Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian

menjadi kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, maka terdapat kekurangan perangkat hukum, antara lain ketentuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan secara riil dan pembayaran ganti kerugian kepada orang perorangan atau badan hukum perdata. Apabila benar-benar diperhatikan, maka terdapat perbedaan karakteristik antara jalur lewat proses perdata dengan jalur proses Peradilan Tata Usaha Negara. Disatu pihak proses Hakim Tata Usaha Negara dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih, dalam arti lewat proses ini dapat diperoleh pembatalan keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dan kadangkala berdasarkan ketentuan Pasal 97 ayat 8 dan ayat 9 UU Nomor 5 Tahun 1986 Jo. UU Nomor 9 Tahun 2004 dapat diperoleh suatu keputusan Tata Usaha Negara yang baru, yang wajib dikeluarkan oleh Tergugat sebagai ganti keputusan yang dibatalkan, sedangkan bagi peradilan perdata hal itu tidak ada pengaturannya. Berdasarkan uraian di atas, maka sebaiknya untuk meningkatkan mutu proses peradilan kepada pencari keadilan, sebaiknya sengketa pertanahan yang mengandung aspek Hukum Tata Usaha Negara dan aspek Hukum Perdata diselesaikan secara tuntas oleh Peradilan Tata Usaha Negara.

B. Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Penyelesaian

Sengketa Tanah Peradilan Tata Usaha Negara telah menjalankan peran lebih kurang dalam kurun 14 empat belas tahun sebagaimana mestinya sebagai sarana publik dan badan Universitas Sumatera Utara hukum perdata guna melakukan kontrol yuridis terhadap keputusan-keputusan tertulis pejabat Tata Usaha Negara. Dalam pelaksanaannya ternyata masih ada keputusan-keputusan sengketa Tata Usaha Negara yang telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap namun penetapannya tidak terlaksana. Hal ini disebabkan karena masih adanya pejabat publik yang masih sangat memprihatinan kesadaran maupun kepatuhannya terhadap hukum itu sendiri. Sesuai dengan hukum acara yang ada dan karakteristik Peratun bahwa PTUN bukan sebagai eksekutor pelaksana putusan tetapi hanya sebagai pengawas pelaksanaan putusan. Sedangkan yang berkewajiban sebagai eksekutorpelaksana penetapan adalah pejabat publik itu sendiri. Dalam teori hukum administrasi, didalam negara hukum bahwa Pejabat Tata Usaha Negara adalah personifikasi hukum perwujudan dari hukum dalam kehidupan, oleh karena itu diperluan konsistensi sebagai negara hukum sehingga pejabat publik wajib melaksanaan hukum, termasuk didalamnya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai hukum dalam kasus konkrit. Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan institusi peradilan yang paling bungsu di Indonesia, oleh karena itu penegakan hukum melalui institusi ini akan dilakukan secara bertahap karena masih terdapat kekurangan. Pemerintah atau pembuat kebijakan harus memperhatikan sarana dan prasarana untuk mendukung terlaksananya penegaan hukum terhadap putusan Tata Usaha Negara. Pengadilan Tata Usaha Negara Medan, telah banyak memeriksa dan memutus perkara mengenai keputusan dibidang pertanahan dan pemberhentian dari Universitas Sumatera Utara jabatan bagi pihak yang melakukan kesalahan dalam menjalankan tugas dan jabatannya. Dalam pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara tersebut banyak terjadi polemik dimana ada pejabat yang tidak mau menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut. Kondisi ini disebabkan karena adanya kesalahan dalam mengaplikasikan asas dan sistem dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa jabatan dan fungsi Hakim sama dengan jabatan pemerintahan pada umumnya. Padahal dipandang dari konstitusi, jabatan Hakim itu berbeda, seyogyanya masyarakat harus berhati-hati dalam mengomentari putusan hakim apalagi melecehkannya. Pada hakekatnya putusan hakim merupakan syarat tentang penegakan hukum dan keadilan. Bila dalam putusan itu terdapat isyarat disisihkannya ketentuan dari suatu undang-undang dalam kasus konkrit, maka pembentuk undang-undang bersama dengan pemerintah harus cepat tanggap, apakah ada yang tidak cermat dalam undang-undang tersebut. Apabila setelah dipertimbangkan dan ternyata putusan itu mengandung kebenaran hendaknya pembuat undang-undang cepat merevisi peraturan tersebut. Tantangan yang dihadapi oleh Pejabat Tata Usaha Negara cukup memperihatinkan terutama karena pejabat Tata Usaha Negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh karena itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan masyaraat secara baik dan benar. Universitas Sumatera Utara Budaya kerja Pejabat Tata Usaha Negara dapat diawali dalam bentuk nilai- nilai yang terkandung didalamnya, institusi atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakan. Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi pengembangan budaya kerja. Disamping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu diinternalisasikan ke dalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Untuk mengimpelmentasikan itu diperlukan perbaikan persepsi, pola pikir dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan menumbuh kembangan nilai-nilai budaya kerja sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Teori dan ajaran ilmu hukum menyatakan bahwa dalam rangka eksistensi negara hukum, maka perilaku pejabat publik pada hakikatnya adalah personifikasi dari hukum. Semua tingkah laku pejabat harus berdasarkan hukum. Hukum dalam suatu masyarakat negara begitu luas lingkupnya, ada hukum yang tertulis dan ada yang tidak tertulis seperti nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, termasuk juga putusan pengadilan yang berkekuatan tetap dalam kasus konkrit das sollen. 74 Dapat disimak keluhan masyarakat luas melalui mass media, betapa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkekuatan hukum tetap, termasuk juga penetapan hakim yang berisi perintah kepada pejabat untuk menangguhkan pelaksanaan surat keputusan yang sedang disengketakan tidak dipatuhi oleh pejabat 74 Supandi, Op Cit, hal. 254. Universitas Sumatera Utara publik, bahkan berkembang asumsi bahwa putusan PTUN sebagai macan ompong das sain. Keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol yuridis terhadap keputusan pejabat publik bahwa pejabat publik melakukan langkah-langkah yang tidak rasional, misalnya sebagai permohonan eksekusi diminta untuk membuat permohonan pembatalan SHGB yang merugikan pihak Penggugat. Selanjutnya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang efektif karena putusannya penetapannya tidak dipatuhi pejabat tergugat, sebab, Peradilan Tata Usaha Negara tidak proaktif terhadap hasil keputusan penetapan yang tidak dilaksanakan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Walaupun putusan tersebut tidak dilaksanakan Peradilan Tun hanya diam saja. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai lembaga kontrol yuridis ada yang dipatuhi dan ada yang tidak dipatuhi, tetapi lebih banyak yang tidak dipatuhi karena kurang efektif, bahkan pejabat publiknya saja yang tidak menghormati eksistensi badan peradilan, maka harus diaktifkan fungsi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan ditingkatkan lagi fungsi pengawasan kepada penguasa eksekutif. Putusan-putusan Peradilan Tata Usaha Negara menghadapi hambatan eksekusi, sedangkan eksekusi menentukan efektifitas badan peradilan. Tidak ada alat pemaksa agar suatu badan atau pejabat Tata Usaha Negara melaksanakan putusan Peradilan Tata Usaha Negara. Universitas Sumatera Utara Ketentuan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986 diatur pada bagian Kelima mengenai pelaksanaan putusan pengadilan dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal 119. Pasal 115 menyebutkan : “Hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.” Pada saat itu suatu sengketa hukum harus berakhir litis finiri opertet. Apabila sudah tidak ada upaya hukum biasa lagi yang dapat digunakan berarti Putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara termasuk putusan dengan acara singkat menurut Pasal 63 telah mempunyai kekuatan hukum tetap inkracht van gewijsde dan memperoleh kekuatan mengikat rejudicate proveritate kabetur. Putusan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan publik, yang berarti putusan pengadilan tersebut berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa ergaomnes. Putusan Pengadilan diambil untuk memutuskan perkara yang diserahkan kepadanya dalam rangka apa yang dinamakan “Jurisdictio Contentiosa”. Dalam hal putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berisi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 97 ayat 9 sub a, maka diterapkanlah eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat 2 yaitu 4 empat bulan setelah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat 1, dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, maka Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dan kepada Pejabat Tata Usaha Negara Universitas Sumatera Utara diperuntahkan untuk menyatakan surat keputusan itu menjadi objek sengketa dan memerintahkan Pejabat Tata Usaha Negara untuk menerbitkan surat keputusan Tata Usaha yang baru. Mekanisme eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melalui instansi atasan ditetapkan apabila adanya putusan yang berisi kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 97 ayat 9 sub b dan c, Pasal 97 ayat 10, dan Pasal 97 ayat 11, maka diterapkanlah ketentuan eksekusi putusan menurut ketentuan Pasal 116 ayat 3 sampai ayat 6, yaitu dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana tersebut dalam amar putusan untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, tetapi ternyata setelah 3 tiga bulan lewat dan kewajiban itu tidak dipenuhi, maka Penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang berwenang agar pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut. Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Instansi atasan ini dalam waktu 2 dua bulan setelah menerima pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berkewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara untuk melaksanakan Putusan Pengadilan. Apabila ternyata instansi atasan tersebut tidak mengindahkan pemberitahuannnya, maka Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuatan pemerintahan tertinggi untuk memerintahkan Badan atau Pejabat Tata Universitas Sumatera Utara Usaha Negara tersebut melaksanakan Putusan Pengadilan yang bersangkutan. Cara eksekusi seperti ini merupakan mekanisme “eksekusi hierarkis.” Ketentuan Padal 116 ayat 3 dan 4 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004, yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan masalah Eksekusi putusan hanya berupa “memerintahkan terguggat melaksanakan putusan pengadilan tersebut dan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan, sedangkan wewenang Ketua Pengadilan dalam kaitannya dalam eksekusi putusan pengadilan terbatas hanya mengawasi pelaksanaan putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada dasarnya eksekusi di Pengadilan Tata Usaha Negara menekankan pada rasa self respect dan kesadaran hukum dari pejabat tata usaha negara terhadap isi putusan hakim untuk melaksanakannya dengan sukarela tanpa adanya pemaksaan dwang middelen yang langsung dapat dirasakan dan dikenakan oleh pihak pengadilan terhadap Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan. Ketiadaan upaya paksa dalam eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang memang tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah merupakan hambatan yuridis yang akan timbul dalam praktik pada peradilan Tata Usaha Negara sehubungan dengan eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut. Hambatan lain berkaitan dengan eksekusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu mentalitas birokrat yang ada di Pemerintahan apalagi yang di daerah adalah mentalitas yang menganggap jabatan dan kekuasaan adalah segala-galanya. Universitas Sumatera Utara Seolah-olah tidak ada hak bawahan untuk melakukan koreksi kritik atau sanggahan terhadapa atasan. Pegawai Negeri masih suka memelihara mitos bahwa mereka adalah “priyayi” 75 yang harus dihormati, diistimewakan, kendati sikap dan perilakunya termasuk keputusan-keputusan yang diambilnya boleh jadi sudah melampui kaidah-kaidah hukum yang berlaku, juga sikap arogansi Pejabat Tata Usaha Negara itu sendiri. Kesulitan eksekusi disatu pihak disebabkan karena pejabat yang bersangkutan telah melaksanakan Keputusan Tata Usaha Negara yang seharusnya ditunda. Kesulitan lain apabila pejabat diberi kewajiban menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara baru, membayar ganti rugi danatau rehabilitasi seringkali sulit dilaksanakan, meskipun telah ada upaya melalui jalan hirarki, masalah hubungan hirarkhi dan kewenangan serta asas administrasi tidak sepenuhnya mendukung kelancaran eksekusi. Dalam praktek putusan Pengadilan Tata Usaha Negara itu sulit dilaksanakan, karena adanya budaya hukum Pejabat Tata Usaha Negara yang belum tumbuh sebagaimana mestinya sebagai pengemban kekuasaan publik hendaknya dalam moral segenap Pejabat Tata Usaha Negara harus sudah merupakan budaya bahwa kekuasaan yang disandangnya adalah kekuasaan rakyat yang dipercayakan kepadanya sehingga harus dilaksanakan sebaik-baiknya. 75 R. Soegijatno Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2002, hal. 50. Universitas Sumatera Utara Dalam prakteknya khususnya dalam pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang berkekuatan hukum tetap banyak yang tidak dilaksanakan oleh Pejabat Tata Usaha Negara. Hal tersebut memungkinkan terjadi dalam berbagai aspek interaksi antara pejabat selaku pemegang kekuasaan pelayanan publik dengan warga negara yang membutuhkan pelayanan yang terkait dengan kasus-kasus KKN sehingga berakibat lahirnya keputusan-keputusan pejabat publik secara bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku, penyalahgunaan wewenang detournament de pouvoir atau lahirnya putusan pejabat publik yang sewenang- wenang. Kesadaran hukum memberi pengaruh penting terhadap kepatuhan hukum, ketidak cocokkan antara dasar pengendalian sosial dengan kesadaran hukum pejabat akan berakibat ketidakpatuhan dan pada tahap tertentu hukum tersebut akan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terbatasnya sarana hukum acara yang dapat mendukung dilaksanakannya Keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap seperti yang ada pada Undang- undang Nomor 5 Tahun 1986. Tanpa adanya sarana atau fasilitas yang memadai tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Pengaturan pelaksanan putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam peraturan perundang-undangan secara mengambang floating norm membuat putusan peradilan Tata Usaha Negara sulit untuk dilaksanakan. Kekurangtegasan pengaturan tersebut berakibat Para Badan Pejabat Tata Usaha Negara memandang sebelah mata terhadap produk Hakim yang bernama Universitas Sumatera Utara putusan tersebut. Karena tidak ada sanksi apabila putusan Hakim Peradilan Tata Usaha Negara itu tidak dipatuhi. Secara teori hukum selain bersifat mengatur maka ia harus bersanksi dan sanksi tersebut bersifat memaksa. Paralel dengan hal tersebut peradilan sebagai lembaga peengak hukum tersebut mutlak harus dilengkapi dengan suatu instrumen pemaksalembaga paksa. Peradilan Tata Usaha Negara yang satu- satunya lembaga peradilan yang tidak memiliki lembaga paksa. Pada hakekatnya putusan pengadilan hakim merupakan isyarat tentang penegakan hukum dan keadilan. Bila dalam putusan itu terdapat isyarat disisihkannya ketentuan dari suatu undang-undang dalam kasus konkrit, maka pembentuk undang- undang bersama pemerintahan harus cepat tanggap, apakah ada yang tidak cermat dalam undang-undang tersebut. Apabila setelah dipertimbangkan dan ternyata putusan itu mengandung kebenaran, hendaknya pembuat undang-undang cepat merevisi peraturan tersebut. Bila tidak, maka kasus-kasus yang sama akan bermunculan, apalagi jika putusan itu telah melalui proses banding dan kasasi muncul sebagai Jurisprudensi. Tantangan yang dihadapi Pejabat Tata Usaha Negara cukup memprihatinkan terutama karena masih ada pemimpin dan Pejabat Tata Usaha Negara yang mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja. Oleh karena itu perlu segera dikembangkan budaya kerja aparatur demi terwujudnya kesejahteraan dan pelayanan masyarakat secara baik dan benar. Budaya kerja Pejabat Tata Usaha Negara dapat diawali dalam bentuk nilai- nilai yang terkandung didalamnya, intitusi atau sistem kerja, sikap dan perilaku SDM Universitas Sumatera Utara aparatur yang melaksanakan. Interaksi antara ketiga unsur penting itulah yang sangat mempengaruhi pengembangan budaya kerja. Di samping faktor lingkungan yang sangat mempengaruhinya, unsur-unsur itu diinternalisasikan kedalam setiap pribadi aparatur sehingga menghasilkan kinerja berupa produk dan jasa yang bermutu bagi peningkatan pelayanan masyarakat. Oleh karena itu untuk mengimplementasikannya diperlukan persepsi, pola pikir dan mengubah perilaku yang dilakukan dengan menumbuhkembangkan nilai- nilai budaya kerja sesuai dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yaitu dengan cara :

1. Peningkatan Kinerja Aparatur Baik Secara Individu dan Secara Nasional