Revolusi Bersenjata

E. Revolusi Bersenjata

Seperti disinggung pada bagian terdahulu, penjajahan telah menciptakan peta baru dunia, di mana status wilayah di hampir seluruh permukaan bumi telah terbagi-bagi ke dalam hak milik beberapa negara Eropa saja. Pasca perang dunia II, hampir tak sejengkal tanah di permukaan bumi ini terbuka tanpa pemilik. Status tersebut diakui dalam hukum internasional yang telah berkembang masa itu. Bangsa-bangsa yang selama berabad-abad mendiami wilayah tersebut telah kehilangan status sebagai pemilik yang berdaulat untuk mengelola wilayah yang ditempati nenek moyangnya. Secara internasional, Indonesia masih diakui sebagai milik sah ( bezittingen) Belanda, setelah secara resmi diserahkan kembali kepada Sekutu oleh Hiro Hito, 15 Agustus 1945, meski Sekutu maupun Belanda sendiri sebenarnya belum cukup siap untuk

mengambil alih wilayah ini dari tangan Jepang. 64 Meski proklamasi kemerdekaan memiliki makna besar dalam

menggalang kesadaran revolusioner di dalam negeri, tapi pemerintahan Indonesia masih harus menempuh perjuangan panjang dan keras untuk menuntaskan kemerdekaannya. Pemerintahan Indonesia sebagaimana ditetapkan 18 Agustus 1945 masih harus berjuang meraih pengakuan kedaulatan, baik dari Belanda maupun dari bangsa-bangsa lain di dunia. Pernyataan kemerdekaan tak

yang membangun akar sosialnya sendiri melalui organisasi pergerakan. Simak Onghokham “Revolusi Indonesia”, p. 5.

64 Kekuatan Belanda sudah sangat lemah untuk dapat mengontrol Indonesia, di samping krisis perekonomian yang harus dihadapi pasca pendudukan Jerman.

Adiwiguna “Faktor-faktor…”, p. 155. Namun demikian, pemanfaatan momentum vacum of power of power tidak mengurangi makna revolusi perjuangan Indonesia,

karena revolusi memang sering terjadi di situasi kritis di maka kekuatan utama melemah. Simak Onghokham “Revolusi Indonesia”, p. 6.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB VI

mungkin ditarik kembali dan hanya mungkin terus diperjuangkan baik melalui jalur diplomatik maupun perjuangan bersenjata. 65

Dalam hal ini terjadi perbedaan kecenderungan sikap antara pemegang tampuk pemerintahan dengan masyarakat luas yang tengah diliputi heroisme revolusioner. Dalam situasi yang hanya mungkin dihadapi dengan kekuatan senjata, tokoh-tokoh nasional yang memegang kendali pemerintahan masih berharap dapat menghindari pertumpahan darah dengan jalan penyelesaian diplomatik. Tokoh- tokoh nasional masih ragu-ragu mengambil tindakan hingga menimbulkan ketegangan di kalangan mereka sendiri, termasuk dalam memenuhi kelengkapan aparatur negara seperti pembentukan angkatan perang dan menentukan tindakan terhadap keberadaan

pasukan Jepang setelah menyerah pada sekutu. 66 Sementara itu, di kalangan masyarakat meluas sikap antipati

pada penjajah dan khawatir Jepang mengadakan kapitulasi dengan sekutu dalam pengambilalihan kekuasaan. Tidak ingin didahului pasukan sekutu, mereka mulai bertindak sendiri-sendiri melucuti pasukan Jepang. Pasukan Jepang potensial menjadi alat sekutu untuk menentang kemerdekaan Indonesia, dan itu berarti ancaman besar bagi kedaulatan republik baru ini. Sejak September 1945 sampai Februari 1946 di berbagai daerah masyarakat telah bertindak sendiri- sendiri melakukan perebutan kekuasaan maupun persenjataan Jepang baik dengan cara damai maupun kekerasan. Para pemuda berusaha merebut senjata dan menguasai gedung-gedung vital yang dikuasai

65 Setiap revolusi memang mempunyai sifat dan coraknya sendiri-sendiri tergantung kekuatan yang berkembang. Di Indonesia revolusi bercorak kerakyatan,

bergerak dengan dipelopori kaum muda, berbagai seluruh glolongan dan lapisan masyarakat. Imam Pratignjo “Pidato Pembukaan Seminar Pantjasila” dalam Prasaran-prasaran pada Seminar Pantjasila, (Jakarta: Departemen Penerangan 1959), p. 19.

