Sebab yang halal. Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Dengan Jaminan Deposito Pada PT.Bank Mandiri (Persero), Tbk Kantor Cabang Lhokseumawe

“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

4. Sebab yang halal.

Sebab yang halal bukan berarti sesuatu hal yang menyebabkan perjanjian itu dibuat, tetapi menunjuk kepada pokok atau substansi dari apa yang diperjanjikan itu harus halal adanya. Hukum perjanjian tidak mempermasalahkan motivasi apa yang mencetuskan pembuatan perjanjian, tetapi kepada substansi atau isi dari pada perjanjian itu. Konsekuensi dari tidak dipenuhinya salah satu atau kedua syarat subjektif maka perjanjian dapat dibatalkan vernietigbaar atau voidable. Dalam hal ini salah satu pihak dapat memohonkan pembatalan perjanjian kepada hakim di pengadilan negeri. Sepanjang perjanjian itu tidak dibatalkan oleh hakim, maka menurut subekti, perjanjian itu tetap mengikat para pihak sepanjang ada kesediaan para pihak. Sedangkan jika salah satu syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum nietig atau null and void artinya bahwa demi hukum, perjanjian itu tidak pernah lahir dan tidak pernah ada suatu perikatan apapun. 53 Perjanjian dianggap sah dan mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Perjanjian dianggap sah dan 53 R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, hal 20 mengikat secara penuh bagi para pihak yang membuatnya sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. 54

D. Berakhirnya Perjanjian

Hapusnya perjanjian harus benar-benar dibedakan dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat saja hapus sedangkan perjanjiannya yang merupakan salah satu sumbernya masih tetap ada. Oleh karena itu jika membicarakan hapusnya suatu perjanjian berarti tidak terlepas dari adanya pembatalan perjanjian, karena hal ini merupakan salah satu unsur dari hapusnya perjanjian. Perikatan jual beli misalnya, dimana di dalamnya terkandung dua prestasi perikatan yaitu perikatan untuk membayar dan perikatan untuk menyerahkan barang levering. Dengan dibayarnya harga jual beli, maka perikatan untuk membayar menjadi hapus. Tetapi hal tersebut belum menghapus perjanjian karena masih ada satu perikatan lagi yang belum dilakukan yaitu perikatan untuk menyerahkan barang. Jadi perikatan akan berakhir jika bermacam-macam perikatan yang terdapat dalam perjanjian itu telah dilaksanakan. 55 Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh macam alasan yang menyebabkan perikatan-perikatan dalam suatu perjanjian berakhir. Ke-sepuluh hal tersebut adalah : 1 Pembayaran; 2 Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; 3 Pembaharuan utang; 4 Perjumpaan utang atau kompensasi; 54 Ibid 55 Ibid, hal 26-28 5 Percampuran utang; 6 Pembebasan utang; 7 Musnahnya barang yang terutang; 8 Kebatalanpembatalan; 9 Berlakunya suatu syarat batal, dan 10 Lewatnya waktu. 56 Sedangkan menurut Setiawan, suatu perjanjian dapat berakhir disebabkan karena hal-hal sebagai berikut : a Ditentukan dalam perjanjian yang dilakukan oleh para pihak b Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian, contohnya ketentuan Pasal 1066 ayat 3 jo ayat 4 KUH Perdata dimana perjanjian untuk tidak mengadakan pemecahan harta oleh ahli waris hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun c Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus, contoh perjanjian pemberian kuasa, akan hapus dengan meninggalnya salah satu pihak Pasal 1813 KUH Perdata. d Pernyataan menghentikan perjanjian. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh kedua belah pihak untuk perjanjian-perjanjian bersifat sementara, seperti perjanjian kerja dan atau perjanjian sewa-menyewa. e Perjanjian hapus karena putusan hakim f Karena tujuan dari perjanjian itu telah tercapai g Dengan persetujuan para pihak. 57 Khusus di lingkungan perbankan, perjanjian kredit merupakan bagian dari sistem hukum perbankan dan sistem hukum perjanjian KUH Perdata. Adapun hal yang paling penting dalam suatu perjanjian adalah persoalan kontrak standar dari perjanjian kredit tersebut. Dalam UU Perbankan tidak disebutkan secara jelas dan tegas bahwa dalam bentuk apa perjanjian kredit dibuat. 56 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Op.Cit, hal. 115. 57 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Putra A, Bardin, Bandung, 1999, hal 69 Kredit erat kaitannya dengan pengadaan modal suatu badan usaha, dimana dalam menjalankan usahanya pihak manajemen berusaha untuk memperoleh tambahan modal dari berbagai sumber, termasuk di antaranya melalui kredit. Menurut Simorangkir merumuskan bahwa “kredit adalah pemberian prestasi misalnya uang dan barang dengan balas prestasi kontra prestasi, akan terjadi pada waktu mendatang”. 58 Sedangkan menurut A. Abdurahman dalam dunia bisnis pada umumnya, kata “kredit” diartikan sebagai “kesanggupan akan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayar kelak”. 59 Menurut UU Perbankan menggunakan dua istilah yang berbeda yaitu “kredit” dan “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Penggunaan kedua istilah itu disesuaikan dengan dinamika perkembangan perbankan saat ini dimana selain bank- bank yang menjalankan usaha secara konvensional menyebutkannya sebagai “kredit”, sedangkan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah menggunakan istilah “pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Pasal 1 angka 11 UU Perbankan memberikan definisi tentang kredit, yaitu: “Kredit adalah penyediaan uang atau tangihan yang dapat di persamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam- meminjam antara Bank dan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam 58 O.P. Simorangkir, Seluk Beluk Bank Komersial , Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1988, hal 91 59 A. Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hal 279 untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga”. Sedangkan tentang ”pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dirumuskan dalam Pasal 1 angka 12 UU Perbankan, sebagai berikut: “Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.” Berdasarkan rumusan pengertian kedua istilah tersebut, perbedaannya terletak pada bentuk kontra prestasi yang akan diberikan oleh nasabah peminjam debitur kepada pihak bank selaku kreditur atas pemberian kredit atau pembiayaan di maksud. Pada Bank dengan prinsip konvensional kontra prestasi yang diberikan kreditur adalah berupa bunga, sedangkan pada bank dengan prinsip syariah kontra prestasinya berupa imbalan atau bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama. Dengan demikian kredit dan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah merupakan perjanjian pinjam meminjam uang yang dilakukan antara bank dengan pihak lain dalam hal ini nasabah peminjam dana. Perjanjian mana dibuat atas dasar kepercayaan bahwa peminjam dalam tenggang waktu tertentu akan melunasi atau mengembalikan uang atau tagihan tersebut kepada bank disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan . Dari pengertian-pengertian diatas jelas bahwa adanya unsur-unsur kredit yaitu sebagai berikut : a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang. c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan berarti semakin tinggi pula resikonya. d. Prestasi atau objek kredit tidak saja diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk uang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi moderen sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit dalam bentuk uanglah yang lazim dalam praktek perkreditan. 60 Tanpa mengenyampingkan unsur-unsur yang lain, unsur terpenting dalam suatu pemberian kredit adalah kepercayaan. Untuk memperoleh kepercayaan tersebut haruslah sampai pada suatu keyakinan sejauh mana konsep penilaian kredit dapat terpenuhi dengan baik. Mengenai pengertian perjanjian kredit ini tidak diatur secara khusus di dalam KUH Perdata, akan tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata. 60 Thomas , Suyatno, H.A.Chalik, M.Sukada, C.T.Y.Ananda dan D.T. Marala, Dasar-Dasar Perkreditan, Edisi Keempat. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal 14 Dengan demikian setiap orang dapat membuat perjanjian kredit dengan syarat-syarat yang ditetapkan sendiri, juga tidak menyimpang dari ketentuan yang tercantum dalam KUH Perdata. 61 Semua syarat perjanjian yang diatur dalam Pasal- Pasal KUH Perdata dipandang oleh Undang-undang cukup penting. Sehingga lahirlah hubungan hukum, dan di dalam hubungan hukum itu terdapat hak dan kewajiban untuk kedua belah pihak yang bersangkutan. 62 Dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sd 1769 KUH Perdata. 63 Hal yang sama juga dikemukan bahwa dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang Perbankan mengenai perjanjian kredit dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam KUH Perdata Pasal 1754. 64 Melihat bentuk perjanjiannya, maka menurut peneliti perjanjian kredit mempunyai kesamaan dengan perjanjian pinjam-meminjam, sebagaimana pengertian pinjam meminjam diatur di dalam pasal 1754 KUH Perdata yang berbunyi: “Pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang 61 Retno Wulan Sutantio, Upaya Hukum dalam Penagihan Kredit Macet dan Eksekusi Jaminan, Pustaka Peradilan, Jilid 1, Proyek Pembinaan Teknis Yustisial, Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal 122 62 Emmy Pangaribuan Simanjuntak, Pembukaan Kredit Berdokumen documentary credit opening, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyokarta, 1995, hal 23 63 Subekti , Jaminan – Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indosian, 1991, Op.cit, hal 3. 64 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, Op.cit, hal 110 belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”. Dalam perjanjian ini, pihak yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali barang yang dipinjamkan sebelum jangka waktu yang diperjanjikan berakhir Pasal 1759 KUH Perdata. Sedangkan pihak peminjam berkewajiban mengembalikan barang dalam jumlah dan keadaan yang sama dalam waktu yang ditentukan Pasal 1763 KUH Perdata. Selain itu berkewajiban pula membayar bunga atas peminjam uang atau lain barang yang menghabis karena pemakaian Pasal 1765 KUH Perdata. Perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas, yaitu bahwa objeknya adalah benda yang habis pakai. Jika dipakai istilah verbruiklening maka di dalamnya adalah uang. 65 Budi Untung menyebutkan bahwa “Perjanjian kredit merupakan penjanjian pendahuluan pactum de contrahendo. Dengan demikian perjanjian ini mendahului perjanjian hutang-hutang perjanjian pinjam mengganti”. Sedang perjanjian hutang - piutang merupakan pelaksanaan dari perjanjian pendahuluan atau perjanjian kredit. 66 Perjanjian kredit merupakan perjanjian khusus, karena di dalamnya terdapat kekhususan di mana pihak kreditur selalu bank dan objek perjanjiannya berupa uang. Berdasarkan pergertian di atas menurut Gatot Supramono, bahwa perjanjian 65 Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, hal 31 66 Ibid, hal 27 kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara Bank dengan pihak lain nasabah. 67 Di dalam perjanjian kredit ini dibuat 2 dua macam perjanjian, yaitu perjanjian pokok dan perjanjian tambahan. Perjanjian pokok adalah perjanjian yang dibuat tidak tergantung pada perjanjian lain, sedangkan perjanjian tambahan adalah perjanjian yang baru timbul setelah adanya perjanjian pokok. 68 Menurut Gatot Wardoyo, dalam tulisannya mengenai klausul-klausul perjanjian kredit bank, maka perjanjian kredit mempunyai beberapa fungsi sebagai berikut: 1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. 2. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batas-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur. 3. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. 69 Sedangkan menurut Mohammad Djumhana, kredit dalam kehidupan perekonomian sekarang, dan juga dalam perdagangan, mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Meningkatkan daya guna uang; 2. Meningkatkan peredaran dan lalu-lintas uang; 3. Meningkatkan daya guna dan peredaran barang; 4. Sebagai salah satu alat stabilitas ekonomi; 5. Meningkatkan kegairahan usaha; 6. Meningkatkan pemerataan pendapatan 67 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Djambatan, Jakarta, 1997, hal 61-62 68 Agus Budianto, Merger Bank Di Indonesia beserta Akibat-Akibat Hukumnya, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hal 31 69 Gatot Wardoyo, Selintas Klausul-klasul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen, hal 64-69 7. Meningkatkan hubungan internasional. 70 Selain itu Kredit juga merupakan alat pembantu dalam proses pertukaran. Jadi tugas atau fungsi kredit adalah memperlancar produksi dan konsumsi, sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupan dalam masyarakat. 71 Sehubungan dengan syarat mengenai tujuan kredit dan syarat mengenai cara penggunaan kredit itu, dapat dikatagorikan beberapa ciri perjanjian kredit bank yaitu: Pertama; perjanjian kredit bank menetukan secara khusus tujuan dari penggunaan kredit yang diperjanjikan tersebut. Pemakaian kredit oleh pihak yang ditentukan dari perjanjian kredit Bank membawa akibat bahwa perjanjian kredit dapat diakhiri secara sepihak oleh pihak kreditur bank dan membawa akibat lanjutan bahwa sejumlah kredit yang dikeluarkan dapat ditarik kembali oleh pihak kreditur bank. Kedua; dalam perjanjian kredit bank, kredit jumlah pinjaman tidak langsung diserahkan oleh pihak kreditur bank di dalam kekuasaan pihak debitur, tetapi kredit tersebut biasanya diberikan dalam bentuk rekening koran, bilyet, giro atau cek yang pencairannyapenggunaannya selalu dalam pengawasan bank. 72 Telah dikemukakan bahwa dalam setiap penyaluran kredit, bank selalu mensyaratkan adanya jaminan kredit. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi resiko pengembalian kredit sehubungan dengan adanya jangka waktu pengembaliannya. Dalam hal ini, jaminan berfungsi untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada 70 Mohammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia Citra Adytia Bhakti, Bandung, hal 232 71 Indra Darmawan, Pengantar Uang Dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal 92 72 Ibid kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut bila debitur tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Peneliti memakai kata “jaminan” dalam tesis ini sebagai pengertian “agunan” sebagaimana dirumuskan oleh UU Perbankan dalam Pasal 1 ayat 23 bahwa “agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah”. Jaminan tambahan ini dapat berupa jaminan materiil berwujud berupa benda-benda bergerak dan benda tetap atau jaminan immaterial tak berwujud. Hukum jaminan tergolong dalam bidang hukum yang akhir-akhir ini secara populer disebut economic law hukum ekonomi wiertschaftrecht atau droit economic yang mempunyai fungsi menunjang pembangunan ekonomi dan kemajuan pembangunan pada umumnya. 73 Dalam UU Perbankan sama sekali tidak menyebutkan tentang pengertian jaminan, namun dalam Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan bahwa “ segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Oey Hoey Tiong, menyebutkan bahwa : Istilah jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggungan. Sehingga jaminan dapat diartikan sebagai tanggungan. Dalam hal ini yang di maksud adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang seperti yang ditentukan dalam Pasal 1131 KUH Perdata maupun tanggungan atas 73 Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal 1 perikatan tertentu dari seseorang seperti yang diatur dalam Pasal 1139-1149 piutang yang diistimewakan, Pasal 1150-1850 KUH Perdata Gadai, Pasal 1162-1178 hipotik, Pasal 1820-1850 penanggungan hutang, dan akhirnya seperti yang ditetapkan oleh yuriprudensi ialah fiducia. 74 Jaminan kredit adalah “ segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditur dan debitur.” 75 Selain itu ada pendapat lain mengenai jaminan kredit ialah segala sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban, yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”. 76 Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling atau security of law. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional tentang Lembaga Hipotik dan jaminan lainnya, yang diselenggarakan di Yogyakarta, pada tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977, disebutkan bahwa hukum jaminan, meliputi pengertian, baik jaminan kebendaan maupun jaminan perorangan. Pengertian hukum jaminan ini mengacu pada jenis jaminan, bukan pengertian hukum jaminan. Defenisi ini menjadi tidak jelas, karena yang dilihat hanya dari penggolongan jaminan. 77 74 Oey Hoey Tiong, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 14 75 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Penerbitan Pada Bank, Alfa Beta, Bandung, 2005, hal 142 76 Hadi Soeprapto, Hartono, Pokok-pokok Hukum Perikatan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta , 1984, hal 50 . 77 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 5. Bahwa jaminan yang baik atau ideal adalah jaminan yang memenuhi syarat- syarat sebagai berikut : a. yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya; b. yang tidak melemahkan potensi kekuatan si pencari kredit untuk melakukan meneruskan usahanya c. yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangya si penerima pengambil kredit. 78 Undang-undang telah mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan jaminan atau penanggungan piutang kreditur terhadap debitur, yang dibuat dalam suatu perikatan. Jaminan dalam hukum berfungsi untuk menjamin utang. Hukum jaminan mengatur tentang jaminan piutang seseorang. 79 Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jaminan kredit adalah seluruh harta kekayaan seseorang, baik barang bergerak, tidak bergerak, barang berwujud maupun tidak berwujud, baik yang diserahkan secara tegas berdasarkan perjanjian maupun secara otomatis berdasarkan Undang-Undang oleh debitur kepada kreditur, dengan maksud untuk menjamin pembayaran kembali kreditnya berdasarkan suatu perikatan. 78 Subekti, Op.cit, hal 50 79 J. Sastrio, Op.Cit., hal. 3. Salah satu usaha perbankan adalah menghimpun dana dari masyarakat. Dana yang dihimpun itu diadakan dalam bentuk simpanan, yang salah satu jenis simpanan itu adalah deposito, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian terdahulu mengenai pengertian deposito terakhir diatur dalam UU Perbankan Pasal 1 angka 7. Berdasarkan pasal tersebut, deposito dikatagorikan sebagai bentuk simpanan dana oleh nasabah penyimpan deposan kepada pihak Bank, dimana berdasarkan perjanjian antara keduanya, dana itu dapat ditarik kembali oleh nasabah setelah jangka waktu tertentu. Kata perjanjian yang terdapat pada Pasal 1 angka 7 UU Perbankan tersebut menunjukan bahwa simpanan deposito yang lahir dari perjanjian yang dibuat antara pihak Bank dengan nasabah, tidak terikat bentuknya, tetapi diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menentukan syarat-syaratnya. Asas ini sengaja demikian untuk memberikan ruang gerak kepada Bank dan nasabah dalam menentukan syarat- syarat deposito yang akan dibuat di antara mereka. Sedangkan menurut Achmad Anwari memberikan definisi deposito adalah nama yang diberikan pada simpanan deposan di Bank yang lazim dilekatkan pada persyaratan jangka waktu penyimpanan. 80 Referensi dari sarjana lain, seperti Karim, juga mengemukakan pendapat bahwa : “uang yang dititipkan pada Bank oleh pribadi maupun lembaga usaha tertentu untuk disimpan dan kemudian ditarik kembali saat dibutuhkan atau 80 Acmad Anwari, Praktek Perbankan Di Indonesia Mengenai Deposito Berjangka, Cetakan kedua, Balai Aksara, Jakarta, 1983, hal 12 berdasarkan syarat yang telah disepakati bersama, yang dapat dimintai atau dibutuhkan disebut deposito”. 81 Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa deposito adalah simpanan uang ke Bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian yang telah disepakati yang dibuat secara tertulis oleh dan antara pihak Bank dengan nasabah penyimpan dana deposan.

2. Konsepsi