Kultur Asli Indonesia Pra-Kolonial

A. Kultur Asli Indonesia Pra-Kolonial

Sebelum kehadiran bangsa Eropa, sebagian wilayah nusantara yang pada kurun modern berdiri menjadi negara Indonesia, terdiri dari kelompok-kelompok suku bangsa yang masing-masing menunjukkan suatu kekhususan dalam suatu kontinum perkembangan yang khusus pula. Setiap kelompok suku bangsa mencerminkan kesatuan sosio kultural, yaitu kesatuan segmen- segmen dan institusi-institusi sosial yang secara erat saling berhubungan dan secara fungsional saling ketergantungan. Kelompok tersebut terdiri atas sistem-sistem lokal yang sederhana dan tersebar pada wilayah yang sangat luas, yang membentuk sistem sosio kultural

yang kompleks. 1

1 Sartono Kartodirdjo, “Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia Abad XIX-XX” dalam Lembaran Sedjarah, (Yogyakarta: Seksi Penelitian Djurusan Sedjarah

Fakultas Sastra dan Kebudajaan Universitas Gadjah Mada, No. 1, Desember 1967), p. 3-4.

BAB III

Mereka dikenal sebagai masyarakat pedesaan yang masing- masing berdiri sendiri, tanpa keterkaitan satu dengan yang lain, tetapi memiliki kedekatan sosio-kultural, terutama karena kesamaan ras, sosial budaya dan bahasa. Komunitas yang kompleks dan berada pada teritorial yang luas tersebut dalam sejarah nusantara, bahkan sampai kurun Indonesia modern tetap dapat dikenali sebagai kelompok suku bangsa Dayak, Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Aceh dan sebagainya. Setiap kelompok suku bangsa tersebut memiliki kekhasan budaya dan terutama bahasa yang mendekatkan mereka ke dalam satu ikatan etnisitas.

Sebagian komunitas berkembang menjadi kerajaan-kerajaan yang mapan dan sebagian lagi bertahan sebagaimana sebelumnya. Munculnya berbagai institusi kerajaan lambat laun menjadikan komunitas sosio kultural yang merdeka, pada derajat berbeda, terikat di bawah pengaruh kerajaan sebagai pusat politik dan budaya. Integrasi kelompok-kelompok sosio kultural kecil yang merdeka ke dalam kelompok kerajaan yang merupakan kelompok besar melahirkan stratifikasi sosial berikut sistem statusnya. Meski demikian, integrasi suku-suku bangsa tertentu di bawah penguasaan suku bangsa lain tidak serta-merta menghapuskan identitas lokal, di mana setiap suku bangsa bertahan dengan kekhasan tradisi dan

budayanya. 2 Kerajaan-kerajaan di kawasan nusantara pada awalnya

mencerminkan satu bentuk integrasi kesukuan dengan berbagai kekhasan tradisi, sistem sosial dan kebahasaannya. Kesamaan etnisitas dan budaya yang dipandang sebagai milik bersama inilah yang melahirkan suku bangsa, yang ketika terakomodasi dalam negara melahirkan suatu bentuk nasionalitas. Perbedaan dinamika setiap masyarakat suku

bangsa di nusantara, dalam perkembangannya, menjadikan sebagian berdiri independen dan sebagian lagi berada di bawah penguasaan, atau minimal pengaruh

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional

Indonesia II, edisi 4, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), p. 21.

40 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

KULTUR SOSIAL DAN POLITIK NUSANTARA SEBELUM ERA KOLONIAL

yang lain. Beberapa kerajaan, seperti Sriwijaya, Majapahit dan Mataram merupakan sedikit di antara kerajaan-kerajaan nusantara yang menguasai, atau paling tidak, memiliki pengaruh besar pada

wilayah di luar kelompok suku bangsanya. 3 Berbagai catatan dan bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa

bangsa-bangsa nusantara telah terbiasa berhubungan dengan bangsa- bangsa di kawasan lain, mulai dari pantai Timur Afrika, Semenanjung Arab, Asia Selatan hingga Cina. Kekayaan budaya dan peradaban nusantara berkembang sebagai hasil interaksi secara dinamis dengan bangsa-bangsa lain tersebut. Apresiasi dan akulturasi budaya luar secara signifikan telah turut memperkaya khazanah kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa nusantara. Paduan antara nilai-nilai lokal dengan unsur luar yang telah diterima sebagai bagian dari kebudayaan setempat membentuk nilai-nilai kultural yang mewarnai

pola perilaku dan sistem sosial politik bangsa-bangsa di nusantara. 4 Persentuhan bangsa nusantara dengan bangsa lain

mengakibatkan perubahan dan perkembangan berbagai aspek kehidupan. Dampak dari hubungan dengan bangsa India, Cina dan Arab tampak pada perubahan sistem pemerintahan, birokrasi, tata susunan kemasyarakatan serta kepercayaan agama. Diterimanya tradisi luar terutama agama Hindu, Budha dan kemudian Islam, tidak secara radikal menghapus tradisi yang sudah ada, melainkan berpadu

