Kajian Potensi Kebakaran Hutan Dan Lahan Dari Aspek Biomasa Dan Indeks Kekeringan Di Kabupaten Tapanuli Selatan

(1)

KAJIAN POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DARI

ASPEK BIOMASA DAN INDEKS KEKERINGAN

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

T E S I S

Oleh

SAHDIN ZUNAIDI

067004014/PSL

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

KAJIAN POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DARI

ASPEK BIOMASA DAN INDEKS KEKERINGAN

DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

dalam Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SAHDIN ZUNAIDI

067004014/PSL

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : KAJIAN POTENSI KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DARI ASPEK BIOMASA DAN INDEKS KEKERINGAN DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN

Nama Mahasiswa : Sahdin Zunaidi

Nomor Pokok : 067004014

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., PhD) Ketua

(Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS) Anggota

(Dr. Delvian, SP, MS) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 Februari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D Anggota : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

2. Dr. Delvian, SP, MS

3. Prof. Dr. Ir. Sengli J. Damanik, M.Sc 4. Ir. Guslim, MS


(5)

ABSTRAK

Penelitian bertujuan untuk mengkaji potensi biomasa sebagai salah satu faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan pada berbagai pola pemanfaatan lahan, menganalisa hubungan antara penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, mulai dari faktor iklim (suhu dan curah hujan) dan biomasa untuk bahan masukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Pelaksanaan penelitian dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pengambilan data biomasa di lapangan, yang bertempat di Kabupaten Tapanuli Selatan dan pengolahan data di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, dengan lama 1 (satu) bulan.

Pengukuran biomasa dilakukan pada hutan melalui pembuatan plot besar 20 m x 100 m (diameter pohon > 30 cm), subplot 5 m x 40 m (diameter pohon 5cm <D<30 cm) dengan 3 kali ulangan dan plot untuk diameter pohon/tumbuhan bawah < 5 cm, tumbuhan bawah dan serasah, berukuran 0,5 m x 0,5 m dengan 6 kali ulangan. Biomasa dihitung dengan pendekatan alometrik, melalui pengukuran diameter pohon, tinggi, berat kering total tumbuhan bawah, serasah dan nekromasa dari ketiga plot pengamatan yang dibuat dan selanjutnya diperhitungkan untuk potensi biomasa per hektar.

Hasil pengukuran biomasa pada hutan adalah 395,12 Mg ha-1 sedangkan pada kebun sawit 106,84 Mg ha-1, adapun sumber biomasa adalah pohon; tumbuhan bawah, nekromasa, serasah dan untuk kebun sawit ditambahkan biomasa daun yang diperhitungkan 20 % dari biomasa pohon.

Analisis hubungan potensi biomasa pada hutan dan kebun sawit dengan Nilai Indeks kekeringan dari Keecth Byram, sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2007, dan hotspot sebagai indikator terjadinya kebakaran, menunjukkan bahwa pada kawasan hutan dan kebun sawit yang mempunyai biomasa cukup tinggi sering terjadi kebakaran. Kebakaran terutama terpantau pada bulan-bulan kering mulai bulan Agustus sampai dengan Oktober dan bulan Februari sampai Maret, terutama pada kecamatan-kecamatan yang kegiatan pengelolaan perkebunan cukup luas.

Hubungan kegiatan perkebunan yang tinggi mulai dari persiapan lahan kebun baru maupun penanaman ulang salah satu penyebab terjadinya pembakaran, dapat dilihat dari luas perkebunan yang terdapat pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan. Kegiatan perkebunan tertinggi yang diikuti dengan banyaknya terpantau hotspot sejak tahun 2004 s/d 2007 berada pada Kecamatan Padang Bolak dan Barumun Tengah.


(6)

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the potencial of biomass as one of factor that causes farm and forest fire in the various pattern of forest use, to analyze the relationship between the causes of farm and forest fire commencing from the factors of climate (temperature and rainfall) and biomass to be the inputs in the proses of land and forest fire control.

This study was conducted into two phases such as taking the biomass data from the field in Tapanuli Selatan District and data analysis processing in Forest Product Technology Laboratory, Faculty of Agriculture, University of North Sumatera, for one month.

The measurement of biomass was taken in the forest by making big plot 20 m x 100 m (diameter of the tree > 30 cm), subplot of 5 m x 40 m (diameter of the tree 5 cm < D < 30 cm) with three times of replication, and the plot of 0.5 m x 0.5 m for the trees with diameter < 5 cm, understorey and litter with six times replication. The biomass was calculated by using the allometric approach through measuring the stem diameter, height, total dry weight of understorey, litters and necromass from the three plots made and then the result of this measurement was calculated to find out the potential of biomass per hectare.

The result of the biomass measurement done in the forest was 395.12 Mg ha-1 while the result of the biomass measurement done in the oil palm plantation was 106.84 Mg ha-1 and the resource of the biomass was tree, understroy, necromass, litter, and for the resource of biomass measured in the oil palm plantation, the leaves of oil palm were included and they were counted 20 % from biomass of oil palm tree.

The result of the analysis the relationship between the potential of biomass in the forest and in the oil palm plantation at the Value from Drought Index from Keecth Byram from 2004 to 2007, and hotspot as the indicator the cause of fire, shows that fire frequently occurs in the forest and oil palm plantation with adequately high biomass. The fire is mostly monitored during the dry months from Agustus to October and from February to March especially in the sub-districts with adequantely large plantation areas.

The relationship between high plantation activities starting from preparing new plantation area and up to the replanting that can be one of the causes of forest and farm fires can be seen from the total area of the plantations located in the respective sub-districts in Tapanuli Selatan District. The highest plantation activities and the number of hotspots monitored from 2004 to 2007 are found in Padang Bolak and Barumun Tengah Sub-districs.


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, berkat ridhoNya akhirnya dapat penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul “Kajian Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan dari Aspek Biomasa dan Indeks Kekeringan di Kabupaten Tapanuli Selatan”, merupakan tugas akhir dalam memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Pada saat mengikuti perkuliahan, pelaksanaan penelitian sampai dengan penulisan tesis ini, berbagai pihak telah banyak membantu dan mendorong hingga dapat diselesaikan dengan baik. Berkenaan dengan hal tersebut pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih banyak pada:

1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS dan Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc Ketua dan Sekretaris Program Studi PSL Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, M.Sc., Ph.D, Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS dan Dr. Delvian, SP, MS sebagai Komisi Pembimbing serta Prof. Dr. Ir. Sengli J. Damanik dan Ir. Guslim, MS sebagai Dosen Pembanding/Penguji.

3. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Staf Administrasi PSL USU dan rekan-rekan sesama Mahasiswa PSL USU khususnya Angkatan 2006.


(8)

5. Bapak, Ibunda serta Kakak dan Adik-adik penulis yang tak lepas mendorong dan berdoa dalam penyelesaian tugas-tugas penulis.

6. Istri dan anak-anak tercinta yang selalu berdoa dan bersabar dengan bertambahnya kesibukan penulis menyelesaikan studi.

7. Semua pihak dan rekan-rekan di Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumatera Utara.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati kami berharap kiranya ada manfaat dari tesis ini, dalam rangka mengungkap sebagian tabir ilmu dan menambah khasanah pengetahuan serta semoga bermanfaat.

Medan, Januari 2009


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bungabondar (Kecamatan Sipirok) Kabupaten Tapanuli Selatan pada tanggal 24 November 1963, anak ke-2 dari 6 bersaudara dari keluarga pendidik Bapanda Sutan Humala Hasian Siregar dan Ibunda Ompu Anggi Piliang.

Pendidikan dasar diselesaikan pada SDN 2 Bungabondar tahun 1975, dan pendidikan menengah pertama pada SMPN Bungabondar yang diselesaikan di SMPN 5 Padangsidimpuan tahun 1979 dan pendidikan menengah atas pada SMAN 3 Padangsidimpuan tahun 1982.

Pada akhir pendidikan menengah atas mendapat kesempatan dari IPB Bogor untuk menjadi mahasiswa baru melalui program Proyek Perintis II, dan memilih Jurusan Manajemen Hutan sebagai bidang keahliannya sampai lulus tahun 1987.

Setelah lulus dari Fakultas Kehutanan IPB, bekerja di PT. Inti Indorayon Utama (Sumatera Utara) sampai dengan 1993, dengan spesifikasi Reseach and

Development. Pada tahun 1994 diterima menjadi PNS Departemen Kehutanan dan

ditugaskan di NAD sampai tahun 2000, tahun 2000 pindah tugas ke Sumatera Utara, tahun 2004 ditugaskan di Sulawesi Selatan dan pada tahun 2005 ditugaskan kembali ke Sumatera Utara.

Menikah pada tahun 1990 dengan Anna Lely Piliang, S.Pd seorang Guru pada SMAN 1 Batang Kuis dan telah dianugrahi 3 orang anak, 2 orang perempuan dan 1


(10)

orang laki-laki, masing-masing: Rifa Annisa Siregar (SMA kelas 2), Muhammad Fadly Siregar (SD kelas 6) dan Meilisa Syafrina Siregar (SD kelas 3).

Pada tahun 2006 memasuki Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan sebagai tugas akhir menyusun tesis berjudul “Kajian Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan dari Aspek Biomasa dan Indeks Kekeringan di Kabupaten Tapanuli Selatan”.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ...v

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL... ix

DAFTAR GAMBAR ...x

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Perumusan Masalah ...3

1.3. Kerangka Pikir ...3

1.4. Tujuan ...4

1.5. Hipotesis...5

1.6. Manfaat Penelitian ...5

II. TINJAUAN PUSTAKA ...7

2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan...7

2.2. Jenis Kebakaran Hutan...7

2.3. Pengaruh Bentuk Permukaan Tanah dan Kondisi Vegetasi Hutan ...8

2.4. Tata Guna Lahan ... 10

2.5. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan ...12

2.6. Sistem Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan ...13

2.7. Kandungan Karbon ...14

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN...17

3.1. Tempat dan Waktu ...17

3.2. Metode Penelitian ...18

3.3. Pengamatan Biomasa Hutan ...24

3.4. Pengamatan Biomasa Kebun Sawit ...25

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ...26

V. HASIL ...27


(12)

5.3. Indeks Kekeringan ... 29

5.4. Pemantauan Hotspot ... 60

VI. PEMBAHASAN ...76

6.1. Analisis Potensi Biomasa...76

6.2. Analisis Indeks Kekeringan Bulanan ...79

6.3. Analisis Jumlah Hotspot Tiap Pola Penggunaan Lahan ...84

6.4. Analisis Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan ...89

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ...93

7.1. Kesimpulan ...93

7.2. Saran...93


(13)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Skala Sifat Indeks Kekeringan ...23

2. Biomasa Hutan Hasil Pengukuran untuk Masing-Masing Plot ...27

3. Biomasa Sawit Hasil Pengukuran untuk Masing-masing Plot...28


(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

3.1. Plot Pengamatan Biomasa untuk Pohon Diameter > 5 cm ...20 3.2. Plot Pengamatan Biomasa untuk Pohon Diameter > 5 cm ...20 5.1. Pengukuran Biomasa pada : a. Hutan dan b. Kebun Sawit ...28 5.2. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang ...29 5.3. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada

Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang ...30 5.4. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang ...31 5.5. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang ...32 5.6. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua ...32 5.7. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada

Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua ...33 5.8. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua ...34 5.9. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua ...35 5.10. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Binanga ...35 5.11. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada


(15)

5.12. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Binanga ...37 5.13. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Binanga ...38 5.14. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Arse...38 5.15. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada

Stasiun Pengamat Hujan Arse...39 5.16. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Arse...40 5.17. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Arse...41 5.18. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon...41 5.19. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada

Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon ...42 5.20. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon...43 5.21. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon...44 5.22. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Aliaga ...44 5.23. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada

Stasiun Pengamat Hujan Aliaga...45 5.24. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hjujan Aliaga...46 5.25. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada


(16)

5.26. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu ...47 5.27. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada

Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu ...48 5.28. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu ...49 5.29. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu ... 50 5.30. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Sosopan... 51 5.31. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada

Stasiun Pengamat Hujan Sosopan...52 5.32. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Sosopan...53 5.33. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Sosopan...53 5.34. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole ...54 5.35. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada

Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole ...55 5.36. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole ...56 5.37. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole. ...57 5.38. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada

Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka...57 5.39. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada


(17)

5.40. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada

Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka...59 5.41. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada

Stasiun Pengamat Hujan Padang Balakka...60 5.42. Sebaran Hotspot Tiap Bulan untuk Masing-masing Pola

Pemanfaatan Lahan Tahun 2004...61 5.43. Sebaran Hotspot Tiap Bulan untuk Masing-masing Pola

Pemanfaatan Lahan Tahun 2005...63 5.44. Sebaran Hotspot Tiap Bulan untuk Masing-masing Pola

Pemanfaatan Lahan Tahun 2006...65 5.45. Jumlah Hotspot Tiap Bulan untuk Masing-masing Pola

Pemanfaatan Lahan Tahun 2007...67 5.46. Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan untuk Masing-masing Pola

Pemanfaatan Lahan Tahun 2004...69 5.47. Sebaran Hotspot Tiap Kecamatan untuk Masing-masing Pola

Pemanfaatan Lahan Tahun 2005...71 5.48. Sebaran Hotspot Tiap Kecamatan untuk Masing-masing Pola

Pemanfaatan Lahan Tahun 2006...73 5.49. Sebaran Hotspot Tiap Kecamatan untuk Masing-masing Pola

Pemanfaatan Lahan Tahun 2007 ...75 a. Sebaran Hotspot tiap bulan sejak tahun 2004 s/d 2007 ...82 b. Jumlah Hotspot Tertinggi pada Tahun 2004 s/d 2007 pada Tiap Pola

Pemanfaatan Lahan... ...85 c. Jumlah Hotspot yang Terpantau pada Tahun 2004 s/d 2007

pada Tiap Pola Pemanfaatan Lahan ...87 6.4 Persiapan Lahan Tanpa Bakar pada Kebun Sawit ...88 6.5. Hotspot pada 3 Kecamatan Tahun 2004 s/d 2007...90


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Hasil Pengukuran Biomasa pada Hutan Plot I ...100

2. Hasil Pengukuran Biomasa pada Hutan Plot II...102

3. Hasil Pengukuran Biomasa pada Hutan Plot III ...104

4. Hasil Pengukuran Biomasa pada Kebun Sawit Plot I ...105

5. Hasil Pengukuran Biomasa pada Kebun Sawit Plot II...107

6. Hasil Pengukuran Biomasa pada Kebun Sawit Plot III ...109

7. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2004 s/d 2007...111

8. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Tahun 2004 s/d 2007 ... 113

9. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2004 s/d 2007 ... ...115

10. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2004 s/d 2007 ...117

11. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2004 s/d 2007 ...119

12. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2004 s/d 2007 ... ...121

13. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2004 s/d 2007 ...123

14. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2004 s/d 2007 ... ...125


(19)

15. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat Hujan Saipar Dolok Hole Tahun 2004 s/d 2007 ... ... 127 16. Nilai Keetch Byram Drought Index (KBDI) pada Stasiun Pengamat

Hujan Padang Balakka Tahun 2004 s/d 2007 ...129 17. Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan Setiap Bulan pada

Tahun 2004 ... 131 18. Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan Setiap Bulan pada

Tahun 2005 ... 132 19. Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan Setiap Bulan pada

Tahun 2006 ... 133 20. Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan Setiap Bulan pada

Tahun 2007 ... 134 21. Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan

Lahan Tahun 2004 ... ...135 22. Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan

Lahan Tahun 2005 ... 136 23. Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan

Lahan Tahun 2006 ...137 24. Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan

Lahan Tahun 2007 ... 138 25. Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2004.. 139 26. Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2005...139 27. Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2006.. 140 28. Data Curah Hujan Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2007...140 29. Data Curah Hujan Tahunan Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2004,

2005, 2006 dan 2007 ...141 30. Jumlah Hotspot Tiap Tahun pada Masing-Masing Pemanfaatan Lahan.142


(20)

31. Jumlah Hotspot Tiap Kecamatan pada Masing-Masing Pemanfaatan Lahan Tahun 2004 s/d 2007 ...143 32. Jumlah Hotspot Tiap Pemanfaatan Lahan pada Bulan Ekstrim Tahun

2004 s/d 2007 ...144 33. Surat Keterangan Penelitian ...145


(21)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebakaran hutan dan lahan telah menyebabkan kerugian bagi masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung berupa terbakarnya lahan-lahan produktif masyarakat, yang menjadi sumber penghidupannya. Lahan produktif tersebut berupa lahan pertanian yang ditanami palawija, maupun lahan perkebunan yang ditanami tanaman keras. Selain kerugian tersebut, dampak yang sangat nyata pada dekade belakangan ini meningkatnya polusi asap, yang semakin meluas sehingga menyebabkan gangguan penerbangan dan kesehatan.

Polusi asap telah mengganggu transportasi baik darat, sungai, danau, laut maupun udara, di lain pihak munculnya masalah bagi kesehatan manusia maupun keanekaragaman hayati, menurunnya indeks ekonomi hutan dan produktivitas lahan. Dampak penting akibat kebakaran hutan dan lahan yang sangat dirasakan, terutama oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada hutan, satwa liar yang kehilangan habitatnya. Seperti yang terdapat dalam satu lingkaran, selain berkontribusi terhadap akumulasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfir dengan bertambahnya gas karbon dunia, juga memicu meningkatnya pemanasan global (Puspawardani, 2007).

Pembakaran hutan dan lahan masih dianggap cara yang paling murah, mudah dan cepat untuk persiapan lahan, dilain pihak juga dimaksudkan sebagai upaya


(22)

mendapatkan rumput muda bagi ternaknya secara murah dan juga mengusir hama (tikus dan babi). Masalah perilaku dan kebiasaan demikian, menjadi perhatian serius, mengingat akibat kebakaran yang sangat merugikan banyak pihak dan lingkungan (Dephut, 1998).

Beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya kebakaran hutan dan lahan, perlu dikaji untuk mengetahui potensi biomasa sebagai salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Faktor-faktor yang telah dikenal menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan antara lain adalah: faktor manusia dan perilakunya, faktor pola pemanfaatan lahan, faktor iklim dan faktor alam seperti halilintar yang bisa menimbulkan api.

Berbagai metoda telah dikembangkan untuk mengetahui potensi biomasa tanaman antara lain melalui pendekatan alometrik, baik dengan cara merusak maupun dengan metode tidak merusak tanaman (Hairiah et al, 2001). Pada penelitian ini akan dilakukan perhitungan biomasa pada 2 (dua) pola pemanfaatan lahan yaitu: hutan dan kebun sawit, dengan lokasi di Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan metoda pengukuran tidak merusak.

Untuk mengetahui potensi biomasa sebagai bahan bakar dan iklim yang menjadi faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, maka dilakukan penelitian ini. Pemilihan tempat penelitian di Kabupaten Tapanuli Selatan dengan pertimbangan, pemantauan satelit NOOA ternyata titik api banyak terpantau dan pada saat ini proses konversi lahan masih berlangsung.


(23)

1.2. Perumusan Masalah

Bahwa pada setiap penggunaan lahan terjadi perbedaan kandungan biomasa, yang merupakan bahan utama cepat terbakar. Perilaku masyarakat dalam pengolahan lahan, iklim, jenis tanah merupakan faktor-faktor lainnya yang akan mempengaruhi langsung kebakaran hutan dan lahan.

Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan oleh pemanfaatan lahan dapat berbeda akibat adanya potensi biomasa yang berbeda, yang tersimpan pada tanaman yang tumbuh di atasnya. Perhitungan biomasa pada setiap pola pemanfaatan lahan menjadi penting, untuk menjadi dasar perkiraan besarnya dampak kalau terjadi kebakaran hutan dan lahan.

1.3. Kerangka Pikir

Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi akibat adanya reaksi tiga unsur penyebab utama yaitu udara, panas dan bahan bakar. Unsur panas tidak bisa dikendalikan oleh manusia, akan tetapi dalam keadaan udara yang memungkinkan dapat menyebabkan terjadinya kebakaran maka aktifitas manusia yang berhubungan dengan kebakaran diminimalkan.

Salah satu sumber kebakaran berupa panas yang diakibatkan perilaku manusia sangat penting untuk dikendalikan, untuk tidak menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan, demikian juga halnya akan bahan bakar yang ada di alam maupun hasil daya upaya manusia harus dikendalikan seminimum mungkin.


(24)

Pola pemanfaatan lahan ditengarai juga dapat menyumbang hal penting untuk terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pemanfaatan lahan secara terbuka mendorong terbentuknya tumpukan bahan bakar dari ranting dan daun, dan panas matahari langsung yang merupakan potensi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

Pola pemanfaatan lahan menjadi salah satu langkah penting untuk dikaji dalam upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang pada gilirannya, dampak kebakaran hutan dan lahan tidak merugikan kehidupan makhluk dibumi. Pengaturan pola pemanfaatan lahan mempunyai peranan akan menumpuknya biomasa hasil persiapan lahan, yang bisa merupakan potensi bahan bakar bila terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

1.4. Tujuan

1. Mengetahui jumlah biomasa tersimpan dalam tanaman pada hutan dan kebun sawit sebagai bahan bakar dalam kejadian kebakaran hutan dan lahan.

2. Mengkaji potensi biomasa pada pola pemanfaatan lahan hutan dan kebun sawit yang merupakan bahan bakar pada kejadian kebakaran hutan dan lahan.

3. Menganalisis aspek iklim (suhu dan curah hujan) dan biomasa sebagai faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan untuk bahan masukan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.


(25)

1.5. Hipotesis

1. Potensi biomasa yang berbeda pada pola pemanfaatan lahan akan mempengaruhi perbedaan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

2. Nilai indeks kekeringan dapat merupakan alat analisis dalam mengkaji tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan.

1.6. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Indeks kekeringan yang dianalisis dari faktor iklim berupa suhu da curah hujan, dapat menjadi bahan kajian dalam kebakaran hutan dan lahan dalam bentuk peringatan dini.

2. Menjadi bahan pertimbangan dalam manajemen pola pemanfaatan lahan yang dapat meminimalisasi kebakaran hutan dan lahan.

3. Bahan koordinasi antar instansi terkait yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan, sesuai tugas dan fungsinya masing-masing untuk mengambil peran dalam mengantisipasi sedini mungkin potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan dan upaya pengendaliannya.

4. Menjadi bahan masukan pada berbagai pihak pada berbagai pola pemanfaatan lahan sebagai pertimbangan dalam mengelola lahan yang antisipatif terhadap kebakaran hutan dan lahan.


(26)

5. Menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya mengenai biomasa yang juga menjadi penyimpan karbon di dalam tanaman dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.


(27)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebakaran Hutan dan Lahan

Depatemen Kehutanan (1998) menyebutkan bahwa sumber kebakaran hutan yang perlu diwaspadai adalah: alam berupa halilintar atau gesekan tanaman yang dapat menimbulkan api, manusia berupa kegiatan perladangan, pembakaran untuk mendapatkan daun muda, pembakaran untuk tujuan mengusir hama, tanpa tujuan dan sisa-sisa obor atau api unggun.

Pendapat lain menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan merupakan reaksi dari tiga unsur yaitu panas, udara (oksigen) dan bahan bakar, yang dikenal dengan segitiga api. Masing-masing unsur memegang peranan dalam terjadinya kebakaran dan bila salah satu unsur tidak terpenuhi maka tidak akan terjadi kebakaran. Karakteristik kebakaran dapat digambarkan berdasarkan lokasi kebakaran, bentuk permukaan tanah dan meluasnya kobaran api (Akihiro dan Marbawa, 2000).

2.2. Jenis Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dan lahan berdasarkan sumber apinya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu kebakaran permukaan, kebakaran batang dan tajuk serta kebakaran bawah permukaan. Adapun karakteristik dari jenis kebakaran hutan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut (Akihiro dan Marbawa, 2000):


(28)

1. Kebakaran bawah permukaan, disebabkan oleh terbakarnya lapisan batu bara, bauksit dan bahan organik (gambut) yang ada di lapisan bumi.

2. Kebakaran bawah permukaan merupakan kebakaran yang paling banyak terjadi karena terbakarnya belukar, limbah pembalakan, rerumputan, tonggak pohon, daun dan ranting (yang jatuh dan menutupi permukaan tanah).

3. Kebakaran tajuk dan batang, merupakan kebakaran karena terbakarnya pohon (ranting-daun) yang diakibatkan oleh api loncat (spot fire) yang umumnya timbul pada saat terjadinya kebakaran permukaan. Api kebakaran tajuk ini jarang berasal dari pohon itu sendiri.

2.3. Pengaruh Bentuk Permukaan Tanah dan Kondisi Vegetasi Hutan

Kebanyakan terjadinya kebakaran hutan disebabkan oleh faktor manusia, akan tetapi menjalarnya kebakaran dan membesarnya kerugian, banyak dipengaruhi oleh kondisi alam, antara lain adalah (Akihiro dan Marbawa, 2000):

a. Pengaruh bentuk tanah

Bentuk tanah yang disebut tanah pegunungan umumnya adalah tinggi rendah lereng dan gundukan tanah (elevasi). Sifat kebakaran yang dipengaruhi bentuk permukaan tanah, umumnya, naiknya udara panas yang menyusuri lereng bukit dan puncak gunung dapat mengakibatkan meluasnya kobaran api. Angin yang bertiup ke atas dari lembah ke perbukitan menjadi sumber pensuplay oksigen, jalan setapak di hutan


(29)

dan tebing yang ada di lereng yang curam tidak efektif sebagai jalur pencegah meluasnya kobaran api.

b. Pengaruh kondisi hutan

Menjalarnya kobaran api di padang rumput seperti alang-alang cukup cepat, di mana kebakaran yang melanda padang rumput kadang-kadang menjalar ke hutan, bahkan akan sampai ke tengah hutan bila terjadi kemarau panjang. Akan tetapi bagian hutan yang berdekatan dengan padang rumput akan mudah terbakar kembali sebelum kondisi hutannya pulih kembali. Pepohonan sulit tumbuh di areal padang rumput, sehingga menjadikan areal ini mudah terbakar dibandingkan dengan areal yang belum pernah terbakar.

c. Pengaruh cuaca

Terjadinya kebakaran hutan tidak sama setiap tahunnya, musim kemarau merupakan masa di mana banyak terjadi kebakaran terutama antara bulan Juni hingga Oktober (Akihiro dan Marbawa, 2000). Di Provinsi Kalimantan Timur dalam kurun waktu beberapa tahun terjadi panas yang luar biasa yang diduga akibat adanya Fenomena Foehn, yaitu suatu kejadian alam di mana pada musim angin timur laut berhembus angin kering dan kencang yang menyebabkan kekeringan pada tumbuh-tumbuhan yang dilewatinya termasuk hutan. Fenomena ini biasanya terjadi setiap belasan tahun sekali (antara bulan Desember


(30)

hingga bulan Maret) yang dapat menimbulkan kebakaran hutan yang cukup luas (Hajime dan Sumantri, 2003).

Bahwa pengaruh cuaca yang berlangsung musim hujan paling sedikit enam bulan di Indonesia bagian barat, mulai berangsur-angsur menurun sampai hanya kurang dari dua bulan. Menjelang akhir bulan Januari 1998, rekaman titik api melalui pengamatan di citra satelit NOAA 18, karena kekeringan terjadi sampai kalender tahun kedua. Pola kebakaran hutan tahun 1997 kembali terjadi di kawasan berawa di pesisir timur Sumatera dari bulan Januari sampai April, sementara kebakaran terkonsentrasi di Kalimantan Timur (Anonim, 2007).

2.4. Tata Guna Lahan

Ekosistem hutan hujan tropik yang belum terganggu dapat dikatakan “tahan api”, di mana tajuk pohon yang berlapis-lapis dapat mempertahankan kelembaban serta meredam angin dan panas. Pembalakan dan pembangunan jalan mengakibatkan matahari dan panas dapat masuk kedalam hutan, yang dapat mengurangi kelembaban dan mengeringkan hutan (Moore and Haase, 2003).

Di lain pihak juga dengan pembalakan dan pembangunan jalan hutan, saling berhubungan dengan ketahanan alami terhadap api/kebakaran, juga akan menyediakan lebih banyak kayu-kayu mati yang menjadi bahan bakar. Kebakaran hutan semula dianggap terjadi secara alami, tetapi mungkin manusia mempunyai peran dalam memulai kebakaran di milenium terakhir ini, pertama untuk


(31)

memudahkan perburuan dan selanjutnya untuk pembuatan petak-petak pertanian di dalam hutan (Moore and Haase, 2003).

Pembalakan telah meninggalkan akumulasi limbah pembalakan yang luar biasa di dalam hutan, di mana banyak spesies pionir dan sekunder tumbuh pesat di kawasan-kawasan yang telah dibalak, sehingga membentuk lapisan vegetasi bawah yang padat dan mudah terbakar (Anonim, 2007).

Setelah membandingkan “titik api” kebakaran pada citra satelit dan berbagai peta tata guna lahan, pada bulan September pemerintah menetapkan bahwa kebakaran sebagian besar terjadi pada areal Hutan Tanaman Industri dan perkebunan kelapa sawit, meskipun petani-petani juga terlibat (Akihiro dan Marbawa, 2000).

Dengan mengambil contoh di Kalimantan Barat dan Riau, analisa titik panas menunjukkan sebaran titik panas sebagai berikut: konsesi perkebunan sawit (23,37%), Hutan Tanaman Industri (16,16%), Hak Pengusahaan Hutan (1,88%), dan areal penggunaan lain/APL (58,59%). APL ini dapat berupa lahan masyarakat, lahan terlantar, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Secara ilmiah, hasil analisis ini tidak bisa digeneralisasi sebagai representasi kondisi kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Indonesia. Meskipun demikian, data ini dapat menggambarkan sebaran titik panas berdasarkan fungsi lahan. Sementara itu, berdasarkan kondisi lahannya, 36,41% titk panas terdeteksi pada lahan gambut (Anonim, 2007).


(32)

2.5. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Pengendalian kebakaran hutan dan lahan adalah upaya melindungi hutan dan lahan dari kerusakan akibat kebakaran melalui usaha pencegahan dan menekan sekecil mungkin terjadinya kebakaran (Dephut, 1998).

Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan, baik langsung maupun tidak langsung antara lain dikenal; penerapan peraturan perundangan, pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat dan mengurangi bahaya atau kemungkinan timbulnya kebakaran (Dephut, 1997).

Dalam Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 disebutkan bahwa dalam rangka pengendalian kebakaran hutan dan lahan, maka setiap instansi yang terkait bertanggung jawab mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang evaluasi dampak lingkungan hidup dan penyusunan strategi pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan.

Selanjutnya (Anonim, 2007) berdasarkan laporan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup/UNDP menyimpulkan bahwa secara kelembagaan “Indonesia belum memiliki suatu organisasi pengelolaan kebakaran yang profesional”. Berbagai usaha pemadaman kebakaran dilakukan berdasarkan koordinasi diantara beberapa lembaga yang terkait. Berbagai lembaga yang terlibat dalam pengelolaan kebakaran tidak memiliki mandat yang memadai, tingkat kemampuan dan peralatan yang tidak memadai untuk melaksanakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.


(33)

2.6. Sistim Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan

Dalam sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan, maka pengenalan faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan sangat penting. Pratondo et al, (2003) membagi faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan menjadi; faktor fisik, faktor aktivitas dan faktor aksessibilitas.

Pendugaan untuk peringatan dini kebakaran hutan dan lahan menggunakan indikator-indikator berupa hotspot, penutupan lahan, cuaca dan potensi bahan bakar. Hasil pengolahan data dari indikator di atas dapat dimunculkan dalam bentuk peta kerawanan kebakaran, yang menjadi peringatan untuk antisipasi kebakaran (UPTD, 2004).

Cuaca sebagai indikator kebakaran hutan dituangkan dalam bentuk indeks kekeringan, yang menggambarkan keadaan suatu wilayah mudah terbakar atau tidak. Untuk menghitung Indeksnya Keetch/Byram memperkenalkan KBDI (Keetch Byram

Drought Index) yang merupakan indeks yang diperhitungkan setiap hari dari curah

hujan tahunan dan suhu maksimum harian, rata-rata tertinggi curah hujan tahunan dan curah hujan. Untuk mulai menghitung KBDI pada daerah tertentu, pengguna harus kembali ke periode ketika KBDI berada pada posisi “0”, yaitu saat satu hari setelah masa hujan dengan curah hujan sebanyak 150 – 200 mm dalam satu minggu (Keetch

dan Byram dalam Thoha, 2006). Thoha (2006) menyebutkan bahwa hotspot dapat digunakan sebagai indikator


(34)

tua untuk kombinasi Band 543 dan hijau muda hingga hijau tua untuk kombinasi Band 543.

2.7. Kandungan Karbon

Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa pada ekosistem daratan, C tersimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu:

a. Biomasa; masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon,

tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semai.

b. Nekromasa: masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih

tegak dilahan (batang atau tunggul pohon), atau tumbang/tergeletak dan daun-daun gugur (serasah) yang belum lapuk.

c. Bahan organik tanah: sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah, ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2mm. Selanjutnya Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen C tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:

i. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi:

1. Biomasa pohon: Proporsi terbesar penyimpanan C di daratan

umumnya terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat


(35)

diestimasi dengan menggunakan persamaan alometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang.

2. Biomasa tumbuhan bawah: Tumbuhan bawah meliputi semak belukar

yang berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan).

3. Nekromasa: Batang pohon mati, baik yang masih tegak atau telah

tumbang dan tergeletak dipermukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan harus diukur agar diperoleh estimasi penyimpanan C yang akurat.

4. Serasah. Serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa

daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah. ii. Karbon di dalam tanah, meliputi:

1. Biomasa akar. Akar mentransfer C dalam jumlah besar langsung ke

dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. Biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan diameter akar proksimal, sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa pohon yang didasarkan pada diameter batang.


(36)

2. Bahan organik tanah. Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada

di permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan bahan organik tanah.

Heriansyah dan Mindawati (2005) menyatakan bahwa kemampuan tanaman menyerap CO2 dari atmosfir bervariasi menurut jenis dan umur tanaman. Dari tujuh jenis Shorea yang dilakukan pengamatan dicapai hasil sebagai berikut; Shorea

stenoptera Burck (72,178 Kg CO2/tahun), S. seminis (deViese) Sloot (71,37 Kg CO2/tahun), S. Leprosula Miq (55,128 Kg CO2/tahun), S. selanica Blume (40,462 Kg CO2/tahun), S. palembanica Miq (35,365 Kg CO2/tahun), S. pinanga Scheff (28,967 Kg CO2/tahun) dan S. stenoptera form Ard (20,405 Kg CO2/tahun).


(37)

III.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

1. Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Tapanuli Selatan (sebelum adanya pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara), dengan pertimbangan sering terpantau hotspot, masih ada kawasan hutan dan aktifitas perubahan lahan dari hutan menjadi non hutan masih berlangsung.

2. Waktu

Penelitian dilaksanakan dari 13 September sampai dengan 10 Oktober 2008, yang dimulai dari pengambilan data lapangan di Kabupaten Tapanuli Selatan sampai pada proses pengolahan data lapangan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

3. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah areal yang pola pemanfaatan lahannya berupa; hutan dan kebun sawit di Kabupaten Tapanuli Selatan.


(38)

kayu ukuran 1 m, pita ukur 5 m, parang, haga meter, Global Positioning

System (GPS), spidol dan blanko pengukuran.

3.2. Metode Penelitian

Jenis dan tahapan pelaksanaan pengambilan dan pengolahan data penelitian adalah sebagai berikut:

1. Jenis data penelitian

a. Data primer biomasa didapatkan melalui pengukuran pada hutan dan kebun sawit.

b. Data sekunder berupa: hotspot dan peta pemanfaatan lahan dikumpulkan dari Departemen Kehutanan/NOOA, data klimatologi dari Balai Besar Meteorologi dan Geofisika Wilayah I Medan/Stasiun Klimatologi Sampali, data sosial ekonomi dan keadaan umum daerah penelitian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan dan Badan Pusat Statistik. 2. Cara pengambilan data

Pengukuran potensi biomasa pada kawasan hutan dan kebun sawit dilakukan dengan pembuatan plot contoh pengamatan. Penentuan awal plot contoh pengamatan dilakukan secara purposive sampling, dengan mengarahkan plot contoh pada areal yang sering terpantau hotspot pada peta wilayah Tapanuli Selatan, untuk selanjutnya diplotkan di lapangan. Plot contoh dibuat berbentuk transek, dengan langkah-langkah pengamatan pada plot contoh sebagai berikut:


(39)

a. Hutan

Pengukuran biomasa pada hutan dilakukan dengan pengamatan pada plot contoh 20 m x 100 m, untuk vegetasi yang memiliki pohon berdiameter > 30 cm dan 5 m x 40 m untuk vegetasi yang memiliki pohon berdiameter 5 < D < 30 cm, masing-masing 3 x ulangan. Data yang diukur meliputi tinggi pohon, diameter pohon setinggi dada (dbh) dan mencatat semua jenis pohon. Bila ditemukan tunggul tanpa tunas, dilakukan pengukuran diameter dan tinggi tunggul, cabang-cabang hidup diukur untuk yang berdiameter > 5 cm. Adapun sub plot contoh ukuran 0,5 m x 0,5 m sebanyak 6 ulangan, dibuat untuk pengamatan tumbuhan bawah/ serasah dan pohon berdiameter < 5 cm, dengan mengambil semua tumbuhan yang ada di atasnya. Untuk pengamatan biomasa serasah basah dilakukan dengan menggali tanah sedalam 5 cm dan mengambil semua tanahnya, dilakukan pengayakan dengan ukuran lubang 2 mm lalu diambil semua serasah basah yang tertinggal pada ayakan.

b. Kebun Sawit

Pengukuran biomasa pada kebun sawit dilakukan dengan pengamatan pada plot contoh yang dibuat dengan ukuran 20 m x 100 m dan 5 m x 40 m untuk vegetasi yang memiliki pohon berdiameter 5 < D < 30 cm, ulangan 3 kali. Pengamatan yang dilakukan meliputi pengukuran tinggi dan diameter setinggi dada. Sub plot contoh ukuran 0,5 m x 0,5 m dengan


(40)

berdiameter < 5 cm, dengan mengambil semua tumbuhan yang ada diatasnya. Untuk pengamatan biomasa serasah basah dilakukan dengan menggali tanah sedalam 5 cm dan mengambil semua tanahnya, dilakukan pengayakan dengan ukuran lubang 2 mm lalu diambil semua serasah basah yang tertinggal pada ayakan.

0,5 m

„ „ „ „ „ „ „ „ 20 m

5 * 40 m SUB PLOT

„ „ „ „

2 * (0.5 X 0.5) SUB-SUBPLOT

20 * 100 m PLOT BESAR

100 m

Pohon yang berdiameter di atas 30 cm „ Pohon yang berdiameter antara 5 – 30 cm

Plot pengamatan Tumbuhan bawah dan serasah

Gambar 3.1. Plot Pengamatan Biomasa untuk Pohon Diameter > 5 cm

5 m 0,5 m 40 m


(41)

3. Potensi biomasa pada berbagai pemanfaatan lahan a. Data biomasa pohon

Semua pohon yang berdiameter > 5 cm dilakukan perhitungan biomasa melalui pendekatan alometrik dengan menggunakan rumus yang telah diperkenalkan Hairiah dan Rahayu (2001):

W = 0.319 D2,32, untuk pohon bercabang (pohon) W = H D2/40, pohon tidak bercabang (sawit) Di mana, W = biomasa, D = diameter, H = tinggi,

= berat jenis kayu,

= 3,14 dan 2,32 = Konstanta rumus biomasa.

Indeks dalam penelitian ini menggunakan berat jenis yang diambil dari pustaka untuk jenis-jenis kayu yang sudah umum dikenal, atau berat jenis rata-rata untuk beberapa jenis kayu kurang komersial (Dephut, 1997). b. Data biomasa tumbuhan bawah

Perhitungan biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan cara mengambil contoh daun dan ranting termasuk tumbuhan yang berdiameter < 5 cm pada tiap sub plot contoh, masing-masing dipisahkan wadahnya, selanjutnya dikeringkan pada oven dengan suhu 800C selama 2 x 24 jam untuk mendapatkan berat kering daun dan ranting.

c. Data nekromasa

Nekromasa ada dua kelompok, yaitu: nekromasa berkayu berupa pohon mati yang masih berdiri maupun roboh, tunggul-tunggul tanaman, cabang dan ranting yang masih utuh yang berdiameter 5 cm dan panjang 0,5 m


(42)

dan dilakukan pengukuran diameter dan panjangnya Nekromasa tidak berkayu yang berupa serasah daun yang masih utuh (serasah kasar) dan bahan organik lainnya yang telah terdekomposisi sebagian dan berukuran > 2 mm (serasah halus). Pengukuran dilakukan dengan mengambil semua serasah kasar setelah pengambilan contoh tumbuhan bawah, termasuk daun dan ranting-ranting gugur pada tiap kuadran.

d. Data serasah

Biomasa serasah termasuk dalam kelompok nekromasa tidak berkayu dihitung dengan menimbang semua serasah kasar yang terdapat pada permukaan tanah dan serasah halus yang terdapat melalui penggalian tanah sedalam 5 cm, dan diayak dengan pori ukuran 2 mm yang terdapat dalam kuadran ukuran 0,5 M x 0,5 M. Adapun cara perhitungan biomasanya serasah dilakukan dengan pengeringan serasah kasar dan halus pada oven suhu 800C selama 2 x 24 jam untuk mendapatkan serasah kasar dan serasah halus.

4. Indeks kekeringan menggunakan perhitungan dari Keecth Byram Drought Index (KBDI) dengan mengunakan rumus sebagai berikut (Deeming, 1995

dalam Thoha, 2006):

KBDI Hari ini = {∑ KBDI kemarin –(10*CH) + DF hari ini},

Di mana :


(43)

DF = Faktor kekeringan yang telah dimodifikasi dan dapat digunakan untuk perkiraan bahaya kebakaran, dengan formulasi sebagai berikut:

DF = (200 –YKBDI)* (0,9676*exp(0,0875*Tmax + 1,552) – 8,229)*0,001 (1+10,88*Exp(-0.00175)*ann.Rain

Tmax = suhu maksimum harian,

ann.Rain = rata-rata curah hujan tahunan

Dari hasil perhitungan indeks kekeringan yang kisarannya 0 – 2.000, dikategorikan menjadi 4 (empat) skala sifat bahaya kebakaran, yaitu:

Tabel 1. Skala Sifat Indeks Kekeringan

No Indeks KBDI Skala sifat

1 0- 999 Rendah (R)

2 1.000- 1.499 Menengah (M)

3 1.500- 1.749 Tinggi (T)

4 1.750 – 2.000 Ekstrim (E)

Sumber: BBMG Sumatera Utara 5. Parameter pengamatan

Parameter yang menjadi pengamatan dalam penelitian ini adalah:

i. Jumlah biomasa pada tiap pola pemanfaatan lahan masing-masing; Hutan dan kebun sawit.

ii. Data suhu dan curah hujan tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007. iii. Data Hot spot dari tahun 2004, 2005, 2006 dan 2007.


(44)

Analisis data dilakukan terhadap parameter yang diamati, dengan cara deskriptif melalui analisis indikasi kebakaran hutan, potensi biomasa dan indeks kekeringan yang dilakukan dengan analisis grafik.

Perhitungan C tersimpan yang digunakan adalah dari Subekti, Lusiana, dan Van Noordwijk (2005) yaitu C tersimpan = 0,45 % x total biomasa, sebagaimana telah beberapa kali digunakan oleh peneliti sebelumnya dan hasil perhitungan juga diacu sebagai data sekunder pada penelitian ini.

Perhitungan biomasa pada sawit menurut Brwoun (1997) harus memperhitungkan 20 % x biomasa pohon, yang merupan perkiraan biomasa dari daun yang tidak dilakukan pengukuran secara langsung.

3.3. Pengamatan Biomasa Hutan

Pengukuran biomasa hutan dilakukan pada kawasan hutan produksi yang berlokasi di Kecamatan Barumun Tengah, dengan kondisi vegetasi hutan tidak merata. Pengamatan pada plot pengamatan ke-1 ukuran 5 x 40 cm ditemukan 61 (enam puluh satu) pohon untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan 14 (empat belas) pohon untuk pohon kelas diameter > 30 cm, plot 2 ukuran 5 x 40 cm ditemukan 57 (lima puluh tujuh) pohon untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan 10 (sepuluh) pohon untuk pohon klas diameter > 30 cm dan plot pengamatan ke-3 ukuran 5 x 40 m ditemukan 38 (tiga puluh delapan) pohon untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan tidak ada pohon untuk pohon kelas diameter > 30 cm atau rata-rata 2.600 (dua ribu


(45)

enam ratus) pohon untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan 40 (empat puluh) pohon untuk kelas diameter > 30 cm (Lampiran 1, 2 dan 3).

3.4. Pengamatan Biomasa Kebun sawit

Pengukuran biomasa pada kebun sawit dilakukan pada kebun sawit masyarakat yang berlokasi di Kecamatan Padang Bolak. Tanaman sawit berumur 14 (empat belas tahun) tahun, persiapan lahan pada awal penanamannya dilakukan dengan cara manual yang dimulai dengan membabat dan selanjutnya dilakukan pembakaran. Hasil pengamatan pada plot pengamatan ke-1 ditemukan 2 (dua) pohon sawit untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm dan 41 (empat puluh satu) pohon sawit untuk pohon kelas diameter > 30 Cm, plot pengamatan ke- 2 tidak ditemukan pohon sawit untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm sedangkan pada kelas diameter > 30 Cm ditemukan 38 (tiga puluh delapan) pohon sawit, adapun untuk plot pengamatan ke -3 tidak ditemukan pohon sawit untuk kelas diameter 5 < D < 30 cm akan tetapi ada 36 (tiga puluh enam) pohon sawit untuk pohon kelas diameter > 30 Cm. Dari ke tiga plot pengamatan sawit ditemukan 43 (empat puluh tiga) pohon pada plot 1, 43 (empat puluh tiga) pohon pada plot 2 dan 36 (tiga puluh enam) pohon pada plot 3 dengan luas plot 2.000 m2 atau rata-rata pohon sawit adalah 195 pohon/ha (Lampiran 4, 5 dan 6).


(46)

IV.

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Kabupaten Tapanuli Selatan secara geografis terletak pada 0010’- 1050’LU dan 98050” – 100010’ BT dengan ibukotanya Padangsidimpuan, berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara di sebelah Utara, Propinsi Riau dan Kabupaten Labuhan Batu di sebelah Timur, dengan Samudera Indonesia dan Kabupaten Mandailing Natal di sebelah Barat dan Propinsi Sumatera Barat Kabupaten Mandailing Natal di sebelah Selatan. Luas seluruh Kabupaten adalah 12.261, 55 km2, yang berada pada ketinggian 0 – 1.915 m dpl.

Tapanuli Selatan dalam struktur pemerintahannya terbagi kedalam 28 (dua puluh delapan) kecamatan, 1.193 kelurahan/desa dengan jumlah penduduk 638.573 jiwa dengan perbandingan laki-laki 315.509 jiwa dan perempuan 323.064 jiwa.

Pada tahun 2007 sesuai dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2007 sebagian wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan dipisahkan menjadi Kabupaten Padang Lawas yang terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan. Dan sesuai Undang-Undang No. 37 Tahun 2007 dibentuk Kabupaten Padang Lawas Utara terdiri dari 8 (delapan) kecamatan, yang sebelumnya termasuk kedalam Kabupaten Tapanuli Selatan.

Penelitian masih menggunakan wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, karena data yang dipergunakan merupakan rangkaian data sejak tahun 2004 pada secara keseluruhan kabupaten saat itu, adapun data untuk Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara masih bergabung dalam data kabupaten induk.


(47)

V.

HASIL

5.1. Biomasa pada Hutan

Data biomasa hutan merupakan hasil perhitungan dari pengukuran biomasa pohon, tumbuhan bawah, nekromasa dan serasah. Pohon merupakan sumber biomasa tertinggi dibandingkan sumber biomasa lainnya, disusul nekromasa, serasah dan terendah adalah tumbuhan bawah. Biomasa rata-rata untuk hutan secara keseluruhan dari hasil pengukuran untuk 3 (tiga) plot contoh adalah sebesar 395, 12 Mg ha-1, selengkapnya tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Biomasa Hutan Hasil Pengukuran untuk Masing-masing Plot Sumber Biomasa Plot I

(Ton/Ha)

Plot II (Ton/Ha)

Plot III (Ton/Ha)

Jumlah (Ton/Ha)

Rata-rata (Ton/Ha)

Pohon 403,27 379,74 239,74 1.022,51 340,84

Tumbuhan bawah 0,14 0,07 0,04 0,25 0,08

Nekromasa 45,00 55,00 57,00 157,00 52,33

Serasah 1,99 2,07 1,54 5,60 1,87

Jumlah 450,40 436,64 298,32 1.185,36

5.2. Biomasa Pada Kebun Sawit

Data biomasa merupakan hasil perhitungan dari pengukuran di kebun sawit bersumber dari pohon, daun (20% x biomasa pohon), tumbuhan bawah, dan serasah. Pohon sawit merupakan sumber biomasa tertinggi dibandingkan sumber biomasa lainnya, disusul daun, serasah dan terendah biomasa dari tumbuhan bawah. Biomasa rata-rata dari pengukuran masing-masing plot contoh kebun sawit adalah 106,84 Mg


(48)

Tabel 3. Biomasa Sawit Hasil Pengukuran untuk Masing-masing Plot Sumber Biomasa Plot I

(Ton/Ha)

Plot II (Ton/Ha)

Plot III (Ton/Ha)

Jumlah (Ton/Ha)

Rata-rata (Ton/Ha)

Pohon 84,73 109,02 70,02 264,02 88,01

Daun (20 %* pohon) 16,95 21,80 14,05 52,80 17,60

Tumbuhan bawah 0,12 0,12 0,19 0,43 0,14

Serasah 0,96 0,84 1,46 3,26 1,09

Jumlah 102,27 131,78 85,97 320,51

a b

Gambar 5.1.Pengukuran Biomasa pada: a. Hutan dan b. Kebun Sawit

5.3. Indeks Kekeringan

Indeks kekeringan adalah nilai yang menggambarkan kondisi tingkah kemudahan terbakarnya bahan bakar pada tiap wilayah, dihitung dalam bentuk Keetch Byram Drought Index (KBDI). Perhitungan indeks kekeringan menggunakan variabel suhu maksimum dan rata-rata curah hujan tahunan yang diukur pada 10 (sepuluh) stasiun Pengamat hujan yang tersebar di Kabupaten Tapanuli Selatan. Data


(49)

yang digunakan mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2007 dengan rincian indeks masing-masing sebagai berikut:

1. Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2004

Indeks Kekeringan pada kisaran nilai mulai dari 23,8 sampai 973,6 (Lampiran 7) dan skala sifatnya semuanya rendah. Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.2.

0 200 400 600 800 1000 1200

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KB

DI

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.2. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 Pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang

2. Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2005

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Juli, Agustus, Oktober dan November, yang merata hampir setiap harinya pada skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari rendah sampai ekstrim (Lampiran 7). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan


(50)

0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 1400.00 1600.00 1800.00 2000.00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBD

I

JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER DESEMBER

Gambar 5.3. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang

3. Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2006

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Juni, Juli, Agustus yang merata setiap harinya dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai tinggi (Lampiran 7). Untuk menggambarkan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.4.


(51)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBDI

JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER DESEMBER

Gambar 5.4. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 Pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang

4. Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang Tahun 2007

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Maret dan Juli kebanyakan pada skala sifat menengah adapun bulan lainnya rendah (Lampiran 7). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada sebagaimana Gambar 5.5.


(52)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL KBD I JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER DESEMBER

Gambar 5.5. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 Pada Stasiun Pengamat Hujan Aek Godang

5. Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Tahun 2004

Indeks Kekeringan pada kisaran nilai indeks pada skala sifat rendah (Lampiran 8). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.6.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33

TANGGAL KBDI JANUARI FEBRUARI MARET APRIL MEI JUNI JULI AGUSTUS SEPTEMBER OKTOBER NOPEMBER DESEMBER

Gambar 5.6. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua


(53)

6. Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Tahun 2005

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Juli dan Agustus yang dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 8). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.7.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KB

DI

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.7. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua

7. Stasiun Pengamat Gunung Hujan Tua Tahun 2006

Indeks Kekeringan pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 8). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.8.


(54)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBD

I

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

Nopember

Desember

Gambar 5.8. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua

8. Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua Tahun 2007

Indeks Kekeringan pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober dengan skala sifat tinggi adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 8). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.9.


(55)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL KB DI Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.9. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Gunung Tua

9. Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2004

Indeks Kekeringan pada bulan Nopember dan Desember dengan skala sifat rendah (Lampiran 9). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.10.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 111213 141516 171819 202122 23242526 272829 303132 TANGGAL K B D I Januari Februari Mar Aprtil Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember


(56)

10. Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2005

Indeks Kekeringan pada bulan Mei, Juni, Juli dan September dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 9). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.11.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1314 15 16 1718 19 20 21 2223 24 25 2627 28 29 30 31

TANGGAL

K

BDI

Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.11. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga

11. Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2006

Indeks Kekeringan pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 9). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.12.


(57)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KB

DI

Jan Feb Mar Aprtil Mei Juni Juli Agustus Septembe r Oktober Nop Desember

Gambar 5.12. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga

12. Stasiun Pengamat Hujan Binanga Tahun 2007

Indeks Kekeringan bulan Maret, April, Mei dan Juni dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 9). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.13.


(58)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL KB DI Jan Feb Mar Aprtil Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nop Desember

Gambar 5.13. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Binanga

13. Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2004

Indeks Kekeringan pada bulan Nopember dan Desember dengan skala sifat rendah (Lampiran 10). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.14.

0 100 200 300 400 500 600

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011 12 1314 1516 1718 19 2021 2223 2425 26 2728 2930 31 TANGGAL KBDI Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.14. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse


(59)

14. Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2005

Indeks Kekeringan bulan Mei, Juni, Juli, Agustus dan September dengan skala tinggi adapun bulan lainnya bervariasi dari rendah sampai menengah (Lampiran 10). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.15.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBDI

Jan Feb Mar Aprtil Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nop Desember

Gambar 5.15. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse

15. Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2006

Indeks Kekeringan bulan Juni, Juli, Agustus dan September dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim, adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 10). Untuk


(60)

menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.16.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBDI

Jan Feb Mar AprIl Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nop Desember

Gambar 5.16. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse

16. Stasiun Pengamat Hujan Arse Tahun 2007

Indeks Kekeringan pada bulan Mei, Juni, Juli dan Agustus dengan skala sifat tinggi sampai ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 10). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.17.


(61)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1314 15 16 1718 19 20 21 2223 24 25 2627 28 29 30 31 TANGGAL KB DI Jan Feb Mar AprIl Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nop Desember

Gambar 5.17. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Arse

17. Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2004

Indeks Kekeringan bulan Nopember dan Desember dengan skala sifat rendah (Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.18.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

TANGGAL

KBD

I

Nopember Desember

Gambar 5.18. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon


(62)

18. Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2005

Indeks Kekeringan pada bulan Mei, Juni, Juli dan dan Agustus setiap hari dengan skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya bervariasi dari skala sifat menengah sampai tinggi (Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.19.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBDI

Janurari Februari Marert April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.19. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon

19. Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2006

Indeks Kekeringan hanya bulan Januari, September, Oktober dan November dengan skala sifat rendah dan menengah, adapun bulan lainnya hampir sepanjang hari pada skala sifat tinggi sampai ekstrim


(63)

(Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.20.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBDI

Janurari Februari Marert April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.20. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon

20. Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon Tahun 2007

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Agustus skala sifat ekstrim pada awal bulan, dan menurun dengan skala sifat tinggi sampai menengah pada akhir bulan. Bulan Februari dan Januari pada skala sifat menengah pada awal bulan dan menurun pada akhir bulan adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah sampai menengah (Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.21.


(64)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 TANGGAL KBDI Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.21. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Balakka Sitokkon

21. Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2004

Indeks Kekeringan skala sifat ekstrim pada bulan Juli, Agustus dan September, adapun pada bulan lainnya skala sifatnya rendah sampai tinggi (Lampiran 12). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.22.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 3031

TANGGAL KB DI Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.22. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga


(65)

22. Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2005

Indeks Kekeringan tertinggi bulan Juni dan Agustus skala sifat tinggi sampai ekstrim pada awal bulan, adapun bulan lainnya dengan skala sifat rendah sampai tinggi dan tidak ada skala sifat ekstrim (Lampiran 11). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.23.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBDI

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.23. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga

23. Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2006

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Maret, Juli, Agustus, November dan Desember skala sifat ekstrim adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah sampai menengah dan tidak ada skala sifat ekstrim (Lampiran


(66)

12). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.24.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBDI

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.24. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga

24. Stasiun Pengamat Hujan Aliaga Tahun 2007

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Januari dengan skala sifat beberapa hari ekstrim adapun bulan lainnya, skala sifatnya rendah sampai menengah (Lampiran 12). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.25.


(67)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL KBDI Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.25. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Aliaga

25. Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2004

Indeks Kekeringan bulan Desember, dengan Indeks skala sifat rendah (Lampiran 13), Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.26.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KB

DI Dec-04


(68)

26. Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2005

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan Mei dengan skala sifat menengah sampai tinggi, adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah sampai menengah dan tidak ada skala sifat ekstrim (Lampiran 13), Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.27.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KB

DI

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.27. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu

27. Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2006

Indeks Kekeringan paling tinggi pada bulan Januari, Februari, Juli dan Agustus dengan skala sifat menengah, tinggi sampai ekstrim, adapun bulan lainnya pada skala sifat rendah (Lampiran 13). Untuk


(69)

menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.28.

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBD

I

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.28. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2006 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu

28. Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu Tahun 2007

Indeks Kekeringan tertinggi pada bulan April, Mei dan Juni dengan adanya skala sifat ekstrim, adapun bulan lainnya dengan skala sifat menengah sampai tinggi kecuali Januari ada skala sifat rendah (Lampiran 13). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.29.


(70)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBDI

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.29. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2007 pada Stasiun Pengamat Hujan Pasar Ujung Batu

29. Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2004

Indeks Kekeringan bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, Nopember dan Desember, dengan skala sifat ekstrim pada bulan Agustus dan September (Lampiran 14). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.30.


(71)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

TANGGAL

KBDI

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.30. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2004 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan

30. Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2005

Indeks Kekeringan bulan April, Mei, Juni, Juli, Agustus, September, Oktober, Nopember dan Desember, dengan skala sifat ekstrim pada bulan Agustus dan September (Lampiran 14). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.31.


(72)

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800 2000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

TANGGAL

KBD

I

Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Gambar 5.31. Indeks Kekeringan Harian Tiap Bulan Selama Tahun 2005 pada Stasiun Pengamat Hujan Sosopan

31. Stasiun Pengamat Hujan Sosopan Tahun 2006

Indeks Kekeringan dengan skala sifat pada kisaran menengah sampai tinggi pada bulan Juni, Juli, Agustus dan September, sedangkan bulan lainnya pada skala sifat rendah dan sebagian harinya skala sifat menengah (Lampiran 14). Untuk menggambarkan perkembangan nilai harian indeks kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.32.


(1)

2. Perhitungan indeks kekeringan yang mempunyai nilai tinggi pada bulan Februari dan Agustus menjadi masukan untuk kesiapsiagaan terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

3. Pemantauan hotspot yang merupakan indikasi kebakaran dengan pola yang sama dengan indeks kekeringan selama 4 (empat) tahun terakhir perlu diwaspadai untuk tidak terulang kembali, terutama pada bulan-bulan Februari dan mulai bulan Juni sampai Agustus.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2006.Living With Fire – Sustaining Ecosystems & Livelihoods Through Integraded Fire Management. Tallahase.

[Anonim]. 2007. WWF for a living planet. Titik Panas Utama dan Analisis. Fire Bulletin. http://.www. eyesontheforest. or.id [6 Oktober 2007].

Akihiro, K dan Marbawa, IKC. 2000. Manual-Dasar-Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Forest Fire Prevention Management Project. Direktorat Jenderal PHKA dan Japan International Coorporation Agency (JICA).

Bampard, J.M and Guizol, P. 1999. Land Management in the Province of South Sumatera. Fanning the falmes : The Institutional Causes of Vegetation fire. http://www.mdp.co.id.htm [10 Januari 2008].

Bagian Botani Hutan. 1973. Daftar Nama Pohon-pohonan Sumatera Utara. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor. Laporan No. 171. Edisi Revisi.

Berlian 2004. Ketebalan lapisan Serasah dan Cadangan karbon pada lahan Hutan dan Sistem Agroforestry Berbasis Kopi, di Sumberjaya, Lampung Barat. Jurusan Tanah. Universitas Brawijaya. Malang. Skripsi. Tidak Diterbitkan. http://www.worldagroforestrycentre.org/Publication/files/abstract/thesis/T D0040-4.pdf [22 Desember 2008].

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan. 2007. Tapanuli Selatan Dalam Angka 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan. Boer, R. 2003. Penambatan Karbon Pada berbagai Bentuk Sistem Usaha Tani

Sebagai Salah Satu Bentuk Multifungsi. Laboratorium Klimatologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB. Proceefing Seminar Nasional Multifungsi dan konversi lahan Pertanian Penyunting Undang Kurnia,F.Agus D, dan A. Setiyanto. httw://balittanah.litbang.deptan.go.id/ dokumentasi/proceeding/mflp2003/rizaldi%20boer06.pdf[22 Desember 2008].

Butler, RB. 2007. Kebakaran Hutan sebagai hasil dari kegagalan Pemerintah Indonesia. (Terjemahan). http://.www.trulyjogja.com. [6 Oktober 2007].


(3)

Brown, S. 1997. Estimating and Biomass Change of Tropical Forests : a Primer. (FAO Forestry Paper – 134). FAO. Rome.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1997. Handbook of Indonesian Forestry. Departemen Kehutanan Republik Indonesia . Jakarta. Hal 187-195.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1998. Panduan Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Hal V10-V20.

Dolling, K, Chu, P.S and Fujioka, F. 2005. A climatological study of the Keetch/Byram drought index and fire activity in the Hawaiian Islands. Agricultural and Forest Meteorology 133 (2005) 17-27.USA. www.elsevier.com/locate/agroforest [21 Februari 2008].

Hajime, N dan Sumantri. 2003. Manual Umum Pemadaman Kebakaran Hutan. Forest Fire Prevention Management Project dan Direktorat Penanggulangan Kebakaran Hutan Direktorat Jenderal PHKA.

Hairiah, K dan Rahayu, S. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran ”Karbon Tersimpan” di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Centre. Bogor. http://.www.woldagroforestrycentre.org/sea [15 Februari 2007].

Hairiah, K, Sitompul, S.M, Van Noordwijk, M. and Palm, C. 2001. Methods for sampling cadangan karbons above and below ground. World

Agroforestry Centre. Bogor.

http://.www.worldagroforestrycentre. org/sea [15 Februari 2007]

Hairiah, K, Sitompul, S.M , Van Noordwijk, M. and Palm, C. 2001a. Cadangan karbons of tropical land use systems as part of the global C balance : effects of forest conversion and options for ‘clean development’ activities. World Agroforestry Centre. Bogor. http://.www.woldagroforestrycentre.org/sea [15 Februari 2007]

Heriansyah, I dan Mindawati, N. 2005. Potensi Hutan Tanaman Marga Shorea dalam Menyerap CO2 melalui Pendugaan Biomasa di Hutan Penelitian Haurbentes. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol II No. 2 Tahun 2005. Bogor.

Heriansyah, I. 2007. Potensi Hutan Tanaman Industri dalam mensequester Karbon

:Studi Kasus di HTI Akasia dan Pinus. Inovasi Ed.Vol /XVII/Maret 2005. http://.www.paisageti.net/SapreRenovables/EVG/sproj.html [23 Februari


(4)

Ingalsbee, T. 2005. Fire Ecology; Issues, Management, Policy, and Opinions. A forum for the Association for Fire Ecology. Fire Ecology Vol 1, No-1, : 85-89.

Kaufman, M.R, Shlishy, A and Marcland, P.2007. Good Fire, Bad Fire, How to think about forest land management and ecological processes. The Nature Conservancy.USDA Forest Service.

Kettering, Q.M., Richad, C., van Noorrdwijk, M., Amabagau, Y, dan Palm, C.A. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equition for predicting above-ground tree biomass in mixed secondary forest. Forest Ecologi and management 146 (2001) 199-209. www.elsevier.com/locate/foreco [22 Desember 2008]

Moore, Peter and Haase, N. 2003: Kebakaran di Daerah Tropika sangat nyata namun kurang dipahami. Bulletin Burning Issues. Vol.5.Hal 1-4, http://.www. pffsea.com. [6 Oktober 2007]

Murdiyarso, D., Rosalina, U., Hairian, K., Muslihat,L.,Suryanaputra dan Jaya, A. 2004. Petunjuk Lapangan:Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatslands In Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programmed an Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.

Nicolas, M.V.J and G.S. Beebe. 1999. The Training of Forest Firefighters in Indonesia. Kanwil Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Kalimantan Timur dan Propinsi Sumatera Selatan. Samarinda htt://.www.mdp.co.id/ffpcp.htm [6 Oktober 2007].

Notohadinegoro, T. 1997. Pembakaran dan Kebakaran Lahan. (Repro : Ilmu Tanah UGM. 2006).Simposium Dampak Kebakaran Hutan terhadap Alam dan Lingkungan. Pusat Studi Energi, Pusat Studi Bencana Alam, Pusat Studi Sumberdaya Lahan dan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup UGM. Yogyakarta, 16-17 Desember 1997 http://.www. pffsea.com. [6 Oktober 2007]

Nasution, H. 2007. Sistem Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Tapanuli Selatan [Skripsi]. Medan. Universitas Sumatera Utara. Tidak Diterbitkan.

[PP] Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1995. Pengendalian Pencemaran Udara. Lembaran Negara RI Tahun 199 Nomor 69


(5)

[PP] Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun. 2001. Pengendalian Kerusakan Dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Lembaran Tahun 2001 No. 10

Pratondo, B.J, Alikodra, H.S, Sahardjo, B.H dan Kardono, P. 2003. Aplikasi Infrastruktur Data Spasial Nasional (ISDN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat). Bogor. http://.www.bakosurtanal.go.id/upl-document/publikasi [23 Februari 2007]

Prasetyo, L.B. 2004. Estimation of Greenhouse Gases Emission (GHG) from Forest Fire. Working Papre No. 5. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Puspawardani, V.2007. Kebakaran Hutan dan Lahan dan Perubahan Iklim. http://.www.WWF. or. Id/climate. [06-10-07].

Rahayu, S, Lusiana, B dan van Noorrdwijk, M. 2005. Pendugaan Cadangan Karbon di atas Permukaan Tanah pada berbagai Sistem Penggunaan Lahan

di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.

hhttp://www.worldagroforestry.org/sea/Publications/files/book/BK0089-05/BK0089-05-2.PDF

Romme, W.H, Seberry, P.J, Hanna, D.D, Floyd, M.L and White,S. 2006. A Wild Hazard Assement and Map for LA Palta Country, Colorado, USA. Fire Ecology Vol 2 No 1 Hal 7-30

Setiawan, A, Irawan, B dan Kamal, M. 2005. Keanekaragaman Jenis Pohon dan Penyimpanan Karbon Jalur Hijau Kota Bandar Lampung.

Soemarwoto,O. 2001. Atur –Diri –Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta

Supriadi, A, Rachman, O dan Sarwono, E. 1999. Characteristics and sawing properties of oil-palm (Elaeis guinensis Jacq) wood logs. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/ur.294079.pdf [21 Oktober 2008].

Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Perilaku Api, Penyebab dan dampak Kebakaran. Bayumedia Publishing. Malang.


(6)

Tacconi, L.2003. Kebakaran Hutan di Indonesia. Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Center for International Forestry Researh (CIFOR). Bogor. http://www.cifor.cgiar.org [6 Oktober 2007].

Thomich, T.P, van Noordwijk, M, Voti, S.A, Witcover, J. 1998. Agricultural Development with Rain Forest Conservation : methods for seeking best bet alternative to slash- and – burn, with application to Brazil and Indonesia. Agricultural Economics Vol 19 (1-2) p 159-174.

http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6T3V-3V4KMG7-J&_user=10&rdoc=1&_fmt [22 Desember 2008]

Thoha, A.S. 2001. Cuaca Kebakaran Hutan Kaitannya dengan Upaya Pencegahan Kebakaran Hutan di Indonesia. Digitized by USU Digital Library.http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-achmad.pdf [23 Februari 2007]

Thoha, A.S. 2006. Penggunaan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Deteksi dan Prediksi Kebakaran Gambut di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau [Thesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pasca Sarjana (tidak diterbitkan).

Thoha, A.S. 2008. Penggunaan Data Hotspot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Departemen Kehautanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. USU Repository.

[UPTD] Unit Pelaksana Teknis Daerah Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Samarinda. 2007. Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu di Kalimantan Timur .http://www.papua.go.id/bkpbapedalda/Makalah %20rian%20Jaya.htm [1 Maret 2007].

Van Noordwijk, M, Mulia, R dan Hairiah, K. 2005. Estimasi Biomasa Pohon di atas dan di bawah permukaan tanah dalam system Agroforestry : Analisis Cabang Fungsional (Functional Branch Analisis, FBA) untuk membuat

Persamaan Alometrik Pohon. http://www.worldagroforestry.org/sea/products/afmodels/WaNulCAS/files