hingga bulan Maret yang dapat menimbulkan kebakaran hutan yang cukup luas Hajime dan Sumantri, 2003.
Bahwa pengaruh cuaca yang berlangsung musim hujan paling sedikit enam bulan di Indonesia bagian barat, mulai berangsur-angsur menurun
sampai hanya kurang dari dua bulan. Menjelang akhir bulan Januari 1998, rekaman titik api melalui pengamatan di citra satelit NOAA 18,
karena kekeringan terjadi sampai kalender tahun kedua. Pola kebakaran hutan tahun 1997 kembali terjadi di kawasan berawa di pesisir timur
Sumatera dari bulan Januari sampai April, sementara kebakaran terkonsentrasi di Kalimantan Timur Anonim, 2007.
2.4. Tata Guna Lahan
Ekosistem hutan hujan tropik yang belum terganggu dapat dikatakan “tahan api”, di mana tajuk pohon yang berlapis-lapis dapat mempertahankan kelembaban
serta meredam angin dan panas. Pembalakan dan pembangunan jalan mengakibatkan matahari dan panas dapat masuk kedalam hutan, yang dapat mengurangi kelembaban
dan mengeringkan hutan Moore and Haase, 2003. Di lain pihak juga dengan pembalakan dan pembangunan jalan hutan, saling
berhubungan dengan ketahanan alami terhadap apikebakaran, juga akan menyediakan lebih banyak kayu-kayu mati yang menjadi bahan bakar. Kebakaran
hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi mungkin manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di milenium terakhir ini, pertama untuk
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009
USU Repository © 2008
memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk pembuatan petak-petak pertanian di dalam hutan Moore and Haase, 2003.
Pembalakan telah meninggalkan akumulasi limbah pembalakan yang luar biasa di dalam hutan, di mana banyak spesies pionir dan sekunder tumbuh pesat
di kawasan-kawasan yang telah dibalak, sehingga membentuk lapisan vegetasi bawah yang padat dan mudah terbakar Anonim, 2007.
Setelah membandingkan “titik api” kebakaran pada citra satelit dan berbagai peta tata guna lahan, pada bulan September pemerintah menetapkan bahwa kebakaran
sebagian besar terjadi pada areal Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit, meskipun petani-petani juga terlibat Akihiro dan Marbawa, 2000.
Dengan mengambil contoh di Kalimantan Barat dan Riau, analisa titik panas menunjukkan sebaran titik panas sebagai berikut: konsesi perkebunan sawit
23,37, Hutan Tanaman Industri 16,16, Hak Pengusahaan Hutan 1,88, dan areal penggunaan lainAPL 58,59. APL ini dapat berupa lahan masyarakat, lahan
terlantar, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Secara ilmiah, hasil analisis ini tidak bisa digeneralisasi sebagai representasi kondisi kebakaran hutan dan
lahan di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun demikian, data ini dapat menggambarkan sebaran titik panas berdasarkan fungsi lahan. Sementara itu,
berdasarkan kondisi lahannya, 36,41 titk panas terdeteksi pada lahan gambut Anonim, 2007.
Sahdin Zunaidi : Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan, 2009
USU Repository © 2008
2.5. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan