Analisis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo

70 manusia itu ditentukan oleh nafsu dan ketamakan, yang mewujudkan diri dalam situasi konflik yang keras”. 25 Adapun manfaat yang terbesar bagi masyarakat adalah tercapainya kehidupan yang rukun dan damai, serta tidak adanya permusuhan antara satu keluarga dalam masyarakat khususnya setelah terjadi pembatalan khitbah. sebagaimana yang ungkapkan oleh tokoh agama Desa Pulung Rejo “Ganti rugi pembatalan khitbah ini berpengaruh terhadap, kerukunan, perdamaian dan bagi pihak yang dibatalkan mendapatkan kadilan ” 26

C. Analisis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap kasus ganti rugi pembatalan khitbah pada masyarakat Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi, dapat dikemukakan bahwa pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung Rejo dianggap sebagai masalah sosial, sehingga masyarakat sepakat untuk membebankan ganti rugi bagi pelaku yang membatalkan khitbah. Dikatakan sebagai masalah sosial, karena sesuatu yang diinginkan tidak sesuai dengan yang diharapakan. Seperti keinginan untuk menikah dengan seseorang yang awalnya telah sepakat, tetapi dalam keadaan tertentu ada salah satu pihak yang membatalkan dengan berbagai alasan. Seperti, adanya orang ketiga, masalah 25 Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004, h. 9. 26 Sudayat, Tokoh Agama, Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 14 September 2010. 71 keluarga yang tidak menyukai akhlak dari calon menantunya yang diketahui setelah khitbah terjadi, serta masalah k afa’ah atau kesetaraan dalam hal pendidikan dan kekayaan. Kesepakatan adanya ganti rugi pembatalan khitbah ini dilakukan setelah khitbah itu diterima, maka dalam hal ini masyarakat telah mengantisifasi jika pembatalan khitbah itu terjadi. Karena tujuan dari ganti rugi tersebut adalah untuk mencegah adanya pembatalan yang berarti pelanggaran perjanjian untuk melakukan pernikahan. Jika pembatalan tetap terjadi ganti rugi juga diharapkan dapat menjadi suatu penyelesaian masalah untuk mengembalikan kepada kondisi semula, yaitu menghilangkan kesalah pahaman antara kedua keluarga yang terjadi setelah pembatalan khitbah. Secara sosiologis dapat pula dikatakan ganti rugi merupakan suatu alat pengendalian sosial dalam masyarakat. Somorejono, yang merupakan sesepuh desa masyarakat Desa Pulung Rejo menyatakan bahwa pembebanan ganti rugi itu dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang hanya sebatas sebagai ikatan agar tidak terjadi pengingkaran diantara salah satu pihak. Dan kesepakatan ini dilakukan berdasarkan atas keputusan bersama dalam masyarakat, maka ganti rugi ini juga merupakan suatu norma yang harus ditaati oleh setiap orang yang hidup di masyarakat Desa Pulung Rejo. Karena pembebanan ganti rugi ini terjadi jika pembatalan khitbah itu dibatalkan yang berarti harapan untuk menikah pun dibatalkan. Fungsi suatu norma itu untuk menyatakan tentang apa yang 72 seharusnya dilakukaan seseorang dalam hubungan antara sesama manusia. 27 Akan tetapi, jika salah satu pihak melanggar kesepakatan tersebut maka ganti rugi ini tetap diberlakukan dengan pembayaran sejumlah uang yang mereka sepakati sebelumnya. Karena khitbah atau lamaran ini bukan hanya melibatkan dua keluarga tetapi disaksikan oleh para sesepuh desa dan orang-orang yang bertempat tinggal dekat dengan mereka. Maka untuk menebus rasa malu dan rasa kecewa diharapkan ganti rugi ini dapat menyatukan kembali dua keluarga yang merasa sakit hati agar tidak terjadi permusuhan yang berkepanjangan. 28 Dari pembagian hasil ganti rugi, maka penulis menyimpulkan adanya suatu nilai materil. Karena 25 dari hasil ganti rugi diberikan Kepada Desa yang nantinya akan digunakan untuk kepentingan umum. Sedangkan 25 diberikan kapada para saksi yang terdiri dari perangkat desa dan tokoh masyarakat serta karib kerabat yang masih dalam lingkungan satu RT. Pembagian ini, memperlihatkan bahwa masyarakat ingin mengambil suatu keuntungan dari adanya pembatalan khitbah, dengan dalih sebagai ganti jasa dalam meyelesaikan permasalahan secara damai. Hukum adat tidak mengenal perbedaan antara hukum privat dan hukum publik, ia tidak mengenal pembagian antara hukum perdata dan pidana, oleh karenanya penyelesaian perselisihan secara damai tidak tertutup kemungkinan di 27 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat Bandung: Angkasa, 1984, h., 32. 28 Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi. Pulung Rejo, 21 September 2010. 73 segala bidang perselisihan. Penyelesaian secara damai ini dipandang perlu untuk menghilangkan rasa dendam antara satu sama lain, selain itu untuk menumbuhkan kerukunan hidup satu sama lain. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan kerukunan itu erat hubungannya dengan visi seseorang dalam sikap hidup bermasyarakat sebagaimana dikehendaki oleh adat guna mewujudkan kedamaian, ketenangan dan kebahagian dalam kehidupan bersama. Penyelesaian perselisihan secara damai tidak bergantung ada tidaknya perundingan desa, tidak tergantung ada tidaknya ketua-ketua adat. Faktor yang penting dalam acara penyelesaian secara damai ialah ada tidaknya i’tikad baik, ada tidaknya hasrat keinginan saling memaafkan, ada tidaknya keinginan memelihara kerukunan dan hubungan kekeluargaan antara satu sama lain. Untuk penyelesaian konflik secara damai yang dibicarakan dalam perundingan perdamaian itu antara lain adalah persyaratan yang bagaimana yang seharusnya dipenuhi oleh pihak yang merugikan untuk berdamai dengan pihak yang dirugikan, misalnya berapa besar biaya atau denda adat yang harus dibayar atau dipenuhi. Berapa biaya-biaya obat, penguburan upacara adat dan agama yang diperlukan, berapa besar ganti kerugian yang dimintai dan adakah diperlukan nyawa dibayar nyawa. 29 Demikian pula dengan masyarakat Desa Pulung Rejo membebankan ganti rugi dikarenakan untuk menciptakan kerukunan dan perdamaian dengan 29 Hilman Hadikusuma, Hukum Ketatanegaraan Adat Bandung: Alumni, 1981, h. 133-137. 74 penyelesaian konfik secara damai, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan dan rasa keadilan terwujudkan. Dalam hal pembatalan khitbah harus membayar ganti rugi atau denda dengan jumlah yang telah disepakati. Ini dimaksudkan untuk mengganti biaya- biaya upacara adat yang dilakukan pada saat khitbah serta untuk menyatakan adanya tanggung jawab atas kelalaian yang telah diperbuat oleh salah satu pihak dalam perjanjian yang menyebabkan pembatalan. Selain itu, dengan adanya ganti rugi ini diharapkan tidak ada pihak yang mungkir ingkar janji dengan alasan-alasan yang tidak rasional serta masalah- masalah sepele, dikarenakan pembatalan khitbah ini dapat berpengaruh terhadap orang yang dibatalkan khitbahnya. Di mana orang akan berprasangka buruk dan mencari cacat cela yang mungkin dianggap sebab pembatalan sesungguhnya. Sehingga berakibat sulit kembali bagi orang yang dibatalkan khitbahnya untuk mendapatkan pasangan hidupnya. Masyarakat akan berfikir negatif tentang seseorang yang khitbahnya dibatalkan dan hal ini, akan berakibat hilangnya rasa percaya diri seseorang serta ketenteraman hidup yang mereka rasakan dalam keluarga akan berkurang atau bahkan hilang disebabkan adanya penilaian atau pandangan buruk dari masyarakat umum. Hal ini merupakan dampak negatif yang akan dirasakan oleh seseorang dalam menghadapi kehidupannya setelah pembatalan khitbah terjadi. Rasa malu, kecewa serta