87
keluarga. Namun sejak ibunya meninggal, ayah menikah lagi dan memilih untuk tinggal bersama anak-anaknya. Dari sinilah keluarga L.I mengurus kehidupannya
masing-masing, anggota keluarga lainnya sudah menikah dan bekerja, sementara L.I masih bersekolah. Konflik yang terjadi dalam keluarga ini biasanya bermula
dari kesalahan komunikasi, namun tidak berlarut hingga menimbulkan konflik baru. Setelah ayah menikah lagi, keputusan-keputusan yang menyangkut
keluarga dipegang oleh anak pertama keluarga ini. Ayah tidak begitu berperan lagi dalam keluarga, karena empat anaknya sudah menikah dan bekerja. Ayah
seakan lupa bahwa masih ada anaknya yang sangat butuh perhatian dari orang tua.
4.2.2 Pengambilan Keputusan Masing-masing Informan
Salah satu fungsi berpikir ialah menetapkan keputusan. Proses ini dipengaruhi masa lalu, masa sekarang dan perkiraan masa yang akan datang.
Pengambilan keputusan merupakan proses memilih dan berkomitmen atas apa yang telah dipilih. Setiap keputusan yang di ambil akan disusul oleh keputusan-
keputusan lainnya yang berkaitan. Proses pengambilan keputusan memberikan peranan penting dalam pembaharuan. Hal ini dapat dimaklumi mengingat untuk
mengambil suatu keputusan dihadapkan pada dua pilihan yaitu untuk mengambil keputusan atau tidak mengambil perubahan jika ada beberapa pilihan.
Pengambilan keputusan yang akan menentukan pilihan. Keputusan mengenai perilaku yang di nilai baik dalam situasi yang dihadapi senantiasa melibatkan
pertimbangan-pertimbangan untung dan rugi. Keluarga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat yang mempunyai
tujuan tertentu. Dalam pencapaian tujuan tersebut diperlukan adanya pembagian peran dan fungsi dari anggotanya. Salah satu tugas yang harus di emban dari
anggota keluarga adalah pengambilan keputusan. Di dalam kehidupan keluarga sehari-hari, pengambilan keputusan sering dilakukan. Pengambilan keputusan
untuk menikah pada usia remaja yang di ambil oleh masing-masing keluarga informan dalam penelitian ini disebabkan oleh faktor keadaan. Dimana, informan
1 dan informan 2 menikah karena telah hamil sebelum terjadi ikatan yang sah
Universitas Sumatera Utara
88
secara agama maupun negara atau lebih di kenal dengan istilah MBA Married By Accident. Pengambilan keputusan untuk menikah pada usia remaja pada
informan 3 juga diambil karena faktor keadaan. Perbedaannya adalah, jika pada informan 1 dan 2 disebabkan oleh MBA, pada informan 3 keputusan menikah
diambil karena hasil berpikir informan 3 yang menganggap bahwa dengan menikah, dirinya akan mendapat perhatian dan kasih sayang dari pria yang telah 2
tahun menjadi kekasihnya. Proses pengambilan keputusan para keluarga informan dilakukan secara singkat karena faktor keadaan yang mendesak dipengaruhi oleh
keadaan keluarga di masa lalu. Informan 1,2 dan 3 tidak mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang cukup dari keluarga terutama kedua orang tua mereka,
sehingga para informan mencari orang lain untuk memberikan kenyamanan berupa perhatian dan kasih sayang.
Dilihat dari sudut batas usia, ketiga informan dalam penelitian ini menikah pada tahap perkembangan remaja pertengahan middle adolescence. Pada tahap
perkembangan ini, teman sebaya masih memiliki peranan penting namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri self-directed. Selain itu
penerimaaan lawan jenis menjadi penting bagi individu, itu lah sebabnya ketiga informan dalam penelitian ini cenderung memilih dekat dengan lawan jenis dari
masing-masing mereka. Konflik yang terjadi pada keluarga ataupun kebutuhan yang tidak terpenuhi seperti kebutuhan kasih sayang menyebabkan remaja kurang
terbuka dan tertarik pada orang tua mereka. Hal ini lah yang menyebabkan seorang remaja mencari cara atau pelarian dengan melakukan tindakan yang
negatif seperti pergaulan bebas free sex yang berdampak pada kehamilan seperti kasus yang dialami oleh informan 1 dan 2.
Kehamilan diluar nikah menyebabkan para orang tua terpaksa mengambil keputusan untuk menikahkan anaknya pada usia yang belum matang atau pada
usia remaja. Menurut Gubhaju dalam www.bkkbn.go.id menyatakan bahwa pernikahan dini secara frekuen merefleksikan pernikahan yang sudah diatur atau
karena kehamilan di luar nikah. Pernikahan sebelum usia 18 tahun pada umumnya terjadi pada wanita Indonesia di pedesaan dan pendidikan perempuan yang lebih
tinggi terkait erat dengan perkawinan usia remaja yang lebih lambat. Undang- undang perkawinan tahun 1974 bab II pasal 7 ayat 1 menyebutkan bahwa
Universitas Sumatera Utara
89
perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 sembilan belas tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 enam belas tahun. Namun,
pada usia ini biasanya mulai timnul transisi dari gejolak remaja ke masa dewasa dan memasuki tahapan proses penemuan jati diri. Sehingga, perkawinan dengan
batasan usia 19 tahun untuk pria atau bahkan 16 tahun untuk perempuan agak kurang relevan jika dikatagorikan sebagai pernikahan yang cukup matang, meski
secara hukum dianggap tidak melanggar undang-undang perkawinan. Kegagalan orang tua dalam mendidik anak yang selama ini terjadi bukan
tidak mungkin disebabkan komunikasi yang dibangun beralaskan kesenjangan tanpa memperhatikan sejumlah etika komunikasi. Terutama pada keluarga yang
memiliki anak remaja. Pada umumnya, remaja memiliki perbedaan dalam cara pandang dengan orang tua dan ingin kebebasan. Masa remaja merupakan masa
yang sulit dan kritis, sehingga menimbulkan perilaku-perilaku khas remaja yang ingin mendapat reward dari lingkungannya. Beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku para informan sebagai remaja pertengahan yaitu, sebagai berikut: 1.
Faktor Pribadi Informan 1 memperlihatkan perilaku yang tampil sebagai pelarian dari
kondisi keluarganya. Ia merasa mendapat tuntutan dari orang tua untuk bersifat lebih dewasa sebagai anak paling besar. Selama 14 tahun, ia mendapatkan kasih
sayang penuh dari orang tua terutama ibu karena merupakan anak perempuan satu-satunya dalam keluarga. Dari kecil informan sudah merasa dimanjakan oleh
kedua orang tuanya, sehingga kelahiran adik kecilnya membuat ia merasa kecewa terhadap sikap orang tuanya yang dianggap sudah tidak menyayanginya lagi.
Informan 1 mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap nasehat-nasehat yang diberikan kedua orang tuanya, seperti melanggar peraturan yang diberikan
ayah ketika ia tidak dibolehkan pacaran. Berbeda dengan Informan 1, pada dasarnya informan 2 adalah anak yang
penurut, sejak kecil ia sudah terbiasa dengan kesibukan kedua orang tuanya. Ia adalah anak yang berprestasi dan tidak banyak menuntut kepada orang tua.
Seiring berjalannya waktu, informan 2 tumbuh menjadi seorang remaja yang
Universitas Sumatera Utara
90
seharusnya mempunyai banyak teman. Namun, ia tidak mempunyai banyak teman baik disekolah maupun dilingkungan tempat tinggalnya. Ia hanya menginginkan
orang tua sebagai tempat keluh kesahnya, tetapi hal itu tidak berlaku dikeluarganya. Ia memperlihatkan perilaku antisosial yang tampil sebagai
pelariannya karena ia merasa kurang perhatian dari kedua orang tua. Ia dituntut agar menjadi anak yang mandiri dan menyelasaikan masalah-masalah sendiri.
Kekecewaan terhadap orang tua menimbulkan perspepsinya bahwa orang tuanya terlalu sibuk memenuhi kebutuhan materi saja. Sikap menentang ia tunjukkan
pada masa-masa SMA ketika ia bertemu dengan laki-laki yang menjadi tempat curahan hatinya.
Pola komunikasi yang terjadi dalam keluarga informan 2 dan 2 mempunyai kesamaan. Informan 2 adalah anak yang mandiri, mengurus segala
keperluan dan kebutuhannya sendiri. Ia tinggal bersama saudara kandungnya yang sudah berkeluarga. Sejak kelas 6 Sd ia merasa kesepian karena tidak ada yang
memperhatikannya. Bahkan beberapa kali ia mencoba bunuh diri untuk mencuri perhatian saudara-saudaranya. Jiwanya rapuh, karena tidak ada kasih sayang yang
didapatkannya sejak ibunya meninggal. Usia 9 tahun, ia harus mengurus segala keperluannya sendiri. Padahal, anak usia 9 tahun seharusnya dibimbing dan diberi
pembelajaran untuk diperkenalkan pada lingkungan sosial selain keluarga. Kekecewaan terhadap orang tua dan saudara-saudaranya berlanjut pada penilaian
bahwa dirinya tidak perlu dipertahankan karena tidak ada lagi yang mencintainya.
2. Faktor Keluarga
Sudah saharusnya setiap anggota keluarga saling memberikan kasih sayang dan perhatian. Informan 1 mengakui bahwa, kurangnya kasih sayang yang
diberikan orang tua menyebabkan ia menjadi pemberontak dan berperilaku bebas. Tipe keluarga nya adalah pluralistis, yaitu dengan orientasi percakapan yang
tinggi, tetapi rendah dalam kesesuian. Orang tuanya hanya memberi nasehat tanpa memberikan teladan yang mendukung nasehatnya tersebut. Orang tua cenderung
mengatur tanpa memberi alasan mengapa aturan tersebut dibuat. Yang lebih fatal adalah, ayah sering berlaku kasar terhadap anak-anaknya. Ayah tidak pernah
Universitas Sumatera Utara
91
menunjukkan bahwa dirinya sayang kepada anak-anaknya, hanya emosi yang selalu ditunjukkan dihadapan anak-anaknya. Hal ini lah yang menimbulkan
kekecewaan informan 1. Ia tidak lagi mendapatkan apa yang diinginkannya dari orang tua. Beberapa kerabat Informan 1 juga menikah muda karena MBA. Orang
tua, saudara-saudara maupun kerabat terdekat seharusnya mencurahkan perhatian untuk mendidik anak, agar anak memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup
yang benar dan baik, melalui penanaman displin dan kebebasan serta penyerasiannya.
Informan kedua atau mempunyai tipe keluarga Laissez-faire atau toleran, yaitu keluarga dengan tingkat percakapan yang rendah dan kesesuaian yang
rendah pula. Orang tua sibuk dengan urusannya masing-masing, sehingga untuk melakukan komunikasi dengan anak-anaknya merupakan moment yang jarang di
temukan dalam keluarga ini. Sikap indivualistis yang tertanam sejak kecil menimbulkan hubungan yang berjarak atau tidak akrab antar sesama anggota
keluarga. Orang tua terlalu mementingkan urusan bisnis dan mengutamakan pemenuhan kebutuhan materi saja, sehingga kasih sayang berupa perhatian tidak
didapatkan oleh anak-anaknya. Tipe keluarga informan ketiga adalah tipe Laissez-faire atau toleran.
Setiap anggota keluarga tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lainnya, mereka mengurusi kehidupannya masing-masing. Kondisi ini
lah yang terlihat dari keluarga informan 3. Di usianya yang masih 9 tahun, seharusnya ia masih bergantung pada lingkungan keluarga yang mempunyai
peranan besar terhadap perkembangan anak. Tidak terpenuhinya kebutuhan kasih sayang dari lingkungan keluarga membuat ia memutuskan untuk menikah di usia
18 tahun. Informan 3 merasa tidak bisa hidup sendiri, terlalu dalam kekecewaan yang ia rasakan terhadap keluarganya.
3. Faktor Lingkungan
Menurut pengakuan Informan 1, faktor terbesar yang mempengaruhi perilakunya adalah lingkungan, ia mempunyai teman-teman dekat yang sudah
Universitas Sumatera Utara
92
terkontaminasi dengan perilaku menyimpang dari norma-norma seperti bolos sekolah, pulang larut malam bahkan seks bebas. Informan 1 bergabung ke dalam
kelompok persahabatan ini karena merasa mempunyai latar belakang yang sama. Remaja adalah fase pencarian identitas, untuk itu harus ada tokoh-tokoh ideal
yang perilakunya terpuji untuk ditiru. Pertama-tama seorang remaja akan melihat lingkungan yang terdekat dengannya, yakni orang tua, saudara-saudaranya dan
juga kerabat dekatnya. Apabila idealismenya tidak terpenuhi oleh lingkungan terdekatnya, maka ia akan berpaling ke lingkungan lain dan mengikuti perilaku
dari lingkungan tersebut. Kesamaan pendapat, minat dan sifat-sifat kepribadian menjadi daya tarik Informan 1 untuk bersahabat dengan ketiga temannya tersebut.
Pengaruh kelompok teman sepermainan terhadap remaja berkaitan juga dengan ilklim keluarga. Remaja yang memiliki hubungan baik dengan orang tuanya
cenderung dapat menghindar dari pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan remaja yang hubungannya kurang baik dengan orang tua.
Faktor lingkungan yang paling mempengaruhi sikap informan 2 adalah lingkungan keluarga, karena ia bersikap antisosial. Ia lebih senang berada dirumah
daripada bergabung dengan teman-temannya. Ia hanya mempunyai satu teman dekat pada saat dibangku SMA yaitu B.S. Segala keluh kesahnya ia curahkan
kepada laki-laki tersebut. Menurut penuturan Informan 2, B.S membawa banyak pengaruh dalam hidupnya, seperti mulai menjauhkan ia dari orang tuanya. Iklim
komunikasi dalam keluarga membuat Mala mencari pelarian diluar lingkungan keluarga. Ia mulai mencari orang yang siap mendengar keluh kesahnya kapan
saja. Namun, tidak semua teman dekat akan membawa pengaruh potitif terhadap diri maupun kehidupan. Pada kenyataanya, baik informan 1 maupun informan 2
mempunyai teman dekat yang membawa pengaruh negatif terhadap diri mereka masing-masing sehingga terjerumus dalam suatu kedaan yang mengharuskan
mereka menikah pada usia remaja. Lingkungan keluarga adalah faktor terbesar yang mempengaruhi perilaku
informan 3. Ia tidak banyak mempunyai teman, karena ia menarik diri dari lingkungan sosialnya. Ia hanya mempunyai satu teman dekat yang menjadi tempat
keluh kesahnya. Ia selalu merasa iri dengan teman-temannya yang mendapat
Universitas Sumatera Utara
93
perhatian dan kasih sayang dari orang tua. Hal ini lah yang membuat informan 3 menarik diri dari lingkungan sosialnya karena kekecewaannya semakin dalam
ketika melihat kehidupan anak-anak lain lebih bahagia dari dirinya.
Universitas Sumatera Utara
94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN