BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Corporate Social Responsibility CSR
Corporate Social Responsibility CSR telah ada sejak abad ke-17 dan
terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Pada awal kemunculannya di tahun 1970-an, konsep CSR telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan
sejak lama. Kode Hammurabi 1700-an SM yang berisi 282 hukum telah memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau
menyebabkan kematian bagi pelanggannya. Potensi dampak negatif dari kegiatan usaha telah menjadi perhatian pembuat kebijakan sejak dahulu. Tahun 1940-an
istilah community development atau pengembangan masyarakat dipergunakan di Inggris, tepatnya pada tahun 1948. Pengembangan masyarakat merupakan
pendekatan alternatif berbasis komunitas yang dapat melibatkan pemerintah, swasta, ataupun lembaga-lembaga non-pemerintah. Pengembangan masyarakat
tidak hanya menjadi kebutuhan masyarakat, namun juga menjadi kebutuhan bagi perusahaan. Manajer perusahaan tidak hanya bertanggung jawab terhadap
kepentingan perusahaan tetapi juga memiliki kepentingan pada masyarakat yang lebih luas dan lingkungan
10
. Tahun 1950-an menjadi masa konsep CSR modern. Konsep CSR
dikemukakan oleh Howard R Bowen dalam Solihin 2009 melalui karyanya yang diberi judul “ Social Responsibilities of The Businessman”. Dua hal yang menjadi
perhatian mengenai CSR pada era tersebut, yaitu pada saat itu dunia bisnis belum mengenal dunia korporasi sebagaiman kita saat ini dan judul buku Bowen saat itu
masih menyiratkan bias gender karena para pelaku bisnis didominasi oleh kaum laki-laki businessman.
10
[CSR Jawa Timur]. T.t. Sejarah CSR. [Internet]. [diunduh 30 Maret 2011]. Format Ukuran: PDF 278 KB. Dapat diunduh dari: http:csrjatim.org2datasejarah-csr.pdf
Tanggung jawab sosial didefinisikan oleh Bowen dalam Solihin 2009 sebagai:
“The obligations of businessman to pursue those policies, to make those decisions, or to follow those lines of action which
are desireable in terms of the objectives and values of our society”.
Tahun 1960-an, Keith Davis menegaskan adanya tanggung jawab sosial perusahaan diluar tanggung jawab ekonomi. Tahun 1970-1980-an, para pimpinan
perusahaan terkemuka di Amerika serta para peneliti membentuk Commite for Economic Development
CED. CED membagi tanggung jawab sosial perusahaan ke dalam tiga lingkaran tanggung jawab, yaitu inner circle of responsibilities:
tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi ekonomi, intermediate circle responsibilities
: tanggung jawab melaksanakan fungsi ekonomi dan secara bersamaan juga peka terhadap nilai-nilai atau prioritas sosial, dan outer circle of
responsibilities : mencakup kewajiban perusahaan dalam meningkatkan kualitas
lingkungan sosial. Tahun 1992, diadakan Earth Summit yang dilaksanakan di Rio de Janeiro. Earth Summit dihadiri oleh 172 negara dengan tema utama
“Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan”. Pertemuan tersebut menghasilkan Agenda 21, Deklarasi Rio dan beberapa kesepakatan lainnya. Hasil
akhir dari pertemuan tersebut secara garis besar menekankan pentingnya eco- efficiency
dijadikan sebagai prinsip utama dalam berbisnis dan menjalankan pemerintahan
11
.
Definisi CSR menurut Sukada et al. 2007 adalah “Segala upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan
berkelanjutan berdasar keseimbangan pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak-dampak
positif di setiap pilar”. Definisi CSR menurut ISO 26000 adalah:
“Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the enviroment throught
transparent and ethical behaviour that is consistent with sustainable development and welfare of society; tasks into
11
Ibid.
account the expectation of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent international norms of behaviour;
and is integrated throughout the organization”.
Tingkatan tanggung jawab yang dilakukan oleh perusahaan korporat menurut Carroll dan Wood 1991 dalam Zainal 2006 adalah sebagai berikut
ini: Tabel 1
Tingkatan Tanggung Jawab Perusahaan Tingkatan Level
Uraian Level Ekonomi
Dimana perusahaan bertanggung jawab untuk memproduksi barang dan jasa sesuai dengan keinginan
masyarakat, dan menjualnya kepada masyarakat dengan motif profit.
Level Legalitas Perusahaan mematuhi semua peraturan dan kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah contoh: pajak, regulasi. Level Etika
Perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi keinginan dan ekspektasi dari masyarakat terhadap bisnis
yang dijalankannya, melebihi apa yang seharusnya dilakukan perusahaan dalam memenuhi tanggung jawab
legalitasnya.
Level Keterbukaan Perusahaan melakukan tanggung jawabnya melebihi dari
apa yang diinginkan masyarakat, dan menganggap perusahaan adalah bagian dari komunitas.
Dua tahapan pertama banyak terjadi pada era tahun 1970 dan 1980 dimana perusahaan hanya mementingkan dan mengutamakan pada aspek ekonomi dan
legalitas dalam pemenuhan tanggung jawabnya. Pendekatan ini sering disebut juga sebagai pendekatan corporate philantrophy, yaitu pelaksanaan CSR oleh
perusahaan hanya sebatas dalam bentuk derma atau charity yang diberikan oleh perusahaan kepada komunitas lokal di sekitar perusahaan. Pada era 1990, arah
tanggung jawab perusahaan beralih ke inisiatif perusahaan itu sendiri untuk melakukan CSR yang mengedepankan etika.
Triple Bottom Line merupakan tiga prinsip dasar yang terdapat dalam
CSR. Istilah ini dipopulerkan oleh Jhon Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business ”. Triple bottom line, meliputi economic prosperity, enviromental quality,
dan social justice Wibisono, 2007. Ketiga prinsip tersebut 3P: People, Planet, Profit
saling bersinergi satu sama lain.
Sumber: Wibisono 2007.
Gambar 1 Triple Bottom Line Profit
atau ekonomi menjadi salah satu aspek terpenting dan menjadi tujuan dalam setiap kegiatan usaha karena merupakan tanggung jawab ekonomi
yang paling esensial terhadap para pemegang saham. People atau sosial merupakan tanggung jawab sosial dari perusahaan terhadap masyarakat. Planet
atau lingkungan menjadi salah satu tanggung jawab perusahaan atas dampak negatif dari operasi perusahaannya terhadap lingkungan.
Menurut Wibisono 2007, terdapat empat tahapan penerapan CSR, yaitu: 1 Tahap perencanaan: tahapan awal dari penerapan CSR, langkah-langkah
yang biasa dilakukan pada tahapan ini antara lain menetapkan visi, misi, tujuan, kebijakan CSR, merancang struktur organisasi, menyediakan SDM,
merencanakan program operasional, membuat wilayah, dan mengelola dana. Tahapan ini terdiri atas tiga langkah utama, yaitu awareness building, CSR
assesement , dan CSR manual building; 2 Tahap implementasi: tahapan ini terdiri
atas tiga langkah, yaitu sosialisasi, implementasi, dan internalisasi. Sosialisasi merupakan tahap memperkenalkan kepada komponen perusahaan mengenai
berbagai aspek yang terkait dengan implementasi CSR. Implementasi kegiatan dilakukan sejalan dengan pedoman CSR yang ada. Internalisasi adalah tahap
jangka panjang yang mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan CSR di dalam seluruh proses bisnis perusahaan; 3 Tahap evaluasi: tahap ini merupakan
tahap yang perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur Sejauhmana efektivitas penerapan CSR; dan 4 Tahap pelaporan: tahap pelaporan
Ekonomi Profit Lingkungan Planet
Sosial People
diterapkan untuk membangun sistem informasi material dan relevan mengenai perusahaan.
Pengembangan masyarakat community development merupakan salah satu upaya bagi perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan. Pengembangan masyarakat dalam CSR melibatkan berbagai stakeholders
dan shareholders dalam implementasinya. Menurut Princes of Wales Foundation
dalam Untung 2008 ada lima hal penting yang dapat mempengaruhi implementasi CSR, yaitu 1 menyangkut human capital atau pemberdayaan
manusia, 2 environments lingkungan, 3 good corporate governance, 4 social cohesion
, yaitu pelaksanaan CSR jangan sampai menimbulkan kecemburuan sosial, 5 economic strenght atau memberdayakan lingkungan menuju
kemandirian di bidang ekonomi. Peningkatan ekonomi masyarakat lokal adalah konsentrasi CSR pada
eksternal stakeholders. Dengan meningkatkan kemampuan ekonomi komunitas
sekitar perusahaan, maka perusahaan telah turut berpartisipasi mengurangi kemiskinan yang merupakan tujuan pertama yang tercantum dalam MDGs.
Pemberdayaan ekonomi lokal berarti memampukan masyarakat sekitar agar dapat mandiri secara ekonomi atau setidak-tidaknya memberikan pemacu agar terjadi
perkembangan ekonomi di daerah tersebut. Pembangunan ekonomi lokal dapat digolongkan dalam penyediaan modal manusia human capital dalam bentuk
pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, usaha business capital dapat dalam bentuk pemberian mesin dan peralatan, serta pengetahuan knowledge capital
dalam bentuk pemberian pengetahuan Radyati, 2008. Menurut Hubeis 2010, pemanfaatan dana CSR dalam konteks ekonomi makro merupakan sarana cerdas
dan tangguh dalam memberdayakan perempuan menuju ketahanan ekonomi keluarga melalui pendidikan dan model PENDANAAN PLUS Pelatihan dan
Pendampingan Usaha. Pemberdayaan ekonomi lokal menjadi salah satu program CSR PT Holcim Indonesia Tbk melalui pelaksanaan Baitul Maal wa Tamwil
Swadaya Pribumi.
2.1.2 Baitul Maal wa Tamwil