Lembaga Juru Sita Penerapan Eksekusi Putusan Berupa Pembayaran Sejumlah Uang Paksa

AAUPB sebagai norma untuk alasan pengajuan gugatan. Konsekuensinya seara normatif seharusnya Hakim TUN dapat menerapkan secara langsung AAUPB sebagai alat untuk menguji kebasahan KTUN maupun sebagai alat untuk membatalkan KTUN sehingga tidak perlu lagi mengacu ketentuan Juklak Mahkmah Agung tesebut. Jadi apabila Hakim TUN mempertimbangkan AAUPB sebagai alasan untuk membatalkan KTUN maka dapat secara langsung memakai AAUPB mana yang dipergunakan menguji keabsahan KTUN tersebut, serta tidak perlu lagi hanya mencantumkan pada bagian pertimbangan putusan melainkan sekaligus dapat dicantumkan pada bagian dictum putusan untuk membatalkan KTUN yang disengketakan.

6. Lembaga Juru Sita

Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara memasukkan lembaga juru sita Pasal 39 A-39 yang sebelumnya tidak dikenal dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara. Filosofi yang melatrbelakangi dibentuknya lembaga juru sita karena selama ini terdapat kendala disebabkan karena pengiriman surat-surat pemberitahuan pengadilan dilakukan melalui jasa Pos, ternyata di dalam praktek menghadapi kesulitan untuk melampirkan tanda bukti pengirimannya, sehingga sulit pula untuk membuktikan kapan surat-surat panggilan tersebut senyatanya samapai pada alamat Universitas Sumatera Utara yang dituju. Akibat lanjut adalah sulit untuk membuktikan dan menentukan tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang terhadap pengiriman surat-surat panggilan pengadilan khususnya yang menyangkut ketentuan tenggang waktu beracara berperkara di pengadilan. Didasari oleh kelemahan tersebut, dibentuklah lembaga juru sita pada Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, sehingga terhadap surat-surat pengadilan tidak perlu lagi dikirimkan dengan surat tercatat melainkan dikirim perkurir melalui jasa juru sita, tetapi masalah di lapangan muncul karena ketentuan Pasal 65 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak direvisi panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang diterima dan dengan surat tercatat. Karena kondisi demikian itu, maka dalam praktek jurusita mengintensifkan tentang inventarisasi dan pembukuan resi panggilan pos tersebut sehingga dapat dilampirkan dalam berkas perkara. Disamping itu dengan dibentuknya lembaga upaya paksa Pasal 116 ayat 4 dan 5 maka dalam hal-hal tertentu juru sita dibebani melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan upaya paksa tersebut.

7. Penerapan Eksekusi Putusan Berupa Pembayaran Sejumlah Uang Paksa

Dwangsom Filosofi yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga upaya paksa dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara karena selama ini terdapat banyak kendala dalam Universitas Sumatera Utara pelaksanaan eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap jika tergugat tidak secara sukarela melaksanakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut. Tidak adanya alat upaya paksa dalam ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 berakibat efektifitas eksekusi putusan digantungkan pada niat baik dan kesukarelaan Pejabat TUN yang pada sat eksekusi harus dilaksanakan pejabat yang bersangkutan. Apabila pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan tidak bersedia secara sukarela melaksanakan putusan pengadilan tersebut maka menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat menurunkan kewibawaan dan eksistensi lembaga Peradilan Tata Usaha Negara sebagai badan peradilan yang dibentuk dengan tujuan untuk melakukan represif terhadap produk penggunaan wewenang pemerintahan yang berupa keputusan Tata Usaha Negara. Dengan adanya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 sebagai perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah mengatur tentang adanya lembaga upaya paksa. Diharapkan efektivitas penegakan hukum administrasi oleh Peradilan Tata Usaha Negara dapat diwujudkan. Upaya paksa yang dapat dikenakan terhadap Tergugat adalah hanya mengenai pelaksanaan diktum putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menetapkan kewajiban terhadap tergugat untuk mencabut dan menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara atau kewajiban terhadap tergugat untuk menerbitkan KTUN sebagaimana dimaksud oleh Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c dan kewajiban Universitas Sumatera Utara tersebut oleh Tergugat tidak dilaksanakan padahal pengadilan telah memerintahkan kepadanya untuk melaksanakannya. Pasal 116 ayat 3. Jika dicermati Pasal 116 ayat 4 dan ayat 5 pengenaan upaya paksa bersifat imperatif. Sifat imperatifnya yaitu apabila sudah ada perintah peradilan sebagaimana Pasal 116 ayat 3 tergugat tetap tidak mau secara sukarela melaksanakan putusan maka terhadapnya dikenakan upaya paksa. Upaya paksa yang dapat dikenakan berupa : a. Uang paksa dan sanksi administratif dan diumumkan dalam media massa cetak; b. Uang paksa dan diumumkan dalam media massa cetak; c. Sanksi administratif dan diumumkan dalam media massa cetak. Dengan mengacu pada ketentuan Pasal 116 ayat 3 Jo ayat 4 lembaga upaya paksa dalam Peratun sifatnya Accesoir yaitu eksistensinya tergantung pada hukuman pokok berupa pelaksanaan kewajiban oleh tergugat sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c sehingga upaya paksa tidak dapat dikenakan apabila hukuman pokok telah dilaksanakan secara sukarela. Sama halnya lembaga uang paksa dwangsom atau astreinte dalam hukum acara perdata lembaga upaya paksa pada Peradilan Tata Usaha Negara bersifat pressie middle yaitu sebagai sarana atau alat penekan agar tergugat secara moral dan psikologis diharapkan mematuhi dan melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Pemberlakuan uang paksa dwangsom dalam proses eksekusi sebenarnya adalah merupakan upaya tekanan secara psikologis, agar terhukum mau mematuhi Universitas Sumatera Utara atau melaksanakan hukuman pokok. 76 Dengan telah dikenakannya upaya paksa terhadap Tergugat tidak berarti membebaskan tergugat dari kewajibannya untuk melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 97 ayat 9 huruf b dan c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 Dengan adanya perubahan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-undang Nomor 9 tahun 2004 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara maka diharapkan proses penegakan hukum di bidang Tata Usaha Negara dapat berjalan dengan baik guna tercapainya keadilan dan kepastian hukum terhadap pencari keadilan baik dalam pelayanan jasa hukum maupun dalam bidang penegakan hukum. Kepastian hukum sangat menentukan terciptanya keadilan karena keadilan yang ditolerir dalam suatu negara hukum adalah keadilan yang selalu didengung- dengungkan adalah tentang dikhotomi dan kontroversi antara kepastian hukum disatu sisi dan keadilan disisi yang lain. Keterkaitan dan saling pengaruh dari kedua aspek hukum tersebut sangat tergantung dari sumber daya manusia yang mengelolanya. Sosialisasi peraturan perundang-undangan kepada masyarakat baik itu warga masyarakat biasa maupun aparatur pemerintah sangat penting. Tujuannya adalah agar peraturan yang telah ditetapkan diketahui difahami dan dilaksanakan. Fiksi hukum bahwa “setiap orang dianggap mengetahui hukum” sudah tidak realistik terutama dan khususnya dalam masyarakat yang bersifat multietnik dan agama serta 76 Supandi, Problematika Penerapan Eksekusi Putusan TUN terhadap Pejabat TUN Daerah, Makalah Disampaikan dalam Workshop “Penerapan Ekseskusi Putusan PTUN Dalam Kaitannya Dengan Otonomi Daerah”, Jakarta LPP-HAN, tanggal 28 Agustus 2004. Universitas Sumatera Utara masih jauh dari jangkauan informasi termasuk informasi hukum. Tanpa adanya sosialisasi suatu peraturan perundang-undangan kemungkinan hanay diketahui oleh lingkungan institusi sektoral pemrakarsanya apalagi jika tingkatan peraturan itu lebih rendah dari undang-undang atau peraturan pemerintah misalnya peraturan atau keputusan-keputusan menteri.

8. Penjatuhan Sanksi Administrasi