Ganti rugi pembatalan khitbah dalam tinjauan sosiologis (studi kasus masyarakat desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi)

(1)

Kecamatan Rimbo Ilir Jambi)

Oleh

:

Siti Nurhayati

Nim: 106043201353

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKU

LTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011 M


(2)

(Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo

Kecamatan Rimbo Ilir Jambi)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Siti Nurhayati

NIM. 106043201353

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing

Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA NIP: 19560906 198203 1 004

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

(Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi) telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada 1 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH).

Jakarta, 1 Maret 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag (………...)

NIP: 196511191998031002

2. Sekretaris : Fahmi M. Ahmadi, S. Ag. M.Si (………...)

NIP: 197412132003121002

3. Pembimbing : Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA (………...)

NIP: 195609061982031004

4. Penguji I : Drs. Noryamin Aini, MA (………...) NIP: 19630305199103002

5. Penguji II : Dr. Euis Nurlaelawati, MA (………...)


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,


(5)

i

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain ungkapan puja dan puji serta rasa syukur atas karunia yang tak terhingga yang

diberikan Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

juga kepada kelurga, sahabat dan umatnya yang senantiasa mengikiti jejak langkah

beliau sampai hari akhir nanti, amiin.

Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan serta hambatan yang

penulis hadapi. Namun, berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan hati dan kerja

keras disertai dukungan dan bantuan dari berbagai pihak langsung maupun tidak

langsung, segala kesulitan serta hambatan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya dan

akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.

Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin menghaturkan

terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM., Dekan

Fakkultas Syari’ah dan Hukum

2. Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag, selaku ketua program studi perbandingan

madzhab dan hukum, dan Bpk. Fahmi Muhammad Ahmadi S.Ag, M.Si,

selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum yang

telah memberikan arahan, bimbingan dan motifasi kepada penulis dalam


(6)

ii

4. Pimpinan perpustakaan beserta stafnya yang telah memberikan fasilitas

kepada penulis untuk mengadakan studi pustaka

5. Ucapan terima kasih ini juga penulis haturkan secara khusus kepada

Ayahanda Marino dan Ibunda tercinta Sutini yang senatiasa berjuang dan

berdo’a dan mendukung penuh secara materi dan imateri hingga penulis dapat

menyelesaikan studi ini

6. Kakak- kakakku yang selalu memberikan nasehat dan kepada adikku tercinta

Wifi, Syahrul yang memberikan kecerian dalam hidupku dan seluruh keluarga

di rumah yang senantiasa mengisi warna indah dalam ruang kehidupan

penulis, semoga kami akan selalu bersama mewarnai indahnya hidup ini

hingga mentari tak bersinar lagi.

7. Kepada seluruh teman-teman seperjuanganku PMH angkatan 2006 serta

semua pihak yang telah tersita waktu maupun tenaganya yang tidak dapat

penulis sebutkan satu-persatu. Hanya kepada Allah jua lah Penulis serahkan

semoga dapat dibalas dengan pahala yang setimpal.

Tak ada gading yang tak retak, skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Saran dan kritik penulis sangat harapkan demi perbaikan ke depan.

Jakarta, 18 Januari 2011 15 Shafar 1432


(7)

iii

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Riview Terdahulu ... 9

E. Objek Penelitian ... 10

F. Metode Penelitian... 11

G. Sistematika Penulisan... 14

BAB II PROSES KHITBAH MASYARAKAT DESA PULUNG REJO KECAMATAN RIMBO ILIR JAMBI A. Sekilas tentang Khitbah dalam presfektif Fiqih ... 16

B. Gambaran Umum Masyarakat Desa Pulung Rejo ... 31

C. Pelaksanaan Khitbah Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi ... 36

BAB III BEBERAPA PENYEBAB PEMBATALAN KHITBAH DESA PULUNG REJO KEC. RIMBO ILIR JAMBI A. Faktor Adanya Pihak Ketiga... 47


(8)

iv

E. Faktor Kematian ... 55

BAB IV GANTI RUGI PEMBATALAN KHITBAH PADA MASYARAKAT DESA PULUNG REJO

A. Pengetahuan Masyarakat Desa Pulung Rejo Tentang Ganti Rugi

Dalam Pembatalan Khitbah ... 57

B. Tinjauan Sosiologis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Masyarakat

Desa Pulung Rejo ... 67

C. Analisis Ganti Rugi Pembatalan Khitbah Desa Pulung Rejo ... 70

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 81


(9)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pergaulan hidup manusia diatur antara lain oleh kaedah-kaedah yang

merupakan pedoman atau patokan dalam batas-batas perikelakuan manusia.

Secara sadar maupun tidak, dalam kehidupan sehari-hari manusia dibatasi

perikelakuannya, agar dia tidak merugikan pihak lain. Pelanggaran terhadap

batas-batas yang ditentukan oleh kaedah-kaedah tersebut, akan menyebabkan

terjadinya pertentangan kepentingan yang mungkin sekali akan menggoncangkan

seluruh masyarakat atau bagian-bagian tertentu dari masyarakat. 1

Dalam masyarakat maupun kelompok-kelompok sosial lainnya, senantiasa

dikenal apa yang disebut dengan pengendalian sosial (social control). Sistem

pengendalian sosial (disebut juga “pengendalian sosial” saja atau “kontrol sosial” atau kadang-kadang juga dinamakan “pengawasan sosial”) adalah, suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak,

membimbing, atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai

dan kaedah-kaedah yang berlaku. 2

1

Soerjono Soekanto, Memperkenalkan Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali, 1981), h. 47.

2


(10)

Pengendalian sosial dapat bersifat preventif dan represif. Pada

pengendalian sosial yang bersifat preventif, merupakan usaha yang dilakukan

sebelum terjadi pelanggaran, tujuannya untuk mencegah terjadinya pelanggaran.

Sedangkan pengendalian sosial yang bersifat represif diadakan, apabila telah

terjadi pelanggaran dan berusaha hendak memulihkan keadaan pada situasi

semula atau sebelum pelanggaran itu terjadi.3

Pengalaman-pengalaman hidup manusia dalam masyarakat selalu

dihadapkan pada nilai-nilai hidup. Nilai-nilai tersebut selanjutnya akan

membentuk pola tingkah laku masyarakat, yang secara umum harus diindahkan

dan dihormati oleh warga masyarakat di lingkungan tersebut. Nilai-nilai hidup

yang membentuk pola tingkah laku ini pada proses selanjutnya akan membentuk

norma-norma yang berisi perintah dan larangan yang tujuanya untuk mengatur

kehidupan masyarakat. Nilai-nilai inilah yang dinamakan dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat atau dikenal dengan adat istiadat.4

Kata “adat” sebenarnya berasal dari bahas Arab, yang berati kebiasaan. Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa sansekerta

“a” (berarti “bukan”) dan “dato” (yang artinya “sifat kebendaan”). Dengan demikian, maka adat sebenarnya bersifat immaterial: artinya, adat menyangkut

hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.5

3

Ibid., h. 49.

4Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 47.

5

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: CV Rajawali, 1981), h. 83.


(11)

Adapun kenyataan yang hidup di Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir

Jambi, yang moyoritas masyarakatnya merupakan transmigran dari pulau Jawa.

Maka mereka pun tetap mengembangkan tradisi atau kebiasan yang mereka

lakukan pada saat masih tinggal di Jawa. Salah satu kebiasaan adat yang tidak

ditinggalkan adalah dalam masalah pelaksanaan pernikahan yang termasuk di

dalamnya tentang khitbah atau lamaran. Bagi masyarakat Pulung Rejo ini orang

yang akan menikah harus melakukan lamaran terlebih dahulu kepada pihak

perempuan.

Melamar artinya meminang, karena pada zaman dulu di antara pria dan

wanita yang akan menikah terkadang masih belum saling mengenal, jadi hal ini

orang tualah yang mencarikan jodoh dengan cara menanyakan kepada seseorang

apakah puterinya sudah atau belum mempunyai calon suami. Dari sini bisa

dibicarakan hari baik untuk menerima lamaran atas persetujuan bersama.

1. Pada hari yang telah ditetapkan, datanglah utusan dari calon besan yaitu orang tua calon pengantin pria dengan membawa oleh-oleh. Pada zaman dulu yang lazim disebut Jodang ( tempat makanan dan lain sebagainya ) yang dipikul oleh empat orang pria.

2. Makanan tersebut biasanya terbuat dari beras ketan antara lain: Jadah (dodol), wajik, rengginang dan sebagainya.

3. Menurut naluri makanan tersebut mengandung makna sebagaimana sifat dari bahan baku ketan yang banyak glutennya sehingga lengket dan diharapkan kelak kedua pengantin dan antar besan tetap lengket (pliket, Jawa).

4. Setelah lamaran diterima kemudian kedua belah pihak keluarga laki-laki dan perempuan, merundingkan hari baik untuk melaksanakan upacara pening setan. Banyak keluarga Jawa masih melestarikan sistem pemilihan hari dalam baik untuk upacara pening setan dan hari ijab pernikahan.6

6


(12)

Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara dua pihak yang

saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap ada perjanjian. Suatu

perjanjian belum tentu akan terus mengikat para pihak walaupun telah disepakati.

Supaya perjanjian disepakati dapat mengikat harus ada tanda ikatan. Tetapi

dengan adanya tanda ikatan belum tentu suatu perjanjian itu dapat dipenuhi.

Tanda pengikat dari suatu perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah

pihak, di mana kedua pihak berkewajiban memenuhi perjanjian yang telah

disepakati itu. Istilah yang terkenal dalam adat Jawa sebagai tanda jadi adalah

panjer khususnya dalam perjanjian kebendaan, walaupun terkadang juga dipakai

dalam hubungan perkawinan.7 Namun secara umum yang terkenal dalam istilah

perjanjian dalam hubungan pernikahan adalah peningsetan.

Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti ikat,

peningsetan jadi berarti pengikat. Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan

sesuatu sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon

pengantin wanita.

Menurut tradisi peningsetan terdiri dari: Kain batik, bahan kebaya,

perhiasan emas seperti cincin, gelang, kalung, dan uang yang lazim disebut tukon

(imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang berisi: jadah

(dodol), wajik, rengginang, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu

jenjang (satu karung) kelapa, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut

7

Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 1990), h. 92.


(13)

kedatangan ini diiringi dengan gending Nala Ganjur. Biasanya penentuan hari

baik pernikahan ditentukan bersama antara kedua pihak setelah upacara

peningsetan.8

Cincin merupakan paningsetan yang sering dipergunakan dalam

masyarakat Pulung Rejo dalam pelaksanaan lamaran. Pemberian cincin dilakukan

pada saat proses lamaran itu dilaksanakan, atau setelah lamaran diterima sebagai

tanda ikatan dan keseriusan, serta setelah lamaran diterima oleh pihak keluarga

wanita maka, selanjutnya dibicarakan masalah palang atau ganti rugi bila kelak

ada salah satu pihak yang menyalahi janji atau membatalkan khitbahnya. Dengan

jumlah uang yang telah disepakti dan ditentukan oleh keluarga kedua belah pihak,

serta disaksikan oleh tokoh desa dan para sesepuh desa serta tetangga-tetangga

terdekat. Dikarenakan ada pihak yang merasa dirugikan baik berupa moril

maupun materil. Dalam segi moril misalnya, nama baik keluarga tercoreng dan

adanya anggapan bahwa orang yang lamarannya dibatalkan akan sulit kembali

untuk mendapatkan jodoh. Sedangkan dari segi materil dapat dilihat dari

biaya-biaya yang telah dikeluarkan dalam acara lamaran. Selain itu dalam masalah

waktu yang hanya terbuang sia-sia karena menunggu sesuatu yang tidak pasti.

Adapun yang sering djiadikan sebagai alasan masyarakat Pulung Rejo

dalam pembatalan khitbah, dikarenakan ketidakcocokan dari dua keluarga besar

yang diketahui setelah proses lamaran itu terjadi. Banyak juga dikarenakan

lamanya waktu antara masa peningsetan atau tunangan dengan akad nikah yang

8


(14)

akan dilaksanakan. Sehingga banyak hal yang mungkin terjadi diantaranya:

adanya lamaran dari pihak lain bagi pihak perempuan yang lebih siap dan mapan

dari segi ekonomi dan dari pihak laki-laki pun dimungkinkan karena jatuh hati

lagi kepada perempuan lain yang menyebabkan keraguan untuk melanjutkan

pertunangannya ke jenjang pernikahan atau merasa bahwa diri mereka belum

cukup mapan untuk menghidupi sebuah keluarga.

Pada dasarnya, khitbah belum mengakibatkan hukum apapun sehingga

bila terjadi pembatalah dibolehkan. Akan tetapi, dari realitas yang terjadi dalam

masyarakat Desa Pulung Rejo orang yang membatalkan khitbah akan diberi

sanksi ganti rugi, sebenarnya masyarakat mempunyai tujuan baik dalam segi

norma dan nilai-nilai sosiologis yang akan dicapai dan dipertahankan dalam

kehidupan bermasyarakat. Dan salah satunya upaya masyarakat untuk

mengantisifasi terjadinya konflik setelah pembatalan.

Konflik-konflik terbuka dalam masyarakat harus dicegah dan setiap

pangkat, kedudukan yang ada di masyarakat harus diakui, melalui sikap saling

menghormati. Demikian pula dengan masyarakat Desa Pulung Rejo yang ingin

mempertahankan hidup rukun, adil, damai, saling menghormati, menghargai

sehingga menjadi masyarakat yang sejahtera.

Maka berdasarkan fenomena di atas penulis ingin mengkaji lebih dalam

sebuah skripsi yang terjudul “Ganti Rugi Pembatalan Khitbah dalam Tinjauan Sosiologis” (Studi Kasus Masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi).


(15)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Kembali kepada latar belakang di atas, penulis mengidentifkasi seputar

masalah faktor-faktor serta akibat dari pembatalan khitbah, jika dilihat atau

ditinjau sebagai wilayah kajian sosiologis. Maksud dari dibebankanya ganti rugi

kepada pihak yang membatalkan khitbah dengan sejumlah uang yang telah

disepakati kedua belah pihak, dikarenakan masalah khitbah itu bukan persoalan

kecil. Disanalah nama keluarga besar diikut sertakan dan jika terjadi sesuatu yang

tidak baik maka nama keluarga juga yang akan tercoreng.

Disini penulis lebih melihat bahwa masyarakat Desa Pulung Rejo Kec.

Rimbo Ilir Jambi, menginginkan suatu kehormatan keluarga seseorang itu terjaga.

Selain itu, masyarakat juga mengharapkan suatu kehidupan yang harmonis antara

satu sama lain dengan tidak ada perpecahan dan kesalah pahaman yang

menyebabkan rasa dendam serta konflik yang berkepanjangan.

Melihat dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas,

maka dapat diidentifikasikan bahwa permasalan pokok yang akan diteliti dan

diuraikan dalam skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimana Pelaksanaan khitbah di Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir

Jambi.

2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pembatalan khitbah di Desa

Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi.

3. Apa tujuan masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi


(16)

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Dalam skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai oleh penulis,

adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pelaksanaan khitbah dalam masyarakat Desa Pulung Rejo

Kecamatan Rimbo Ilir Jambi.

2. Mengetahui faktor penyebab pembatalan khitbah dalam masyarakat Desa

Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi.

3. Mengetahui tujuan masyarakat Desa Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir

Jambi membebankan ganti rugi pembatalan khitbah.

Adapun manfaat dalam penulisan skripsi ini adalah:

Dapat diketahui bahwa nilai suatu penelitian tergantung pada

metodologinya, juga tentunya dalam hal ini ditentukan pula besarnya manfaat

penelitian tersebut. Untuk itu dalam penulisan skripsi ini penulis mengharapkan

adanya manfaat atau kegunaan yang dapat diperoleh:

1. Bagi penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata SI

dan menjadikan wawasan serta ilmu pengetahuan dalam masalah ini.

2. Sebagai bahan kajian dalam dunia akademis.

3. Bagi mahasiswa hasil penelitian dan tulisan ini dapat dijadikan referensi dan

tambahan pemikiran dalam dunia akademik.

Bagi masyarakat penelitian ini, dapat memberi manfaat sebagai berikut:

1. Memberikan pencerahan pemikiran khususnya dalam masalah khitbah kepada

masyarakat.

2. Supaya masyarakat memikirkan terlebih dahulu dampak positif dan negatif


(17)

D. Review Kajian Terdahulu

Penelitian seputar khitbah (pinangan) belum banyak penelitian yang

dilakukan oleh peneliti sebelumnya, apalagi penelitian tentang khitbah dalam

keterkaitannya dengan ganti rugi pembatalan khitbah. Dari hasil penelusuran,

penulis menemukan tema tentang peminangan, diantaranya skripsi berjudul:

“Tradisi Khitbah di Kalangan Masyarakat Betawi Menurut Hukum Islam (studi Kasus Kelurahan Rawajati Kecamatan Pancoran Jakarta Selatan” disusun oleh Hoirum Kodriasih, mahasiswa jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007. Skripsi ini, membahas

tentang praktek khitbah khusus masyarakat Betawi di Desa Rawajati. Bahwa ada

sebagian praktek budaya meminang yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran

agama Islam.9

Ada juga skripsi yang berjudul “Peminangan dalam Perspektif Fikih dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) disusun oleh Nurkhairiyati Hernia, jurusan

Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Dalam skripsi ini, penulis menjelaskan konsep peminangan

menurut Fikih dan KHI, serta membandingkan persamaan dan perbedaan

diantara keduanya.10

9

Hoirum Kodriasih. Tradisi Khitbah di Kalangan Masyarakat Betawi Menurut Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Rawajati Kec. Pancoran Jakarta Selatan), Jurusan Ahkwal Al-Syakhsiyah, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

10

Nurkhairiyati Hernia. Peminangan dalam Perspektif Fikih dan Kompilasi Hukum Islam, Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, Fakultas Syari‟ah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2008.


(18)

Selanjutnya ada juga skripsi yang berjudul “Prosesi Peminangan Menurut Adat Bima dalam Prespektif Islam (Studi Kasus di Kec. Danggo Kab. Bima

Nusa Tenggara Barat), disusun oleh Toty Citra Warsita, Jurusan Administrasi

Keperdataan Islam, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Skripsi ini menjelaskam adat peminangan Bima yang dianggap

sedikit menyimpang dari ajaran agama Islam, karena masyarakatnya masih

dipengaruhi tradisi nenek moyang.11

Sedangkan dalam skripsi ini, penulis membedakan pembahasan penelitian

dari skripsi yang sudah ada di atas dengan perbedaan, yaitu terkait dengan

konteks pembebanan ganti rugi dalam pembatalan khitbah yang ditinjau dari

aspek sosiologis, yang merupakan studi kasus masyarakat Desa Pulung Rejo

Jambi. Dengan alasan bahwa tinjauan terhadap aspek sosiologisnya yang lebih

relevan sebagai pertimbangan untuk mencegah kegagalan dalam pernikahan.

E. Objek Penelitian

Penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah masyarakat Desa

Pulung Rejo Kecamatan Rimbo Ilir Jambi, khususnya dalam permasalahan ganti

rugi terhadap pembatalan khitbah.

11

Toty Citra Warsita, Prosesi Peminangan Adat Bima dalam Perspektif Islam (Studi kasus di Kec. Danggo Kab. Bima Nusa Tenggara Barat), Jurusan administrasi Keperdataan Islam, Fakultas


(19)

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

1. Sifat dan Pendekatan

Penelitian ini adalah penelitian empiris yang bersifat deskriptif, di mana

penulis bertujuan memberikan gambaran terhadap keadaan masyarakat Desa

Pulung Rejo, dalam masalah ganti rugi pembatalan khitbah, berdasarkan

faktor-faktor, latar belakang pendidikan, ekonomi, sosial dan adat yang

nampak dan berpengaruh dalam situasi yang diselidiki. Pendekatan yang

peneliti gunakan yaitu, metode penelitian hukum sosiologis yang dinyatakan

sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati dalam kehidupan.12 Seperti,

melihat unsur-unsur sosial yang mempengaruhi pembebanan ganti rugi

pembatalan khitbah Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo ilir Jambi.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan ini terdiri dari sumber data

yang primer dan sumber data yang skunder. Adapun sumber data yang primer

adalah:

a. Responden, yakni orang atau keluarga yang dijadikan objek penelitian,

dalam hal ini adalah pelaku yang khitbahnya dibatalkan maupun yang

membatalkan (HY, SP, WD, WG, SK, A) tokoh adat (Bpk. Dainuri),

12

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2003), h. 76.


(20)

tokoh agama (Bpk. H. Sudayat), yang dianggap relevan dimintai

keterangan.

b. Informan, yakni orang yang memberikan informasi mengenai situasi dan

kondisi obyektif wilayah daerah yang diteliti yang terdiri dari aparatur

pemerintahan (Bpk. Sakiyo) sesepuh Desa Pulung Rejo (Bpk.

Somorejono).

Sedangkan sumber data yang sekunder adalah buku-buku yang berkaitan

dengan persoalan perkawinan terutama yang membahas khitbah (Upacara

Perkawinan Adat Jawa, karangan Thomas Wijaya Bratawijaya) dan

buku-buku yang terkait dengan adat-istiadat (Hukum Perkawinan Adat, karangan

Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Indonesia). Selain itu buku pengantar

sosiologi (Memperkenalkan Sosiologi, Sosiologi Suatu Pengantar, karangan

Soerjono Soekanto), serta masih banyak lagi buku-buku yang berkaitan

dengan pembahasan skripsi ini.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Dilakukan oleh penulis kepada sejumlah responden sebanyak 4 orang

yang merupakan pelaku pembatalan khitbah di Desa Pulung Rejo ( SP,

SK, WG, A). Dan 2 orang yang khitbahnya dibatalkan (HR, WD) sebagai

sampel dan wawancara dengan Sesepuh Adat (Bpk. Somorejono), tokoh


(21)

Rejo (Bpk. Sakiyo), (masing-masing satu orang). Dalam hal ini penulis

menggunakan metode interview terpimpim dengan menggunakan

pedoman wawancara (interview guide) sebagai acuan agar proses

interview terfokus pada permasalahan yang dimaksud.

b. Studi kepustakaan

Studi ini dilakukan untuk mencari data melalui buku-buku tentang

perkawianan khususnya yang membahas khitbah, (Upacara Perkawinan

Adat Jawa), adat-istiadat perkawinan orang Jawa,(Hukum Perkawinan

Adat, Ensiklopedi Adat-Istiadat Budaya Jawa, Hukum Adat Indonesia)

dan buku sosiologi seperti, Memperkenalkan Sosiologi, Sosiologi Suatu

Pengantar, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Hukum dan

Masyarakat, Sosiologi Kontemporer, serta buku lainya sebagai literatur

yang berkaitan dengan persoalan yang penulis bahas.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam pengolahan data penulis menguraikan pendapat responden tentang

ganti rugi pembatalan khitbah dalam bentuk kata-kata atau kalimat bedasarkan

pertanyaan yang penulis ajukan, kemudian penulis juga menganalisis apa

yang menjadi faktor-faktor serta tujuan yang melatar belakangi masyarakat

Desa Pulung Rejo membebankan ganti rugi pada pihak yang membatalkan

khitbah. Dan setelah seluruh data yang penulis peroleh dari wawancara dan

kepustakaan diseleksi, disusun, diklasifikasikan serta direduksi lalu diadakan

analisis data dalam bentuk analisis deskriptif yang disajikan dalam uraian.


(22)

jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi

yang biasa disebut editing.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan mengacu kepada buku pedoman penulisan

skripsi, Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayahtullah Jakarta tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab yang terdiri dari sub-sub

pokok sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan yang mencakup dari latar belakang masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, objek

penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Pada bab kedua ini menguraikan sekilas tentang khitbah dalam

prespektif Fiqih, kondisi monografi, kondisi demografi, kondisi

sosiologi dan gambaran adat yang digunakan oleh masyarakat Desa

Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi.

BAB III Bab ketiga ini penulis akan menjelaskan, beberapa penyebab

masyarakat membatalkan khitbahnya bila dilihat dari sosial

masyarakat Desa Pulung Rejo.

BAB IV Sedangkan dalam bab empat ini penulis akan menjelaskan,


(23)

pembatalan khitbah, tinjauan sosiologis pembatalan khitbah serta

analisis dari penulis yang merupakan hasil penelitian.

BAB V Pada bab lima ini yang merupakan hasil akhir dari penelitian yang

berisikan penutup dan kesimpulan dari pembahasan bab-bab


(24)

16

BAB II

PROSES KHITBAH MASYARAKAT DESA PULUNG REJO KECAMATAN RIMBO ILIR JAMBI

A. Sekilas Tentang Khitbah dalam Perspektif Fiqih 1. Pengertian dan Dasar Hukum Khitbah

Kata Khitbah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai sinonim

dengan peminangan, yang berasal dari kata “pinang” atau “meminang” (kata kerja)1 atau bersinonim juga dengan melamar.

Secara etimologis meminang atau melamar artinya (antar lain)

“meminta wanita untuk dijadikan isteri (bagi diri sendiri atau orang lain)”. Sedangkan, secara terminologis peminangan adalah “ kegiatan atau upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang

wanita “2

atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk

menjadi isteri dengan cara-cara yang umum berlaku di tengah-tengah

masyarakat.

Dalam pelaksanaan khitbah biasanya masing-masing pihak saling

menjelaskan keadaan dirinya atau keluarganya. Tujuannya tidak lain untuk

menghindari terjadinya kesalahpahaman di antara kedua belah pihak.3Khitbah

1

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 73.

2

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Perssindo, 1992), h. 113.

3


(25)

merupakan pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan, disyari‟atkan sebelum ada ikatan suami isteri dengan tujuan agar memasuki perkawinan

didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing

pihak. Adakalanya pernyataan keinginan tersebut disampaikan dengan bahasa

yang jelas dan tegas (syarih) atau dapat juga dilakukan dengan sindiran

(kinayah).4

Adapun dasar nash al-Quran tentang khitbah atau lamaran:















































































































2

235

Artinya:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf]. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Q.S Al-Baqarah (2): 235)

Dasar nash hadits yaitu hadits dari Jabir bin Abdullah riwayat Abu

Daud:

4

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu ( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1984) juz III, h. 10.


(26)

5

Artinya:

“Apabila seseorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk menikahinya, maka laksanakanlah” (HR.Abu Daud).

Demikianlah makna khitbah ditinjau dari segi bahasa Arab adalah

lamaran atau permohonan seorang laki-laki kepada perempuan yang dipinang

untuk dinikahinya. Maka pinangan dalam pandangan syari’at Islam bukanlah suatu transaksi (akad) antara laki-laki yang meminang dengan perempuan

yang dipinang atau walinya. Akan tetapi, itu tidak lebih dari pada lamaran

atau permohonan untuk menikah.

Adapun perempuan yang boleh dipinang adalah yang memenuhi syarat

sebagai berikut:

a. Tidak dalam pinangan orang lain.

b. Pada waktu dipinang tidak ada penghalang syar’i yang melarang dilangsungkannya pernikahan.

c. Perempuan itu tidak pada masa iddah karena thalak raj’i.

d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena thalak ba’in, hendaklah meminang dengan cara siryy ( tidak terang-terangan ). 6

2. Tujuan Khitbah atau Lamaran

Setiap orang yang melakukan peminangan sebelum akad pernikahan,

adalah untuk merealisasikan tujuan yang sangat banyak, yang terpenting

diantaranya tujuan-tujuan itu adalah :

5

Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud ( Beirut: Daar Ibnu Hazm, 202 H), Jilid, II, h. 480.