Majapahit termasuk sedikit di antara kerajaan nusantara yang mampu

membangun imperium terluas di Asia Tenggara. John Miksic, eds., Indonesian

Heritage: Ancient History, (Jakarta: Buku Antar Bangsa for Grolier International Inc., 1996), p. 113. Sekalipun tidak dalam konteks penguasaan sebagaimana daerah- daerah di pulau Jawa, pengaruh Mataram cukup kuat terhadap daerah seberang dari

Sumatera hingga Sulawesi dan Maluku. Simak H.J. De Graff, Puncak Kekuasaan

Mataram; Politik Ekspansi Sultan Agung, Edisi Revisi, editor Eko Endarmoko dan Jaap Erkelen, (Jakarta: Pustaka Grafiti, 2002), p. 329-339.

4 Masyarakat nusantara mengalami evolusi sosial seiring masuknya peradaban luar, yang diikuti perkembangan organisasi pemerintahan yang mulai meningkat

dengan sistem birokrasi yang lebih kompleks. Miksic, eds., Indonesia Heritage:

Ancient…, p. 49.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB III

dan melahirkan sintesa budaya khas nusantara. Kerajaan-kerajaan nusantara dapat dihindukan, dibudhakan dan kemudian diislamkan tanpa banyak mengubah pola hidup dan kebudayaan setempat. Masyarakat Jawa, Aceh, Bugis, Bali dan berbagai suku tetap dengan kekhasan tradisi dan kulturalnya semula, meski telah menerima

kebudayaan luar sebagai bagian dari tradisi dan budaya mereka. 5 Pengaruh budaya luar lebih menonjol pada aspek diterimanya

agama sebagai bagian dari identitas sosial budaya setempat, sekalipun cenderung mengambil bentuk sinkretis. Perpaduan agama Hindu dan Budha melahirkan sinkrestisme berupa ajaran Siwa-Budha, juga terakomodasikannya

kebudayaan lokal dalam perbendaharaan keagamaan, khususnya Hindu. Islam yang berkembang pada kurun berikutnya juga tidak lepas dari pola-pola keagamaan sinkretik, perpaduan khas antara ajaran dan nilai-nilai agama dengan tradisi masyarakat lokal maupun tradisi keagamaan sebelumnya. Hal ini dikarenakan nusantara memang tidak kering dari tradisi dan budaya yang berkembang baik sebagai apresiasi terhadap budaya luar yang terjadi sebelumnya maupun sebagai hasil dinamika

khazanah

di dalam negeri sendiri. 6

Secara eksplisit hal ini tampak pada arsitektur candi yang ternyata tidak ditemukan kemiripan tipologinya dengan yang ada di India, atau sistem kasta yang dalam praktiknya tidak sama dengan yang berlaku dalam kultur masyarakat India. Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, p. 8 dan p. 22-7. Perkembangan mutakhir Indonesia juga memperlihatkan bahwa bahasa Indonesia yang kemudian menjadi bahasa nasionalnya merupakan paduan antara bahasa Melayu sebagai unsur pokoknya ditambah bahasa Sansekerta, Arab, Cina, Belanda dan Inggris, di

samping bahasa daerah. John McGlynn, eds., Indonesia Heritage: Language and

Literatur, (Singapore: Archipelago Press, 1998), p. 74-5. 6 Kehadiran agama memang potensial membentuk kultur, tetapi tidak secara

keseluruhan, karena masyarakat nusantara sendiri sudah terbiasa hidup dengan sistem keyakinan yang mendarah-daging baik dalam rupa animisme, dinamisme maupun hasil perpaduan dengan nilai-nilai dan tradisi luar. Masuknya sebuah agama, termasuk Islam, tidak pernah menjadi satu-satunya pembentuk kultur, karena bangsa nusantara juga berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain, termasuk Eropa. Irwan Abdullah dan Azyumardi Azra “Islam dan Akomodasi Kultural” dalam

42 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

KULTUR SOSIAL DAN POLITIK NUSANTARA SEBELUM ERA KOLONIAL

Apresiasi terhadap budaya luar tak membuat masyarakat nusantara kehilangan identitsnya. Unsur-unsur budaya asli tetap dominan dalam tradisi dan perikehidupan sosial budaya. Meski menerima ajaran Hindu dengan stratifikasi sosialnya ( kasta), tapi penerapannya di nusantara berbeda dari praktik serupa di daratan India. Pengaruh agama tersebut hanya tampak pada pemapanan sistem keyakinan agama dan kepercayaan dari animisme ke agama formal, sementara praktiknya berjalan dengan corak budaya asli nusantara. Kehadiran agama-agama dari luar berikut kebudayaan negeri asalnya yang secara kultural berangkat dari pola tradisi dan kebudayaan yang hampir sama, yang pada perkembangan awalnya hanya menjadi tambahan legitimasi dan pengokohan bagi struktur

sosial politik dan kebudayaan nusantara. 7 Hingga memasuki masa kolonial sistem sosial politik nusantara

masih murni tradisional dengan ciri-ciri kultural sebagaimana umumnya masyarakat praindustri. Hanya beberapa kerajaan nusantara secara bertahap mengalami perkembangan kebudayaan dan

peradaban dari negara agraris ke maritim. Setelah berinteraksi semakin intensif dengan budaya luar, dinamika sosial politik,

kebudayaan, peradaban masyarakat dan negara semakin meningkat, yang ditandai dengan makin kuatnya daya tahan kerajaan-kerajaan di

Taufik Abdullah, eds., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Asia Tenggara, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Houve, 2002), p. 29.

7 Intensitas keterpaduan agama dan khazanah budaya lokal sangat beragam. Paduan antara Hindu dan Budha pada kerajaan Majapahit melahirkan ajaran Siwa-

Budha yang berpadu dengan paham kosmogoni di mana raja diposisikan sebagai Buddhisatva, yaitu manusia tercerahkan dengan berkah ketuhanan yang bertugas membimbing rakyatnya. Sedangkan masuknya Islam membawa perubahan pada perkembangan monarkhi absolut sebagaimana berkembang di Timur Tengah sejak era Umayyah (661 M). Azyumardi Azra “Tradisi Politik” dalam Abdullah, eds., Ensiklopedi Tematis Dunia…, p. 79.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB III

kawasan ini, dengan pemerintahan yang lebih stabil, cakupan wilayah dan relasi perekonomian yang semakin luas. 8

Berbeda halnya ketika pada kurun yang lebih awal, potensi agraris menjadi tumpuan utama, negara hanya mampu memfokuskan diri pada aspek keamanan dalam negeri, yang karenanya daya tahan kerajaan tidak cukup kuat. Ini dapat dicermati pada bagaimana daya tahan kerajaan-kerajaan nusantara kuno, seperti Mulawarman, Tarumanegara, Kalingga, Tumapel dan Kediri misalnya, bila dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang muncul lebih kemudian seperti Majapahit dan Mataram Islam.

Kerajaan-kerajaan yang muncul kemudian, terutama di Jawa, berkembang relatif stabil dengan sistem birokrasi pemerintahan yang ditunjang berbagai sumber pendapatan negara baik dari potensi agraris maupun perdagangan. Relasi dengan bangsa luar yang semakin intensif, paling tidak telah mendorong berkembangnya kerajaan-kerajaan maritim di nusantara yang lebih maju dengan akses hubungan luar negeri yang lebih luas. Sriwijaya, Majapahit dan Mataram Islam merupakan sebagian di antara perkembangan setingkat lebih maju sebagai negara maritim yang ditunjang berbagai aturan birokrasi untuk menjamin stabilitas dalam negeri, meski tidak

mengabaikan potensi agrarisnya. 9 Ketika bangsa Eropa pertama-tama mencapai daratan

nusantara, status dan kedudukan bangsa nusantara dengan bangsa

Perkembangan perekonomian maritim sekaligus agraris meningkatkan kebutuhan akan penataan sistem birokrasi dan administrasi yang lebih kompleks. Perkembangan kerajaan Jawa pada abad 17 memperlihatkan perkembangan sistem birokrasi yang melahirkan stratifikasi sosial dengan cakupan bidang tugas yang lebih luas. Kartodirdjo “Kolonialisme dan Nasionalisme…”, p. 11-6 dan 44-5.

