Tren yang fluktuatif juga terjadi pada perkembangan X-eff industri rokok putih. Nilai efisiensinya sering melebihi angka 100 persen di beberapa titik tahun
analisis. Pencapaian tertinggi terjadi pada saat krisis 1999. Nilainya bahkan mencapai angka sebesar 531,61 persen. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan
pencapaian tertinggi pada industri rokok kretek. Hal ini terjadi karena besarnya kekuatan modal yang dimiliki oleh produsen-produsen rokok putih sehingga tidak
terpengaruh oleh adanya krisis. Secara umum, rata-rata X-eff industri rokok putih lebih tinggi
dibandingkan dengan X-eff industri rokok kretek. X-eff industri rokok putih memiliki nilai yang sangat besar dengan rata-rata pertumbuhan senilai 188,99
persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa industri rokok putih sangat mampu dalam meminimumkan biaya input produksi. Industri dalam konteks yang
demikian pada akhirnya dikatakan sebagai industri yang berkinerja sangat efisien.
5.3. Analisis Perilaku Industri Rokok di Indonesia
5.3.1 Strategi Harga
Setiap produsen dalam industri tentu memiliki strategi dalam hal penetapan harga. Khusus untuk industri rokok, penetapan harga tidak dapat
ditentukan sendiri oleh produsen. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 203PMK. 0112008, pemerintah menetapkan Harga Jual Eceran HJE rokok
sebagai dasar pengenaan cukai rokok. HJE sebenarnya tidak harus menjadi Harga Transaksi Pasar HTP. Harga Transaksi Pasar merupakan besaran harga transaksi
penjualan yang terjadi pada tingkat konsumen akhir. Berikut akan dijelaskan mengenai ketentuan harga dalam industri rokok.
Tabel 5.5. Perbandingan HJE dan HTP Industri Rokok, Tahun 2008
Jenis Golongan HJE
Minimum Perbatang
HTP Minimum
Perbatang HTPHJE
Rata-rata HTPHJE
SKM I 600
460 76,7
69,2 II 374
250 66,8
SPM I 375
275 73,3
II 217 142
65,4 SKT
I 520 400
76,9 II 336
241 71,7
III 234 125
53,4 Sumber : Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, 2009 berdasarkan PMK 203PMK0112008
Keterangan : - HJE Minimum Berdasarkan - HTP Minimum berdasarkan olahan data Monitoring HJE
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di atas, didapatkan bahwa HTP untuk setiap jenis rokok dan golongan produksinya lebih
rendah dari HJE yang ditetapkan oleh pemerintah. Rata-rata HTP-nya hanya berkisar 69 persen dari HJE. Penetapan HTP pada jenis rokok SPM cenderung
lebih rendah dibandingkan dengan jenis rokok SKM maupun SPT. Hal ini diduga karena produsen rokok putih berusaha untuk menarik perhatian pasar supaya
selera konsumen segera beralih pada rokok putih. Penetapan harga yang demikian murah merupakan salah satu strategi untuk mencapai tingkat keuntungan yang
jauh lebih tinggi dibandingkan dengan produksi sebelumnya, dengan asumsi konsumsi meningkat. Adapun perbedaan yang paling signifikan terdapat pada
rokok Sigaret Kretek Tangan SKT Golongan III. Pada jenis rokok tersebut, HTP-nya hanya bernilai 53 persen dari HJE. Hal ini menunjukkan bahwa
produsen rokok menanggung sebagian beban cukai rokok yang seharusnya ditanggung oleh perokok, sehingga konsumsi justru semakin tidak menurun.
Adapun golongan pengusaha pabrik hasil tembakau dijelaskan dalam Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Golongan Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau
No. Urut
Pengusaha Pabrik Batasan Jumlah Produksi Pabrik
Jenis Golongan
1 SKM I
Lebih dari 2 miliar batang II
Tidak lebih dari 2 milyar batang 2 SPM
I Lebih dari 2 miliar batang
II Tidak lebih dari 2 milyar batang
3 SKT I
Lebih dari 2 miliar batang II
Lebih dari 500 juta batang tetapi tidak lebih dari 2 milyar batang
II Tidak lebih dari 500 juta batang
Sumber : Peraturan Menteri Keuangan No. 203PMK. 0112008
5.3.2. Strategi Promosi