66 Poesponegoro, Sejarah Nasional IndonesiaV, p. 101.

190 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI

Jepang. Bentrokan-bentrokan tak terhindarkan dengan memakan banyak korban baik dari pihak Indonesia maupun Jepang. 67

Aparatur negara yang belum dapat berperan maksimal menjadikan masyarakat dengan mudah bertindak sendiri-sendiri. Koordinasi keamanan yang belum terkonsolidasi menyebabkan kesalahpahaman dan tindakan di luar instruksi terjadi di mana-mana. Sejak Jepang mengumumkan pembubaran PETA dan Heiho dan semua organisasi bersenjata di Indonesia, bekas pasukan bentukan Jepang tersebut menolak mengembalikan senjata. Bahkan dengan senjata tersebut mereka berusaha melucuti tentara Jepang, terutama pada formasi-formasi di luar kota, sedangkan garnisun-garnisun besar

di kota-kota besar masih tetap bertahan. 68 Di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, pulau Sumatera,

Sulawesi, Aceh, Maluku dan Sumbawa terjadi pertempuran sengit antara tentara Jepang dan kaum penjuang dalam rangka pengalihan kekuasaan, perebutan senjata, pengambilalihan fasilitas-fasilitas vital pemerintahan dan pabrik-pabrik. Hanya di Biak, Irian Jaya, pengambilalihan yang terjadi satu setengah tahu kemudian mengalami kegagalan, dan pelakunya dihukum Belanda. Di Balikpapan, sekitar 8000 orang mendemonstrasikan dukungan terhadap RI dengan tanpa perlawanan. Mereka berkumpul dengan membawa bendera merah-putih di depan kompleks NICA ( Netherlands Indies Civil Administration), yang sebelumnya sudah diduduki pasukan Australia. Kenyataan ini, paling tidak menunjukkan betapa kuat dan

luasnya dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan RI. 69 Jepang sendiri tidak jelas dalam mensikapi situasi yang

berkembang di Indonesia. Ketika dilangsungkan Rapat Raksasa di lapangan Ikada 19 September 1945 Jepang yang semula bermaksud

Ibid. 68 Kahin, Nasionalim and Revolution…, p. 137.

69 Bentrokan-bentrokan di berbagai daerah, simak Poesponegoro, Sejarah

Nasional IndonesiaV, p. 103-6.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB VI

menangkap Soekarno berubah pikiran, setelah menyaksikan luasnya dukungan rakyat terhadap Soekarno-Hatta. Tampaknya bom atom Amerika Serikat dan sekutunya terhadap kota Hiroshima dan Nagasaki benar-benar membuat pasukan jepang terpukul dan patah semangat, yang membuat mereka tidak dapat menentukan sikap yang jelas selama menunggu kehadiran pasukan sekutu yang akan

menggantikan kedudukannya di Indonesia. 70 Beberapa saat setelah penyerahan Jepang, sebenarnya pasukan