9 Antony Reid sebagaimana diulas Bambang Purwanto menyebut memuncaknya dinamika perdagangan antar pulau dan benua menjadikan abad 16-17

sering disebut sebagai abad perdagangan nusantara. Bambang Purwanto “Ekonomi Masa Kesultanan” dalam Taufik Abdullah, eds., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:

Asia Tenggara, p. 273. Simak pula Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II, p. 72-3.

44 ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru

KULTUR SOSIAL DAN POLITIK NUSANTARA SEBELUM ERA KOLONIAL

lain berada pada posisi setara. Bangsa nusantara juga tidak terkesan lebih kecil dan terbelakang dibanding bangsa Eropa. Bangsa Eropa bahkan merasa memasuki daerah yang lebih kaya, atau paling tidak

berhadapan dengan bangsa yang setaraf dengan mereka. Sebaliknya, bangsa nusantara juga tidak menilai bangsa Eropa sebagai bangsa

yang istimewa. Bangsa yang dipandang besar, kuat dan disegani saat itu, termasuk oleh bangsa Eropa, adalah imperium Islam Turki, bukan

Eropa. 10 Meski belum mengarah pada perkembangan seperti yang terjadi

di Eropa pada kurun yang sama, setidaknya kebudayaan dan peradaban nusantara memperlihatkan kecenderungan berkembang secara dinamis. Barangkali bila tidak terlanjur didahului penjajahan, atau minimal, bilamana interaksi budaya nusantara dengan budaya luar, khususnya Eropa, dapat berlangsung sebagaimana relasi dengan bangsa Arab, Cina dan India, bangsa nusantara dapat mengikuti modernitas Barat sebagaimana Jepang. Persoalannya, sejak kehadiran bangsa Eropa, potensi ke arah dinamika tersebut tidak berkembang karena kecenderungan eksploitatif yang sedemikiran besar di kalangan pendatang dari Eropa, yang mengakibatkan dinamika

tersebut terhenti, bahkan mengalami kemunduran. 11 Tidak sebagaimana budaya India, Cina dan Arab yang mampu

berakulturasi dengan relatif tanpa konflik, budaya Eropa, terutama di bidang tatanan sosial politik, militer, pemerintahan dan teknologi tidak mengalami akulturasi secara memadai. Ketamakan pendatang Eropa yang terlalu menonjol pretensi eksploitatifnya, di samping pola

10 Meski sering kali dikesankan sebagai warisan kolonial, sebenarnya komoditas komersial hasil perkebunan sudah menjadi bagian dari perikehidupan

sosial ekonomi masyarakat nusantara jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa. Onghokham, “Reaksi terhadap Kekalahan”, dalam Prisma, no. 11, 1984, p. 45.

11 Kemerosotan nusantara dimulai dari jatuhnya kepulauan di wilayah timur Indonesia ke dalam penguasaan Eropa, yang lambat laun mengurangi intensitas

pelayaran bangsa nusantara ke luar wilayahnya. Peran mereka dalam jalur distribusi barang ke luar dan masuk wilayah nusantara praktis diambilalih bangsa-bangsa Eropa. Lapian, “Perebutan Samudera”, dalam Ibid., p. 38-9.

Menelusuri Jejak Politik Indonesia Hingga Penghujung Era Orde Baru ISLAM DAN KEGAGALAN DEMOKRASI

BAB III

pikir masyarakat yang belum mampu mengimbanginya, menyebabkan budaya dan peradaban Eropa disikapi secara antipati dan

perlawanan. 12 Masyarakat nusantara relatif kurang mengapresiasi kemajuan

Eropa secara akulturatif yang memperkembangkan peradabannya seperti proses akulturasi dengan peradaban Cina, Arab dan India. Saat Eropa mencapai taraf kemajuan yang pesat dalam sistem ketatanegaraan, administrasi dan teknologi, kerajaan-kerajaan nusantara masih lekat dengan otokrasi tradisional yang mendasarkan pada keturunan dengan serangkaian mitos-mitos irasionalnya. Di pihak lain, setara dengan Islam di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Islam nusantara telah disibukkan dengan tradisi keagamaan eskapis dan kurang respek pada tradisi intelektual dan perkembangan tuntutan kehidupan 13 profan yang kian progresif.