Demokrasi dalam Pandangan Para Founding Fathers

A. Demokrasi dalam Pandangan Para Founding Fathers

Jepang sendiri tampak antisipatif terhadap segala kemungkinan, termasuk bilamana kalah perang. Ketika menghadapi tekanan demi tekanan akibat kekalahan di berbagai medan pertempuran, pembentukan BPUPKI menjadi pilihan strategis paling ekstrim dalam rangka meraih dukungan rakyat pribumi. Dibanding dengan gerakan dan organisasi yang diciptakan pada awal penguasaan wilayah ini, Jepang tampak lebih serius dalam membidani munculnya badan yang diperlukan dalam rangka persiapan kemerdekaan, termasuk dalam penyelenggaraan sidang-sidang

BPUPKI. 1 Dalam waktu relatif singkat, anggota badan tersebut segera

dapat melakukan tugasnya dengan terselenggaranya sidang-sidang BPUPKI. Sidang tahap pertama ditujukan untuk mendengarkan pandangan umum mengenai rumusan Undang-undang Dasar negara Indonesia merdeka yang akan dibentuk. Situasi sidang tidak

Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 69-74.

BAB V

menunjukkan adanya perbedaan pendapat yang signifikan. Gagasan Moh. Yamin, Soepomo dan Soekarno tentang azas negara kebangsaan Republik Indonesia menunjukkan kesamaan substansi, walaupun dengan rumusan kebahasaan yang berbeda. Keistimewaan Soekarno terletak pada usulannya dalam sidang BPUPKI 1 Juli 1945 mengenai

istilah Pancasila. Sementara sidang itu sendiri berakhir dengan belum adanya kesimpulan perumusan tentang dasar negara yang baku. 2

Sebelum memasuki masa reses selama satu bulan, badan tersebut membentuk panitia kecil yang menghasilkan rumusan yang menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan negara Indonesia merdeka,10 Juli 1945. Rumusan tersebut diterima dengan suara bulat yang disahkan sehari kemudian dan dikenal dengan istilah Piagam

Jakarta (Jakarta Charter). BPUPKI kemudian digantikan dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (D ōkuritsu Jumbi Iinkai), disingkat PPKI, 7 Agustus 1945, dengan keanggotaan terdiri dari wakil-wakil Indonesia saja. Berbeda dari BPUPKI, PPKI merupakan lembaga yang kewenangannya di tangan rakyat Indonesia sendiri, sementara yang sebelumnya di bawah Jepang. Secara lebih eksplisit Jepang memberi hak penuh untuk mengelola PPKI sebagai jalan mempersiapkan kemerdekaan. Karenanya pengurus badan ini diberikan kesempatan untuk melakukan kegiatan menurut pendapat

dan kesanggupan bangsa Indonesia. 3

Soekarno sebenarnya bukan satu-satunya tokoh yang mencetuskan Pancasila, melainkan melibatkan beberapa tokoh seperti Muh. Yamin dan Supomo. Simak A.G. Pringgodigdo, Sekitar Pantjasila, (Jakarta: Pusat Sejarah ABRI, 1978), p. 4. Simak pula Nugroho Notosusanto, Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, (Jakarta: Balai Pustaka, 1981), p. 26.

3 Namun Jepang mempersyaratkan kesediaan mendukung, mengerahkan tenaga besar-besaran menyelesaikan perang, karena negara Indonesia yang terbentuk akan

menjadi anggota lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya, di mana cita-cita bangsa Indonesia harus disesuaikan dengan cita-cita pemerintah Jepang yang bersemangat Hakk ō-Iciu. Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 77.

132 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

WACANA ISLAM DAN DEMOKRASI DI PENGHUJUNG ERA KOLONIAL

Bila melihat suasana sidang BPUPKI maupun PPKI, tampaknya visi para founding fathers tentang sistem pemerintahan tidak menunjukkan perbedaan, meski pada kalangan Islam terdapat keinginan membangun sebuah pemerintahan Islam ataupun penerapan syari’ah. Sebagaimana merebaknya semangat nasionalisme yang berkembang sebagai kesadaran umum, yang berangkat dari basis kesadaran dan pemikiran yang berbeda-beda, tampaknya demikian halnya dengan visi demokrasi. Kesadaran akan keragaman visi dan basis pemikiran dengan sendirinya menjadikan demokrasi tumbuh sebagai keharusan dalam setiap upaya membangun sharing antar kekuatan sosial politik. Karena itu, sekalipun dengan praktik yang belum benar-benar sempurna, demokrasi telah diapresiasi oleh organisasi dan gerakan sosial politik dalam pengelolaan mekanisme keorganisasian, dan baru secara implisit ditempatkan sebagai salah satu bagian dalam tujuan pembentukan negara Indonesia.

Meski bukan agenda mencolok, berdirinya pemerintahan republik yang berarti menganut demokrasi jelas-jelas telah menjadi impian, dan tidak dijumpai satupun gerakan, gagasan ataupun upaya yang jelas-jelas menyatakan menolaknya. Harapan akan tegaknya sistem lain, terutama kembalinya sistem monarkhi tradisional telah hilang dari gambaran tentang masa depan Indonesia, karena monarkhi-monarkhi yang ada, kecuali Mataram Yogyakarta, praktis telah menjadi subordinasi dari sistem birokrasi pemerintah kolonial dan tidak menjadi pertimbangan dalam menyusun tata pemerintahan Indonesia merdeka. Masa lalu monarkhi di nusantara yang tidak pernah mengenal Indonesia sebagai bangsa tidak memungkinkannya memperoleh privillage sebagai model pemerintahan ataupun posisi

kekuasaan di kemudian hari. 4

4 Dalam sistem politik patrimonial kolonial, penguasa lokal tertinggi hanya setingkat bupati, yang berkedudukan sebagai manisteriales atau birokrat yang

berstatus pegawai raja. Sekalipun banyak di antara mereka mewarisi jabatan secara turun temurun, namun dapat saja kehilangan hak bilamana raja menghendaki. Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia V, p. 162. Simak juga Sartono

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB V

Di samping itu, pergerakan kemerdekaan didominasi tokoh- tokoh yang secara institusional lepas dari struktur monarkhi tradisional yang ada. Kerajaan yang masih bertahan tidak cukup banyak turut andil dalam kurun akhir perjuangan kemerdekaan. Kalaupun ada, keterlibatan mereka lebih menampakkan peran individual dibanding institusional. Selain beban politis, kebanyakan penguasa kerajaan nusantara termasuk kelompok yang kurang dapat merasakan penderitaan akibat penjajahan terutama pada kurun akhir kolonialisme Belanda. Tradisionalitas yang terlalu kental pada kerajaan-kerajaan nusantara juga masih jauh dari sofistikasi penerapan sistem pemerintahan modern. Di samping itu, bertahannya beberapa kerajaan nusantara umumnya hanya akibat pola birokrasi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda dalam rangka membangun model penjajahan tidak langsung. Hal ini menjadikan visi pemerintahan pasca kemerdekaan tampak sama sekali mengabaikan

harapan untuk kembali pada pengokohan monarkhi tradisional. 5 Para founding fathers umumnya memiliki kesamaan pandangan

dalam hal kesadaran nasionalisme untuk membangun negara nasional berbentuk republik di wilayah bekas jajahan Belanda. Konsekwensinya jelas harus menerapkan sistem demokrasi. Perbedaan ideologi yang dianut menyebabkan corak pemerintahan demokrasi yang akan mereka bangun berbeda-beda. Bagi kalangan Islam, negara yang diharapkan harus tunduk pada hukum Allah. Kalangan komunis menentang kecenderungan kuam Islamis, terutama dalam masalah keagamaan. Mereka menginginkan pemerintahan yang disebutnya sebagai demokrasi rakyat yang biasa

Kartodirdjo, Modern Indonesia: Tradition and Transformation, (Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1984), p. 120. Simak Juga Onghokham “Revolusi Indonesia: Mitos atau Realitas” dalam Prisma, No, 8, 1985, p. 4..

5 Seluruh kerajaan sudah dalam posisi takluk di bawah pemerintah kolonial, ditandai dengan menyerahnya kekuatan perlawanan terakhir Aceh di bawah

panglima Polim, 1903; Si Singamangaraja 1907, Pospoprodjo dan Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia IV, p. 260 dan 270.

134 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

WACANA ISLAM DAN DEMOKRASI DI PENGHUJUNG ERA KOLONIAL

disebut dengan diktatur proletariat, sebuah masyarakat tanpa kelas meski diperjuangkan dengan prinsip kelas. 6

Sementara itu, kelompok yang menyebut dirinya nasionalis, yang dimotori PI yang kemudian berdiri menjadi PNI, menginginkan suatu ideologi nasional yang bebas dari pembatasan Islam maupun Komunisme. Sekalipun Hatta didukung mereka yang berorientasi sosialis, tetapi tidak tertarik pada analisis kelas sebagaimana dianut kalangan komunis. Mereka lebih menginginkan persatuan nasional dalam arti mengatasi setiap perbedaan. Kelompok ini berambisi menyadarkan dua kelompok lain dalam rangka membangun persatuan kaum nasional dengan mengarahkan mereka pada analisis ras, penjajah dan yang dijajah. Namun demikian, upayanya diikuti dengan munculnya kelompok baru, yang berbeda dari dua kelompok

sebelumnya dengan lahirnya PNI. 7 Hampir sama dengan Hatta, konflik dan perpecahan partai

politik pada kurun akhir pemerintahan Belanda sempat membuat Soekarno mempersoalkan sistem demokrasi liberal ala Barat. Soekarno menangkap adanya kecenderungan konflik ideologis di antara kekuatan masyarakat bangsanya ke dalam tiga aliran; Islam, nasionalis dan komunis. Padahal Soekarno sangat mendambakan persatuan yang kuat antar seluruh kekuatan sosial politik di tanah air. Itu sebabnya Soekarno mencanangkan suatu federasi longgar antara kekuatan-kekuatan sosial politik, sebuah federasi yang mampu mengikat ketiga aliran berbeda ke dalam Nasionalis-Islam-Marxisme. Dalam hal ini, Soekarno tampak sangat konsisten dengan ide

Perbedaan tersebut ditandai dengan perpecahan SI yang kemudian melahirkan

PKI. John Ingleson, Jalan ke Pengasingan, Pergerakan Nasional Indonesia Tahun

1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1983), p. 7. 7 H.O.S. Tjokroaminoto “Sifat Kerajaan (Staat) dan Pemerintahan; Tafsir

Program dan Asas Tandhum Partij Sarekat Islam Indonesia Tahun 1931” dalam P. Suharto dan S. Zainul Ihsan, ed., Aku Pemuda di Hari Esok, (Jakarta: Gunung Agung, 1982), p. 313. Simak pula Ingleson, Jalan ke Pengasingan…, p. 3-4.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB V

persatuan yang digagasnya sejak masa pergerakan hingga akhir hayatnya. 8

Demokrasi sendiri kurang menjadi bahan perdebatan, kecuali sedikit antara Soekarno dan Hatta. Hatta memandang masyarakat Indonesia terbagi ke dalam tiga kelas, di mana kelas atas terdiri dari kapitalis kulit putih, pengusaha Cina dan Arab sebagai kelas menengah, dan kaum marhaen sebagai kelas bawah. Sekalipun lebih dekat pada paham sosialis, Hatta lebih menyukai sistem multi partai dan bukan partai tunggal sebagaimana kecenderungan penerjemah sosialis paling radikal, komunis. Melihat kecenderungan perpecahan antar aliran politk, Soekarno melihat komunikasi politik sulit dibangun secara konstruktif. Karena itu, Soekarno lebih mengharap persatuan kaum nasionalis ke dalam satu partai, di mana di dalamnya

mereka dapat berbeda pendapat sekaligus membangun mufakat. 9 Sementara itu, perbedaan di antara kebanyakan kaum

pergerakan lebih tampak terbatas pada perspektif ideologis yang dianut, sedangkan demokrasinya sendiri kurang dipersoalkan. Platform demokrasi belum menjadi bahasan yang memadai untuk dipersoalkan, meski sejak suksesnya revolusi Bohlsevik dan revolusi rakyat Cina, wacana sosial politik telah mengantarkan pada setidaknya dua pilihan model demokrasi, liberal dan komunis, yang masing-masing memiliki pijakan paradigma maupun konsekwensi yang berbeda. Di tengah pengentalan ideologi sosial politik, paradigma dan konsekwensi-konsekwensi penerapan demokrasi relatif belum menjadi pertimbangan, di samping praktik demokrasi

8 Sekalipun lebih mirip Marxis-Leninis, namun konteks pemahaman Soekarno sebenarnya dalam rangka perlawanan antara “sini” (persatuan nasionalis) dan

“sana” (kapitalis-imperialis). Dengan kata lain Soekarno dapat menjadi komunis tanpa harus menjadi atheis. Rosihan Anwar “Perbedaan analisa Politik antara Soekarno dan Hatta” dalam William H. Frederick dan Soekri Soeroto, eds., Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES, 1982), p. 443.

9 Soekarno, Di bawah Bendera Revolusi, p. 1. Ingleson, Jalan ke Pengasingan…., p. 51.

136 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

WACANA ISLAM DAN DEMOKRASI DI PENGHUJUNG ERA KOLONIAL

belum pernah dilakukan sebelumnya. Keanekaragaman visi pemerintahan demokrasi di kalangan founding fathers untuk sementara waktu tereliminasi oleh kepentingan yang lebih besar, mewujudkan

kemerdekaan. 10 Dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI tidak tampak pernah

dipersoalkan masalah model demokrasi yang akan diterapkan di Indonesia. Namun demikian, sekalipun dalam gambaran yang belum jelas benar, demokrasi telah menjadi prinsip dasar yang akan dipakai sebagai sistem pemerintahan. Dasar negara yang dituangkan dalam Piagam Jakarta maupun Undang-undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 menunjukkan gambaran tersebut, meski masih merupakan konsep umum yang memungkinkan penafsiran ke

dalam beragam pemahaman. 11 Para Founding Fathers hanya sama-sama menginginkan negara

berbentuk republik dengan detail konsep yang belum benar-benar matang konseptualisasi maupun kontekstualisasinya dengan kondisi sosial politik yang mungkin akan dihadapi. Hanya Soekarno yang pernah mempersoalkan model demokrasi Barat maupun komunis, yang dinilai memiliki banyak kekurangan dan tidak sejalan dengan kepribadian masyarakat Indonesia. Sekalipun belum jelas benar bentuknya, Soekarno menginginkan model demokrasi lain yang sesuai dengan situasi dan kepribadian bangsa Indonesia, sebuah demokrasi

Setelah perumusan dasar negara dan Undang-Undang Dasar Indonesia bukan berarti semua menjadi final. Indonesia harus memfokuskan perhatian untuk menegakkan kemerdekaan, dan aturan apapun menjadi rentan diubah, sebagaimana perjalanan sejarah Indonesia pasca proklamasi. Realitas politik yang multi partai dan menonjolnya peran kaum nasionalis dan Islam dalam perumusan dasar negara dalam BPUPKI tidak memungkinkan model komunis menjadi pilihan dalam konstitusi. Dapat disimak pandangan-pandangan tokoh perumus dasar negara dalam Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI, p. 67-74.

11 Dasar kerakyatan dan mufakat menunjukkan bahwa negara Indonesia menganut paham demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. C.S.T.

Kansil, Pantjasila dan Undang-undang Dasar Falsafah Negara, (Djakarta: Pradnja Paramita, 1971), p. 44.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB V

ekonomi dan bukan demokrasi politik, bukan demokrasi yang didasarkan atas individualisme melainkan kegotong-royongan. 12

Konsepsi-konsepsi Soekarno tentang demokrasi tidak tampak direspon secara signifikan dari kaum revolusioner atas. Sangat boleh jadi ini dikarenakan persoalan paling krusial negara terletak pada bagaimana merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dan belum menyentuh masalah bentuk pemerintahan. Mungkin pula para tokoh kemerdekaan memang belum mempunyai visi yang jelas mengenai format ketatanegaraan dan sistem pemerintahan yang diidealkan pasca kolonial, atau pandangan-pandangan Soekarno hanya dipahami sebagai pengobar semangat anti kolonialisme dan imperialisme. Hatta sendiri yang dari awal menampakkan perbedaan pendapat tidak

banyak meladeni perdebatan gagasan dengan Soekarno. 13 Praktik pemerintahan pasca kemerdekaan menampakkan

pandangan Hatta yang lebih menonjol dibanding Soekarno dengan diterapkannya sistem parlementer yang multi partai. Hal ini juga dimungkinkan karena demokrasi masih dipahami sebagai sebuah konsep umum. Masih belum cukup disadari kerumitan-kerumitan yang harus dihadapi dalam implementasi praktisnya yang sebenarnya memerlukan penataan berbagai aspek secara lebih teknis serta penyesuaian dengan sebuah paradigma filosofis maupun situasi ideologis yang tengah dihadapi. Munculnya kelompok-kelompok kekuatan sosial politik sejak masa pergerakan menjadikan sistem pemerintahan berlangsung sebagai pilihan sejarah yang harus dihadapi tanpa sempat dikonsepsikan lebih dulu, termasuk

Simak konsepsi Soekarno dalam perumusan dasar negara seperti dikutip Kahin, Nationalism and Revolution…, p. 125-6. 13 Tampaknya Hatta sangat memahami kepribadian Soekarno yang terlalu

obsesif dapat mewujudkan keadilan dan kemakmuran yang selekas-lekasnya dalam sebuah masyarakat yang bersate, dan bukan bersatu . Simak deskripsi Hatta tentang Soekarno dalam Hatta, Demokrasi Kita, p. 19.

138 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

WACANA ISLAM DAN DEMOKRASI DI PENGHUJUNG ERA KOLONIAL

mempertimbangkan konsekwensi-konsekwensi yang mungkin harus dihadapi. 14

Dengan demikian, konsentrasi para pelaku politik masih terpaku pada pergulatan ideologis dibanding semata masalah demokrasi. Pengelompokan sosial yang terjadi pada masa sebelumnya menjadikan demokrasi dengan corak liberal menjadi pilihan yang paling mungkin. Demokrasi liberal menjadi satu-satunya solusi yang paling dapat diterima semua kelompok sosial politik. Alternatif lain masih terabaikan oleh ralitas politik yang dipenuhi pluralitas aliran ideologi sosial politik. Bahkan sebagai diskursus sosial politik, perdebatan antara demokrasi liberal dan komunis ataupun yang lainnya masih kalah kuat dibanding perdebatan antara aliran Islam tradisional dan modern, antara negara Islam dan sekuler atau antar

ideologi sosial politik pada umumnya. 15