Analisis Hambatan Masuk Industri

Tren CR4 yang terus menurun ternyata berpengaruh terhadap tingkat oligopoli dari industri rokok kretek tersebut. Jika dilihat berdasarkan tingkat konsentrasinya, maka industri rokok kretek perlahan-lahan mulai berubah dari tingkat oligopoli ketat 84,29 persen menuju ke oligopoli sedang 52,65 persen. Adanya gejala penurunan tingkat konsentrasi ini menunjukkan bahwa tingkat persaingan dalam industri semakin tinggi. Persaingan dapat disebabkan oleh banyaknya produsen baru yang masuk dan menjadi pesaing dari produsen lama. Kondisi ini terjadi karena upaya produsen baru untuk memasuki industri rokok kretek relatif mudah. Adapun CR4 untuk industri rokok putih cenderung lebih stabil jika dibandingkan dengan industri rokok kretek. Angka konsentrasi pada industri rokok putih hanya sedikit mengalami penurunan dari 91,60 persen 1991 menjadi 83,50 persen 2008. Rata-rata CR4 rokok putih juga lebih besar dari rata-rata CR4 rokok kretek. Rata-ratanya mencapai 94,75 persen, jauh lebih tinggi dari rata-rata CR4 rokok kretek yang hanya sebesar 73,74 persen. Besarnya rata-rata konsentrasi rasio ini mencerminkan bahwa tingkat persaingan dalam industri rokok putih relatif rendah. Industri rokok putih dalam hal ini masih tetap bertahan pada struktur oligopoli ketat.

5.1.2. Analisis Hambatan Masuk Industri

Struktur industri juga dapat dianalisis berdasarkan hambatan masuk pasarnya. Sejumlah produsen yang keluar masuk pasar, akan mempengaruhi produsen-produsen lain yang telah ada sebelumnya. Pengaruh tersebut dapat bersifat negatif apabila perusahaan lama tidak dapat bertahan, sehingga akan menurunkan tingkat keuntungan yang didapat. Pada praktiknya, yang seringkali terjadi adalah perusahaan baru sulit melakukan penetrasi pasar karena terhalang oleh kekuatan perusahaan lama yang selama ini memang sudah sangat besar. Ukuran yang digunakan untuk menganalisis hambatan masuk industri adalah dengan Pendekatan Minimum Efficiency Scale MES. Nilai MES diperoleh dengan cara membagi nilai output perusahaan terbesar dengan nilai output total dalam industri. Berdasarkan Tabel 5.2., terdapat perubahan tren nilai MES pada industri rokok kretek. Perubahan tersebut ditunjukkan dengan adanya tren yang menurun dari 83,66 persen 1991 menjadi 48,06 persen 2008. Perubahan ini terjadi hampir setengah kali lipat dari nilai MES yang dicapai pada awal tahun analisis. Fluktuasi kemudian terjadi pada pertengahan periode dengan rata-rata nilai MES lebih dari 70 persen. Nilai MES yang terus menurun mengindikasikan bahwa hambatan masuk industri rokok kretek semakin rendah. Berbeda dengan industri rokok kretek, nilai MES pada industri rokok putih cenderung stabil. Nilai MES pada industri ini memiliki kisaran angka lebih dari 90 persen setiap tahunnya. Perubahan yang terjadi relatif kecil, yaitu dari 91,61 persen 1991 menjadi 90,01 persen 2008. Menurut Comanor dan Wilson 1967 dalam Fathan 2010, MES yang lebih dari 10 persen menggambarkan hambatan masuk yang tinggi pada suatu industri. Secara umum, rata-rata nilai MES untuk industri rokok putih 95,17 persen lebih tinggi dibandingkan dengan nilai MES pada industri rokok kretek 72,17 persen. Semakin tinggi nilai MES, maka semakin tinggi pula hambatan masuk dalam industri rokok putih. Tabel 5.2. MES Industri Rokok, Tahun 1991-2008 Tahun Rokok Kretek Rokok Putih Total Output 000 Rupiah MES Total Output 000 Rupiah MES 1991 4.758.451.245 83,66 399.299.776 91,61 1992 6.669.896.563 81,83 444.351.443 91,01 1993 7.679.163.534 76,39 517.574.825 91,53 1994 8.882.166.033 75,56 697.560.281 93,74 1995 10.686.003.560 76,97 799.879.661 91,56 1996 12.435.988.435 77,73 989.327.551 91,30 1997 13.894.206.000 78,91 1.159.660.000 94,44 1998 20.110.606.589 70,30 2.802.896.641 97,19 1999 27.626.901.917 78,67 3.118.800.205 97,91 2000 30.496.671.440 77,02 2.471.117.810 94,83 2001 42.139.967.696 59,40 17.344.672.662 98,97 2002 49.230.370.894 71,48 2.002.864.562 98,76 2003 48.239.051.021 71,93 3.037.584.944 93,92 2004 43.722.698.028 73,70 2.370.730.094 98,02 2005 52.885.618.893 71,65 4.192.891.624 99,23 2006 60.666.487.573 70,28 7.883.647.883 99,64 2007 83.208.418.450 55,51 3.770.564.515 99,37 2008 108.814.918.450 48,06 4.604.755.667 90,01 Rata-rata 35.119.310.351 72,17 3.256.010.008 95,17 Sumber : BPS 1991-2008 Meningkatnya jumlah produsen rokok kretek menunjukkan bahwa, industri ini tidak memiliki hambatan masuk yang terlalu tinggi. Namun demikian, hal ini tergantung dari skala perusahaan yang menerapkan hambatan masuk tersebut. Jenis perusahaan rokok kretek sendiri dibagi menjadi dua, yaitu perusahaan nasional dan perusahaan lokal. Hambatan masuk untuk memasuki industri yang berskala nasional ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan hambatan masuk pada industri berskala lokal. Kondisi ini mengakibatkan produsen-produsen lokal semakin bertambah dibandingkan dengan produsen berskala nasional. Perusahaan lokal ini relatif lebih fleksibel karena rata-rata bersifat home industry, sehingga mampu dijalankan oleh siapa saja Muslim dan Wardhani, 2008. Adapun hambatan masuk yang terdapat dalam industri rokok putih dinilai sangat tinggi. Kepemilikan modal yang kuat, efisiensi produksi, serta kemampuan manajemen bisnis yang unggul merupakan bentuk hambatan alamiah perusahaan- perusahaan dominan dalam industri rokok putih. Kekuatan tersebut muncul sebagai pengaruh dari perusahaan induk yang pada dasarnya memang telah memiliki keunggulan-keunggulan kompetitif tadi. Bentuk-bentuk akuisisi yang dilakukan produsen besar seperti BAT Indonesia terhadap produsen lainnya Bentoel Group dan Rothmans of Pall Mall Indonesia juga dinilai sebagai upaya lain untuk membatasi jumlah pesaing baru masuk dalam industri 14 . 5.2. Analisis Kinerja Industri Rokok di Indonesia 5.2.1. Analisis Price Cost Margin PCM Keuntungan merupakan salah satu indikator dari kinerja. Tingkat keuntungan suatu perusahaan maupun industri biasanya bersifat rahasia dan tidak dapat dipublikasikan. Mengacu pada hal tersebut, maka perhitungan keuntungan dalam penelitian ini akan diproksi berdasarkan Pendekatan Price Cost Margin PCM. PCM merupakan nilai keuntungan yang berasal dari kelebihan penerimaan industri atas biaya produksi. Berdasarkan Tabel 5.3., PCM tertinggi justru didapat pada saat krisis 1998, yaitu sebesar 51,69 persen. Industri rokok kretek dinilai mampu bertahan, 14 Fahmi.“Akuisisi BAT Membuka Pasar Rokok Kretek di Luar Negeri”. http:industri.kontan.co.id. [22 Juni 2009]. karena tingkat konsumsi masyarakat untuk jenis produk ini memang bersifat inelastis. Sebesar apapun peningkatan harga akibat pengaruh inflasi pada saat krisis, nyatanya tidak mampu mengubah konsumsi masyarakat terhadap rokok kretek. Konsumsi yang terus meningkat, menyebabkan produsen memproduksi output dalam jumlah besar. Besarnya nilai output setelah dikurangi dengan biaya input, ternyata menghasilkan nilai tambah yang besar. Artinya, pada saat itu biaya input lebih murah daripada nilai output yang dihasilkan. Nilai tambah yang meningkat sebesar 2,42 kali lipat dari tahun sebelumnya ternyata masih dapat memenuhi upah pekerja, yang pada saat itu justru menyerap tenaga kerja cukup banyak. Hal inilah yang menyebabkan nilai PCM pada tahun 1998 paling tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun lainnya. Sementara itu, pencapaian PCM terendah justru terjadi pada tahun 2008, yaitu sebesar 13,36 persen. Peningkatan nilai output yang cukup tinggi pada tahun tersebut ternyata diimbangi dengan pemenuhan upah pekerja yang terus meningkat. Peningkatan upah terjadi karena jumlah produsen rokok kretek memang terus meningkat sepanjang tahun. Penyerapan tenaga kerja yang semakin besar, menyebabkan pemenuhan upah terhadap pekerja juga semakin besar. Berdasarkan perhitungan PCM, nilai tambah yang menurun dari tahun sebelumnya jika dikurangi dengan upah, dan dibagi dengan output yang sangat besar, secara otomatis akan memperkecil nilai PCM. Tabel 5.3. PCM Industri Rokok Kretek, Tahun 1991-2008 Tahun Rokok Kretek Nilai Tambah Setelah Dikurangi Pajak 000 Rupiah Upah 000 Rupiah Total Output 000 Rupiah PCM 1991 2.551.392.774 188.317.388 4.758.451.245 49,66 1992 3.386.680.897 208.100.609 6.669.896.563 47,66 1993 4.039.623.516 263.011.164 7.679.163.534 49,18 1994 2.929.726.287 318.897.115 8.882.166.033 29,39 1995 5.349.557.780 421.200.196 10.686.003.560 46,12 1996 4.330.828.194 332.251.567 12.435.988.435 32,15 1997 4.797.483.000 473.531.710 13.894.206.000 31,12 1998 11.643.219.071 1.247.170.911 20.110.606.589 51,69 1999 12.498.326.176 973.329.354 27.626.901.917 41,72 2000 13.381.732.991 1.187.494.671 30.496.671.440 39,99 2001 17.608.815.882 1.197.327.673 42.139.967.696 38,95 2002 22.717.905.498 2.430.181.231 49.230.370.894 41,21 2003 18.551.982.236 2.139.254.835 48.239.051.021 34,02 2004 15.894.594.099 1.967.062.050 43.722.698.028 31,85 2005 17.731.867.596 2.026.878.672 52.885.618.893 29,70 2006 13.087.511.888 3.050.606.400 60.666.487.573 16,54 2007 28.034.972.099 2.954.193.593 83.208.418.450 30,14 2008 17.396.475.667 2.854.384.035 108.814.918.450 13,36 Rata-rata 11.996.260.870 1.346.288.510 35.119.310.351 30,33 Sumber : BPS 1990-2008, diolah Adapun data PCM untuk industri rokok putih juga berlangsung fluktuatif. Nilai tertinggi dicapai pada tahun 2002, yaitu sebesar 78,59 persen. Hal ini terjadi karena pemenuhan upah pada tahun tersebut menurun dalam jumlah yang cukup besar. Penurunan tingkat upah ini merupakan konsekuensi dari penurunan jumlah produsen rokok putih Tabel 1.2.. Pada saat nilai tambah bernilai tinggi, sedangkan upah yang harus dibayarkan terhadap pekerja menurun, maka PCM yang dihasilkan akan meningkat pesat. Secara umum, rata-rata PCM yang diraih industri rokok putih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata PCM pada industri rokok kretek. Hal ini mengindikasikan bahwa kinerja industri rokok putih cenderung lebih baik dari industri rokok kretek. Keberhasilan ini tentu tidak terlepas dari budaya masing- masing perusahaan induk yang memang sudah berkinerja dengan sangat baik dan diakui di tingkat internasional. Tabel 5.4. Data PCM Industri Rokok Putih, Tahun 1991-2008 Tahun Rokok Putih Nilai Tambah Setelah Dikurangi Pajak 000 Rupiah Upah 000 Rupiah Total Output 000 Rupiah PCM 1991 112.266.978 13.656.140 399.299.776 24,70 1992 121.279.709 15.434.119 444.351.443 23,82 1993 149.577.624 19.170.131 517.574.825 25,20 1994 355.534.686 19.844.003 697.560.281 48,12 1995 383.571.278 29.077.729 799.879.661 44,32 1996 483.446.884 173.531.155 989.327.551 31,33 1997 579.404.000 38.467.952 1.159.660.000 46,65 1998 1.263.141.477 62.115.839 2.802.896.641 42,85 1999 1.560.903.983 179.641.922 3.118.800.205 44,29 2000 1.470.604.081 50.167.798 2.471.117.810 57,48 2001 3.254.836.181 66.240.662 17.344.672.662 18,38 2002 1.598.713.850 24.748.190 2.002.864.562 78,59 2003 1.549.375.312 74.624.036 3.037.584.944 48,55 2004 1.512.580.949 66.540.434 2.370.730.094 61,00 2005 2.724.957.498 69.000.230 4.192.891.624 63,34 2006 2.657.021.956 82.243.744 7.883.647.833 32,66 2007 2.335.927.376 90.052.108 3.770.564.515 59,56 2008 1.864.315.151 123.360.617 4.604.755.667 37,81 Rata-rata 1.332.081.054 66.550.934 3.256.010.005 63,05 Sumber : BPS 1990-2008, diolah 5.2.2. Analisis Efisiensi Internal X-eff Variabel lain yang digunakan untuk mengukur kinerja adalah efisiensi internal atau X-eff. Berdasarkan data yang terdapat dalam Lampiran 3 dan Lampiran 4, baik industri rokok kretek maupun industri rokok putih, keduanya memiliki nilai X-eff yang sangat tinggi. Nilai X-eff tersebut bahkan mencapai lebih dari 100 persen untuk beberapa titik tahun yang dianalisis. Secara umum, tren X-eff antara kedua industri berlangsung fluktuatif. Perkembangan nilai X-eff pada industri rokok kretek, dimulai dengan angka yang sudah sangat tinggi yaitu sebesar 113,12 persen pada tahun 1991. Nilai efisiensi tersebut terus berfluktuasi hingga mencapai nilai tertinggi pada tahun 1995 sebesar 255,84 persen. Peningkatan ini terjadi sebagai akibat dari menurunnya biaya input industri. Harga tembakau, yang merupakan bahan baku utama rokok kretek menurun sehingga biaya input ikut menurun. Turunnya harga bahan baku, menyebabkan produsen dapat menghemat biaya produksi. Pada saat biaya input jauh lebih rendah dari nilai output yang didapat, maka akan berhubungan positif dengan nilai tambah Putri, 2004. Adapun nilai X-eff terendah justru dicapai pada tahun 2008, yaitu sebesar 29,35 persen. Hal ini terjadi karena nilai tambah pada tahun tersebut lebih kecil dari total biaya input yang ada. Upaya untuk meningkatkan produk, mengakibatkan semakin banyak pula input tambahan yang diperlukan. Misalnya Mesin-mesin penunjang untuk menghasilkan output yang berkualitas, seperti mesin rokok filter dengan merk SKODA. Mesin ini terdiri dari maker dan assembler yang berfungsi sebagai pembuat dan penyambung filter rokok 15 . Biaya input lainnya berasal dari pembaharuan mesin-mesin yang sudah tua. Hal-hal seperti ini dirasa penting setelah melihat semakin ketatnya persaingan dalam industri rokok dewasa ini. 15 Katalog Produk: Mesin Rokok Filter. http:www.indonetwork.co.id. [5 Juni 2005]. Tren yang fluktuatif juga terjadi pada perkembangan X-eff industri rokok putih. Nilai efisiensinya sering melebihi angka 100 persen di beberapa titik tahun analisis. Pencapaian tertinggi terjadi pada saat krisis 1999. Nilainya bahkan mencapai angka sebesar 531,61 persen. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian tertinggi pada industri rokok kretek. Hal ini terjadi karena besarnya kekuatan modal yang dimiliki oleh produsen-produsen rokok putih sehingga tidak terpengaruh oleh adanya krisis. Secara umum, rata-rata X-eff industri rokok putih lebih tinggi dibandingkan dengan X-eff industri rokok kretek. X-eff industri rokok putih memiliki nilai yang sangat besar dengan rata-rata pertumbuhan senilai 188,99 persen. Hal tersebut mencerminkan bahwa industri rokok putih sangat mampu dalam meminimumkan biaya input produksi. Industri dalam konteks yang demikian pada akhirnya dikatakan sebagai industri yang berkinerja sangat efisien.

5.3. Analisis Perilaku Industri Rokok di Indonesia