Tipologi Kerajaan Islam Nusantara

D. Tipologi Kerajaan Islam Nusantara

Kehadiran Islam di nusantara memberi identitas bagi penyokong pemerintahan Islam yang terbentuk, tetapi secara institusional Islam tidak menghegemoni pemerintahan. Setiap pemimpin pemerintahan kerajaan Islam tidak terikat oleh kepemimpinan agama, sekalipun di dalamnya banyak didukung tokoh-tokoh agama yang menurut, Azyumardi Azra, saling terikat oleh adanya jaringan keilmuan. Hanya saja, jaringan tersebut bersifat kekerabatan keilmuan, yang lebih berpretensi membangun kesamaan madzhab dan selebihnya diorientasikan untuk kepentingan dakwah,

penyebaran agama. 43 Warna kultur sosial politik yang dipengaruhi oleh Islam di

nusantara hanya tampak pada momentum-momentum tradisi. Islam

Dalam situasi tertentu, agama (Islam) sering diangkat sebagai sumber pengorganisasian perjuangan. Meulemann “Dunia Islam…”, p. 11. Giri yang dikenal sebagai pusat spiritual diserang Mataram yang salah satu alasannya adalah tempat tersebut merupakan tempat pelarian musuh-musuh kerajaan Mataram. Simak De Graff, Puncak Kejayaan…, p. 248.

43 Penyiar Islam di Indonesia umumnya memiliki keterkaitan keilmuan dengan mereka yang pernah belajar di haramain, yang umumnya dikenal dengan ashab al-

Jawiyyun. Azyumardi Azra dan Oman Fathurrahman, “Jaringan Ulama” dalam Taufik Abdullah, eds, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, p. 110.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB III

hanya tampak pada upacara-upacara keagamaan yang ditangani kerajaan. Secara politis, apresiasi terhadap Islam hanya memberikan legitimasi bagi kharisma kepemimpinan yang semula disandarkan pada tokoh ataupun simbul-simbul mitis setempat menjadi kharisma keagamaan. Jejak-jejak kharisma tersebut tampak pada diagungkannya raja-raja tertentu, seperti Cirebon, Banten dan Gresik

yang membuat iri panembahan Senopati Mataram. 44 Apresiasi kerajaan-kerajaan, terutama yang besar atas Islam

bahkan belum menyentuh aspek penerimaan hukum agama secara penuh. Meski sudah menerima Islam sebagai agama resmi, tapi tradisi setempat masih tetap berjalan tanpa banyak memperoleh kritik ataupun penerapan hukum berdasarkan agama. Islam berintegrasi dan mewarnai kultur setempat yang di satu sisi menjadikannya mudah diterima, tetapi di sisi lain, tidak mampu memberikan kritik yuridis secara signifikan. Barangkali paradigma Islam yang demikian, sufistik, cenderung menjadikannya tidak cukup concern terhadap pembenahan hukum, melainkan lebih menekankan persoalan spiritual. Rekonseptualisasi tatanan sosial politik juga kurang memungkinkan untuk terbangun di tengah perkembangan intelektual Islam yang berada pada fase kemunduran.

Seiring tertutupnya pintu ijtihad, nyaris tidak dijumpai pembaruan baik bidang hukum, theologi dan apalagi bidang sosial politik, karena pada bidang keagamaan sendiri diliputi kemandegan ( jumud) berfikir. Wacana sosial politik Islam yang masuk ke nusantara Islam hanya memberikan imbuhan kebudayaan bagi kerajaan- kerajaan nusantara. Hukum Islam diterapkan secara terbatas di beberapa kerajaan. Islam hanya memberikan label dan legitimasi atas

44 Menurut De Graff Gelar Sultan Agung bagi panembahan Seda Ing Krapyak merupakan gelar anumerta, di mana gelar keagamaan yang kharismatik tersebut

tidak sempat diperoleh Panembahan Senopati secara resmi hingga wafatnya.

Padahal gelar sultan sudah terlebih dahulu diterima raja Cirebon. De Graff, Puncak

Kejayaan Mataram…, p. 316-324.

