1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pergaulan hidup manusia diatur antara lain oleh kaedah-kaedah yang merupakan pedoman atau patokan dalam batas-batas perikelakuan manusia.
Secara sadar maupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari manusia dibatasi perikelakuannya, agar dia tidak merugikan pihak lain. Pelanggaran terhadap
batas-batas yang ditentukan oleh kaedah-kaedah tersebut, akan menyebabkan terjadinya pertentangan kepentingan yang mungkin sekali akan menggoncangkan
seluruh masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat.
1
Dalam masyarakat maupun kelompok-kelompok sosial lainnya, senantiasa dikenal apa yang disebut dengan pengendalian sosial social control. Sistem
pengendalian sosial disebut juga “pengendalian sosial” saja atau “kontrol sosial” atau kadang-kad
ang juga dinamakan “pengawasan sosial” adalah, suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak,
membimbing, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaedah-kaedah yang berlaku.
2
1
Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi Jakarta: CV. Rajawali, 1981, h. 47.
2
Ibid., h. 48.
2
Pengendalian sosial dapat bersifat preventif dan represif. Pada pengendalian sosial yang bersifat preventif, merupakan usaha yang dilakukan
sebelum terjadi pelanggaran, tujuannya untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Sedangkan pengendalian sosial yang bersifat represif diadakan, apabila telah
terjadi pelanggaran dan berusaha hendak memulihkan keadaan pada situasi semula atau sebelum pelanggaran itu terjadi.
3
Pengalaman-pengalaman hidup manusia dalam masyarakat selalu dihadapkan pada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan
membentuk pola tingkah laku masyarakat, yang secara umum harus diindahkan dan dihormati oleh warga masyarakat di lingkungan tersebut. Nilai-nilai hidup
yang membentuk pola tingkah laku ini pada proses selanjutnya akan membentuk norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang tujuanya untuk mengatur
kehidupan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dinamakan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat atau dikenal dengan adat istiadat.
4
Kata “adat” sebenarnya berasal dari bahas Arab, yang berati kebiasaan. Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta
“a” berarti “bukan” dan “dato” yang artinya “sifat kebendaan”. Dengan demikian, maka adat sebenarnya bersifat immaterial: artinya, adat menyangkut
hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.
5
3
Ibid., h. 49.
4
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum Jakarta: Sinar Grafika, 2006, h. 47.
5
Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia Jakarta: CV Rajawali, 1981, h. 83.
3
Adapun kenyataan yang hidup di Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi, yang moyoritas masyarakatnya merupakan transmigran dari pulau Jawa.
Maka mereka pun tetap mengembangkan tradisi atau kebiasan yang mereka lakukan pada saat masih tinggal di Jawa. Salah satu kebiasaan adat yang tidak
ditinggalkan adalah dalam masalah pelaksanaan pernikahan yang termasuk di dalamnya tentang khitbah atau lamaran. Bagi masyarakat Pulung Rejo ini orang
yang akan menikah harus melakukan lamaran terlebih dahulu kepada pihak perempuan.
Melamar artinya meminang, karena pada zaman dulu di antara pria dan wanita yang akan menikah terkadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini
orang tualah yang mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang apakah puterinya sudah atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa
dibicarakan hari baik untuk menerima lamaran atas persetujuan bersama. 1.
Pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang
lazim disebut Jodang tempat makanan dan lain sebagainya yang dipikul oleh empat orang pria.
2. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain: Jadah dodol,
wajik, rengginang dan sebagainya. 3.
Menurut naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan baku ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan
kelak kedua pengantin dan antar besan tetap lengket pliket, Jawa. 4.
Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah pihak keluarga laki-laki dan perempuan, merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara pening
setan. Banyak keluarga Jawa masih melestarikan sistem pemilihan hari dalam baik untuk upacara pening setan dan hari ijab pernikahan.
6
6
httpId. Wikipedia.OrgWikiUpacara_Pernikahan, diakses pada tanggal 23 juli 2010.
4
Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara dua pihak yang saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap ada perjanjian. Suatu
perjanjian belum tentu akan terus mengikat para pihak walaupun telah disepakati. Supaya perjanjian disepakati dapat mengikat harus ada tanda ikatan. Tetapi
dengan adanya tanda ikatan belum tentu suatu perjanjian itu dapat dipenuhi. Tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak, di mana kedua pihak berkewajiban memenuhi perjanjian yang telah disepakati itu. Istilah yang terkenal dalam adat Jawa sebagai tanda jadi adalah
panjer khususnya dalam perjanjian kebendaan, walaupun terkadang juga dipakai dalam hubungan perkawinan.
7
Namun secara umum yang terkenal dalam istilah perjanjian dalam hubungan pernikahan adalah peningsetan.
Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset Jawa yang berarti ikat, peningsetan jadi berarti pengikat. Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan
sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin wanita.
Menurut tradisi peningsetan terdiri dari: Kain batik, bahan kebaya, perhiasan emas seperti cincin, gelang, kalung, dan uang yang lazim disebut tukon
imbalan disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah dodol, wajik, rengginang, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu
jenjang satu karung kelapa, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut
7
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990, h. 92.
5
kedatangan ini diiringi dengan gending Nala Ganjur. Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama antara kedua pihak setelah upacara
peningsetan.
8
Cincin merupakan paningsetan yang sering dipergunakan dalam masyarakat Pulung Rejo dalam pelaksanaan lamaran. Pemberian cincin dilakukan
pada saat proses lamaran itu dilaksanakan, atau setelah lamaran diterima sebagai tanda ikatan dan keseriusan, serta setelah lamaran diterima oleh pihak keluarga
wanita maka, selanjutnya dibicarakan masalah palang atau ganti rugi bila kelak ada salah satu pihak yang menyalahi janji atau membatalkan khitbahnya. Dengan
jumlah uang yang telah disepakti dan ditentukan oleh keluarga kedua belah pihak, serta disaksikan oleh tokoh desa dan para sesepuh desa serta tetangga-tetangga
terdekat. Dikarenakan ada pihak yang merasa dirugikan baik berupa moril maupun materil. Dalam segi moril misalnya, nama baik keluarga tercoreng dan
adanya anggapan bahwa orang yang lamarannya dibatalkan akan sulit kembali untuk mendapatkan jodoh. Sedangkan dari segi materil dapat dilihat dari biaya-
biaya yang telah dikeluarkan dalam acara lamaran. Selain itu dalam masalah waktu yang hanya terbuang sia-sia karena menunggu sesuatu yang tidak pasti.
Adapun yang sering djiadikan sebagai alasan masyarakat Pulung Rejo dalam pembatalan khitbah, dikarenakan ketidakcocokan dari dua keluarga besar
yang diketahui setelah proses lamaran itu terjadi. Banyak juga dikarenakan lamanya waktu antara masa peningsetan atau tunangan dengan akad nikah yang
8
httpId. Wikipedia. OrgWikiUpacara_Pernikahan, diakses tanggal 23 juni 2010.
6
akan dilaksanakan. Sehingga banyak hal yang mungkin terjadi diantaranya: adanya lamaran dari pihak lain bagi pihak perempuan yang lebih siap dan mapan
dari segi ekonomi dan dari pihak laki-laki pun dimungkinkan karena jatuh hati lagi kepada perempuan lain yang menyebabkan keraguan untuk melanjutkan
pertunangannya ke jenjang pernikahan atau merasa bahwa diri mereka belum cukup mapan untuk menghidupi sebuah keluarga.
Pada dasarnya, khitbah belum mengakibatkan hukum apapun sehingga bila terjadi pembatalah dibolehkan. Akan tetapi, dari realitas yang terjadi dalam
masyarakat Desa Pulung Rejo orang yang membatalkan khitbah akan diberi sanksi ganti rugi, sebenarnya masyarakat mempunyai tujuan baik dalam segi
norma dan nilai-nilai sosiologis yang akan dicapai dan dipertahankan dalam kehidupan bermasyarakat. Dan salah satunya upaya masyarakat untuk
mengantisifasi terjadinya konflik setelah pembatalan. Konflik-konflik terbuka dalam masyarakat harus dicegah dan setiap
pangkat, kedudukan yang ada di masyarakat harus diakui, melalui sikap saling menghormati. Demikian pula dengan masyarakat Desa Pulung Rejo yang ingin
mempertahankan hidup rukun, adil, damai, saling menghormati, menghargai sehingga menjadi masyarakat yang sejahtera.
Maka berdasarkan fenomena di atas penulis ingin mengkaji lebih dalam sebuah skripsi yang terjudul
“Ganti Rugi Pembatalan Khitbah dalam Tinjauan Sosiologis
” Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi.
7
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah