Gelombang Nasionalisme dan Kemerdekaan
A. Gelombang Nasionalisme dan Kemerdekaan
Memasuki abad ke-20, isu-isu sosial politik Barat mulai merembes ke berbagai belahan dunia, termasuk daerah-daerah jajahan. Bangsa-bangsa jajahan yang semula menerima dan mengikuti alur penjajahan dan hampir-hampir tidak melakukan perlawanan, mulai tersadarkan akan hak-hak hidupnya yang terampas. Meski semula merupakan daerah yang seakan tak bertuan, pengalaman sebagai bangsa di daerah jajahan telah membangkitkan kesadaran dan keinginan berdiri sebagai bangsa merdeka, bangsa baru yang sebelumnya tidak dikenal dalam peta sejarah. Kesamaan pengalaman tersebut yang mendasari alasan bangsa nusantara berdiri sebagai
bangsa mandiri. 1
1 Kahin dalam pernyataan pembuka babnya, menyatakan bahwa Dutch administration welded together people of various tongues and cultures into one political unit and in
so doing tended to develop in them a “consciousness of kind”. Kahin, Nationalism and
Revolution…, p. 37.
BAB VI
Hal ini juga tidak terlepas dari situasi kesejarahan selama kurun akhir masa kolonial Belanda yang diramaikan oleh kecaman atas pola eksploitatif dan desakan perubahan politik kolonial konservatif ke arah politik etis. Sekalipun dampak langsung dari politik etis hanya dinikmati kalangan terbatas, namun keberadaannya secara tidak langsung mampu membangunkan kesadaran nasional sebagai bangsa, terutama dari mereka yang mengalami pendidikan Barat. Kesadaran kebangsaan yang semula hanya berkutat pada pembelaan kepentingan komunitas kesukuan dan wilayah terbatas, melebar menjadi kesadaran pembelaan atas dasar kesamaan pengalaman seluruh masyarakat bekas jajahan Belanda.
Wawasan tokoh-tokoh terdidik atas perkembangan situasi di berbagai kawasan dunia, membukakan kepercayaan diri dan menyulut keberanian untuk menuntut kemerdekaan. Di antara yang paling monumental adalah kemenangan Jepang atas Rusia dan rejim- rejim fasis di Eropa, yang menginspirasikan kepercayaan diri dan harapan untuk berdiri sebagai bangsa yang mandiri. Dengan demikian, secara langsung ataupun tidak, kemerdekaan Indonesia merupakan dampak jangka panjang dari perubahan politik yang
terjadi di kancah internasional. 2 Situasi global menempatkan setiap serkembangan di suatu
kawasan akan turut mempengaruhi alam pikiran manusia di kawasan lain. Perkembangan pemikiran umat manusia yang memuncak pada kesadaran humanis disertai kian luasnya wawasan akan peristiwa- peristiwa kesejarahan di kawasan lain turut menyemaikan embrio kemerdekaan bangsa Indonesia. Secara hampir serempak, respon serupa muncul pula pada berbagai bangsa di kawasan lain. Melepaskan diri dari penguasaan bangsa lain menjadi trend berfikir
Perkembangan media masa kala itu, yang menyajikan peristiwa-peristiwa yang terjadi di berbagai behan dunia memungkinkan kaum perjuangan terpengaruh dan membaca terbukanya peluang kemerdekaan. Wilson, “Kaum Pergerakan di Hindia Belanda 1930-an; Reaksi Terhadap Fasisme” dalam Prisma, No. 10 Oktober 1994, p. 37-8.
158 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru
SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI
dan perubahan sosial politik pada berbagai bangsa yang selama kurun itu masih berada di bawah penguasaan asing. 3
Meluasnya paham kebangsaan atau nasionalisme menyuntikkan kekuatan yang mampu mengubah suatu bangsa yang semula menerima nasib, berusaha bangkit untuk mengubah keadaan. Keberhasilan komunisme di Rusia memberikan gambaran kuat, di mana rakyat telah mampu mengalahkan kekuatan penindas. Bangkitnya kesadaran tersebut pada berbagai bangsa secara hampir bersamaan menjadikan legitimasi penjajahan semakin berkurang drastis sejak awal abad kedua puluh. Kemerdekaan demi kemerdekaan dicapai oleh berbagai bangsa dengan berbagai cara dan pola sesuai pengalaman masing-masing. Tidak terkecuali pada kawasan yang sebenarnya menjadi bagian tak terpisahkan dari penjajah sendiri, di mana mayoritas penduduk lokal sudah didominasi masyarakat dari ras penjajah itu sendiri berupaya memisahkan diri
dari negeri induknya di Eropa. 4 Beberapa negara dapat dilepaskan penjajah dengan sedikit
kehilangan muka, sebagian lain sebaliknya. Berbagai konsesi tetap dapat dijaga melalui kerelaan bangsa penjajah yang bersedia menyerahkan wilayah yang dikuasai pada penduduk lokal secara damai. Inggris merupakan sedikit di antara penjajah Eropa dengan daerah jajahan terluas yang memilih melepaskan banyak daerah jajahannya secara damai. Barangkali pengalaman kemerdekaan Amerika sudah cukup banyak memberikan pelajaran berharga akan mahalnya harga yang harus dibayar bila tanah jajahan dipertahankan
3 Wujud nasionalisme sendiri lebih memperlihatkan dirinya sebagai prinsip yang nyata dan terbukti dengan sendirinya, namun ketidaktahuan manusia
menjadikannya seolah sesuatu yang asing. Simak Gellner, Nation and Nationalism,
p. 125. 4 Fenomen perang dunia I dan II menjadi momentum penting bagi
memuncaknya kesadaran nasionalisme di berbagai belahan dunia. Indonesia bukan satu-satunya yang diliputi semangat revolusi, melainkan juga bangsa-bangsa dari Afrika, Asia, termasuk Indochina dan Amerika Latin. Simak Onghokham “Revolusi Indonesia: Mitos atau Realitas” dalam Prisma, No. 8, 1983, p. 3-4.
Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI
BAB VI
dengan kekuatan senjata, sekalipun pada kawasan-kawasan tertentu, semisal India, tetap saja harus lepas dengan melalui pergolakan
berdarah dan mempermalukannya. 5 Kekalahan Jerman dan Jepang yang sekaligus sebagai pertanda
selesainya perang dunia kedua menjadi momentum besar hilangnya pembenaran penguasaan suatu bangsa atas bangsa lain secara teritorial. Hampir seluruh daerah jajahan di seluruh dunia menemukan momentum besar untuk melepaskan diri, sebagaimana negara-negara Eropa yang menikmati kebebasan dari cengkeraman rejim-rejim fasis. Peta baru dunia tercipta akibat pemetakan wilayah selama masa kolonial menjadi batas teritorial bangsa-bangsa baru. Umat Islam sendiri memasuki fase perkembangan sebagai negara bangsa ( nation state), di mana batas teritorial suatu negara tidak ditentukan oleh dominasi rasial, etnisitas, ataupun keagamaan, melainkan oleh teritori politik ciptaan penjajah. Tahun-tahun tersebut banyak diwarnai kemerdekaan negara-negara jajahan dan lahirnya negara-negara baru. Negara-negara yang pernah ada sebelum masa penjajahan sebagian hilang dari peta, dan sebaliknya negara- negara baru yang sebelumnya tak pernah dikenal dalam peta sejarah
bermunculan. 6 Berbeda dari negara-negara di kawasan Eropa yang pada
umumnya memiliki homogenitas rasial, atau setidaknya berangkat dari ras yang homogen, negara-negara baru bekas jajahan banyak yang harus menerima kenyataan pluralitas rasial. Sangat jarang dijumpai negara yang berpenduduk homogen, terutama negara bekas jajahan. Kalimantan yang umumnya berpenduduk Melanesia terbelah menjadi
5 Ibid.
6 Kolonialisme menjadi lapuk oleh melebarnya nasionalisme sebagai ideologi induk dari berbagai varian ideologi yang mengiringinya. Kemerdekaan sekaligus
melahirkan tokoh-tokoh nasionalis, di antaranya Gandhi di India, Soekarno di Indonesia, Balewa di Afrika, Kubitchek di Amerika Latin dan Castro di Amerika Tengah. Simak Abdurrahman Wahid “Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik” dalam Prisma, No. 6, 1985, p. 3-4.
160 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru
SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI
tiga negara berdaulat. Belum lagi keragaman etnisitas yang diakibatkan oleh kebijakan penjajah dalam mengelola wilayah jajahannya. Komposisi penduduk pribumi dan pendatang berubah drastis dari proporsi yang sebelumnya ada. Malaysia yang mestinya berpenduduk Melayu harus bersaing dengan pendatang, etnis China, dengan proporsi perbandingan hampir separoh jumlah penduduk pribumi. Di Asia Tenggara, Singapura merupakan salah satu kawasan yang secara drastis mengalami perubahan demografis, di mana etnis
pendatang jauh melampaui jumlah etnis pribumi. 7 Namun demikian, bangsa-bangsa baru tersebut bertahan dan
berkembang dengan semangat nasionalisme dan heroisme yang luar biasa atas dasar kesadaran sebagai bangsa baru. Banyak tokoh baru bermunculan menyemarakkan ramainya kesadaran sebagai bangsa baru. Banyak sejarah disusun ulang untuk membangkitkan rasa nasionalisme dan harga diri sebagai bangsa. Masing-masing berupaya menunjukkan eksistensi dan harga diri bangsanya dengan mengusung jargon-jargon tertentu sebagai identitas nasional. Fidel Castro merupakan sedikit di antara tokoh yang masih mampu bertahan sampai saat ini dengan mensakralkan berbagai slogan dan jargon heroik demi menunjukkan eksistensi bangsanya. Nasionalisme meluncur bagai air bah yang belum disadari potensinya, di mana selain dapat memberikan identitas nasional dan rasa harga diri sebagai bangsa, nasionalisme juga potensial melahirkan
otoritarianisme di dalam negeri. 8
Pasca kolonialisme, hanya 10 % negara di dunia yang relatif homogen. Selebihnya adalah negara-negara yang multi etnis, terutama negara-negara bekas jajahan. Cliffort Geertz “Primordial Sentiments and Civil Politics in The New States” dalam Cliffort Geertz, ed., Old Societies and New States, (New York: Free Press of Glencoe, 1963), p. 123.
8 Kemungkinan nasionalisme sebagai gerakan memang bisa mengarah pada emasipatori rakyat yang bebas atau mengarah pada otoritarian, sehingga sering
disebut ambivalensinya sebagai berkepala dua. Simak Anthony Giddens, A
Contemporary Critique of Historical Materialism, (London: Macmillan, 1981), p. 192.
Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI
BAB VI
Berbagai persoalan dan sengketa tak terhindarkan akibat beragam persepsi ataupun kepentingan yang berbeda. Berbagai konfrontasi dan perang antar negara baru merebak baik di Timur Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika dan Amerika Latin tidak terlalu lama setelah masing-masing mencapai kemerdekaan. Barangkali hal ini dapat dipahami sebagai bentuk euforia post- kolonial, di mana kebanggaan berlebih pada bangsa-bangsa baru menciptakan egoisme yang mengarah pada upaya menunjukkan keunggulan masing-masing, yang sebagian meningkat pada kompetisi
kekuatan bersenjata. 9 Di pihak lain, Barat sendiri sedang berupaya melakukan
konsolidasi untuk menata berbagai hal, khususnya untuk menangani berbagai dampak perang. Bagi Barat, perang dunia benar-benar menjadi peristiwa paling menyedihkan yang pernah tercatat sejak perang Salib. Kecuali keterlibatan Jepang, perang dunia sebenarnya merupakan perang antar bangsa Eropa sendiri, dengan kerugian moril dan materiil tak terkirakan nilainya. Hal ini belum termasuk lepasnya wilayah-wilayah jajahan yang merupakan aset tak ternilai yang sebelumnya dapat dieksploitasi dengan leluasa. Perang ini menjadi mendunia karena zona pertempuran berikut dampak yang ditimbulkan sedemikiran luas, dan masih ditambah lagi dengan satu kenyataan bahwa hampir keseluruhan negara peserta perang
merupakan penjajah wilayah lain. 10
Abdurrahman Wahid menyebut fenomena ini sebagai upaya membangun keagungan yang disertai simbulisasi semangat nasionalisme. Secara bijak Ghandi membangun Satya Graha dan Swadesi, tapi pada negara lain diekspresikan dengan menyerang
“Reideologisasi dan Retradisionalisasi”, p. 4 10 Pasca perang Belanda sendiri sedang berada pada kondisi krisis yang parah
hingga harus mengajukan pinjaman Marshall Plan ke Amerika Serikat. Karena itu, pada dasarnya Belanda tidak siap untuk kembali menjajah Indonesia. Simak Ihsan Adiwiguna “Faktor-ffaktor Pemerhasil Proklamasi Kemerdekaan Indonesia” dalam Prisma, No. 8, 1985, p. 155.
162 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru
SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI
Kerusakan akibat perang dunia menjadikan banyak pihak mulai menyadari semakin besar dan destruktifnya dampak perang dari masa ke masa, akibat perkembangan teknologi perang yang memiliki daya rusak semakin besar. Ketakutan akan terjadinya perang besar dan lebih merusak benar-benar menghantui masyarakat internasional. Karena itu, gerakan-gerakan anti perang bermunculan baik menyikapi
masa lalu maupun terhadap peperangan yang masih tersisa. 11 Kelebihan dalam pengalaman dan kualitas sumber daya manusia
yang dimiliki menjadikan Barat baik yang menang maupun kalah perang dapat segera bangkit kembali dalam menata perekonomian dalam negeri, politik, ekonomi maupun dalam hubungannya dengan bangsa lain. Karena itu, tidak lama berselang dari berakhirnya perang dunia kedua, negeri-negeri Barat peserta perang sudah berhasil bangkit bahkan terlibat kembali dalam perang berikutnya, perang dingin. Di pihak lain, berbagai kurangnya pengalaman sebagai bangsa merdeka, keterbelakangan, krisis dan kerumitan masalah dalam negeri negara-negara baru menyita perhatian pemerintah dalam negeri yang akhirnya memposisikan mereka rata-rata tetap tertinggal
jauh dari negara-negara bekas penjajah. 12 Pahitnya pengalaman pengalaman masa perang dan perubahan
konstelasi politik internasional disikapi banyak negara, khususnya pemenang perang dan kuat persenjataannya dengan mempelopori berdirinya badan dunia yang memungkinkan perdamaian lebih terjamin. Upaya tersebut dimulai dengan mengokohkan pengakuan
Dalam deskripsi sederhana Carr mengungkapkan: Gunpower was followed by dynamite, nitroglycerin, and TNT. Each new explosive was able to couse more damage than older one. The most terrible destructive force yet made was first used by the United States Army in August, 1945, in the war against Japan … If more wars occur, still more fierce and deadly weapons will certainly be made and used. William G. Carr, One World in The Making; The United Nations, Second Edition, (Boston, et.al.,: Ginn and Company, t.t.), p. 3-4.
12 Negeri-negeri bekas jajahan rata-rata jatuh dalam konflik politik dalam negeri yang akut, bahkan perang saudara. Simak Abdurrahman Wahid “Reideologisasi dan
Retradisionalisasi”, p. 5.
Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI
BAB VI
akan eksistensi Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai dasar jaminan. Kesadaran akan kesamaan hak-hak dasar setiap individu dijamin dengan satu deklarasi HAM ( Declaration of Human Right) yang
ditandatangani 50 negara 10 Desember 1948. 13 Pada kurun yang sama, dunia Islam belum banyak memberi
pengaruh, kecuali dalam penyebaran kesadaran untuk merdeka yang disertai dengan kian meluasnya jargon-jargon keagamaan, serta harapan menjadikan Islam sebagai ideologi alternatif. Sejak abad 19, wacana politik Islam juga masih terbelah antara mendirikan negara Islam yang disertai penerapan syari‟ah dan membangun pemerintahan nasional sekuler. Kagi pula ide-ide politik Islam menampakkan kecenderungan korektif dan buah keprihatinan yang mendalam atas kondisi umat Islam yang tertinggal jauh dari Barat. Dibanding masalah sistem sosial politik, sasaran paling umum dalam otokritik yang dibangun untuk membangkitkan kesadaran umat Isllam untuk maju dan bersaing dengan Barat tertuju pada kurang progresifnya
pola pikir dan tradisi kemasyarakatan Islam. 14 Rekonseptualisasi ide-ide politik Islam belum berhasil
menandingi kemapanan ideologi-ideologi modern, terutama dalam menawarkan sistem pemerintahan dan tatanan sosial politik alternatif. Islam baru mampu berdiri sebagai kesadaran kelompok yang mengedepankan agama sebagai identitas, di mana penerapan hukum Islam menjadi fokus harapan dalam tatanan hukum negara. Sementara itu, ideologi-ideologi sosial politik modern secara jelas telah menfokuskan perhatiannya pada persoalan sosial politik dan
Carr, One World in The Making, p. 6-7. 14 Pembaharuan di Turki misalnya, menfragmentasikan perbedaan antara
pembaharu sekuler yang mengarahkan kritik pada hal-hal yang dianggap sebagai simbul keterbelakangan dalam tradisi yang terkait dengan agama. Simak N. Berkes, The Development of Seculerism in Turkey, (Montreal: McGill University Press, 1964), p. 385-0.
164 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru
SITUASI INTERNASIONAL DAN PERGULATAN POLITIK MASA REVOLUSI
ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan ataupun kesejahteraan sosial ekonomi dari pada sekedar masalah hukum. 15
Kelompok politik Islam sendiri belum mampu menjadi kekuatan dominan di banyak megara pasca kemerdekaan, meski mayoritas berpenduduk muslim. Negara-negara di dunia Islam yang memilih bentuk republik pada umumnya didominasi tokoh-tokoh didikan Barat yang bervisi sekuler dan kebanyakan beraliran sosialis. Pada kurun sesudah perang dunia, Islam jarang sekali memperoleh posisi dominan pada struktur sosial politik suatu negara, dan sebaliknya, tokoh-tokoh sekuler justeru memperoleh dukungan luas sebagai pengelola negara. Kaum nasionalis sekuler cenderung lebih populer dalam kepeloporan mereka pada berbagai momentum kenegaraan. Di pihak lain, kaum Islamis cenderung kurang mampu melakukan bergaining dan apalagi membangun pengaruh yang berskala nasional. Mereka hanya memperoleh dukungan dari pengikut lokal
atau kelompok keagamannya sendiri sebagai basis sosial politiknya. 16