66 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

KULTUR SOSIAL DAN POLITIK NUSANTARA SEBELUM ERA KOLONIAL

kultur yang telah ada sebelumnya, tanpa memperbaharui sistem sosial politik. 45

Dengan tipologi semacam ini, persoalan apakah Islam sudah menjadi dasar negara atau tidak, kurang menampakkan pengaruh. Ini dikarenakan pola perilaku menonjol masyarakat nusantara umumnya memang masih komunalistik. Kontrol sosial atas berbagai perilaku dan kasus moral masyarakat yang lekat dengan pandangan adikodrati merupakan warisan budaya khas yang ada sejak sebelum masuknya Islam. Kecuali pada kasus munculnya ketokohan ulama yang berupaya meluruskan kesadaran komunal yang dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai normatif keagamaan, Islam tidak banyak memberi kontribusi atas perubahan kultur dan sistem sosial politik yang

progresif. 46 Dari sini dapat dinyatakan bahwa pada dasarnya Islam

nusantara tidak mengenal pengalaman adanya negara agama, dalam arti negara dikuasai oleh doktrin-doktrin agama. Meski menjadikan Islam sebagai agama negara, tapi pola perilaku yang dijalankan memiliki kemiripan dengan sistem negara sekuler, di mana agama tidak menjadi pertimbangan yang cukup signifikan dalam menentukan jalannya sistem pemerintahan, penataan hukum yang terkait dengan perilaku sosial budaya maupun norma-norma intelektual. Sistem sosial politik kerajaan Islam nusantara, khususnya di Jawa, bahkan masih lebih didominasi oleh warisan sistem sosial

Islam Indonesia dihadapkan pada dua persoalan pokok. Di satu sisi, penerimaan Islam masih periferal, dipermukaan saja. Di sisi lain, mereka yang tergolong islami, santri, dinilai kalangan pembaharu masih lekat dengan taqlid buta, bid’ah dan khurafat. Simak tipologi santri dalam Geertz, The Religion of Java, p. 127.

46 Ketokohan Islam semula lebih banyak tampak pada penyebar ajaran Islam, seperti wali songo di Jawa, atau pemantapan tradisi sufistik seperti Ar-Raniri atau

Syeh Yusuf. Sementara gerakan puritan sebagai mana Paderi, Ahmad Chatib dan sebagainya muncul sebagai respon atas perkembangan di luar negeri, di mana pada kurun mereka muncul tokoh-tokoh seperti Wahabi di Hijaz dan Fulani di Nigeria. Meulemann, “Dunia Islam Abad 20”, p. 8.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB III

politik pra-Islam. Penerimaan atas sistem pemerintahan Islam baru tampak pada perubahan gelar raja dari Prabu, Panembahan, Susuhunan atau Raja menjadi Sultan. Selebihnya, menyangkut status dan kedudukan raja dengan bawahan dan rakyat jelata tetap berlangsung seperti semula. Kedudukan raja di hadapan rakyat dan sebaliknya pada kerajaan-kerajaan di luar pulau Jawa juga tidak menunjukkan perbedaan signifikan. Kondisi ini dimungkinkan oleh kemiripan pola pikir, tingkat perkembangan intelektual, sosial ekonomi dan budaya

bangsa-bangsa di nusantara. 47 Kondisi ini secara umum mirip tradisi politik Eropa sebelum

renaissance dan revolusi industri. Hanya saja, pada kurun petualangan ( piracy) dan kolonialisasi, perkembangan Eropa mulai mengarah kepada kapitalisme dan merkantilisme yang meningkatkan jumlah dan nilai tawar kuat bagi aristokrat serta pemilik modal di hadapan raja. Kondisi ini masih ditunjang perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi serta dinamika perekonomian yang berkembang pesat. Interaksi Barat dengan dunia Timur meski melampaui diselingi perang Salib yang berlangsung sekitar 300 tahun, intesitas perdagangan, ekspansi ekonomi dan kapitalisme berkembang sedemikian cepat dan luas di berbagai kota di Eropa. Sementara nusantara, kondisi serupa tidak terwujud hingga kehadiran bangsa- bangsa penjajah. Nusantara hanya mengapresiasi dari dunia Islam

sofistikasi etiket, penggunaan gelar dan simbul-simbul keagamaan. 48

Tradisi sosial politik di pusat-pusat Islam juga masih lekat dengan otokrasi bahkan setelah masuknya bangsa kolonial, sebagaimana menjadi keprihatinan

Afghani, seorang tokoh pembaharu di Mesir. Simak Nasution, Pembaharuan dalam

Islam…, p. 56. 48 Jelas ada ketimpangan arah peradaban, di mana nusantara semakin mundur

akibat kehadiran bangsa Barat, di sisi lain Barat sedang mengalami tingkat perkembangan yang pesat di berbagai bidang, di mana peradaban renaissance

membukakan jalan bagi berbagai perubahan sosial. Simak Suhelmi, Pemikiran

Politik Barat…, p. 130.

68 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

KULTUR SOSIAL DAN POLITIK NUSANTARA SEBELUM ERA KOLONIAL

Gelar raja Islam, Sultan, menjadi kebutuhan akan legitimasi kekuasaan yang tampak ketika Panembahan Agung Mataram, yang setelah wafatnya dikenal sebagai sultan Agung berusaha memperoleh gelar Sultan dari para Ulama di Saudi Arabia. Perubahan gelar itu sendiri tidak cukup diikuti dengan perubahan sistem sosial politik kerajaan Islam. Kecuali di beberapa wilayah nusantara, khususnya luar Jawa, sistem dan tata negara pra-Islam masih lebih lebih kuat melekat berikut mitos-mitosnya. Di dunia Islam sendiri, yang kala itu berpusat di Turki sistem sosial politiknya juga masih lekat dengan

sistem otokrasi tradisional, dengan legitimasi adikodrati. 49 Pemikiran politik nusantara masih membenarkan sistem

otokrasi, dan belum ada alternatif lain, termasuk demokrasi. Konseptualisasi Islam ke dalam demokrasi yang dipadankan dengan syurâ muncul jauh setelah bangsa-bangsa dunia Islam memasuki alam kemerdekaan. Itupun berlangsung setelah para pembaharu Islam menyatakan perlunya membuka kembali pintu ijtihad yang juga masih sebatas wacana yang penuh kontroversi. Hingga memasuki masa kolonial, otokrasi masih menjadi satu-satunya tatanan yang diterima dan tidak ada cukup keberatan dari pihak manapun atas diterapkannya sistem tersebut, bahkan selalu memperoleh

pembenaran yang tidak jarang disandarkan atas alasan keagamaan. 50 Konsep Islam tentang pemerintahan sendiri memang cenderung

tidak baku. Pemerintahan Islam dalam tataran konseptual maupun

Para pemimpin politik nusantara masih bersaing status dan simbul-simbul kekuasaan sebagaimana ambisi raja Jawa yang berupaya keras memperoleh gelar Sultan. Simak De Graff, Puncak Kejayaan Mataram…, p. 316-320.

50 Gagasan perlunya negara Islam merupakan wacana baru, terutama menjelang dan pasca kemerdekaan, yang pada masa itupun masih sebatas diskursus sejak

merebaknya gelombang pembaharuan Islam. Concern para pembaharu seperti Afghani, Abduh dan Rosyid Ridla lebih terarah pada pembaharuan pola pikir, strategi pemberdayaan umat dan pembebasan dari hegemoni kolonial, sedangkan

masalah ketatanegaraan masih dalam perdebatan. Simak Sjadzali, Islam dan Tata

Negara…, p. 121-136.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB III

praktik tidak ditentukan secara normatif keagamaan. Dalam praktiknya Islam pada kawasan tertentu cenderung berinteraksi secara dialektis dengan kultur bahkan agama setempat. Bila pada masyarakat yang belum menganut agama formal saja keislaman masyarakat berpadu dengan unsur-unsur kepercayaan dan tradisi setempat, maka kurang lebih demikian halnya dalam sistem politik dan tata pemerintahan. Tradisi setempat bahkan cenderung memiliki pengaruh kuat dalam bangunan struktur sosial politik pemerintahan Islam.

Secara garis besar hal ini dapat dicermati dari fenomena kesejarahan Islam sejak masa nabi di Jazirah Arab hingga penyebaranannya di kawasan lain. Islam masa Nabi dan Sahabat yang berpusat di jazirah Arab dengan segala kekhasan kulturalnya mampu menghadirkan sistem sosial politik egaliter; Islam di India menunjukkan adanya pengaruh tradisi Hindu; dan ketika berada di wilayah Persia, kultur Persia juga kental dalam tradisi sosial politik dan pemerintahan hingga lahirnya monarkhi berdasarkan keturunan. Karena itu, Islam pada kawasan nusantara juga tak dapat menghindarkan dari kecenderungan serupa, di mana tradisi sosial politik dan pemerintahan Islam potensial menyesuaikan dengan situasi masyarakat setempat ataupun situasi kesejarahan pada

masanya. 51

Telaah Sjadzali terhadap pemikiran tokoh-tokoh Islam klasik memperlihatkan bahwa pemikiran tentang sistem ketatanegaraan mayoritas pemikir Islam klasik cenderung bertolak dari realitas sistem sosial politik yang berlaku pada masanya, yaitu monarkhi, yang tidak perlu dipertanyakan keabsahannya. Simak Sjadzali, Islam dan Tata Negara…, p. 107-110.

70 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru