasi yang semakin kritis, di mana

Pelatihan-pelatiahn semi militer berikut pengorganisasian dan cara menggerakkan massa yang diajarkan, di samping semangat nasionalisme dan persaudaraan yang dikobarkan merupakan pembentukan karakter penting ketika memasuki masa revolusi. Simak Benedict R.’OG. Anderson, Some Aspect of Indonesian Politics under Japanese, 1944-1945, (Ithaca: Cornell University Press, 1961), p. 30.

128 Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

KOLONIALISME DAN MASUKNYA SISTEM

POLITIK MODERN DI INDONESIA

kekalahan demi kekalahan terjadi di berbagai front, di mana satu persatu wilayah kekuasaan Jepang direbut pasukan sekutu. Ketika kekalahan di pasifik dan Indonesia bagian Timur telah di ambang mata, Jepang perlu melakukan langkah-langkah konkrit yang dapat meyakinkan kaum nasionalis dengan mengumumkan pembentukan

Badan penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan ( D ōkuritsu Jumbi C ōsakai) atau BPUPKI 28 Mei 1945, yang ditujukan untuk mempelajari berbagai hal yang diperlukan dalam pembentukan negara

Indonesia yang merdeka. 111 Di luar lembaga bentukan Jepang tersebut, situasi yang

berkembang kian mengarah pada revolusi kemerdekaan. Antipati masyarakat terhadap kolonialisme sudah mencapai puncaknya, terlebih dengan momentum kekalahan Jepang dan bayang-bayang kembalinya Belanda. Kaum revolusioner pada umumnya kurang peduli akan seperti apa bentuk negara, karena satu-satunya target yang dituju hanyalah kemerdekaan. Pemikiran tentang hal lain, termasuk demokrasi bahkan wacana ideologi yang sempat menajam pada kurun akhir pemerintahan Belanda masih tenggelam dalam situasi perang dan upaya meraih kemerdekaan. Bibit-bibit nasionalisme jaman pergerakan berpadu dengan tempaan semasa pendudukan Jepang memuncakkan semangat juang hanya untuk satu

di antara dua pilihan, merdeka atau mati. 112

111 Pospoprodjo, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 67. 112 Kahin menduga hal ini merupakan upaya kelompok Sjahrir yang sejak semula

antipati terhadap penjajah berusaha dengan berbagai cara agar momentum kekalahan Jepang dimanfaatkan untuk memproklamasikan kemerdekaan. Simak Kahin, Nationalism and Revolution…, p. 134-5.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB IV

130 Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI