F. Kerangka Teori Dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Sebelum peneliti mengetahui kegunaan dari kerangka teori, maka peneliti perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai arti teori. Teori merupakan generalisasi
yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.
24
Sedangkan menurut Bintaro Tjokromijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan causal yang logis di antara
perubahan variabel dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir frame of thingking dalam memahami serta menangani permasalahan
yang timbul di dalam bidang tersebut”.
25
Adapun teori sistem dari Mariam Darus yang mengemukakan bahwa sistem adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu yang merupakan landasan di atas
mana dibangun tertib hukum.
26
Dari beberapa pengertian teori di atas dapat disimpulkan bahwa maksud kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta
pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan
untuk proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya
24
Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal 126
25
Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan strategi Pembangunan Nasional, Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, hal 12
26
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung, Alumni, 1983, hal 15
gejala-gejala yang timbul. Dengan kata lain menurut M. Solly Lubis, Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu
kasus atau permasalahan problem yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis.
27
Menurut Soejono Soekanto, kerangka teori pada penelitian Hukum sosiologis atau empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum,
tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan kurang relevan bagi ilmu hukum.
28
Berkenaan dengan penelitian ini, maka kerangka teori diarahkan secara khusus pada ilmu hukum yang mengacu pada penelitian hukum normatif. Penelitian
ini berupaya guna menganalisis secara hukum terhadap pemberian kredit dengan jaminan deposito, artinya memahami asas hukum perjanjian sebagai subjek dan
asas hukum jaminan sebagai objek yang mengacu pada peraturan perundang- undangan.
A. Perjanjian Pada Umumnya
Adapun mengenai
pengaturan tentang
hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam Buku III Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata untuk selanjutnya disebut KUH Perdata di bawah titel Tentang Perikatan, mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864. Istilah
27
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal 13
28
Soejono Soekanto, Op.Cit, hal 127
perjanjian atau kontrak berasal dari bahasa Inggris, yaitu contracts. Sedangkan dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst perjanjian.
29
Perjanjian adalah merupakan salah satu sumber perikatan. Hal tersebut landasan hukumnya terdapat dalam Pasal
1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian, baik karena undang-undang”.
Kata “Perjanjian” dan “Perikatan” merupakan dua istilah yang dikenal dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata, memberikan definisi bahwa “perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Definisi perjanjian sebagaimana Pasal 1313 KUH Perdata tersebut mendapat tanggapan beragam dari para sarjana hukum kita. Menurut Sofyan, ia menyatakan
bahwa definisi itu kurang lengkap lagipula terlalu luas. Kurang lengkap karena yang dirumuskan dalam pasal itu hanya perjanjian sepihak saja, dimana hanya
menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi salah satu pihak saja, tetapi tidak meliputi perjanjian timbal balik dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk timbulnya
hak dan kewajiban bagi para pihak. Terlalu luas karena mencakup hal-hal mengenai pelangsungan perkawinan, membuat janji kawin dan perbuatan-perbuatan semacam
itu yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, sedangkan pengertian perjanjian
29
Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal 15
yang dimaksud dalam buku III ini adalah perjanjian di dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban.
30
Perjanjian pada umumnya bersifat bilateral dan timbal balik, artinya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-
kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak-hak yang diperolehnya. Sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang
dianggap merupakan kebalikan dari kewajiban yang dibebankan padanya
31
Berusaha melengkapi definisi perjanjian yang terdapat pada Pasal 1313 KUH Perdata, Setiawan, mengemukakan pendapatnya, bahwa:
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b.
Perlu ditambahkan dengan kata-kata “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata;
sehingga dengan saran tersebut ia memberi definisi perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
32
Mertokusumo, memberikan
perumusan bahwa
“perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
33
30
Sofyan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata Hukum Perutangan Bangsa B, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal 1
31
R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan ke 21, Intermasa, Jakarta 2005, hal. 30
32
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A, Bardin, Bandung, 1999, hal 49
Definisi yang lebih jelas dan tidak menekankan pada subjeknya adalah yang dikemukakan oleh Subekti, dimana Ia memberikan perumusan bahwa, “perjanjian
adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.
34
Senada dengan Subekti, lebih jauh beberapa sarjana memberikan penekanan pada ruang lingkupnya yang berada di dalam lapangan hukum harta bendakekayaan
antara lain: Menurut Abdul Kadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dengan
mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu dalam lapangan harta kekayaan.
35
Prodjodikoro, merumuskan bahwa “perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.
36
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap, perjanjian verbinteniss mengandung pengertian sebagai suatu
hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk melunasi prestasi.
37
Menurut teori hukum baru
33
Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, PT. Liberty, Yogyakarta, 2005, hal 118
34
Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hal 1
35
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hal 9
36
Wirjono, Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian , Mandar Maju, Bandung, 2000. hal 4
37
M. Yahya Harahab, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal 6
yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah : “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum.
38
Pendapat yang justru menyamakan pengertian perjanjian dan perikatan adalah Muljadi. Dengan menggunakan istilah perikatan, ia memberikan penjelasan, bahwa
perikatan sebagai peraturan yang mengatur mengenai hubungan hukum antara subjek hukum dengan subjek hukum yang melahirkan kewajiban pada salah satu subjek
hukum dalam perikatan tersebut. Adanya kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut akan melahirkan hak pada pihak lainnya dalam
hubungan perikatan tersebut.
39
Dari beberapa pengertian-pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum yang terjadi akibat adanya
kesepakatan dari para pihak untuk melakukan suatu prestasi yang telah mereka sepakati bersama sebelumnya. Sehingga dapat dirumuskan bahwa suatu perjanjian
mempunyai beberapa unsur, yaitu : 1.
Adanya hubungan hukum Hubungan hukum antara para pihak tersebut akan menimbulkan akibat
hukum, dimana secara hukum menimbulkan hak di satu pihak dan kewajiban dipihak lainnya. Oleh karenanya apabila salah satu pihak melanggar hubungan
tersebut maka hukum dapat memaksa agar hubungan tersebut dipenuhi, dengan
38
Salim H.S., Op.Cit, hal 16
39
Muljadi, Kartini Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya , Raja Grafindo Persada , Jakarta, 2004, hal 10
demikian hubungan antara para pihak tersebut akan menimbulkan akibat hukum dan dibenarkan oleh undang-undang.
2. Ada para pihak
Para pihak disini paling sedikit terdiri atas dua pihak, dimana satu pihak berperan sebagai orang yang berhak atas prestasi dan pihak lain yang berkewajiban
untuk melaksanakan prestasi yang telah mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat tersebut. Para pihak dalam hal ini berkedudukan sebagai subjek hukum
yang dibebani oleh schuld yaitu kewajiban untuk melaksanakan prestasi dan haftung yaitu tanggung jawab secara hukum untuk memenuhi prestasi.
3. Ada Prestasi
Prestasi merupakan sesuatu yang harus dipenuhi dan berhak untuk dituntut. Prestasi ini menurut Pasal 1234 KUHPdt dapat berupa :
1 Menyerahkan suatu barang,
2 Melakukan suatu perbuatan,
3 Tidak melakukan suatu perbuatan.
40
Kata sesuatu yang menjadi objek prestasi perjanjian berada pada lapangan hukum kekayaan. Sesuatu itu adalah sesuatu yang abstrak, namun inilah yang akan
dijadikan dan disepakati dalam isi perjanjian. Tanpa prestasi hubungan hukum yang dilakukan tidak mempunyai arti apa-apa bagi hukum perjanjian.
40
Subekti,Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2001,hal.123
Sedangkan dalam KUH Perdata tidak memberikan definisi tentang perikatan. Menurut ilmu pengetahuan hukum perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang
terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib
memenuhi prestasi itu.
41
H.F. Vollmar, di dalam bukunya “Incluiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht” 1 mengatakan bahwa : “ Ditinjau dari sisinya ternyata
bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu debitur harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan
bantuan hakim”.
42
Sedangkan menurut Vander Burgh Gr : “Perikatan adalah suatu hubungan hukum serat kekayaan antara dua orang atau lebih yang menurut ketentuan seseorang
atau lebih berhak atas sesuatu sedangkan yang seorang lagi atau lebih berkewajiban untuk itu.
43
Ketentuan-ketentuan umum tentang perikatan di atur dalam Pasal 1233 dan Pasal 1234 KUH Perdata, yang berbunyi adalah sebagai berikut :
sebagaimana telah diuraikan bunyi Pasal 1233 pada bagian terdahulu maka dalam Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan bahwa : tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.
41
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, Op.Cit, hal 1
42
Ibid
43
Van Der Burght Gr, Buku Tentang Perikatan Dalam Teori Dan Yuriprudensi, Mandar Maju, Bandung, 1999, hal 1
Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata tersebut di atas, secara jelas dapat kita ketahui bahwa sumber dari Perikatan adalah berasal dari persetujuan dan
Undang-Undang. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 1234 KUH Perdata disebutkan mengenai adanya suatu bentuk prestasi yang terdapat dalam suatu perikatan. Dengan
demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan suatu perjanjian sudah pasti merupakan suatu perikatan.
Hakekat perjanjian dan perikatan pada dasarnya sama yaitu keduanya merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun
pengertian perikatan jauh lebih luas dari perjanjian sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari Undang-
undang. Perbedaan lain keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakikatnya mengikat para pihak berdasar pada kesepakatan kata sepakat diantara mereka, sedangkan
perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh Undang-undang.
Dengan demikian keduanya juga berbeda dengan konsekuensi hukumnya. Pada perjanjian, oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak maka
tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji wanprestasi, sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan
menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dkk menyatakan dalam hukum
perjanjian dikenal asas-asas penting yang melandasi suatu perjanjian yaitu asas konsesualisme, asas kepercayaan, asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan
mengikat, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral dan asas kepatutan.
44
Sedangkan menurut Tan Kamelo terdapat 3 asas yang merupakan tonggak hukum perjanjian dalam sistem hukum perbankan yang
meliputiasas konsesensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat.
45
B. Jenis-Jenis Perjanjian
Menurut Abdulkadir Muhammad, membagi perjanjian ke dalam 4 jenis, yaitu:
1 Perjanjian timbal balik dan sepihak
2 Perjanjian bernama dan tidak bernama
3 Perjanjian obligator dan kebendaan
4 Perjanjian konsensual dan real.
46
Sedangkan menurut Mariam Darus Badrulzaman membedakan perjanjian menjadi 14 jenis adalah sebagai berikut :
1 Perjanjian timbal balik, adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak, misalnya perjanjian jual beli. 2
Perjanjian cuma-cuma Pasal 1314 KUH Perdata, adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan pada pihak lain
tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. contoh dari perjanjian ini adalah perjanjian hibah.
3 Perjanjian atas beban, adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontraprestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
44
Mariam Darus Badrulzaman dkk, Op.Cit, hal 83-89
45
Tan Kamelo, Karakter Hukum Perdata Dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu
Hukum Perdata Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara, Medan 2006, hal 10
46
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia,Op.Cit, 1990, hal 227-228
4 Perjanjian bernama benoemd overeenkomst, adalah perjanjian yang diatur
dan telah mempunyai nama sendiri yang diberikan oleh pembuat undang- undang sebagaimana yang terdapat dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII
KUHPerdata.
5 Perjanjian tidak bernama onbenoemde overeenkomst, yaitu perjanjian-
perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata tetapi terdapat ditengah- tengah masyarakat. Perjanjian jenis ini lahir didalam praktek disebabkan
adanya asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi. Contoh perjanjian ini yang paling sering dipergunakan antara lain
asalah perjanjian leasing dan perjanjian beli-sewa.
6 Perjanjian Obligator, yaitu perjanjian dimana para pihak sepakat mengikatkan
diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. 7
Perjanjian Kebendaan zakelijk overeenkomst, yaitu perjanjian dengan mana seseorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain yang
membebankan kewajiban obligasi pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain levering.
8 Perjanjian Konsensual , yaitu perjanjian dimana diantara kedua belah pihak
telah mencapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perjanjian ini sudah mempunyai
kekuatan mengikat Pasal 1338 KUH Perdata.
9 Perjanjian riil, yaitu perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadinya
penyerahan barang. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1694 KUHPdt, pinjam pakai Pasal 1740 KUH Perdata.
10 Perjanjian Liberatoir, yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri
dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang kwijtschelding Pasal 1438 KUH Perdata.
11 Perjanjian Pembuktian bewijs overeenkommst, yaitu perjanjian dimana para
pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
12 Perjanjian Untung-untungan, yaitu perjanjian yang objeknya ditentukan
kemudian. Misalnya perjanjian asuransi.
13 Perjanjian Publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai
oleh hukum publik karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta.
14 Perjanjian Campuran contractus sui generis, yaitu perjanjian yang
mengandung bebagai unsur perjanjian. Misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar sewa-menyewa dan juga menyediakan makanan jual
beli serta juga memberikan pelayanan.
47
47
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Op.Cit., hal 66-69
C. Syarat sahnya suatu perjanjian
Dalam membuat suatu perjanjian harus meliputi seluruh syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang di dalamnya terdiri dari para subjek dan objek
perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan 4 syarat untuk sahnya perjanjian, ke empat syarat tersebut adalah :
1. Adanya kata sepakat
2. Pihak – pihak yang membuat perjanjian harus cakap bertindak dalam hukum.
3. Isi perjanjian harus mengenai suatu perbuatan hukum tertentu atau harus memuat
suatu prestasi yang dapat dilaksanakan. 4.
Isi perjanjian harus memuat suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua di namakan sebagai syarat-syarat subjektif
karena berhubungan dengan subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berhubungan dengan objek perjanjiannya.
48
1. Sepakat