6


(27)

a. Memudahkan jalan perkenalan antara peminang dengan yang dipinang serta keluarga kedua belah pihak. Untuk menumbuhkan rasa kasih sayang (mawaddah) selama masa pinangan, setiap salah satu dari salah satu pihak akan memanfaatkan momen ini secara maksimal dan penuh kehati-hatian dalam mengenal pihak yang lain, berusaha untuk menghargai dan berinteraksi dengannya.

b. Ketentraman jiwa, karena sudah merasa cocok dengan masing-masing calon pasangannya, maka memunginkan bagi keduanya merasa tentram dan yakin dengan calon pasangan hidupnya. 7

Sedangkan hikmah disyariatkanya pinangan, meskipun hukumnya

tidak sampai pada tingkat wajib, selalu mempunyai tujuan dan hikmah.

Adapun hikmah dari adanya syariat pinangan adalah untuk lebih menguatkan

ikatan perkawinan yang diadakan sesudah itu, karena dengan pinangan itu

kedua belah pihak dapat saling mengenal.

3. Hukum Melihat Calon Pinangan

Untuk kebaikan dalam kehidupan berumah tangga, kesejahteraan dan

kesenangannya, semestinya laki-laki melihat dulu perempuan yang akan

dipinangnya, sehingga ia dapat menentukan apakah peminangan itu diteruskan

atau dibatalkan. Melihat orang yang akan dijadikan teman hidup sebagai

bentuk ibadah harus dilakukan dengan teliti dan melalui berbagai

pertimbangan normal seperti isyarat hadits:

8

7

Abd. Nashir Taufiq, Saat Anda Meminang (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001), h. 19-21.

8

Muhammad Nasruddin Albani, Mukhtashar Shahih Muslim (Beirut: Maktab Al-Islami), h., 175.


(28)

Artinya:

“Seorang perempuan dinikahi (dijadikan isteri) atas dasar empat pertimbangan yaitu: karena kecantikannya hartanya, keturunannya, agamanya, maka menangkanlah pilihan agama dan engkau akan beruntung”

Begitu pula dengan seorang perempuan, secara tersirat hadits tersebut

menyebutkan kata “laki-laki” untuk diterima khitbahnya dengan empat pertimbangan:

a. Karena ketampanannya b. Karena hartanya

c. Karena keturunannya d. Karena agamanya

Karena adanya kesetaraan kedudukan antara pria dan wanita di

hadapan Allah, maka hak melamar dan dilamar akan terealisasikan secara

proposional berdasarkan keadaan yang memungkinkan9. Karena kita ketahui

tujuan dari pernikahan itu mulia, yaitu untuk mendapatkan keturunan,

memelihara kehormatan, merealisir segi-segi ibadah, kesehatan moral,

kemasyarakatan dan sebagainya. Islam mengharapkan agar kita sampai pada

cita-cita yang dimaksud, maka tidak ada salahnya apabila laki-laki berupaya

menyelidiki perempuan yang hendak dinikahinya, agar dapat dirasakan

keserasian yang sebenarnya.10

Sebagian ulama berpendapat bahwa melihat perempuan yang akan

dipinang itu hukumnya sunnah. Keterangannya adalah sabda Rasulullah

SAW:

9

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Mazhab ( Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 137-138.

10

Thoriq Ismail Kahiya, Matakuliah Menjelang Pernikahan, Hukum Melamar Perempuan yang Sudah Dilamar Orang Lain ( Surabaya: Pustaka Progressif, 2004), h. 86.


(29)

11

Artinya:

“Apabila salah seorang kamu meminang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.” (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)

Imam Malik hanya membolehkan pada bagian muka dan dua telapak

tangan. Fuqaha yang lain membolehkan melihat seluruh bagian badan kecuali

dua kemaluan. Sementara fuqaha yang lain lagi melarang melihat sama sekali.

Sedangkan Abu Hanifah membolehkan melihat dua telapak kaki, muka dan

dua telapak tangan.12

Perbedaan pendapat ini disebabkan karena dalam persoalan ini

terdapat suruhan untuk melihat wanita secara mutlak, terdapat pula larangan

secara mutlak, dan ada pula suruhan yang bersifat terbatas, yakni pada muka

dan dua telapak tangan, berdasarkan pendapat mayoritas ulama berkenaan

dengan firman Allah SWT pada surat an-Nur; 31

(

Artinya:

“Dan janganlah (kaum wanita) menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya (Qs An-Nur : 31)

11

Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud, ( Beirut: Daar Ibnu Hazm, 202 H), jilid,II, h. 480.

12

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid: Analisa Fiqih Para Mujtahid. Penerjemah Imam Ghhazali Said, (Jakarta : Pustaka Amani, 1989) jilid II, h. 395.


(30)

Pengertian “perhiasan yang biasa tampak daripadanya” adalah muka dan telapak tangan. Karena diqiyaskan pada waktu berhaji.13 Selain itu

Jumhur juga berpendapat bagian yang boleh dilihat yitu muka dan telapak

tangan. Dikarenakan dengan melihat muka dapat diketahui cantik atau jelek

dan melihat telapak tangannya dapat diketahui badannya subur atau tidak.14

Izin untuk melihat ini tidak harus dengan persetujuan perempuan

tersebut, dan sebaiknya dilakukan tanpa sepengetahuannya, karena hal itu

mutlak diizinkan oleh Rasulullah SAW, tanpa syarat keridhaannya. Biasanya

perempuan akan malu untuk memberikan izin. Hal ini hanya untuk menjaga

agar tidak melukai perasaannya, kalau setelah melihatnya laki-laki itu

mengundurkan diri. Karena itulah dianjurkan untuk melihat tanpa

sepengetahuan si perempuan sebelum melakukan peminangan.

Bilamana seorang laki-laki melihat bahwa pinangannya ternyata tidak

menarik hati, hendaklah dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang

menyakitkan hatinya, sebab boleh jadi perempuan yang tidak disenanginya itu

akan disenangi orang lain.15

4. Permasalahan dalam Khitbah

Khitbah merupakan pendahuluan untuk melakukan pernikahan dan

merupakan perbuatan mubah, memiliki tata cara tertentu yang diatur oleh

13

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 25.

14

M. Bukhori, Hubungan Seks menurut Islam ( Jakarta : Bumi Aksara, 1994), h. 18.

15


(31)

Islam. Hal-hal tersebut terkait dalam permasalahan yang akan dibahas sebagai

berikut antara lain :

a. Meminang Pinangan Orang Lain

Meminang pinangan orang lain itu hukumnya haram, sebab berarti

merampas hak dan menyakiti hati orang lain, memecahkan hubungan

kekeluargaan, menganggu ketentraman. Maksud dari meminang pinangan

orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu telah menerima

pinangan laki-laki yang pertama dan Walinya dengan terangan-terangan

mengizinkannya, bila izin itu memang diperlukan. Tetapi, kalau pinangan

semua ditolak dengan terang-terangan atau sindiran, atau laki-laki yang

kedua belum tahu ada orang lain yang sudah meminangnya, atau pinangan

pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-laki pertama

mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya maka yang demikian

diperbolehkan.16

Alasan secara umum adanya larangan melamar perempuan yang

sudah dilamar orang lain karena akan mengakibatkan terlukanya perasaan

pelamar pertama, sehingga akan menimbulkan perseteruan dan kemarahan

serta rasa sakit hati yang berlebihan.

b. Meminang Wanita yang dalam Masa Iddah

Diharamkan bagi orang yang meminang mantan istri orang lain

atau wanita yang sedang iddah, baik dalam masa iddah kematian

16


(32)

suaminya, karena talaq raj’i maupun talak ba’in. Jika perempuan yang sedang Iddah talaq raj’i haram dipinang, karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya, dan suaminya masih berhak merujuknya kembali

sewaktu-waktu ia suka.17 Adapun, melakukan lamaran kepada perempuan

dalam keadaan talak ba‟in (talak tiga), tidak boleh dengan terang -teranganberdasar kesepakatan. Sedang, fuqaha berbeda pendapat tentang

lamaran yang dilakukan cara sindirian kepada perempuan karena talak

ba‟in. 18

Sedangkan bagi perempuan yang sedang iddah kematian boleh

dipinang secara sindiran, walaupun kalangan ulama fikih masih berbeda

pendapat, karena perempuan yang sedang iddah kematian hubungan suami

istri terputus sehingga hak suami terhadap istri hilang sama sekali.

Meskipun demikian, pinangan yang diajukan kepada perempuan tersebut

hendaknya tidak mengganggunya, apalagi sampai mencemarkan namanya

dimata tetangga atau kerabatnya.19 Sebagaimana firman Allah SWT:













































17

Tihami, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengakap (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2009), h., 30.

18

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan Antar Madzhab (Jakarta: PT Heza Lestari, 2006), h., 117.

19


(33)



































































)

2

235

Artinya:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah SWT mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Baqarah (2): 235)

c. Menyendiri dengan Tunangan

Tidak boleh seseorang menyendiri dengan tunangannya, karena

mereka belum menikah dan belum menjadi suami isteri. Mereka masih

tetap dianggap orang lain sampai adanya akad yang pernikahan

dengannya.20 Hal ini karena menyendiri dengan pinangan mendorong

melakukan perbuatan yang dilarang agama. Akan tetapi, bila ditemani

oleh salah seorang mahramnya untuk mencegah terjadinya

maksiat-maksiat, maka diperbolehkan. Dalam masalah ini ada kaitannya dengan

hadits Rasulullah SAW :

20

Abu Muhammad Asraf bin Abdul Maqsud, Curhat Pernikahan (Bandung : Pustaka Rahmat, 2009), h. 16.


(34)

21

Artinya:

“Dari Amir bin Robi‟ah, Rasulullah bersabda: “Diharamkan kepada laki-laki berdua dengan wanita yang bukan mahramnya karena yang ketigannya adalah setan kecuali ada mahram” (HR. Ahmad).

d. Tukar Cincin dalam Tunangan

Bertukar cincin yang dilakukan sebagai tanda adanya ikatan antara

seorang perempuan dengan seorang lak-laki sebagai tunangannya bukan

merupakan cara Islam. Tukar cincin juga bukan cara bangsa-bangsa Asia,

melainkan cara bangsa Roma (Eropa) yang mendapat pengesahan dari

gereja. Jadi, tukar cincin ini mulanya bukan pula cara umat Kristiani,

melainkan warisan kebudayaan Romawi.

Tukar cincin diadakan sebagai ikatan akan kawin, bukan sebagai

tanda sudah kawin. Orang yang baru bertukar cincin belum dikatakan

punya ikatan sah sebagai suami isteri sebelum dilakukannya akad nikah.

Mereka masih sama-sama orang asing. Walaupun sering terjadi di tengah

masyarakat antara perempuan dan laki-laki yang bertukar cincin bebas

bergaul berduaan, pergi bersama-sama seperti layaknya suami isteri.22

21

Ahmad Ibnu Hambal, Almusnad lil Imam Ahmad Ibnu Hambal (Beirut-Libanon: Darul Fikri, 1994 H/ 1414 M), h. 450.

22

Muhammad Thalib, 40 Petunjuk Menuju Perkawianan Islami (Bandung : Irsyad Baitus Salam, 1995), h. 75.


(35)

Adapun khilafiyah hukum laki-laki memakai cincin emas,

dikarenakan adanya larangan dari Rasulullah bagi lak-laki menggunakan

cincin yang terbuat dari emas :

23

Artinya:

“Dari Addullah bin Umar, Nabi SAW pernah menyaksikan sebagian sahabat mengenakan cincin emas, maka beliau berpaling dari padanya, lalu dilemparkannya, akhirnya mengenakan cincin dari besi. Kemudian, Rasul SAW bersabda : Ini jelek dan ini perhiasan penduduk neraka, lalu dilemparkan. Maka, mereka mengenakan cincin dari perak. Dan beliau diam, tidak lagi memberi komentar (HR. Abu Daud dan Baihaqy)

5. Akibat Hukum Khitbah

Khitbah adalah pendahuluan perkawinan, tetapi bukan akad nikah.

Kadang-kadang seorang laki-laki yang akan mengkhitbah seorang wanita

memberikan hadiah sebagai penguat ikatan, untuk memperkokoh hubungan

baru antara mereka. Tetapi harus diingat bahwa semua perkara adalah

wewenang Allah SWT, Dia berbuat sekehendak-Nya, bagaimanapun dan

waktu kapanpun kadang-kadang terjadi sesuatu diluar perhitungan manusia,

23

Imam Hafiz al-Mushannif al-Muttaqin Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Daud (Beirut: Daar al-Haris, 202 H), Jil. II, h. 214.


(36)

seperti ada pihak keluarga yang ingin membatalkan rencana perkawinan. Ini

pernah terjadi dan sering terjadi.24

Khitbah hanya bermaksud memperlihatkan atau mengumumkan akan

diadakan pernikahan, jangan ditambah-tambah keadaanya, diperkuat, dan

ditetapkan kedudukannya. Bagaimanapun juga, khitbah tidak menyebabkan

adannya ketentuan bagi si wanita untuk secara bebas menjadi hak bagi yang

meminangnya. Ada yang penting ditekankan disini adalah bahwa perempuan

yang dipinang tetap merupakan orang lain bagi laki-laki yang meminang,

sampai pernikahannya dengan perempuan itu terlaksana dengan baik.

Perempuan statusnya belum dapat berubah menjadi istri sebelum akad syara’ yang benar dilangsungkan. Rukun dasar dalam akad nikah adalah ijab qobul.

Ijab dan qobul berupa lafazh-lafazh perjanjian yang sudah diketahui menurut

adat dan syara.25

Wajib kita ketahui bahwa kitbah hanyalah janji untuk mengadakan

perkawinan tetapi bukan akad nikah yang mempunyai kekuatan hukum.

Memenuhi janji untuk menikah adalah kewajiban bagi kedua belah pihak

yang berjanji. Agama tidak menetapkan hukum tertentu bagi pelanggarnya

tetapi melanggar janji adalah temasuk perbuatan yang tercela, pelanggaran

24

H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam (Jakarta, Pustaka Amani, 1989), h. 27.

25

Yusuf Qardhawi, Problematika Islam Masa Kini, Qardhawi MenJawab (Bandung, Trigenda Karya, 1995), h. 489.


(37)

janji adalah salah satu sifat munafik.26Akan tetapi walaupun khitbah hanyalah

sebagai pendahuluan sebelum dilaksanakannya akad nikah, tetapi ada akibat

yang ditimbulkan jika khitbah tersebut dibatalkan. Biasanya dalam

melaksanakan khitbah pihak laki-laki seringkali sudah memberikan

pembayaran mahar seluruh atau sebagiannya dan memberikan macam-macam

hadiah serta pemberian-pemberian guna memperkokoh pertalian dan

hubungan yang masih baru itu. Akan tetapi terkadang terjadi bahwa pihak

laki-laki atau wanita ataupun kedua-duanya kemudian membatalkan rencana

pernikahannya.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa khitbah semata-mata baru

merupakan perjanjian hendak melakukan akad nikah. Dan membatalkannya

adalah menjadi hak masing-masing pihak yang tadinya telah mengikat

perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janjinya Islam tidak mejatuhkan

hukuman materil, sekalipun perbuatan ini dipandang umat tercela dan

dianggapnya sebagai salah satu dari sifat-sifat kemunafikan, terkecuali kalau

ada alasan-alasan yang benar yang menjadi sebab tidak dipatuhinya

perjanjianya tadi.

Pemberian yang telah diberikan oleh peminang yang berupa mahar

harus dikembalikan, karena mahar adalah dalam rangka perkawinan. Sebelum

perkawinan berlangsung pihak wanita belum berhak meminta mahar, mahar

itu wajib dikembalikan karena mahar itu masih milik si peminang. Adapun

26


(38)

hadiah-hadiah yang pernah diberikan dianggap hibah, karena itu tidak perlu

diminta kembali sebab sudah menjadi milik wanita yang dipinang dan ia

sudah boleh memanfaatkannya. Orang yang menuntut kembali pemberiannya

berarti mencabut milik orang lain tanpa kerelaanya, perbuatan ini bathil

menurut syara’. Kecuali apabila peminang memberikan sesuatu minta ditukar dengan barang lainnya kemudian yang diberi belum memberi ganti maka ia

berhak meminta kembali pemberiannya, karena pemberiannya itu

dimaksudkan untuk menukar dan apabila perkawinan tidak jadi berlangsung

maka ia berhak meminta kembali pemberiannya.27

6. Hukum pembatalan Khitbah

Khitbah atau lamaran adalah permulaan sebagai pembuka pintu

menuju pernikahan. Sebagai pembuka disini dapat diasumsikan janji untuk

menikah dan bukan sebagai pelegalan hubungan antara laki-laki dan

perempuan.28 Walaupun pandangan sering kita saksikan ditengah masyarakat

yang baru bertunangan. Mereka bebas bergaul berduaan, pergi bersama-sama

layaknya suami isteri, bahkan berbincang dan bercengkrama tanpa bersama

mahramnya.

Dan karena khitbah itu merupakan janji yang direncanakan, maka

tidak mengikat hubungan antara keduanya sehingga ada kemungkinan

27

Ibid., h. 27-28.

28

Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisis Perbandingan antar Mazhab (Jakarta, PT. Prima Heza Lestari, 2006), h. 91.


(39)

dibatalkan oleh sebab-sebab tertentu.29 Terhadap orang yang menyalahi janji

Islam tidak menentukan hukuman tertentu, sekalipun perbuatan itu dipandang

tercela dan dianggap sebagai salah satu sifat kemunafikan.30

Islam membolehkan pembatalan pinangan dengan syarat dalam

melakukan pembatalan pinangan harus didasarkan dengan alasan yang

rasional, tidak boleh apabila pembatalan dilakukan tanpa alasan yang tidak

dibenarkan oleh syara’ karena akan mengecewakan salah satu pihak.

B. Gambaran Umum Masyarakat Desa Pulung Rejo

1. Kondisi Geografis Masyarakat Desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir Jambi

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Desa Pulung Rejo

Kec. Rimbo Ilir Jambi. Yang mempunyai luas desa 1,137.HA, dengan batas

wilayah :

Sebelah Utara : berbatasan dengan desa Karang Dadi

Sebelah Selatan : berbatasan dengan desa Simpang Babeko

Sebelah Barat : berbatasan dengan PTP. Nusanrata VI.Rimbo Bujang

Sebelah Timur : Berbatasan dengan desa Sido Rejo

Adapun terletak pada ketinggian tanah dan permukaan laut 500m,

banyaknya curah hujan 3000mm/th suhu udara rata-rata 32 cc. Orbitasi atau

29

Ibid,. h. 91.

30


(40)

jarak pusat pemerintahan desa dari pusat pemerintahan kecamatan 4km, jarak

ibu kota kabupaten 44km, dan jarak dari ibu kota propinsi 254 km.31

Dengan luas tanah yang ada maka pemerintahan desa Pulung Rejo

membagi-baginya menjadi beberapa fasilitas umum:32

Jalan sepanjang : 12 km

Bangunan umum : 6 Ha

Pemukiman atau perumahan seluas : 42, 5 Ha

Kuburan : 2 Ha

Perkantoran : 2 Ha

Pasar desa : 4 Ha

Perkarangan : 420 Ha

Perkebunan rakyat seluas : 630 Ha

2. Kondisi Demografi desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir Jambi

Wilayah Desa Pulung Rejo sama halnya dengan wilayah-wilayah lain

setiap tahun penduduk Desa Pulung Rejo bertambah, dan dari segi

pembangunan fisik pun terus berkembang mengikuti arus perkembangan.

Berdasarkan buku laporan kegiatan kecamatan 2010 dapat diketahui bahwa:

Jumlah penduduk : 2309 orang

Laki-laki : 1179 orang

Perempuan : 1130 orang

Jumlah kk : 584 orang

31

Sumber Data Monografi desa Pulung Rejo Tahun 2010, h. 1.

32


(41)

Adapun mata pencaharian penduduk Desa Pulung Rejo pada

umumnya sebagai petani.

Untuk melihat berbagai mata pencaharian penduduk Desa Pulung Rejo

dapat dilihat tabel 1 berikut ini:

Tabel 2.1

Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No. Pekerjaan Jumlah

1 PNS 39 orang

2 Swasta 20 orang

3 Pedagang 82 orang

4 Tani 725 orang

5 Pertukangan 14 orang

6 Nelayan 7 orang

7 Buruh tani 300 orang

Jumlah 1187 orang

Sumber: Data Desa Pulung Rejo, Tahun 2010

Melihat dari tabel diatas pada tahun 2010 penduduk desa Pulung Rejo

mayoritas bekerja sebagai petani.

3. Kondisi Sosiologis Masyarakat Desa Pulung Rejo Kec. Rimbo Ilir Jambi

a. Bidang keagamaan

Kehidupan beragama di Desa Pulung Rejo cukup baik. Hal ini

dapat dibuktikan bahwa sejak dahulu sampai sekarang tidak pernah terjadi

benturan-benturan yang bersifat keagamaan.

Keberadaan sarana ibadah mutlak dibutuhkan di tengah

masyarakat yang mayoritas penduduknya muslim, termasuk di dalamnya


(42)

peribadatan yang ada di desa Pulung Rejo, dapat dilihat pada Tabel 2

dibawah ini:33

Tabel 2.2

Jumlah Sarana Peribadatan

No Sarana Peribadatan Jumlah

1 Masjid 1buah

2 Mushola 9 buah

Jumlah 10 buah

Sumber: Data Desa Pulung Rejo, 2010

Bangunan fisik sarana peribadatan baik masjid maupun musholah

sudah cukup untuk menampung masyarakat yang akan menjalankan

aktifitas keagamaanya seperti shalat, pengajian, dan bentuk peribadatan

lain.

Untuk data penduduk menurut penganut agama di Desa Pulung

Rejo dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah:

Tabel 2.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Kepercayaan Beragama

No Jenis agama Volume Prosentase

1. Islam 2308 orang 99,9567%

2. Kristen 1 orang 0,0433%

Jumlah 2309 orang 100%

Sumber Data : Monografi Desa Pulung Rejo

Penduduk desa Pulung Rejo mayoritas memeluk agama Islam

bahkan penduduk yang menganut agama Kristen hanya satu orang.34

33

Ibid., h. 3.

34


(43)

b. Bidang Pendidikan

Pada tahun 2010 berjumlah 328 siswa dengan tingkat klasifikasi

pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini:

Tabel 2.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Golongan Usia Pendidikan

No Sarana pendidikan Jumlah murid

1 Taman kanak-kanak 37 orang

2 Sekolah dasar 185 orang

3 Mandrasah iftidaiyyah 106 orang

Jumlah 329 orang

Sumber Data : Hasil Laporan Tahunan desa Pulung Rejo, tahun 2010

Hanya ada tiga tempat pendidikan yang dapat memfasilitasi

masyarakat pulung rejo khususnya dalam pendidikan, dan jika mereka

ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi mereka harus

kota kecamatan atau Propinsi. Hal ini, yang meyebabkan mereka tidak

mau untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dengan

alasan jauhnya lokasi sarana pendidikan.

Tabel 2.5

Jumlah sarana pendidikan di desa Pulung Rejo

No Sarana pendidikan Jumah

1 Taman kanak-kanak 1 gedung

2 Sekolah Dasar 1 gedung

3 Madrasyah iftida‟iyyah 1 gedung

4 SLTP/Sederajat -

5 SLTA -

Jumlah 3 gedung


(44)

Sarana pendidikan di Desa Pulung Rejo memang belum memadai,

sekolah yang ada hanya sampai tingkat sekolah dasar padahal banyak anak

yang bersekolah hingga perguruan tinggi.

c. Bidang Kemasyarakatan

Masyarakat desa Pulung Rejo itu sendiri terdapat 16 kelompok

majlis ta‟lim dengan jumlah anggota 320 orang, sedangkan organisasi sosial lainya seperti, karang taruna, PKK sebagaimana table dibawah ini:

Tabel 2.6

Organisasi Sosial Masyarakat Desa Pulung Rejo

No Nama Organisasi Jumlah Anggota

1 Majlis Ta‟lim 16 Kelompok 320 orang

2 Karang Taruna 1 Kelompok 170 Anggota

3 Kelompok PKK 1 Kelompok 16 Anggota

Sumber Data : Laporan Tahunan Desa Pulung Rejo Tahun 2010

C. Pelaksanaan Khitbah atau Lamaran di Desa Pulung Rejo Kec.Rimbo Ilir Jambi

1. Adat Istiadat Masyarakat Desa Pulung Rejo

Masyarakat pulung Rejo menganut sistem kekerabatan bilateral

sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya. Kelompok kekerabatan

bilateral seseorang ditelusuri melalaui garis keturunan dari pihak ayah

maupun ibu. Seluruh kerabat yang berasal dari garis keturunan yang sama,

baik laki-laki maupun perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau


(45)

Dalam sistem bilateral, dimana baik garis keturunan ibu maupun ayah

diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah marga yang tidak dikenal oleh

masyarakat Jawa akan tetapi “percabangan” dari kedua sisi. Dengan kata lain, setiap orang memiliki dua garis nenek-moyang, yakni garis nenek moyang

dari bapak dan ibu. Dari kedua garis keturunan tersebut akan terbentuk

jaringan sepupu dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang

kakek-nenek, yakni orang tua bapak dan orang tua ibu mereka yang disebut „kak ek-nenek pangkuan.35

Masyarakat Pulung Rejo menganut agama Islam. Mereka juga terikat

oleh aturan-aturan adat yang mereka warisi dari nenek moyang dahulu. Adat

istiadat diwarisi secara turun temurun dan tetap diakui serta ditaati oleh

masyarakat.

Masyarakat Pulung Rejo dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya

masih terikat oleh sistem norma dan aturan-aturan adatnya yang dianggap

luhur dan keramat. Mereka masih percaya pada hal-hal yang bersifat mistis

atau klenik seperti kemenyan dan sesajen. Hal tersebut tidak bisa

ditinggalkan ketika ada suatu hajat (seperti membangun rumah, slametan,

acara perkawinan, dll) yang menurut mereka suatu syarat wajib dilakukan

sehingga hajatnya dapat terkabul.36

35

H. Geert, Keluarga Jawa ( Jakarta: PT. Temprint, 1985), Cet-3, h. 28.

36


(46)

Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yang berati kebiasaan.

Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari bahasa

sansekerta a berarti bukan dan dato yang artinya sifat kebendaan. Dengan

demikian, maka adat sebenarnya sifat immaterial : artinya, adat menyangkut

hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan 37

Adapun adat atau kebiasaan yang dipakai oleh masyarakat desa Pulung

Rejo adalah adat yang berasal dari pulau Jawa, dikarenakan mayoritas

masyarakatnya besaral dari Jawa yang ditransmigrasikan secara bersamaan

atau dikenal dengan istilah bedol desa pada tahun 1978. Jadi walaupun

mereka telah menetap lama di Propinsi jambi akan tetapi kebiasaan yang telah

tumbuh dalam jiwa itu susah untuk diubah bahkan, anak cucu mereka pun ikut

mewarisi tradisi-tradisi nenek moyang mereka.

Dalam permasalahan khitbah atau lamaran yang dipraktekan juga

berasal dari tradisi Jawa dahulu. Jika sesorang ingin melaksanakan pernikahan

maka mereka harus melakukan proses lamaran terlebih dahulu sebelum

melanjutkan ke akad pernikahan. Seperti halnya pada proses lamaran pada

adat lainnya yang harus melalui berbagai tahapan maka lamaran adat desa

Pulung Rejo pun melalui tahapan-tahapan yang cukup panjang.

37

Soerjono Soekanto dan Soleman b. Taneko, Hukum Adat Indonesia (Jakarta: CV Rajawali, 1981), h. 83.


(47)

2. Pengertian Khitbah atau Lamaran di Masyarakat Desa Pulung Rejo

Istilah meminang (ngelamar) mengandung arti permintaan yang dalam

hukum adat berlaku dalam bentuk pernyataan kehendak dari satu pihak

kepada pihak lain untuk maksud mengadakan ikatan perkawinan.38

Bagi orang Jawa ngelamar dilakukan oleh orangtua pihak perjaka

kepada orangtua gadis setelah acara nontoni yaitu melihat dari dekat antara

pihak perjaka dan pihak gadis. Lamaran dilakukan sendiri oleh orangtua sang

perjaka secara lisan yaitu langsung datang ke rumah orangtua sang gadis. Ada

resiko bila orangtua perjaka langsung melamar secara lisan, kerena belum

tentu diterima pada saat itu juga.39

Hal ini disebabkan oleh pihak keluarga sang gadis perlu berunding

dulu dengan para sesepuh yaitu kakek, nenek dan keluarga lainnya.

Akan tetapi, pada zaman sekarang lebih mudah, sebab keragu-raguan

sudah tidak ada lagi, sebab antara sang perjaka dan sang gadis sudah saling

cinta dan cocok. Namun demikian, untuk resminya perlu diadakan tatacara

melamar. Jadi apabila sang perjaka dan sang gadis sudah saling cinta dan

cocok, maka orangtua perjaka dapat langsung melamar secara lisan kepada

orangtua sang gadis.40

38

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung: Alumni, 1983), h. 27.

39

Thomas Wijaya Bratawijaya, Upacara Perkawinan Adat Jawa (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 8.

40


(48)

Setelah lamaran sang perjaka diterima maka dilakukan acara pening

setan atau dalam bahasa Indonesia disebut Tanda Kasih. Tanda pengikat

adalah pemberian sejumlah barang dari sang perjaka kepada sang gadis

pilihanya guna memantapkan ikatan cinta antara calon mempelai pria dan

calon mempelai wanita. Dengan adanya pemberian pening setan tersebut

sebagai tanda bahwa sang perjaka dan sang gadis sudah bertungangan secara

resmi tetapi belum sah sebagai pasangan suami isteri.

Dalam pengertian adat Jawa masa pertunangan adalah bila lamaran

sang perjaka sudah diterima dan telah disetujui oleh kedua belah pihak

oranngtua dengan ditandai ikatan kasih. Masa pertunangan ini bukan lagi

dikatakan masa pacaran akan tetapi masa dimana masa penantian atau

menuggu datangnya hari peresmian perkawinan mereka berdua. Di samping

itu masa pertunangan untuk saling mengenal sifat dan karakter masing-masing

dalam rangka saling menyesuaikan diri antara mereka berdua dan mungkin

disertai rencana-rencana yang akan dilakukan setelah mereka sah menjadi

suami istri. Selain itu dalam masa pertunangan untuk mengadakan

pertimbangan-pertimbangan agar tidak terjadi penyesalan di kemudian hari.41

Dalam adat yang dipakai oleh masyarakat desa Pulung Rejo dalam

masa penig setan kedua belah pihak sepakat untuk menentukan palang atau

ganti rugi bila kelak ada diantara salah satu pihak menyalahi janji atau

41


(49)

melakukan pembatalan lamarannya. Dengan sejumlah uang tertentu yang

telah disepakati sebelumnya dan disaksikan para sesepuh-sesepuh desa. 42

Apabila masa pertunangan mulus, lancar dan tidak timbul masalah

serius, maka masa penantian terlampaui, yang selanjutnya perkawinan mereka

dapat dilangsungkan. Namun demikian bila dalam masa pertunangan timbul

hal-hal yang sekiranya kurang pas, maka pertunangan dapat dibatalkan,

dengan membayar sejumlah palang yang telah disepakati sebelumnya.

Pembatalan boleh dari pihak perjaka maupun dari pihak gadis. Apabila

pembatalan dari pihak gadis, maka barang-barang tali pengikat atau

peningsetan harus dikembalikan. Akan tetapi bila dari pihak laki-laki maka

barang-barang tali pengikat tidak etis bila diminta kembali, kecuali bila pihak

perempuan yang mengembalikan boleh diterima.43

3. Akibat Hukum Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo

Hubungan hukum yang berlaku antara perjaka dan gadis, walaupun dapat

dibuktikan dengan adanya pemberian tanda mau, baik berupa barang ataupun

uang dari pihak laki-laki kepada pihak wanita, diantara mereka belum ada ikatan

hukum. Oleh karena itu hubungan diantara mereka itu baru tahap memadu

cinta-kasih yang dalam istilah sehari-hari disebut pacaran.44

42

Sudayat Jambi, Tokoh Agama Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 14 september 2010.

43

Bratawijaya, Upacara Pernikahan Adat Jawa, h. 20.

44


(50)

Dalam pengertian adat masyarakat Jawa masa pertunangan adalah bila

lamaran sang perjaka sudah diterima dan telah disetujui oleh kedua pihak

orangtua dengan ditandai ikatan kasih. Yang dimaksud dengan masa pertunangan

adalah masa penantian atau menunggu datangnya hari peresmian perkawinan

mereka berdua. Akan tetapi, dalam masyarakat desa Pulung Rejo seseorang yang

telah melamar dan diterima mereka telah terikat dengan perjanjian untuk menikah

dan jika terjadi pembatalan di antara salah satu pihak kelak, dapat dikenakan

denda atau ganti rugi bagi pihak yang mengikari janjinya itu.

Adapun akibat hukum yag ditimbulkan setelah dilakukanya peminangan

itu hubungan antara pihak keluarga si gadis dengan keluarga sang jejaka akan

semakin akrab. Namun si gadis dan sang jejaka justru harus lebih hati-hati

menjaga diri. Sebab, walaupun hubungan mereka telah mendapat restu dari

keluarga kedua belah pihak, mereka tetap harus menjaga kehormatan keluarga

masing-masing.

Dengan adanya ikatan pertunangan maka berlakulah ketentuan tata tertib

adat pertunangan yang antara lain meliput hal-hal sebagaimana di bawah ini:

1) Baik pihak yang melamar dan yang dilamar terikat pada kewajiban untuk memenuhi persetujuan yang telah disepakati bersama, terutama untuk melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai.

2) Baik pria maupun wanita yang telah terikat dalam tali pertunagan, begitu pula orangtua / keluarga dan kerabat ke dua pihak dilarang berusaha mengadakan hubungan dengan pihak lain yang maksudnya untuk melakukan peminangan, pertunangan dan perkawinan. Melakukan hubungan dengan yang lain dalam maksud yang sama dapat berakibat putusnya pertungan dan batalnya perkawinan yang telah direncanakan dan disepakati.


(51)

3) Kedua pihak keluarga harus saling mengawasi gerak-gerik dan tindak-tanduk dari para calon mempelai yang bertunangan, termasuk memperhatikan sifat watak perilaku dari mereka.

4) Apabila pertunangan tidak dapat diteruskan ke jenjang perkawinan dikarenakan salah satu pihak atau kedua belah pihak memutuskan hubungan pertunangan itu, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut kembali barang-barang dan uang serta kerugian lainya pada pihak yang bersalah atau yang telah menerima barang-barang pemberian selama pertunangan itu. Dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi, maka para pemuka adat yang melakukan penyelesaiannya secara damai.45

4. Tatacara Khitbah Masyarakat Desa Pulung Rejo

Tata cara khitbah yang dilakukan oleh masyarakat desa Pulung Rejo tidak

jauh beda dengan pelaksanaan khitbah yang dilakukan oleh masyarakat Jawa pada

umumnya. Adapun tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh masyarakat desa

Pulung Rejo dalam pelaksanaan khitbah:

a. Pihak keluarga perjaka mengutus seseorang yang dipercayai ke rumah sang

gadis, untuk menanyakan tentang hubungan putrinya dengan sang perjaka

karena pada zaman sekarang anak telah saling mengenal lebih dahulu maka

tinggal izin orangtualah yang diperlukan.

b. Setelah keluarga gadis menyetujui tentang hubungan mereka, maka utusan

dari keluarga perjaka menentukan hari dan waktu yang tepat untuk datang

kembali bersama pihak orangtua laki-laki untuk mengadakan lamaran secara

resmi.

45


(52)

c. Pada hari dan waktu yang ditentukan tiba, maka pihak keluarga gadis,

mengundang tetangga satu RT, dan para aparat desa serta sesepuh desa untuk

menyaksikan lamaran yang akan dilaksanakan.

d. Pihak keluarga laki-laki datang kembali bersama keluarga terdekatnya untuk

melamarkan putranya secara resmi dengan wanita pilihannya.

e. Pihak keluarga laki-laki dan perempuan mempunyai juru bicara

masing-masing untuk mewakili pernyataan lamaran dan penerimaan dari pihak

perempuan. Setelah lamaran diterima, maka pemberian tanda ikatan pun

langsung diberikan kepada wanita biasanya berupa cincin. Hal ini dijadikan

sebagai tanda bahwa recara resmi hubungan mereka direstui oleh keluarga dan

akan melangsungkan pernikahan. Setelah itu, para ketua adat atau sesepuh

merembuk beberapa hal yang menjadi kesepakatan dari kelurga kedua belah

pihak.46 antara lain sebagai berikut :

1) Dibicarakan jumlah palang atau ganti rugi yang akan dibayarkan jika

terjadi pembatalan atau mungkir janji dari salah satu pihak yang

bertunangan.

2) Dibicarakan masalah penentuan atau perhitungan hari baik untuk

pelaksanaan pernikahan, walaupun waktu antara tunangan dan pernikahan

masih lama.

46

Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 21 September 2010.


(53)

3) Setelah semua pihak sepakat tentang hari dan waktu yangdianggap tepat

untuk melaksanakan pernikahan. Yang terakhir dibicarakan masalah gol

47

yaitu suatu kesepakatan antara kedua belah pihak keluarga tentang hari

pelaksanaan pernikahan, jika terjadi kematian dari salah satu keluarga

dekat seperti, orangtua, adik, kakak, kakek, nenek, maka pernikahan akan

tetap dilaksanakan atau ditunda sampai mendapatkan pergantian hari yang

lebih tepat lagi.48

47

Gol adalah kesepakatan antara kedua keluarga apakah pernikahan akan tetap dilaksanakan atau ditunda ketika mendekati hari pelaksanaan pernikahan ada keluarga dekat yang meninggal dunia.

48

Somorejono, Sesepuh Adat Desa Pulung Rejo. Wawancara Pribadi, Pulung Rejo, 21 september 2010 .


(1)

Hasil Wawancara Dengan Seorang Saksi Khitbah Desa Pulung Rejo

Nama : Sudarsono

Tgl : 16 September 2010

Usia : 35 tahun

Tingkat Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Tukang Bangunan

1. Apakah bapak mengetahui adanya palang dalam pembatalan khitbah? Iya, saya mengetahui.

2. Apakah bapak pernah menyaksikan proses khitbah seseorang secara langsung pada masyarakat Desa Pulung Rejo?

Iya, saya pernah menyaksikan proses khitbah di Desa Pulung Rejo secara langsung.

3. Dalam proses khitbah yang bapak saksikan, apakah benar setelah khitbah itu diterima disepakati adanya palang antara kedua belah pihak?

Iya, benar. Saya menjadi saksi ketika mereka menetapkan jumlah palang yang disepakati, yang biasanya dipimpin oleh Sesepuh Desa ketika akan dibicarakan masalah palang tersebut.

4. Berapa jumlah nominal yang dijadikan palang ketika bapak menjadi saksi dalam proses khitbah tersebut?

Waktu itu saya menyaksikan jumlah palang sebesar Rp 5.000.000 (Lima Juta Rupiah).

5. Apakah khitbah yang bapak saksikan pada saat itu kemudian ada salah satu pihak yang membatalkan khitbahnya? Apakah bapak mengetahui yang menjadi alasan pembatalan tersebut?

Setelah khitbah itu berjalan satu tahun, akan tetapi pernikahan belum juga dilaksanakan. Ketika, pihak perempuan menanyakan pernikahan tetapi, pihak laki-laki belum mau untuk segera menikah dan memutuska untuk melakukan pembatalan saja.


(2)

6. Setelah terjadi pembatalan apakah benar bapak juga mendapatkan bagian dari pembayaran palang tersebut? Berapa jumlah nominal yang bapak terima pada saat itu?

Iya saya mendapatkan bagian karena ketika terjadi pembatalan mereka mengundang saya kembali untuk menjadi saksi pembatalan. Saya mendapat bagian Rp.100.000 (seratu ribu rupiah).

7. Apa yang menjadi alasan bapak mendapatkan bagian dari pembayaran palang tersebut?

Ya, katanya saya sudah mau ikut manjadi saksi ketika khitbah terjadi dan membantu menyelesaikan permasalahan ketika terjadi pembatalan antara keluarga tersebut karena adanya salah paham, dan saya sebagai saksi sekaligus tetangga terdekat diminta untuk melaporkan kepada Kepala Desa untuk membantu penyelesaiannya, karena keluagra yang dibatalkan sudah kecewa dan tidak mau menemui mereka lagi karena merasa anaknya dipermainkan.


(3)

Hasil Wawancara Dengan Pelaku yang Khitbahnya dibatalkan :

Nama : Hariyati

Tgl : 16 September 2010

Usia : 26 Tahun

Tingkat Pendidikan : SLTP Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

1. Apakah anda telah menikah? Iya, sudah.

2. Sebelumnya pernakah lamaran yang anda terima dibatalkan? Iya, Pernah.

3. Apa yang dijadikan alasan sehingga khitbah anda dibatalkan? Alasannya, hanya belum siap saja untuk segera menikah.

4. Apakah anda mengetahui istilah palang yang digunakan dalam peningsetan atau lamaran dalam adat Jawa?

Tahu, palang itu merupakan ganti rugi bagi yang melanggar janjinya untuk menikah.

5. Berapa jumlah palang yang anda terima sebagai ganti rugi? Rp 5.000.000 (Liima Juta Rupiah

6. Sebelum anda menerima palang atau ganti rugi, apakah sempat terjadi konflik antara kedua pihak keluarga?

Iya, karena dengan tiba-tiba khitbah yang saya terima dibatalkan secara sepihak tanpa ada kesalahan yang saya perbuat. Tetapi setelah keluarganya datang dan menjelaskan alasannya dengan membawa palang yang kami sepakati sebelumnya. Saya coba untuk menerima dan mungkin belum berjodoh.


(4)

7. Apakah anda setuju dengan adanya palang atau ganti rugi bagi orang yang menbatalkan khitbah (lamaran)?

Setuju. Karena dengan adanya ganti rugi ini dapat menggantikan biaya-biaya yang dikeluarkan ketika pelaksanaan khitbah.

8. Menurut anda, apa dampak positif dan negatif dalam pembebanan ganti rugi atau palang bagi pihak yang membatalkan khitbah atau lamaran? Dampak positif yang saya rasakan, yaitu dapat menambah saudara serta keluarga karena sebelumnya belum saling mengenal antar keluarga walaupun tidak jadi menikah akan tetapi karena telah merasa dekat sebelumnya jadi hubungan ini kalau bisa jangan sampai diputuskan begitu saja.

Sedangkan dampak negatif yang saya rasakan, rasa malu dan kecewa karena hal ini sudah disaksikan oleh banyak orang.


(5)

Hasil Wawancara Dengan Pelaku yang Membatalkan Khitbahnya:

Nama : Supriyono

Tgl : 24 Agustus 2010

Usia : 32 Tahun

Tingkat Pendidikan : SLTA

Agama : Islam

Pekerjaan : Wiraswasta

1. Kapan anda menikah? Empat tahun yang lalu.

2. Apakah sebelumnya anda pernah membatalkan khitabah? Iya, saya pernah membatalkan khitbah atau lamaran.

3. Apakah alasan anda membatalkan khitbah?

Alasanya karena orangtua tidak menyetujui, karena beliau kurang menyukai tindak tanduknya yang kurang sopan ketika dia bertutur kata atau bertindak. 4. Apakah anda mengetahui istilah palang yang berlaku dalam pelaksanaan

lamaran?

Iya, saya mengetahuinya.

5. Berapa jumlah nominal uang yang anda berikan ketika membayar palang? Saya membayar Rp 15.000.000 (Limabelas Juta Rupiah).

6. Apakah terjadi konflik sebelum anda membayarkan ganti rugi atau palang yang telah disepakati?

Iya sempat, karena dari keluarga tunangan saya tidak menerima dengan adanya pembatalan yang saya sampaikan. Namun setelah saya berbicara baik-baik dan mengatakan mungkin kita belum berjodoh serta menyerahkan uang yang menjadi palang atau ganti rugi sesuai kesepakatan. Akhirnya keluarganya mengerti dan menerima keputusan saya.


(6)

7. Setujukah anda dengan adanya palang atau ganti rugi dalam pembatalan khitbah?

Saya setuju. Karena menurut saya palang atau ganti rugi ini dapat mengatasi konflik.

8. Dampak apa yang anda rasakan dengan adanya pembebanan ganti rugi ini? Menurut saya, dampak positif yang saya rasakan palang atau ganti rugi ini dapat mengatasi permasalahan antar dua keluarga, serta tidak adanya pihak yang merasa dirugikan. Sedangkan dampak negatif dari palang atau ganti rugi ini adalah walaupun telah disepakati sebelumnya, akan tetapi karena jumlah yang harus dibayarkan kadang terlalu besar jadi ada rasa keterpaksaan dalam diri seseorang.