sakit hati yang dirasakan tidak ada pernah terbayar dengan jumlah uang yang diterimanya sebagai ganti rugi, karena dalam 75 pelaksanaan khitbah masyarakat Pulung Rejo melibatkan banyak orang seperti tokoh masyarakat, sesepuh adat, keluarga besar serta tetangga yang masih terhitung dalam satu RT. Dengan banyaknya orang yang menyaksikan maka berita pembatalan juga akan tersebar luas yang berakibat menjatuhkan nama baik keluarga. Oleh sebab itu, masalah pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung Rejo merupakan persoalan yang urgen penting, karena dampak yang dirasakan bukan hanya pada individu akan tetapi pada sebuah keluarga. Dengan ini, masyarakat mengharapkan adanya ganti rugi dapat mencegah seseorang untuk membatalkan khitbah serta kegagalan dalam pernikahan. Adanya sanksi materil memang selama ini, berjalan dengan baik dan harapan masyarakat untuk mencegah serta mengatasi konflik akibat pembatalan khitbah juga tercapai dikarenakan jumlah yang ditawarkan serta disetujui oleh kedua belah pihak keluarga cenderung tinggi. Berkisar antara Rp 5.000.000 lima juta rupiah sampai Rp 20.000.000 dua pulug juta rupiah, sehingga membuat orang berpikir dua kali jika harus memberikan uang sebesar itu tanpa alasan yang pasti. Maka dengan besarnya jumlah denda atau ganti rugi dapat berakibat baik bagi seseorang bahkan juga berakibat buruk bagi seseorang. Tetapi jumlah yang disepakati tentunya disesuaikan dengan kemampuan material atau kehidupan ekonomi seseorang. Semakin mapan kehidupan ekonomi seseorang, maka semakin tinggi pula jumlah palang atau ganti rugi yang ditetapkan. 76 Banyak hal yang dijadikan sebagai alasan seseorang untuk membatalkan khitbahnya. Maka, dengan ini masyarakat sepakat untuk tetap memberlakukan palang atau ganti rugi guna sebagai sanksi yang mengakibatkan rasa jera sehingga tidak ada lagi pihak yang membatalkan khitbah tanpa sebab yang pasti. Dan adanya ganti rugi ini masyarakat bisa merasakan manfaatnya karena kerukunan, keadilan dan perdamaian antara dua pihak keluarga setelah terjadi pembatalan khitbah tetap dapat menyambung hubungan baik, walaupun tidak sebaik sebelumnya. Tetapi setidaknya rasa dendam dan permusuhan serta kesalah pahaman dapat diredam dan diselesaikan secara baik melalui ketua-ketua adat. Selain itu, penulis juga dapat melihat dengan adanya dampak positif ganti rugi ini, yaitu seseorang akan lebih hati-hati dalam memilih pasangan dalam hidupnya. Sehingga tidak akan menyebabkan pembatalan yang mengakibatkan terjadinya kegagalan dalam pernikahan, bahkan perceraian jika pernikahan tetap dilaksanakan. 77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Penulis telah menguraikan pada bab sebelumnya mengenai Ganti Rugi Pembatalan Khitbah dalam Tinjauan Sosiologis yang didasarkan kepada Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Khitbah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai sinonim dengan peminangan, yang berasal dari kata “pinang” atau “meminang”. Secara etimologis meminang atau melamar artinya antar lain “meminta wanita untuk dijadikan isteri bagi diri sendiri atau o rang lain”. Sedangkan, secara terminologis peminangan adalah “ kegiatan atau upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Adapun pelaksanaan khitbah di desa Pulung Rejo, seperti yang ada di bawah ini: a. Pihak keluarga perjaka mengutus seseorang yang dipercayai ke rumah sang gadis, untuk menanyakan tentang hubungan putrinya dengan sang perjaka karena pada zaman sekarang anak telah saling mengenal lebih dahulu maka tinggal izin orangtualah yang diperlukan. b. Setelah keluarga gadis menyetujui tentang hubungan mereka, maka utusan dari keluarga perjaka menentukan hari dan waktu yang tepat untuk datang