Macro minitab adalah perintah atau rangkaian perintah yang membentuk fungsi tertentu biasanya lebih khusus dan tidak disediakan oleh minitab. Untuk
membuat macro minitab sangat beragam caranya namun umumnya dibuat dengan text editor seperti notepad karena Minitab tidak menyediakan window tersendiri
untuk membuat macro. Tujuan pembuatan macro minitab pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan analisis data yang kompleks dan perlu algoritma tertentu
yang tidak terdapat pada fasilitas minitab. Proses konversi data dilakukan dengan penggunaan program macro-Minitab pada software Minitab 15 for Windows.
Caranya yaitu dengan mengetikkan perintah pemanggilan program macro-Minitab pada jendela perintah session.
3.11. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah terkumpul yang berasal dari hasil penyebaran dan pengujian kuesioner kepada responden, kemudian diolah, ditabulasi dan dianalisis. Alat
analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan rataan skor dan analisis regresi sederhana dengan terlebih dahulu melakukan uji
asumsi dasar.
3.11.1 Analisis Deskriptif dengan Rataan Skor
Menurut Traver diacu dalam Umar 2005, Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui persepsi karyawan dalam menilai tiap-tiap
item subjek atau variabel yang dianalisis. Langkah analisis ini dimulai dengan menentukan skor maksimum dan minimum yang diperoleh dari data
penelitian untuk masing-masing kriteria kemudian menghitung rentang skala untuk masing-masing kriteria tersebut dan ditarik kesimpulan. Adapun
perhitungan untuk rentang skala menurut Umar 2005, sebagai berikut: RS
=
−1
…………………………………………………. 4 keterangan:
RS = Rentang skala atau rentang kriteria m = Jumlah alternatif jawaban tiap item
n = Jumlah responden
Tabel 3. Skala rataan skor Skala
Pernyataan Jawaban Interpretasi Hasil
1,00-1,75 Sangat tidak setuju
Sangat Tidak BaikEfektif 1,76-2,50
Tidak setuju Tidak BaikEfektif
2,51-3,25 Setuju
BaikEfektif 3,26-4,00
Sangat setuju Sangat BaikEfektif
Berdasarkan Tabel 3, responden-responden yang memiliki skor nilai yang sama untuk setiap item pertanyaan dikelompokkan berdasarkan
kategori jawaban satu sampai empat 1 –4, lalu dihitung jumlah dan
rataannya. Kesimpulan tiap indikator diambil berdasarkan rataan skor dari setiap rataan jawaban responden yang telah dihitung.
3.11.2 Analisis Path Modeling Partial Least Square
Menurut Ghozali 2008, Path Modeling Partial Least Square merupakan pendekatan alternatif yang bergeser dari pendekatan SEM
berbasis kovarian menjadi berbasis varian. Metode Path Modeling Partial Least Square merupakan metode yang sangat kuat karena tidak didasarkan
oleh banyak asumsi, data tidak harus terdistribusi dengan normal multivariat dan sampel tidak harus besar. Pengolahan Path Modeling Partial Least
Square dalam penelitian menggunakan bantuan software SmartPLS 2.0. Model Path Modeling Partial Least Square pada penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 5.
Gambar 5. Model Path Modeling Partial Least Square
Path Modeling Partial Least Square dapat menganalisis konstruk yang dibentuk dengan indikator refleksif dan formatif, hal ini tidak mungkin
dilakukan oleh SEM. Model reflektif merupakan principal factor model dimana pengukuran indikator mencerminkan variasi dari konstruk laten
sedangkan model formatif menunjukkan ukuran variabel konstruk laten yang dibentuk oleh indikator-indikatornya.
Berdasarkan Gambar 5, diketahui variabel-variabel yang membentuk efektivitas pelatihan terdiri dari empat level yaitu level reaksi,
pembelajaran, perilaku, dan hasil. Variabel-variabel ini bersifat formatif. Artinya penilaian terhadap reaksi, pembelajaran, perilaku, dan hasil
menyebabkan terbentuknya efektivitas pelatihan. Variabel konstruk dan variabel indikator yang membentuk efektivitas pelatihan dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Variabel-variabel formatif
yang membentuk efektivitas
pelatihan
Konstruk Indikator
Keterangan
Reaksi X
1
Materi Kepuasan terhadap materi pelatihan
Instruktur Kepuasan terhadap kualitas instruktur Metode
Kepuasan terhadap metode pelatihan Waktu
Kepuasan terhadap waktu pelatihan Fasilitas
Kepuasan terhadap fasilitas pelatihan Pembelajaran
X
2
PEM1 Mengetahui strategi untuk melatih bawahan agar
berperilaku kerja yang aman PEM2
Perubahan cara pandang bahwa kecelakaan dapat dicegah
PEM3 Perubahan cara pandang bahwa tidak ada toleransi
terhadap kecelakaan kerja
Perilaku X
3
PER1 Mampu mengimplementasikan materi yang didapat
PER2 Senantiasa memotivasi bawahan untuk menghindari
kecelakaan kerja PER3
Berani memberikan sanksi kepada bawahan yang tidak mematuhi standard keselamatan kerja
Hasil X
4
HAS1 Meningkatkan produktivitas kerja
HAS2 Meningkatkan efisiensi kerja
HAS3 Meningkatkan kualitas kerja
HAS4 Mengurangi kecelakaan kerja
Variabel-variabel yang mencerminkan tingkat kompetensi setelah dipengaruhi oleh pelatihan terdiri dari knowledge, skill, self concept, trait,
dan motive. Model variabel-variabel ini bersifat reflektif dan dapat dilihat indikator-indikatornya pada Tabel 5.
Tabel 5. Variabel-variabel reflektif yang mencerminkan kompetensi karyawan
Konstruk Indikator
Keterangan
Knowledge Y
1
KNO1 Semakin menyadari bahwa keselamatan kerja
merupakan tanggung jawab manajer lini KNO2
Semakin mengetahui prosedur perilaku kerja yang aman
KNO3 Semakin mengetahui potensirisiko bahaya yang
mungkin terjadi KNO4
Semakin mengetahui cara menanggulangi risiko yang telah terjadi
KNO5 Semakin memahami bahwa tindakan preventif
adalah solusi yang terbaik
Skill Y
2
SKL1 Mampu menjadi role model dalam berperilaku
kerja yang aman di unitnya SKL2
Mampu memotivasi bawahan untuk selalu menerapkan standard keselamatan kerja
SKL3 Mampu mengkomunikasikan informasi terkait
permasalahan keselamatan kerja dengan jelas SKL4
Mampu memberi feedbacktanggapan ketika berdiskusi tentang masalah keselamatan kerja
SKL5 Memiliki hasrat mendengar yang lebih kuat terkait
dengan permasalahan keselamatan kerja
Self Concept
Y
3
SEL1 Menjadi lebih sistematis dalam mempraktekkan
prosedur kerja SEL2
Semakin percaya diri dalam mencapai nihil kecelakaan
SEL3 Semakin disiplin dalam menjalankan standard
keselamatan kerja SEL4
Selalu mengecek ulang pekerjaan yang telah dilakukan untuk menghindari potensi kesalahan
Trait Y
4
TRA1 Dapat lebih mengontrol emosi
TRA2 Dapat lebih memberikan perhatian terhadap
permasalahan keselamatan kerja TRA3
Menjadi lebih tegas dalam memberikan sanksi TRA4
Menjadi lebih transparan dalam memberikan laporanaudit kecelakaan kerja
Motive Y
5
MOT1 Semakin tertantang untuk memikul tanggung
jawab yang lebih besar MOT2
Semakin terdorong untuk meningkatkan kesadaran unit kerja akan pentingnya keselamatan kerja
MOT3 Semakin termotivasi untuk membangun hubungan
yang positif
antara peningkatan
kinerja operasional dan keselamatan kerja di unit kerja
saya MOT4
Menjadi lebih berinisiatif untuk mengantisipasi kesalahan kerja yang mungkin terjadi
MOT5 Terdorong
untuk selalu
mengagendakan keselamatan kerja dalam rapat-rapat kerja
Dinyatakan oleh Wold yang diacu dalam Ghozali 2008 tujuan dari Path Modeling Partial Least Square adalah memprediksi suatu model dan
mengkonfirmasi teori yang telah ada. Estimasi parameter yang didapat dengan Path Modeling Partial Least Square dapat dikategorikan menjadi
tiga. Pertama, adalah weight estimate yang digunakan untuk menciptakan skor variabel laten. Kedua, mencerminkan estimasi jalur yang
menghubungkan variabel laten dan loading antar variabel laten dan indikatornya. Ketiga, berkaitan dengan means dan lokasi parameter nilai
konstanta regresi untuk indikator dan variabel laten. Pada metode Path Modeling Partial Least Square dikenal dua evaluasi model yaitu sebagai
berikut : Pertama, model pengukuran atau outer model. Outer model adalah
model pengukuran yaitu hubungan antara indikator dengan konstruknya. Pada model reflektif, dilakukan tiga pengujian untuk menentukan validitas
dan reliabilitas, yaitu convergent validity, discriminant validity, dan composite reliability. Convergent validity dari model pengukuran dengan
model reflektif indikator dinilai berdasarkan korelasi antara item scorecomponent score dengan construct score yang dihitung dengan Path
Modeling Partial Least Square. Ukuran reflektif dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0,70 dengan konstruk yang ingin diukur. Namun
demikian untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran nilai loading 0,5 sampai 0,60 dianggap cukup Chin diacu dalam Ghozali,
2008. Pada penelitian ini variabel indikator atau manifest dikatakan valid apabila nilai loading di atas 0,5. Discriminant validity dari model
pengukuran dengan reflektif indikator dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item
pengukuran lebih besar daripada ukuran konstruk lainnya, maka akan menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi ukuran pada blok yang
lebih baik daripada ukuran blok lainnya. Uji lainnya adalah menilai validitas dari konstruk dengan melihat nilai AVE, syarat untuk model yang baik
adalah nilai AVE masing-masing konstruk lebih besar dari 0,50. Di samping uji validitas, dilakukan juga uji reliabilitas konstruk menggunakan
composite reliability. Composite reliability digunakan untuk mengukur internal consistency. Konstruk dinyatakan reliabel jika nilai composite
reliability di atas 0,70 dengan tingkat kesalahan sebesar 5 Werts, Linn, dan Joreskog diacu dalam Ghozali, 2008. Oleh karena diasumsikan pada
model formatif antar indikator tidak saling berkorelasi, maka ukuran internal konsistensi reliabilitas tidak diperlukan untuk menguji reliabilitas konstruk
formatif Ghozali 2008. Hal ini berbeda dengan indikator refleksif yang menggunakan tiga kriteria untuk menilai outer model, yaitu convergent
validity, composite reliability dan discriminant validity. Konstruk formatif pada dasarnya merupakan hubungan regresi dari indikator ke konstruk,
evaluasinya berdasarkan pada substantive content yaitu dengan membandingkan besarnya relatif weight dan melihat signifikansi dari ukuran
weight tersebut. maka cara menilainya adalah dengan melihat nilai koefisien regresi dan signifikansi dari koefisien regresi tersebut.
Kedua, model struktural atau inner model. Inner model menggambarkan hubungan antara variabel laten berdasarkan pada teori
substantif. Model struktural dievaluasi dengan menggunakan R-square untuk konstruk dependen dan uji t untuk menentukan signifikansi dari
koefisien parameter jalur struktural. Menilai model dengan Path Modeling Partial Least Square dimulai dengan melihat R-square untuk setiap variabel
laten dependen. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada regresi. Perubahan nilai R-square dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel
laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah mempunyai pengaruh yang substantif Ghozali, 2008.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Perusahaan
4.1.1 Profil Singkat PT Tirta Investama
Aqua lahir atas ide almarhum Tirto Utomo 1930-1994. Beliau menggagas lahirnya industri air minum dalam kemasan AMDK di
Indonesia melalui PT Golden Mississippi pada tanggal 23 Pebruari 1973. Kegiatan fisik perusahaan dimulai pada bulan Agustus 1973, ditandai
dengan pembangunan pabrik di kawasan Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat. Percobaan produksi dilaksanakan pada bulan Agustus 1974 dan produk
komersil dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1974 dengan kapasitas produksi 6 juta liter setahun. Produk pertamanya adalah Aqua botol kaca 950 ml yang
kemudian disusul dengan kemasan Aqua 5 galon, pada waktu itu juga masih terbuat dari kaca.
Tahun 1974 hingga tahun 1978 merupakan masa-masa sulit karena masih rendahnya tingkat permintaan masyarakat terhadap produk Aqua.
Dengan berbagai upaya dan kerja keras, Aqua mulai dikenal masyarakat, sehingga penjualan dapat ditingkatkan dan akhirnya titik impas berhasil
dicapai pada tahun 1978. Saat itu merupakan titik awal perkembangan pesat produk Aqua yang selanjutnya terus berkembang hingga sekarang.
Semula produk Aqua ditujukan untuk masyarakat golongan menengah atas, baik perkantoran maupun rumah tangga dan restoran. Namun, saat ini
dikenal berbagai jenis kemasan baru: 1.500 ml, 500 ml, 220 ml, dari kemasan plastik mulai diproduksi sejak 1981, maka produk Aqua dapat
terjangkau oleh masyarakat luas, karena mudahnya transportasi dan harga terjangkau.
Diterimanya Aqua oleh masyarakat luas dan wilayah penjualan yang telah menjangkau seluruh pelosok Indonesia, maka Aqua harus segera
meningkatkan kapasitas produksinya. Untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat itu, lisensi untuk memproduksi Aqua diberikan
kepada PT Tirta Jayamas Unggul di Pandaan, Jawa Timur pada tahun 1984 dan Tirta Dewata Semesta di Mambal, Bali pada tahun 1987. Hal yang sama