Inggris telah diterjunkan di Jakarta di bawah pimpinan Kolonel Greenhalgh dalam rangka persiapan pembentukan markas besar Sekutu di Jakarta, 14 September 1945. Dua minggu kemudian Skadron Penjelajah V Inggris diterjunkan di bawah pimpinan Laksamana Muda W.R. Petterson. Pada waktu yang hampir bersamaan, pasukan Inggris juga mendarat di wilayah Semarang dan Surabaya. Inggris hanya bertugas secara protokoler mengambilalih Indonesia untuk diserahkan kembali ke tangan Belanda. Atas nama sekutu mereka menerima penyerahan kekuasaan dari pasukan Jepang, membebaskan tawanan perang maupun sipil, melucuti dan memulangkan pasukan Jepang, serta menjamin keamanan hingga pemerintahan Belanda berfungsi kembali. Dalam hal ini mereka memandang pemerintahan Indonesia pada dasarnya belum ada, hingga dalam banyak hal tindakan-tindakan mereka berkecenderungan tidak menghargai

pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah. 71 Kahin menilai hal ini dikarenakan pasukan Inggris yang

bertugas di Jawa dan Sumatera serta Australia di Sulawesi, menduga Indonesia masih berada di bawah kendali Jepang. Padahal kenyataan

Pasukan Jepang tidak menentukan sikap yang jelas, sekalipun perintah pasukan sekutu jelas menyatakan mereka harus mengkontrol keamanan. Melihat reaksi yang luar biasa dari rakyat, terutama sejak rapat di Ikada, sikap Jepang semakin tidakn jelas terhadap gerakan kemerdekaan di Indonesia. Simak Kahin, Nasionalim and Revolution…, p. 137.

71 Di tengah pemerintahan republik Indonesia yang sudah berdiri, Laksamana Mountbatten mengumumkan bahwa hukum-hukum Belanda harus ditegakkan

kembali. Simak Ibid., p. 142.

192 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI

yang mereka hadapi di lapangan sama sekali berbeda. Kehadiran pasukan Inggris menjadikan Indonesia mengalami dualisme pemerintahan. Di satu sisi pemerintahan republik sudah berdiri, di sisi lain pasukan Inggris juga memposisikan diri sebagai pemerintahan militer sementara yang menjamin proses pemulihan

pemerintahan Belanda. 72 Sekalipun misi pasukan Inggris sangat jelas, pemerintah RI

berhati-hati mensikapinya. Presiden menginstruksikan pasukan dan pejuang tidak berurusan dengan Inggris, karena Inggris hanya menjalankan tugas sementara. Bagaimanapun, suhu perlawanan dan sikap permusuhan semakin memanas yang disertai berbagai insiden. Masyarakat tidak dapat menafikan bahwa kehadiran mereka memang bermaksud memfasilitasi kepentingan pemerintah Belanda untuk menegakkan kembali kedaulatannya atas wilayah ini. Karena itu, kehadiran pasukan Inggris memperoleh sambutan tidak bersahabat dari kalangan pejuang, bahkan menjadi permulaan meletusnya perang

terbuka antara pejuang-pejuang Indonesia melawan pasukan asing. 73 Kekhawatiran akan kembalinya penjajahan terbayang jelas

ketika pejabat dan pasukan Belanda mulai berdatangan ke wilayah ini, dan meningkatkan semangat reaksioner menolak kembalinya bangsa penjajah. Pasukan Belanda sebenarnya sudah mulai diterjunkan ke wilayah Indonesia, Monado, beberapa saat setelah menyerahnya Jepang ke tangan sekutu, tapi lima bulan kemudian pasukan tersebut diserbu para pejuang dan seluruh pasukan Belanda ditahan. Sejak masuknya pasukan Sekutu, posisi pasukan pejuang diambilalih dan pertahanan Belanda di berbagai daerah diperkuat kembali. Kekhawatiran pejuang menjadi kenyataan ketika di bawah perlindungan Inggris pasukan Belanda secara berangsur-angsur

Kahin sebagaimana dicatat Mayor Crockett, seorang pengamat militer Amerika Serikat menyatakan, beberapa saat kemudian pasukan Belanda dan serdadu KNIL mulai menyisir jalan-jalan di Jakarta dan menembak apapun yang dianggap mencurigakan. Ibid., p. 143.

73 Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 109.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB VI

masuk ke Indonesia. Secara provokatif mereka mulai melakukan kontrol terhadap masyarakat dengan patroli-patroli dan penyisiran

pejuang-pejuang republik di jalanan kota-kota besar. 74 Sebenarnya Soekarno memerintahkan masyarakat agar

menghindari pecahnya kerusuhan, meski kemungkinan penggulingan pemerintahan RI dalam jangka dekat sangat mungkin terjadi. Namun demikian, Indonesia menghadapi fase instabilitas keamanan akibat reaksi penolakan rakyat atas kehadiran pasukan Sekutu dan NICA. Para pemuda tidak dapat menahan diri untuk terus menunggu. Secara sporadis, perjuangan berani mati ( jibaku) tak dapat ditahan lagi. Mereka menyerang patroli-patroli pasukan Belanda dan Inggris. Terlebih setelah di bawah komando Inggris, pasukan Jepang menyerang dan merebut kota-kota yang sudah diduduki pejuang Indonesia, seperti Bandung dan Surabaya. Meningkatnya semangat anti asing menjadikan sasaran penyerangan mereka tidak lagi terbatas pada pasukan bersenjata, melainkan juga warga sipil asing, termasuk

wanita dan anak-anak. 75 Insiden heroik paling monumental pertama kali terjadi di

Surabaya, yang menandai dimulainya perang kemerdekaan. Dua minggu sejak kemerdekaan diproklamirkan, rakyat sudah beramai- ramai menyerbu markas-markas militer Jepan. Gudang mesiu, markas pertahanan Jawa Timur, pangkalan angkatan laut, serta pabrik- pabrik yang tersebar di seluruh kota dijadikan sasaran penyerangan dan perebutan persenjataan. Dalam beberapa hari, fasilitas-fasilitas

Melalui inteligen-inteligennya, Belanda berusaha mengorek informasi tentang kekuatan republik, yang disertai penangkapan, interogasi, penyiksaan dan bahkan pembunuhan. Robert Cribb “The Nationalist word of occupied Jakarta” dalam

Susan Abeyasekere, ed., From Batavia to Jakarta: Indonesia’s Capital 1930’s to

1980’s, (Clayton: Monash University, The Annual Indonesia Lecture Series, 1985), p. 99.

75 Ketika revolusi dimulai, kekerasan meluas di jalanan ibu kota. Walaupun tidak sekeras daerah lain, terutama Surabaya dan Semarang, namun ulah para

pemuda membuat frustasi pasukan Belanda yang ada di bawah perlindungan Inggris. Ibid., p. 92-3.

194 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI

vital pemerintahan sudah berada di tangan pejuang republik. Saat semangat juang tengah memuncak, terjadi sebuah insiden heroik di hotel Yamato. Seorang mantan interniran Belanda yang dibebaskan pasukan sekutu mengibarkan bendera Belanda di puncak Hotel. Peristiwa tersebut kontan menyulut kemarahan pemuda, dan bentrokan berdarah tak terhindarkan setelah penghuni hotel menolak permintaan menurunkannya. Dalam insiden tersebut beberapa pemuda berhasil memanjat puncak hotel, merobek warna birunya dan

mengibarkannya kembali sebagai merah putih. 76 Markas Kempetai yang selama masa pendudukan memberikan

pengalaman paling traumatis rakyat Surabaya tidak luput jadi sasaran penyerbuan, sebab bagi masyarakat Surabaya tempat tersebut merupakan lambang kekejaman tentara pendudukan Jepang. Banyak tokoh yang dianggap menentang Jepang disiksa dan menemui ajalnya secara tragis di tempat ini. Melalui pertempuran sengit dengan menelan banyak korban dari pihak pejuang, akhirnya markas tersebut

dapat direbut kaum pejuang dan menjarah persenjataannya. 77 Pasukan Inggris di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S.

Mallaby yang mendarat baru diperkenankan memasuki Surabaya setelah melalui perjanjian. Rupanya pasukan Mallaby terlalu memandang rendah kesepakatan tersebut, dan dalam perkembangan selanjutnya melakukan penyergapan ke instansi-instansi yang telah dikuasai pejuang Indonesia. Tidak hanya itu, Inggris menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar rakyat Jawa Timur menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang. Di tengah masyarakat yang jiwa revolusinya sedang memuncak, tentu saja pamflet tersebut ditanggapi

sebagai penghinaan. 78 Keesokan harinya konfrontasi bersenjata berlangsung di

berbagai sektor, di mana pasukan Inggris harus menyadari bahwa

76 Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 102. 77 Ibid., p. 103. 78 Ibid., p. 113-4.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB VI

semangat revolusi yang sebelumnya dipandang rendah telah mengantarkan mereka pada situasi kritis. Berkobarnya pertempuran tak dapat dihindari lagi. Peristiwa tersebut semakin memanas dengan terbunuhnya Bigjen A.W.S. Mallaby dalam sebuah insiden perundingan 31 Oktober 1945. Kemarahan Inggris ditunjukkan dengan mengeluarkan ultimatum agar seluruh pejuang, pemimpin Indonesia, pasukan pemuda, polisi dan kepala pemerintahan menyerah tanpa syarat pukul 06.00 tanggal 10 November. Pada hari itu juga akhirnya Inggris melakukan gempuran terhadap kota

Surabaya, dan sekaligus menjadi awal perang kemerdekaan. 79 Sepuluh hari sejak perang Surabaya, Inggris menyerang

Ambarawa, dan hampir satu bulan berikutnya mereka dapat diusir ke wilayah Semarang. Peristiwa serupa terjadi di beberapa daerah, di antara yang paling populer adalah Pertempuran Medan Area di Sumatera Utara. Pertempuran demi pertempuran kemudian mejalar ke berbagai kota lain, seperti Pematang Siantar dan Brastagi. Umat Islam Indonesia bahu-membahu dengan kekuatan lain dengan membentuk beberapa milisi, dan muncul banyak tokoh Islam sebagai inspirator dan motivator perjuangan. Jargon-jargon Islam mengemuka

menyemangati perjuangan, sebagaimana dikumandangkannya takbir dalam orasi bung Tomo melalui radio. 80

Tahun-tahun berikutnya pertempuran sama sekali tidak berhenti, meski intensitasnya berkurang dibanding sepuluh minggu akhir 1945. Inggris dan Belanda berusaha menjaga status quo, dan membatasi operasinanya hanya pada wilayah-wilayah yang mereka kuasai. Sementara konsolidasi pejuang di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya tidak semassive di Jawa, Sumatera dan Bali menjadikan Belanda dengan mudah meredamnya setelah melucuti pasukan Jepang. Meski demikian, di beberapa daerah seperti Minahasa dan Makassar, pertempuran tidak berhenti hingga

Ibid. p. 114. 80 Ibid., p. 116-121.

196 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI

pertengahan 1948. Dalam peristiwa ini Belanda menugaskan kapten Westerling mengatasi keadaan di Minahasa. Untuk meredam perlawanan, pasukannya melakukan penangkapan dan membantai 30.000 orang warga sipil yang dituduh sebagai pejuang ataupun

membantu pejuang. 81 Selain melalui perundingan, Belanda mempersiapkan langkah-

langkah militer untuk menyelesaikan masalah. Ketika pemimpin republik dan wakil pemerintah Belanda melakukan perundingan, Belanda menambah jumlah pasukannya. Terbukti setelah perjanjian Linggar Jati disepakati, Belanda justeru melakukan serangan militer besar-besaran yang memaksa pusat pemerintahan RI berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Satu setengah setahun kemudian Belanda mengulangi tindakannya dan berhasil menduduki kota Yogyakarta serta menangkap pemimpin pemerintahan RI. Posisi Belanda sendiri semakin sulit, di mana tindakan kerasnya justeru mendatangkan

reaksi tajam internasional yang merugikan dirinya sendiri. 82 Agresi Belanda yang berhasil menduduki pusat-pusat

pemerintahan tidak dengan sendirinya mengakhiri riwayat republik ini. Republik Indonesia tidak dapat lagi dipandang sebagai kumpulan gerombolan bersenjata yang dapat diakhiri dengan menangkap tokoh- tokohnya, Soekarno-Hatta, karena Indonesia benar-benar telah berdiri menjadi sebuah negara dengan sebuah bangsa. Penangkapan para pemimpin republik tidak mengakhiri pemerintahan. Instrumen pemerintahan, khususnya tentara nasional tetap eksis, sekalipun hanya mampu melakukan perang gerilya. Perkembangan mutakhir Indonesia selama penjajahan Jepang dan sesudahnya benar-benar belum bisa diterima Belanda, bahwa bangsa di wilayah ini sudah benar-benar bangkit, tidak saja tokoh-tokoh pergerakannya,

Dalam catatan Belanda hanya sejumlah sekitar 4000 orang dibunuh karena dituduh mendukung kaum pejuang. Kahin, Nationalism and Revolution…, p. 145. 82 Di Jakarta sendiri, pasukan pejuang mulai dalam posisi sulit, sekalipun memperoleh dukungan dan solidaritas luas dari kalangan penduduk. Cribb “The Nationalist Word…”, p. 101.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB VI

melainkan merata pada segenap rakyatnya. Sekalipun Belanda mungkin memenangkan perang, namun dalam jangka panjang dapat dipastikan tidak akan menjadi wilayah yang nyaman, dan apalagi

menguntungkan untuk dikuasai. 83 Sikap dan tindakan pasukan Inggris menunjukkan bahwa

republik Indonesia mereka pandang belum ada. Mereka tidak merasa perlu menghormati kedaulatan dan komitmen-komitmen yang telah dibuat dengan pemerintahan setempat. Melalui jalan panjang akhirnya Belanda harus menerima realitas di Indonesia yang tidak memungkinkannya lagi menegakkan pemerintahan Belanda seperti masa sebelumnya. Kemerdekaan, yang sebelum penguasaan Jepang merupakan sesuatu yang mustahil dan hanya menjadi wacana sosial politik sekelompok kecil kaum intelektual, telah berkembang menjadi

kesadaran rakyat secara luas dan tak mungkin dibendung. 84 Sekalipun sebagai pemilik sah, kehadiran Belanda tidak lagi

ditunjang oleh realitas politik bahwa rakyat negeri ini sudah tidak menghendaki kehadirannya lagi. Situasi yang berkembang setelah perang berubah jauh dibanding satu dekade sebelumnya saat Belanda masih berkuasa. Slogan merdeka atau mati menjadi ekspresi keberanian masyarakat di wilayah ini untuk melakukan perlawanan dengan segala cara. Meski dengan persenjataan yang lebih modern, Belanda tidak lebih mudah menakhlukkan perjuangan rakyat negeri ini

sebagaimana pernah dilakukannya pada tiga abad sebelumnya. 85

Betapapun kuatnya persenjataan Inggris maupun Belanda, perang tersebut tetap merupakan kemenangan Indonesia, karena disertasi sebuah titik balik bagi bangsa Indonesia yang sudah berkembang jauh dari kurun terakhir penjajahan Belanda, di mana secara luas mereka diliputi kesediaan berkorban jiwa dan raga. Kahin, Nationalism and Revolution…, p. 144.

84 Bagi pengamat Belanda gerakan perjuangan kemerdekaan masih dianggap sebagai tindakan kelompok bandit atau perusuh, dan tidak dianggap sebagai

gerakan kemerdekaan. Katodirdjo “The Role of Struggle …”, p.3. 85 The revolutionary movement included all walk life, various classes of society

involving both elite and masses. It was a total movement … Katodirdjo “The Role of Struggle…”, p.1.

198 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI