Tabulasi Silang Implikasi Manajerial

Pada Gambar 6, diketahui berdasarkan jenis kelamin, karyawan lebih didominasi oleh responden pria yaitu sebesar 82 persen atau 41 orang, sedangkan 18 persen atau 9 orang berjenis kelamin wanita. Berdasarkan usia, karyawan didominasi dengan usia antara 41 –50 tahun yaitu sebesar 56 persen atau 28 orang, sedangkan untuk karyawan dengan kelompok usia dibawah 30 tahun dan di atas 50 tahun masing-masing sebesar 6 persen atau 3 orang. Dari informasi di atas dapat dikatakan bahwa manajer lini masih berada pada batas usia produktif masa kerja. Dalam usia karyawan saat ini mereka masih dapat menyerap pengetahuan baru yang mendukung pekerjaannya, sehingga memungkinkan karyawan untuk menerima dan menjalankan ilmu yang diperoleh dari suatu program pelatihan. Berdasarkan latar belakang pendidikan formalnya, sebagian besar karyawan memiliki tingkat pendidikan SMA yaitu sebesar 48 persen atau 24 orang, karyawan dengan tingkat pendidikan S1 sebesar 36 persen atau 18 orang, sedangkan karyawan dengan tingkat pendidikan D3 sebesar 16 persen atau 8 orang. Dari hasil penyebaran kuesioner dapat dikatakan bahwa berdasarkan latar belakang pendidikannya didominasi oleh karyawan dengan pendidikan setingkat SMA dan S1 sebesar 84 persen atau 42 orang. Berdasarkan pengalaman kerja di PT Tirta Investama, sebesar 98 persen atau 49 orang karyawan telah bekerja selama lebih dari sepuluh tahun, yang didominasi oleh karyawan dengan masa kerja antara 16-20 tahun sebesar 38 persen atau 19 orang, sedangkan hanya 1 orang atau 2 persen karyawan yang memiliki pengalaman kerja di bawah 10 tahun. Berdasarkan jumlah bawahan yang dipimpinnya, sebagian besar karyawan memiliki 5 orang bawahan yaitu sebesar 38 persen atau 19 orang, sedangkan karyawan yang memiliki 16 –20 bawahan berjumlah 4 orang atau 8 persen.

4.3. Tabulasi Silang

Tabulasi silang atau crosstabs bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel kategori nominal atau ordinal. Pada penelitian ini crosstabs digunakan untuk menggambarkan hubungan antara karakteristik latar pendidikan dengan masa kerja karyawan dan karakteristik latar pendidikan dengan jumlah bawahan. Tabel 7. Crosstabs latar pendidikan dengan masa kerja LATAR PENDIDIKAN Total SMA DIPLOMA SARJANA MASA KERJA ≤ 5 tahun 6-10 tahun 1 1 11-15 tahun 3 4 8 15 16-20 tahun 10 4 5 19 20 tahun 10 5 15 Total 24 8 18 50 Kompetensi seorang karyawan tidak hanya ditentukan oleh latar pendidikan formalnya saja melainkan juga pendidikan informal yang terbentuk dari pengalaman kerja seseorang. Pada Tabel 7, diketahui dari 24 orang karyawan dengan latar pendidikan Sekolah Menengah Atas SMA, 20 orang atau 83,33 persen diantaranya memiliki pengalaman kerja di atas 15 tahun. Tabel 8. Crosstabs latar pendidikan dengan jumlah bawahan LATAR PENDIDIKAN Total SMA DIPLOMA SARJANA JUMLAH BAWAHAN ≤ 5 orang 7 3 9 19 6-10 orang 5 2 2 9 11-15 orang 6 3 4 13 16-20 orang 3 1 4 20 orang 3 2 5 Total 24 8 18 50 Berdasarkan Tabel 8, dari 24 orang karyawan dengan latar pendidikan SMA diketahui sebesar 29,17 persen atau 7 orang diantaranya memiliki bawahan sejumlah 1-5 orang. Dari 8 orang karyawan dengan latar pendidikan diploma diketahui sebesar 75 persen atau 6 orang diantaranya memiliki bawahan sejumlah 1-5 orang dan 11-15 orang masing masing sebesar 37,5 persen. Dari 18 orang karyawan dengan latar pendidikan sarjana diketahui sebesar 50 persen atau 9 orang diantaranya memiliki bawahan sebanyak 1-5 orang.

4.4. Analisis Deskriptif Efektivitas Pelatihan WISE Leadership

Analisis deskriptif bertujuan untuk mengetahui bagaimana persepsi karyawan dalam menilai efektivitas pelatihan WISE Leadership. Penilaian efektivitas pelatihan merupakan tolak ukur keberhasilan sebuah program pelatihan. Efektivitas pelatihan diukur berdasarkan empat level evaluasi, yaitu reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil. Hasil rataan skor efektivitas pelatihan WISE Leadership berdasarkan persepsi karyawan dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan Tabel 9 diketahui rataan skor evaluasi pelatihan WISE leadership sebesar 3,33. Hal ini diintepretasikan bahwa pelatihan sudah sangat efektif. Tabel 9. Rataan skor efektivitas pelatihan Wise Leadership berdasarkan persepsi karyawan Indikator STS Bobot=1 jumlah karyawan TS Bobot=2 jumlah karyawan S Bobot=3 jumlah karyawan SS Bobot=4 jumlah karyawan Total Skor Rataan Skor Interpretasi Hasil Materi yang diberikan sesuai dengan tujuan program pelatihan 25 25 175 3,50 Sangat Efektif Materi pelatihan yang diberikan sesuai dengan topik pelatihan 28 22 172 3,44 Sangat Efektif Instruktur menguasai bidang ilmu yang mendalam dari materi yang diberikan 32 18 168 3,36 Sangat Efektif Instruktur mampu mengkomunikasi-kan materi kepada peserta dengan baik 27 23 173 3,46 Sangat Efektif Instruktur melibatkan partisipasi aktif peserta dalam penyampaian materi 2 32 16 164 3,28 Sangat Efektif Peserta diberikan suatu studi kasus untuk dipecahkan 3 35 12 159 3,18 Efektif Peserta diberi tugaslatihan agar lebih mendalami materi yang diberikan 33 17 167 3,34 Sangat Efektif Kondisi waktu saat pelatihan tidak mengganggu kegiatan kerja 8 30 12 154 3,08 Efektif Alokasi waktu yang tersedia sudah efektif 4 35 11 157 3,14 Efektif Pelatihan berjalan dengan tepat waktu 1 34 15 164 3,28 Sangat Efektif Ukuran tempatruangan yang digunakan mampu menampung seluruh peserta pelatihan 5 35 10 155 3,10 Efektif Alat peragamedia presentasi yang digunakan saat menyampaikan materi sangat membantu peserta dalam memahami isi materi 2 35 13 161 3,22 Efektif Modulhandout pelatihan membantu peserta dalam memahami materi yang disampaikan 35 15 165 3,30 Sangat Efektif Peserta puas dengan kualitas konsumsi yang disediakan 2 33 15 163 3,26 Sangat Efektif Pengaturan suhu ruangan sudah tepatnyaman 41 9 159 3,18 Efektif REAKSI 27 490 233 2456 3,27 Sangat Efektif Setelah mengikuti pelatihan, peserta semakin mengerti cara melatih bawahan untuk meningkatkan perilaku kerja yang aman 25 25 175 3,50 Sangat Efektif PEMBELAJARAN 25 25 175 3,50 Sangat Efektif Setelah mengikuti pelatihan, peserta selalu memotivasi bawahan agar lebih mengutamakan tindakan pencegahan untuk menghindari kecelakaan kerja 23 27 177 3,54 Sangat Efektif PERILAKU 23 27 177 3,54 Sangat Efektif Pelatihan telah meningkatkan produktivitas kerja 1 30 19 168 3,36 Sangat Efektif Pelatihan telah meningkatkan efisiensi kerja 33 17 167 3,34 Sangat Efektif Pelatihan telah meningkatkan kualitas kerja 32 18 168 3,36 Sangat Efektif Pelatihan telah mengurangi kecelakaan kerja 17 33 183 3,66 Sangat Efektif HASIL 1 112 87 686 3,43 Sangat Efektif EVALUASI PELATIHAN 28 650 372 3494 3,33 Sangat Efektif

4.4.1 Persepsi Karyawan terhadap Evaluasi Pelatihan WISE Leadership

Level Reaksi Berdasarkan Tabel 9, Materi yang disampaikan sesuai dengan topik kesehatan dan keselamatan kerja K3 mulai dari pembahasan komitmen, kebijakan, dan prinsip manajemen terhadap K3, penetapan standar keselamatan kerja, penentuan target, dan pembagian tanggung jawab. Instruktur secara umum juga dinilai karyawan mampu mengkomunikasikan materi dengan baik dan memberikan studi kasus dan pemberian latihan untuk lebih mendalami materi yang diberikan meskipun dari hasil wawancara masih ada responden yang merasa pelaksanaan pelatihan berlangsung kaku atau kurang cair. Hal ini dikarenakan pembawaan instruktur yang terlalu serius dalam menyampaikan materi, hal inilah yang menyebabkan kejenuhan bagi karyawan. Dari segi waktu, karyawan pada umumnya merasa pelaksanaan pelatihan tidak mengganggu kegiatan kerja karena dilaksanakan bukan di hari kerja, alokasi waktu selama dua pertemuan 2×7 jam juga dirasakan cukup untuk menyerap informasi yang disampaikan, pelatihan juga berlangsung tepat waktu sesuai jadwal acara yang disampaikan sebelum acara dimulai. Pada umumnya karyawan menilai fasilitas pelatihan seperti alat peraga, modul, ukuran, dan suhu ruangan sudah memadai. Kualitas konsumsi juga dinilai memuaskan oleh karyawan pada umumnya.

4.4.2 Persepsi Karyawan terhadap Evaluasi Pelatihan WISE Leadership

Level Pembelajaran Pada Tabel 9 ditunjukkan bahwa setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership, karyawan semakin mengetahui cara atau strategi untuk meningkatkan perilaku kerja yang aman bagi bawahannya. Mulai dari menginformasikan standar dan target safety, cara mengkomunikasikan safety yang efektif, dan cara memotivasi karyawan yang progresif.

4.4.3 Persepsi Karyawan terhadap Evaluasi Pelatihan WISE Leadership

Level Perilaku Berdasarkan Tabel 9, pada umumnya karyawan merasa bahwa setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership, karyawan memiliki kemampuan dalam memotivasi bawahannya untuk senantiasa berperilaku kerja yang aman. Dari hasil wawancara diketahui terdapat dua strategi atau upaya dalam meningkatkan motivasi karyawan. Pertama, menerapkan upaya enforcement dengan menegakkan kebijakan zero tolerance, menjalankan standar keselamatan kerja yang tertera di kartu identitas, dan menjalankan program 5R ringkas, resik, rapih, rawat, dan rajin. Pada strategi ini, karyawan akan dikenakan sanksi apabila melanggar. Kedua, menerapkan upaya reinforcement dengan menentukan KPI Key Performance Indicator, off the job safety, dan memberikan penghargaan pada individu atau unit kerja yang menunjukkan perilaku kerja yang aman.

4.4.4 Persepsi Karyawan terhadap Evaluasi Pelatihan WISE Leadership

Level Hasil Berdasarkan Tabel 9, karyawan merasa bahwa indikator hasil yang paling efektif dari program pelatihan WISE Leadership adalah pengurangan kecelakaan kerja. Hal ini diperkuat dengan perbandingan data kecelakaan kerja sebelum dan sesudah diadakan pelatihan WISE leadership di PT Tirta Investama pada Lampiran 8. Pelatihan WISE Leadership berdampak kepada penurunan tingkat kecelakaan kerja hingga 83,3 persen. Hal tersebut dirasa sangat tepat karena sasaran utama dari penyelenggaraan program pelatihan ini adalah untuk mengurangi tingkat kecelakaan kerja dengan menekankan pada perbaikan perilaku yang tidak aman menuju perilaku kerja yang lebih safety. Pelatihan WISE Leadership juga dirasakan karyawan telah meningkatkan efisiensi kerja, produktivitas, dan kualitas kerja di unit kerjanya masing-masing.

4.5. Analisis Deskriptif Karyawan terhadap Peningkatan Kompetensi setelah Mengikuti Pelatihan

WISE Leadership Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana persepsi karyawan terhadap tingkat kompetensi yang dimiliki setelah pelatihan. Kompetensi dibagi ke dalam lima karakteristik, yaitu knowledge, skill, self concept, trait, dan motive. Berdasarkan Tabel 10, diketahui rataan skor kompetensi sebesar 3,42. Hal ini dapat diintepretasikan bahwa tingkat kompetensi setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership dinilai karyawan sudah sangat baik. Tabel 10. Rataan skor berdasarkan persepsi karyawan terhadap peningkatan kompetensi Indikator STS Bobot=1 jumlah karyawan TS Bobot=2 jumlah karyawan S Bobot=3 jumlah karyawan SS Bobot=4 jumlah karyawan Total Skor Rataan Skor Interpretasi Hasil Peserta semakin menyadari bahwa keselamatan kerja di unit kerjanya merupakan tanggung jawabnya sebagai manajer lini 3 18 29 176 3,52 Sangat Baik Peserta semakin mengetahui prosedur perilaku kerja yang aman di unit kerjanya 15 35 185 3,70 Sangat Baik Peserta semakin mengetahui risiko yang dapat terjadi di unit kerjanya 21 29 179 3,58 Sangat Baik Peserta semakin mengetahui cara untuk menanggulangi risiko yang dapat terjadi di unit kerjanya 27 23 173 3,46 Sangat Baik Peserta semakin memahami bahwa tindakan pencegahanpreventif merupakan solusi terbaik dalam mencapai nihil kecelakaan 22 28 178 3,56 Sangat Baik KNOWLEDGE 3 103 144 891 3,56 Sangat Baik Peserta mampu memperagakan contoh perilaku kerja yang aman di unit kerjanya 33 17 167 3,34 Sangat Baik Peserta mampu memotivasi bawahan untuk menerapkan perilaku kerja yang aman 29 21 171 3,42 Sangat Baik Peserta mampu mengkomunikasikan informasi terkait permasalahan keselamatan kerja dengan lebih jelas 33 17 167 3,34 Sangat Baik Peserta mampu memberi feedbackumpan balik ketika berdiskusi tentang masalah keselamatan kerja 35 15 165 3,30 Sangat Baik Peserta memiliki hasrat mendengar yang lebih kuat terkait dengan permasalahan keselamatan kerja 1 26 23 172 3,44 Sangat Baik SKILL 1 156 93 842 3,36 Sangat Baik Peserta menjadi lebih sistematis dalam mempraktekkan prosedur kerja 41 9 159 3,18 Baik Peserta lebih yakin bahwa unit kerjanya mampu mencapai nihil kecelakaan 1 22 27 176 3,52 Sangat Baik Peserta semakin disiplin dalam mentaati peraturan-peraturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja 24 26 176 3,52 Sangat Baik Peserta menjadi lebih teliti 31 19 169 3,38 Sangat Baik SELF CONCEPT 1 118 81 680 3,40 Sangat Baik Peserta dapat lebih mengontrol emosi 29 21 171 3,42 Sangat Baik Peserta dapat lebih memberikan perhatian terhadap permasalahan keselamatan kerja 1 32 17 166 3,32 Sangat Baik Peserta lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada bawahan yang melanggar aturan K3 8 28 14 156 3,12 Baik Peserta lebih transparan dalam memberikan laporanaudit kecelakaan kerja 35 15 165 3,30 Sangat Baik TRAIT 9 124 67 658 3,29 Sangat Baik Peserta semakin tertantang untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar 29 21 171 3,42 Sangat Baik Peserta semakin terdorong untuk meningkatkan kesadaran unit kerjanya akan pentingnya perilaku kerja yang aman 25 25 175 3,50 Sangat Baik Peserta semakin termotivasi untuk membangun hubungan yang positif antara peningkatan kinerja operasional dan keselamatan kerja di unit kerja saya 31 19 169 3,38 Sangat Baik Peserta terdorong untuk lebih berinisiatif dalam mengantisipasi kesalahan kerja 30 20 170 3,40 Sangat Baik Peserta termotivasi untuk selalu mengagendakan keselamatan kerja dalam rapat-rapat kerja 1 25 24 173 3,46 Sangat Baik MOTIVE 1 140 109 858 3,43 Sangat Baik KOMPETENSI 15 641 494 3929 3,42 Sangat Baik

4.5.1 Persepsi Karyawan terhadap Peningkatan Knowledge setelah

Mengikuti Pelatihan WISE Leadership Berdasarkan Tabel 11, setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership, karyawan semakin mengetahui prosedur perilaku kerja yang aman di unit kerjanya. Standar keselamatan kerja telah disepakati secara formal dan dituangkan dalam perjanjian kerja. Karyawan merasa semakin mengetahui risiko bahaya yang dapat terjadi di unit kerjanya. Karyawan merasa semakin memahami bahwa tindakan pencegahan adalah solusi terbaik untuk mencapai nihil kecelakaan. Selama pelatihan berlangsung instruktur berusaha menggeser mind set karyawan untuk lebih berpikir pro aktif dalam mencapai nihil kecelakaan karena tercapainya nihil kecelakaan bukanlah faktor keberuntungan semata, melainkan wujud nyata dari komitmen dan kerja keras karyawan untuk selalu berperilaku aman saat bekerja. Karyawan merasa semakin menyadari bahwa keselamatan kerja di unit kerjanya merupakan tanggung jawabnya sebagai manajer lini. Manajer lini memiliki peran sebagai role model dalam penerapan K3 di unit kerjanya, tidak hanya itu keberhasilan dan kegagalan praktek K3 di unit kerjanya juga menjadi tanggung gugat seseorang yang menempati posisi lini manajemen. Tabel 11. Rataan skor berdasarkan persepsi karyawan terhadap peningkatan knowledge karyawan setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership Indikator STS Bobot=1 jumlah karyawan TS Bobot=2 jumlah karyawan S Bobot=3 jumlah karyawan SS Bobot=4 jumlah karyawan Total Skor Rataan Skor Interpretasi Hasil Peserta semakin mengetahui prosedur perilaku kerja yang aman di unit kerjanya 15 35 185 3,70 Sangat Baik Peserta semakin mengetahui risiko yang dapat terjadi di unit kerjanya 21 29 179 3,58 Sangat Baik Peserta semakin memahami bahwa tindakan pencegahanpreventif merupakan solusi terbaik dalam mencapai nihil kecelakaan 22 28 178 3,56 Sangat Baik Peserta semakin menyadari bahwa keselamatan kerja di unit kerjanya merupakan tanggung jawabnya sebagai manajer lini 3 18 29 176 3,52 Sangat Baik Peserta semakin mengetahui cara untuk menanggulangi risiko yang dapat terjadi di unit kerjanya 27 23 173 3,46 Sangat Baik KNOWLEDGE 3 103 144 891 3,56 Sangat Baik

4.5.2 Persepsi Karyawan terhadap Peningkatan Motive setelah

Mengikuti Pelatihan WISE Leadership Berdasarkan Tabel 12, setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership, karyawan merasa bahwa keselamatan kerja merupakan suatu nilai tambah atau kebutuhan tidak hanya bagi perusahaan, melainkan juga diri sendiri. Oleh karena itu, karyawan merasa terdorong untuk lebih berinisiatif dalam mengantisipasi kesalahan kerja yang mungkin terjadi dan terdorong untuk meningkatkan kesadaran unit kerjanya akan pentingnya perilaku kerja yang aman. Safety adalah bagian dari kinerja seorang manajer lini. Manajer lini bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan dalam pencapaian nihil kecelakaan. Oleh karena itu, karyawan termotivasi untuk selalu mengagendakan keselamatan kerja dalam rapat-rapat kerja dan tertantang untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar. Karyawan juga merasa semakin termotivasi untuk membangun hubungan yang positif antara kinerja dan keselamatan kerja di unit kerjanya. Seorang manajer lini selalu dihadapkan pada pilihan dalam mengambil keputusan sewaktu bekerja. Keputusan yang diambil biasa berupa pertimbangan dari skala prioritas yang mengutamakan biaya, produksi, dan kendali mutu. Tabel 12. Rataan skor berdasarkan persepsi karyawan terhadap peningkatan motive setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership Indikator STS Bobot=1 jumlah karyawan TS Bobot=2 jumlah karyawan S Bobot=3 jumlah karyawan SS Bobot=4 jumlah karyawan Total Skor Rataan Skor Interpretasi Hasil Peserta semakin terdorong untuk meningkatkan kesadaran unit kerjanya akan pentingnya perilaku kerja yang aman 25 25 175 3,50 Sangat Baik Peserta termotivasi untuk selalu mengagendakan keselamatan kerja dalam rapat-rapat kerja 1 25 24 173 3,46 Sangat Baik Peserta semakin tertantang untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar 29 21 171 3,42 Sangat Baik Peserta terdorong untuk lebih berinisiatif dalam mengantisipasi kesalahan kerja yang mungkin terjadi 30 20 170 3,40 Sangat Baik Peserta semakin termotivasi untuk membangun hubungan yang positif antara peningkatan kinerja operasional dan keselamatan kerja di unit kerja saya 31 19 169 3,38 Sangat Baik MOTIVE 1 140 109 858 3,43 Sangat Baik

4.5.3 Persepsi Karyawan terhadap Peningkatan Self Concept setelah

Mengikuti Pelatihan WISE Leadership Berdasarkan Tabel 13, setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership, karyawan merasa lebih percaya diri untuk mencapai nihil kecelakaan, lebih disiplin dalam mentaati peraturan-peraturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja, lebih teliti, dan lebih sistematis dalam menerapkan prosedur kerja yang safety. Hal ini dikarenakan setelah mengikuti pelatihan, karyawan merasa ada nilai-nilai yang bertambah dalam dirinya sebagai seorang pimpinan. Nilai-nilai safety yang mampu menunjukkan perilaku pemimpin yang patut diteladani. Mind Set seorang manajer atau supervisor yang handal harus memperlakukan K3 sama dengan produksi, biaya, dan kendali mutu. Tabel 13. Rataan skor berdasarkan persepsi karyawan terhadap peningkatan self concept setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership Indikator STS Bobot=1 jumlah karyawan TS Bobot=2 jumlah karyawan S Bobot=3 jumlah karyawan SS Bobot=4 jumlah karyawan Total Skor Rataan Skor Interpretasi Hasil Peserta lebih yakin bahwa unit kerjanya mampu mencapai nihil kecelakaan 1 22 27 176 3,52 Sangat Baik Peserta semakin disiplin dalam mentaati peraturan-peraturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja 24 26 176 3,52 Sangat Baik Peserta menjadi lebih teliti 31 19 169 3,38 Sangat Baik Peserta menjadi lebih sistematis dalam mempraktekkan prosedur kerja 41 9 159 3,18 Baik SELF CONCEPT 1 118 81 680 3,40 Sangat Baik

4.5.4 Persepsi Karyawan terhadap Peningkatan Skill setelah Mengikuti

Pelatihan WISE Leadership Berdasarkan Tabel 14, setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership, karyawan merasa memiliki hasrat mendengar yang lebih kuat terkait dengan permasalahan keselamatan kerja. Hal ini dikarenakan responden mempunyai kemauan untuk mendengarkan dengan sungguh-sungguh usulan, masukan, dan feedback yang berhubungan dengan K3. Karyawan merasa memiliki kemampuan lebih dalam memotivasi bawahan untuk menerapkan perilaku kerja yang aman. Dalam memotivasi bawahannya, karyawan lebih menekankan pada upaya-upaya reinforcement dengan memberikan pengertian kepada bawahan bahwa penerapan K3 di tempat kerja merupakan kebutuhan dasar karyawan bukan suatu keterpaksaan. Karyawan juga memotivasi dengan cara memberikan penghargaan kepada bawahan atas usaha yang dilakukan untuk berkontribusi terhadap perbaikan safety dan menerapkan sanksi bagi karyawan yang tidak berperilaku aman saat bekerja. Karyawan merasa memiliki kemampuan dalam memperagakan contoh perilaku kerja yang aman dengan cara mematuhi aturan safety, memastikan kondisi kerja yang aman, dan selalu menggunakan alat pelindung diri APD saat melakukan pekerjaan yang berpotensi menimbulkan bahaya. Setelah mengikuti pelatihan, karyawan mendapatkan tambahan pengetahuan tentang cara berkomunikasi yang berkualitas yaitu dengan mengagendakan safety talk setiap hari sebelum memulai kerja, melakukan kontak mata dengan pendengar, memberikan empati dan respek kepada pendengar, memberikan bahasa tubuh yang terbuka, memberikan masukan atau rekomendasi sebagai upaya perbaikan tanpa bermaksud menghakimi. Oleh karena itu, karyawan merasa mampu mengkomunikasikan dengan jelas dan memberikan feedback kepada karyawan lain ketika berdiskusi tentang masalah keselamatan kerja. Tabel 14. Rataan skor berdasarkan persepsi karyawan terhadap peningkatan skill setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership Indikator STS Bobot=1 jumlah karyawan TS Bobot=2 jumlah karyawan S Bobot=3 jumlah karyawan SS Bobot=4 jumlah karyawan Total Skor Rataan Skor Interpretasi Hasil Peserta memiliki hasrat mendengar yang lebih kuat terkait dengan permasalahan keselamatan kerja 1 26 23 172 3,44 Sangat Baik Peserta mampu memotivasi bawahan untuk menerapkan perilaku kerja yang aman 29 21 171 3,42 Sangat Baik Peserta mampu memperagakan contoh perilaku kerja yang aman di unit kerjanya 33 17 167 3,34 Sangat Baik Peserta mampu mengkomunikasikan informasi terkait permasalahan keselamatan kerja dengan lebih jelas 33 17 167 3,34 Sangat Baik Peserta mampu memberi feedbackumpan balik ketika berdiskusi tentang masalah keselamatan kerja 35 15 165 3,30 Sangat Baik SKILL 1 156 93 842 3,36 Sangat Baik

4.5.5 Persepsi Karyawan terhadap Peningkatan Trait setelah Mengikuti

Pelatihan WISE Leadership Berdasarkan Tabel 15, setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership, karyawan merasa dapat lebih mengontrol emosi, lebih memperhatihan keselamatan kerja, lebih terbuka dalam memberikan laporan kecelakaan kerja. Hal ini karena karyawan merasa lebih aware dan peduli terhadap masalah keselamatan kerja sehingga berusaha memprioritaskan perilaku kerja yang aman dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Tabel 15. Rataan skor berdasarkan persepsi karyawan terhadap peningkatan trait setelah mengikuti pelatihan WISE Leadership Indikator STS Bobot=1 jumlah karyawan TS Bobot=2 jumlah karyawan S Bobot=3 jumlah karyawan SS Bobot=4 jumlah karyawan Total Skor Rataan Skor Interpretasi Hasil Peserta dapat lebih mengontrol emosi 29 21 171 3,42 Sangat Baik Peserta dapat lebih memberikan perhatian terhadap permasalahan keselamatan kerja 1 32 17 166 3,32 Sangat Baik Peserta lebih transparan dalam memberikan laporanaudit kecelakaan kerja 35 15 165 3,30 Sangat Baik Peserta lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada bawahan yang tidak berperilaku aman dalam bekerja 8 28 14 156 3,12 Baik TRAIT 9 124 67 658 3,29 Sangat Baik

4.6. Analisis Path Modeling Partial Least Square

Analisis Path Modeling Partial Least Square dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui arah hubungan, besarnya pengaruh, serta signifikan atau tidaknya efektivitas pelatihan terhadap tingkat kompetensi, selain itu model Path Modeling Partial Least Square juga dapat menentukan bobot weight masing- masing indikator yang membentuk efektivitas pelatihan dan muatan loading masing-masing indikator yang mencerminkan tingkat kompetensi, serta melihat besarnya pengaruh pelatihan terhadap karakteristik-karakteristik kompetensi secara serempak atau dalam satu proses sekaligus. Hal ini tidak dapat dilakukan pada model regresi. Metode Path Modeling Partial Least Square dapat menganalisis konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan formatif, hal ini tidak mungkin dilakukan pada model SEM. Berdasarkan hasil pengolahan data dengan bantuan software SmartPLS 2.0, diperoleh suatu model yang menggambarkan pengaruh efektivitas pelatihan terhadap kompetensi seperti pada Gambar 7. Gambar 7. Model PMPLS Berdasarkan Tabel 16, diketahui variabel-variabel konstruk dan variabel- variabel indikator formatif yang membentuk efektivitas pelatihan adalah sebagai berikut : Tabel 16. Variabel-variabel formatif yang membentuk efektivitas pelatihan Konstruk Indikator Keterangan Reaksi X 1 Materi Kepuasan terhadap materi pelatihan Instruktur Kepuasan terhadap kualitas instruktur Metode Kepuasan terhadap metode pelatihan Waktu Kepuasan terhadap waktu pelatihan Fasilitas Kepuasan terhadap fasilitas pelatihan Pembelajaran X 2 PEM1 Mengetahui strategi untuk melatih bawahan agar berperilaku kerja yang aman PEM2 Perubahan cara pandang bahwa kecelakaan dapat dicegah PEM3 Perubahan cara pandang bahwa tidak ada toleransi terhadap kecelakaan kerja Perilaku X 3 PER1 Mampu mengimplementasikan materi yang didapat PER2 Senantiasa memotivasi bawahan untuk menghindari kecelakaan kerja PER3 Berani memberikan sanksi kepada bawahan yang tidak mematuhi standard keselamatan kerja Hasil X 4 HAS1 Meningkatkan produktivitas kerja HAS2 Meningkatkan efisiensi kerja HAS3 Meningkatkan kualitas kerja HAS4 Mengurangi kecelakaan kerja Variabel-variabel yang mencerminkan kompetensi karyawan setelah dipengaruhi oleh pelatihan terdiri dari knowledge, skill, self concept, trait, dan motive. Model variabel-variabel ini bersifat reflektif. Variabel-variabel reflektif dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Variabel-variabel reflektif yang mencerminkan kompetensi karyawan Konstruk Indikator Keterangan Knowledge Y 1 KNO1 Semakin menyadari bahwa keselamatan kerja merupakan tanggung jawab manajer lini KNO2 Semakin mengetahui prosedur perilaku kerja yang aman KNO3 Semakin mengetahui potensirisiko bahaya yang mungkin terjadi KNO4 Semakin mengetahui cara menanggulangi risiko yang telah terjadi KNO5 Semakin memahami bahwa tindakan preventif adalah solusi yang terbaik Skill Y 2 SKL1 Mampu menjadi role model dalam berperilaku kerja yang aman di unitnya SKL2 Mampu memotivasi bawahan untuk selalu menerapkan standard keselamatan kerja SKL3 Mampu mengkomunikasikan informasi terkait permasalahan keselamatan kerja dengan jelas SKL4 Mampu memberi feedbacktanggapan ketika berdiskusi tentang masalah keselamatan kerja SKL5 Memiliki hasrat mendengar yang lebih kuat terkait dengan permasalahan keselamatan kerja Self Concept Y 3 SEL1 Menjadi lebih sistematis dalam mempraktekkan prosedur kerja SEL2 Semakin percaya diri dalam mencapai nihil kecelakaan SEL3 Semakin disiplin dalam menjalankan standard keselamatan kerja SEL4 Selalu mengecek ulang pekerjaan yang telah dilakukan untuk menghindari potensi kesalahan Trait Y 4 TRA1 Dapat lebih mengontrol emosi TRA2 Dapat lebih memberikan perhatian terhadap permasalahan keselamatan kerja TRA3 Menjadi lebih tegas dalam memberikan sanksi TRA4 Menjadi lebih transparan dalam memberikan laporanaudit kecelakaan kerja Motive Y 5 MOT1 Semakin tertantang untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar MOT2 Semakin terdorong untuk meningkatkan kesadaran unit kerja akan pentingnya keselamatan kerja MOT3 Semakin termotivasi untuk membangun hubungan yang positif antara peningkatan kinerja operasional dan keselamatan kerja di unit kerja saya MOT4 Menjadi lebih berinisiatif untuk mengantisipasi kesalahan kerja yang mungkin terjadi MOT5 Terdorong untuk selalu mengagendakan keselamatan kerja dalam rapat-rapat kerja

4.6.1 Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum hasil pengolahan Path Modeling Partial Least Square dianalisis dilakukan pengujian validitas dan reliabilitas terlebih dahulu agar model layak dan dapat dipercaya hasil intepretasinya. Pada model formatif tidak dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Hal ini dikarenakan antar indikator formatif tidak saling berkorelasi sehingga ukuran internal konsistensi composite reliability tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk formatif Ghozali 2008. Pada model reflektif, dilakukan tiga pengujian untuk menentukan validitas dan reliabilitas, yaitu convergent validity, discriminant validity, dan composite reliability. Convergent validity dari model pengukuran dengan model reflektif indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item score dengan construct score. Grafis model pengukuran awal dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Output grafis SmartPLS sebelum estimasi ulang Pada penelitian ini variabel indikator reflektif dikatakan memenuhi syarat convergent validity apabila nilai loadingnya di atas 0,5. Pada Gambar 13 diketahui bahwa nilai loading TRA3 sebesar 0,432 atau kurang dari 0,5. Hal ini menunjukkan indikator TRA3 tidak valid. Hasil outer loading sebelum estimasi ulang dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan penjelasan di atas, maka indikator TRA3 dikeluarkan dari model karena tidak valid. Selanjutnya model diestimasi ulang dengan mengeluarkan droping TRA3, hasil output grafik SmartPLS dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Output grafis SmartPLS setelah estimasi ulang Pada gambar di atas, indikator TRA3 telah dikeluarkan dari model pengukuran. Setelah dilakukan estimasi ulang, nilai loading masing-masing indikator reflektif di atas 0,50. Hal tersebut menunjukkan bahwa syarat convergent validity telah terpenuhi. Setelah outer model diestimasi ulang dengan mengeliminasi TRA3 maka nilai loading semua indikator reflektif di atas 0,5. Hal ini menunjukkan bahwa syarat convergent validity telah terpenuhi. Hasil outer loading setelah estimasi ulang dapat dilihat pada Lampiran 10. Langkah selanjutnya setelah syarat convergent validity terpenuhi adalah menguji discriminant validity. Discriminant validity dari model pengukuran indikator reflektif dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, maka akan menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok yang lebih baik daripada ukuran blok lainnya. Tabel cross loading untuk menguji discriminant validity dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel crossloading menunjukkan bahwa korelasi konstruk knowledge dengan indikator KNO1, KNO2, KNO3, KNO4, KNO5 lebih tinggi dibandingkan korelasi antara indikator-indikator tersebut dengan konstruk lainnya. Korelasi konstruk motive dengan indikator MOT1, MOT2, MOT3, MOT4, MOT5 lebih tinggi dibandingkan korelasi antara indikator-indikator tersebut dengan konstruk lainnya. Korelasi konstruk self concept dengan indikator SEL2, SEL3, SEL4 lebih tinggi dibandingkan korelasi antara indikator-indikator tersebut dengan konstruk lainnya, hanya indikator SEL1 yang tidak menunjukkan korelasi tertinggi dengan konstruk self concePT Korelasi konstruk skill dengan indikator SKL1, SKL2, SKL3, SKL4 lebih tinggi dibandingkan korelasi antara indikator-indikator tersebut dengan konstruk lainnya, hanya indikator SKL5 yang tidak menunjukkan korelasi tertinggi dengan konstruk skill. Korelasi konstruk trait dengan indikator TRA1, TRA2, TRA4 lebih tinggi dibandingkan korelasi antara indikator-indikator tersebut dengan konstruk lainnya. Syarat discriminant validity telah terpenuhi. Setelah pengujian validitas indikator diketahui, selanjutnya dilakukan uji validitas konstruk. Model dikatakan baik apabila nilai AVE Average Variance Extracted masing-masing konstruk reflektif nilainya lebih besar dari 0,5. Nilai AVE dari masing-masing konstruk dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Nilai AVE dan composite reliability Konstruk Nilai AVE Composite reliability Knowledge 0,606 0,885 Skill 0,497 0,830 Self Concept 0,518 0,810 Trait 0,649 0,847 Motive 0,546 0,857 Berdasarkan tabel di atas diketahui nilai AVE masing-masing konstruk lebih besar dari 0,5. Hanya konstruk skill yang memiliki nilai AVE kurang dari 0,5. Di samping uji validitas, dilakukan juga uji reliabilitas konstruk menggunakan composite reliability. Composite reliability digunakan untuk mengukur internal consistency. Konstruk dinyatakan memiliki reliabilitas yang baik atau reliabel jika nilai composite reliability di atas 0,70 dengan tingkat kesalahan sebesar 5. Berdasarkan di atas diketahui composite reliability knowledge sebesar 0,885; composite reliability skill sebesar 0,830; composite reliability self concept sebesar 0,810; composite reliability trait sebesar 0,847; composite reliability motive sebesar 0,857. Hasil output composite reliability masing- masing konstruk reflektif di atas 0,70. Artinya, masing-masing konstruk reflektif memiliki reliabilitas yang baik. Setelah model memenuhi asumsi convergent validity, discriminant validity, validitas konstruk, dan reliabilitas konstruk, maka model dapat dianalisis dan diintepretasikan.

4.6.2 Indikator-indikator yang

Mencerminkan Karakteristik- karakteristik Kompetensi Berdasarkan Tabel 19 diketahui nilai loading indikator knowledge yang paling besar adalah indikator KNO2 sebesar 0,801 dengan t-value sebesar 20,321. Hal ini menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan. Artinya semakin besar knowledge yang didapat melalui pelatihan maka karyawan akan semakin mengetahui prosedur perilaku kerja yang aman. Tabel 19. Nilai outer loading indikator karakteristik kompetensi Nilai loading indikator skill yang paling besar adalah indikator SKL4 sebesar 0.787 dengan t-value sebesar 18,097. Hal ini menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan. Artinya semakin besar skill yang didapat melalui pelatihan maka karyawan akan semakin mampu memberi feedback atau tanggapan ketika berdiskusi tentang permasalahan keselamatan kerja. Nilai loading indikator self concept yang paling besar adalah indikator SEL4 sebesar 0,794 dengan t-value sebesar 29,380. Hal ini menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan atau dapat diintepretasikan bahwa indikator yang paling mencerminkan besarnya self concept karyawan setelah mengikuti pelatihan adalah mind set bersikap proaktif yaitu dengan selalu mengecek ulang pekerjaan. Nilai loading indikator self concept yang paling besar adalah indikator TRA1 sebesar 0,839 dengan t-value sebesar 27,028. Hal ini menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan. Artinya, meningkatnya trait karyawan melalui pelatihan menyebabkan karyawan dapat lebih mengontrol emosi dalam menghadapi situasi yang dapat mengakibatkan timbulnya kecelakaan kerja. Outer Model loading t-value Intepretasi Knowledge  KNO2 0,801 20,321 Pengaruh positif dan signifikan Knowledge  KNO3 0,800 19,248 Pengaruh positif dan signifikan Knowledge  KNO1 0,791 16,807 Pengaruh positif dan signifikan Knowledge  KNO5 0,758 16,793 Pengaruh positif dan signifikan Knowledge  KNO4 0,739 17,110 Pengaruh positif dan signifikan Skill  SKL4 0,787 18,097 Pengaruh positif dan signifikan Skill  SKL3 0,780 17,159 Pengaruh positif dan signifikan Skill  SKL2 0,709 12,792 Pengaruh positif dan signifikan Skill  SKL5 0,649 8,918 Pengaruh positif dan signifikan Skill  SKL1 0,575 6,732 Pengaruh positif dan signifikan Self Concept  SEL4 0,794 29,380 Pengaruh positif dan signifikan Self Concept  SEL2 0,751 17,383 Pengaruh positif dan signifikan Self Concept  SEL3 0,715 12,448 Pengaruh positif dan signifikan Self Concept  SEL1 0,604 9,291 Pengaruh positif dan signifikan Trait  TRA1 0,839 27,028 Pengaruh positif dan signifikan Trait  TRA2 0,818 19,971 Pengaruh positif dan signifikan Trait  TRA4 0,757 13,975 Pengaruh positif dan signifikan Motive  MOT5 0,787 15,409 Pengaruh positif dan signifikan Motive  MOT3 0,758 16,645 Pengaruh positif dan signifikan Motive  MOT4 0,753 16,161 Pengaruh positif dan signifikan Motive  MOT2 0,745 22,563 Pengaruh positif dan signifikan Motive  MOT1 0,644 9,479 Pengaruh positif dan signifikan Nilai loading indikator motive yang paling besar ditunjukkan oleh indikator MOT5 sebesar 0,787 dengan t-value sebesar 15,409. Hal ini menunjukkan korelasi yang positif dan signifikan. Artinya semakin besar motive yang didapat melalui pelatihan maka karyawan akan semakin termotivasi untuk selalu mengagendakan keselamatan kerja dalam setiap rapat kerja.

4.6.3 Indikator-indikator yang Membentuk Efektivitas Pelatihan

Nilai weight indikator-indikator yang membentuk variabel-variabel efektivitas pelatihan dapat dilihat pada Tabel 20 sebagai berikut: Tabel 20. Nilai outer weight indikator-indikator yang membentuk variabel efektivitas pelatihan Outer Model weight t-value Intepretasi Fasilitas  Reaksi 0,354 4,877 Pengaruh positif dan signifikan Metode  Reaksi 0,351 5,923 Pengaruh positif dan signifikan Instruktur  Reaksi 0,263 3,743 Pengaruh positif dan signifikan Waktu  Reaksi 0,209 3,083 Pengaruh positif dan signifikan Materi  Reaksi 0,102 1,687 Pengaruh positif dan tidak signifikan PEM1  Pembelajaran 0,830 6,436 Pengaruh positif dan signifikan PEM3  Pembelajaran 0,276 0,995 Pengaruh positif dan tidak signifikan PEM2  Pembelajaran 0,100 0,363 Pengaruh positif dan tidak signifikan PER2  Perilaku 0,859 6,383 Pengaruh positif dan signifikan PER1  Perilaku 0,270 1,375 Pengaruh positif dan tidak signifikan PER3  Perilaku -0,010 0,050 Pengaruh negatif dan tidak signifikan HAS1  Hasil 0,681 6,558 Pengaruh positif dan signifikan HAS3  Hasil 0,294 2,779 Pengaruh positif dan signifikan HAS4  Hasil 0,203 2,088 Pengaruh positif dan signifikan HAS2  Hasil 0,058 0,511 Pengaruh positif dan tidak signifikan Berdasarkan tabel di atas diketahui nilai weight indikator reaksi yang paling besar ditunjukkan oleh indikator fasilitas sebesar 0,354 dengan t- value sebesar 4,877. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitas merupakan indikator yang paling positif dan signifikan dalam mengukur reaksi peserta pelatihan. Artinya semakin tinggi fasilitas pelatihan yang tersedia maka karyawan akan semakin puas terhadap program pelatihan. Nilai weight indikator pembelajaran yang paling besar ditunjukkan oleh indikator PEM1 sebesar 0,830 dengan t-value sebesar 6,436. Hal ini menunjukkan bahwa indikator PEM1 memiliki pengaruh yang paling positif dalam membentuk pembelajaran. Artinya semakin bertambahnya pengetahuan karyawan mengenai cara melatih perilaku kerja yang aman maka hasil belajar yang didapat semakin besar. Nilai weight indikator perilaku yang paling besar ditunjukkan oleh indikator PER2 sebesar 0,859 dengan t-value sebesar 6,383. Hal ini menunjukkan bahwa indikator PER2 memiliki pengaruh yang paling positif dan signifikan dalam membentuk perilaku. Artinya semakin besar implementasi materi pelatihan dalam penerapan kerja maka perilaku akan semakin meningkat. Nilai weight indikator hasil ditunjukkan oleh indikator HAS1 sebesar 0,681 dengan t-value sebesar 6,558. Hal ini menunjukkan bahwa indikator HAS1 memiliki pengaruh yang paling positif dan signifikan dalam membentuk hasil. Artinya semakin tinggi produktivitas kerja maka semakin tinggi pula hasil dari suatu pelatihan. Hasil outer weight dapat dilihat pada Lampiran 12. 4.6.4 Pengaruh Reaksi, Pembelajaran, Perilaku, dan Hasil dalam Membentuk Efektivitas Pelatihan Berdasarkan Tabel 21, diketahui besarnya koefisien dan t-value konstruk yang membentuk efektivitas pelatihan. Besarnya koefisien konstruk reaksi terhadap efektivitas pelatihan sebesar 0,742. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi berpengaruh positif terhadap efektivitas pelatihan, yang artinya semakin besar tingkat reaksi atau kepuasan terhadap suatu pelatihan maka akan semakin meningkatkan efektivitas pelatihan. T- value konstruk reaksi terhadap efektivitas pelatihan diketahui sebesar 22,833. Angka tersebut menunjukkan bahwa reaksi berpengaruh secara signifikan dalam membentuk efektivitas pelatihan karena nilai t-value lebih besar dari t tabel t -tabel signifikansi 5 = 1,96. Besarnya koefisien konstruk pembelajaran terhadap efektivitas pelatihan sebesar 0,191. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran berpengaruh positif terhadap efektivitas pelatihan, yang artinya semakin besar tingkat pembelajaran yang didapat melalui pelatihan maka akan semakin meningkatkan efektivitas pelatihan. t-value konstruk pembelajaran terhadap efektivitas pelatihan diketahui sebesar 4,863. Angka tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran berpengaruh secara signifikan dalam membentuk efektivitas pelatihan karena nilai t-value lebih besar dari t tabel . Besarnya koefisien konstruk hasil terhadap efektivitas pelatihan sebesar 0,185. Hal ini menunjukkan bahwa hasil berpengaruh positif terhadap efektivitas pelatihan, yang artinya semakin besar hasil yang didapat melalui pelatihan maka akan semakin meningkatkan efektivitas pelatihan. t- value konstruk hasil terhadap efektivitas pelatihan diketahui sebesar 5,588. Angka tersebut menunjukkan bahwa hasil berpengaruh secara signifikan dalam membentuk efektivitas pelatihan karena nilai t-value lebih besar dari t tabel . Besarnya koefisien konstruk perilaku terhadap efektivitas pelatihan sebesar 0,171. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku berpengaruh positif terhadap efektivitas pelatihan, yang artinya semakin besar perubahan perilaku yang didapat melalui pelatihan maka akan semakin meningkatkan efektivitas pelatihan. t-value konstruk perilaku terhadap efektivitas pelatihan diketahui sebesar 4,090. Angka tersebut menunjukkan bahwa perilaku berpengaruh secara signifikan dalam membentuk efektivitas pelatihan karena nilai t-value lebih besar dari t tabel . Model pengaruh reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil terhadap efektivitas pelatihan memberikan nilai R-square sebesar 0,954. Hal ini dapat diintepretasikan bahwa variabilitas konstruk pelatihan yang dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk reaksi, pembelajaran, perilaku dan hasil sebesar 95,4. Tabel path coefficient selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13. Tabel 21. Nilai koefisien dan t-value konstruk yang membentuk efektivitas pelatihan Konstruk Koefisien t-value R-Square Intepretasi Reaksi  Efektivitas pelatihan 0,742 22,833 0,954 Pengaruh positif dan signifikan Pembelajaran  Efektivitas pelatihan 0,191 4,863 Pengaruh positif dan signifikan Hasil  Efektivitas pelatihan 0,185 5,588 Pengaruh positif dan signifikan Perilaku  Efektivitas pelatihan 0,171 4,090 Pengaruh positif dan signifikan Berdasarkan Tabel 21, koefisien parameter terbesar ditunjukkan oleh konstruk reaksi, sedangkan koefisien parameter terkecil ditunjukkan oleh konstruk perilaku. Hal ini dapat diintepretasikan bahwa konstruk reaksi merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya dalam mengukur efektivitas pelatihan, sedangkan konstruk perilaku merupakan variabel yang paling kecil pengaruhnya dalam mengukur efektivitas pelatihan.

4.6.5 Pengaruh Efektivitas Pelatihan terhadap Kompetensi

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah mengetahui besarnya pengaruh, arah hubungan, serta signifikan atau tidaknya efektivitas pelatihan terhadap kompetensi. Berdasarkan Tabel 22, diketahui besarnya pengaruh efektivitas pelatihan terhadap kompetensi diketahui sebesar 0,744. Hal ini menunjukkan arah hubungan yang positif antara efektivitas pelatihan dengan kompetensi, artinya semakin besar efektivitas pelatihan maka akan semakin meningkatkan kompetensi yang dimiliki karyawan. t-value efektivitas pelatihan terhadap kompetensi diketahui sebesar 16,519. Angka tersebut menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh secara signifikan terhadap kompetensi karyawan. Hal ini dikarenakan nilai t-value lebih besar dari t tabel t tabel signifikansi 5 = 1,96. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis satu H1 yang menyatakan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kompetensi dapat diterima. Tabel 22. Nilai koefisien dan t-value efektivitas pelatihan terhadap kompetensi Konstruk Koefisien t-value R-Square Intepretasi Hipotesis Pelatihan  Kompetensi 0,744 16,519 0,553 Pengaruh positif dan signifikan Terima H1 Model pengaruh efektivitas pelatihan terhadap kompetensi memberikan nilai R-square sebesar 0,553. Hal ini dapat diintepretasikan bahwa variabilitas konstruk kompetensi yang dapat dijelaskan oleh variabilitas konstruk efektivitas pelatihan sebesar 55,3, sedangkan sisanya atau 44,7 dijelaskan oleh variabel lain di luar penelitian ini. Tabel path coefficient selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13.

4.6.6 Pengaruh Efektivitas

Pelatihan terhadap Karakteristik Kompetensi Pada penelitian ini, peneliti juga ingin mengetahui bagaimana pengaruh efektivitas pelatihan terhadap karakteristik-karakteristik kompetensi untuk mengetahui karakteristik kompetensi apa yang paling mencerminkan peningkatan kompetensi. Besarnya pengaruh pelatihan terhadap karakteristik-karakteristik kompetensi dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23. Nilai koefisien dan t-value efektivitas pelatihan terhadap karakteristik-karakteristik kompetensi Konstruk Koefisien t-value R-Square Intepretasi Hipotesis Pelatihan  Knowledge 0,663 14,039 0,794 Pengaruh positif dan signifikan Terima H2 Pelatihan  Self Concept 0,662 14,712 0,792 Pengaruh positif dan signifikan Terima H4 Pelatihan  Skill 0,650 12,760 0,765 Pengaruh positif dan signifikan Terima H3 Pelatihan  Motive 0,630 12,614 0,717 Pengaruh positif dan signifikan Terima H6 Pelatihan  Trait 0,564 10,501 0,564 Pengaruh positif dan signifikan Terima H5 Berdasarkan tabel di atas, besarnya koefisien konstruk efektivitas pelatihan terhadap knowledge sebesar 0,663. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh positif terhadap knowledge, yang artinya semakin besar efektivitas pelatihan maka akan meningkatkan knowledge. t- value konstruk efektivitas pelatihan terhadap knowledge diketahui sebesar 14.039. Angka tersebut menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh secara signifikan terhadap knowledge karena nilai t-value lebih besar dari t tabel t tabel signifikansi 5 = 1,96. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis dua H2 yang menyatakan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap knowledge dapat diterima. Besarnya koefisien konstruk efektivitas pelatihan terhadap self concept sebesar 0,662. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh positif terhadap self concept, yang artinya semakin besar efektivitas pelatihan maka akan meningkatkan self concePT t-value konstruk efektivitas pelatihan terhadap self concept diketahui sebesar 14,712. Angka tersebut menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh secara signifikan terhadap self concept karena nilai t-value lebih besar dari t tabel . Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis empat H4 yang menyatakan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap self concept dapat diterima. Besarnya koefisien konstruk efektivitas pelatihan terhadap skill sebesar 0,650. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh positif terhadap skill, yang artinya semakin besar efektivitas pelatihan maka akan meningkatkan skill. t-value konstruk efektivitas pelatihan terhadap skill diketahui sebesar 12,760. Angka tersebut menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh secara signifikan terhadap skill karena nilai t-value lebih besar dari t tabel . Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis tiga H3 yang menyatakan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap skill dapat diterima. Besarnya koefisien konstruk efektivitas pelatihan terhadap motive sebesar 0,630. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh positif terhadap motive, yang artinya semakin besar efektivitas pelatihan maka akan meningkatkan motive. t-value konstruk efektivitas pelatihan terhadap motive diketahui sebesar 12,614. Angka tersebut menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh secara signifikan terhadap motive karena nilai t-value lebih besar dari t tabel . Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis lima H5 yang menyatakan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap motive dapat diterima. Besarnya koefisien konstruk efektivitas pelatihan terhadap trait sebesar 0.564. Hal ini menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh positif terhadap trait, yang artinya semakin besar efektivitas pelatihan maka akan meningkatkan trait. t-value konstruk efektivitas pelatihan terhadap trait diketahui sebesar 10.501. Angka tersebut menunjukkan bahwa efektivitas pelatihan berpengaruh secara signifikan terhadap trait karena nilai t-value lebih besar dari t tabel . Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hipotesis enam H6 yang menyatakan pelatihan berpengaruh positif dan signifikan terhadap trait dapat diterima.

4.7. Implikasi Manajerial

Implikasi manajerial yang disarankan kepada para pengambil kebijakan strategis di PT Tirta Investama Depo Kawasan dalam meningkatkan efektivitas pelatihan dan kompetensi karyawan adalah sebagai berikut: 1. Sebaiknya PT Tirta Investama Depo Kawasan lebih komprehensif dalam mengukur efektivitas sebuah pelatihan, yaitu berdasarkan level reaksi, level pembelajaran, level perilaku, dan level hasil. Selama ini PT Tirta Investama Depo Kawasan dalam mengukur efektivitas sebuah pelatihan hanya berdasarkan hasil atau outcomenya saja. Hal ini bertujuan agar penyelenggara pelatihan dapat mengidentifikasi area perbaikan atau peningkatan dilihat dari segi kepuasan karyawan terhadap pelaksanaan pelatihan, nilai tambah apa yang didapat karyawan, bagaimana perubahan perilaku yang terjadi, dan pencapaian sasaran pelatihan. Hal ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa pencapaian organisasi secara keseluruhan disebabkan oleh pelatihan yang telah berjalan efektif, bukan faktor keberuntungan. 2. Keberhasilan program WISE sangat ditentukan oleh peran manajer lini, padahal masing-masing leader memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda- beda dalam berkomunikasi dan memotivasi bawahannya. Peneliti memberikan masukan sebaiknya dalam waktu dekat diselenggarakan pelatihan lanjutan berupa management training. Management training bertujuan agar manajer lini semakin kompeten dalam menjalankan fungsi- fungsi manajerialnya seperti merumuskan strategi apa yang paling tepat, bagaimana cara berkomunikasi yang efektif, dan bagaimana cara memotivasi bawahan yang progresif.

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut: 1. Efektivitas pelatihan diukur berdasarkan empat indikator yaitu reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil. Dari hasil analisis deskriptif dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pelatihan sudah sangat efektif. Dari hasil analisis Path Modeling Partial Least Square dapat disimpulkan bahwa variabel yang paling dominan dalam membentuk efektivitas pelatihan adalah reaksi. Indikator yang paling membentuk reaksi kepuasan peserta adalah fasilitas pelatihan. Indikator yang paling membentuk hasil belajar adalah manajer lini semakin mengetahui strategi untuk melatih perilaku kerja yang aman kepada bawahannya. Indikator yang paling membentuk perubahan perilaku adalah manajer lini senantiasa memotivasi bawahannya untuk menghindari kecelakaan kerja. Indikator yang paling membentuk pencapaian hasil pelatihan adalah peningkatan produktivitas kerja. 2. Tingkat kompetensi dibagi ke dalam lima karakteristik, yaitu knowledge, skill, self concept, trait, dan motive. Dari hasil analisis deskriptif dapat disimpulkan bahwa tingkat kompetensi yang dimiliki karyawan setelah mengikuti pelatihan sudah sangat baik. Dari hasil analisis Path Modeling Partial Least Square dapat disimpulkan bahwa knowledge merupakan karakteristik kompetensi yang paling dipengaruhi oleh efektivitas pelatihan. Indikator yang paling mencerminkan knowledge adalah manajer lini semakin mengetahui prosedur perilaku kerja yang aman. Indikator yang paling mencerminkan skill adalah manajer lini semakin mampu memberikan tanggapan ketika berdiskusi tentang keselamatan kerja. Indikator yang paling mencerminkan self concept adalah manajer lini semakin teliti dengan selalu mengecek ulang hasil pekerjaan. Indikator yang paling mencerminkan trait adalah manajer lini semakin mampu mengendalikan emosi. Indikator yang paling mencerminkan motive adalah manajer lini semakin terdorong untuk selalu mengagendakan keselamatan kerja dalam rapat-rapat kerja.