temannya. Ia juga akan mematikan telepon genggamnya saat keinginan untuk menyendiri ini muncul.
“Yaa sedih. Terkadang pun air mata pun menetes sendiri. Sering sih dulu. Tapi itu ga di depan orangtua. Masuk kamar.
Terkadang kalau ingin sendiri kan, aku selalu bilang sama teman aku, “Jangan ganggu aku, aku lagi pingin sendiri.” Gitu. Udah gitu aku
nangis. Tapi handphone itu aku matikan. Tapi di depan mereka, kalau mereka tahu aku kayakmana pasti mereka tahu kalau aku sering
sedih.
” WI-DNRb.349-356hal.17
2. Keingintahuan Curiosity
Rasa sedih yang dirasakan DNR dapat dikarenakan rasa khawatir akan masa depannya yang akan dilaluinya dengan ketunaannya. DNR sering
sekali memikirkan bagaimana dirinya nanti melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya dulu.
“Cuma pernah berpikiran, kayakmana aku melakukan apa yang terbiasa aku lakukan? Ibaratnya kalau 2 tangan kita melakukan
sendiri itu kan bisa, kalau kita mandi, kita buang air besar, kita nyuci, apalagi kan orang selalu bertanya, kamu makan ini semua
kayakmana? Kamu mandi gimana, kamu pakai baju gimana? Apalagi cuci piring. Itu aku selalu jawab kayak gini, Ya, tangan 2 aja bisa
kenapa tangan 1 ga bisa?”
WI-DNRb.118-125hal.6 “Sempat. Sering kalipun dulu. Waktu udah kejadian ini lah, waktu kita
belum tahu kayakmana cara melakukan ini, itu. Itu baru kita pikirkan, kayakmana ya? Ga mungkin orang lain aja yang kita harapkan. Iya
kalau orang itu ada, kalau orang itu ga ada gimana ya, gitu.
” WIII-DNRb.147-152hal.7
Universitas Sumatera Utara
DNR tidak lantas hanya diam dan memikirkan kondisinya. DNR memilih untuk mulai belajar melakukan kegiatan sehari-hari dengan
kondisinya yang telah bertangan satu. Pertama kali yang DNR lakukan adalah membersihkan rumah. Lalu DNR mulai belajar menulis, mencuci,
memotong, bahkan DNR belajar naik sepeda. “Waktu udah di rumah itu ya. Biasanya kalau pakai baju mesti
dipakaiin sama kakak, semua harus dipakaiin. Lama-lama kenapa ya aku mau mandi, ga ada pula yang pakaiin baju aku, nyuruh Mamak
nanti dia ga mau, kakak lagi pergi kekuliahan. Ah, ga iya ini, mandi lah udah gerah kali, ga mungkin mandi malam. Jadi, udah mandi
pakai sendiri, eh bisa, dapat satu. Udah. Lama-lama, biasanya kan pakai baju dari kepala dulu baru tangan, kalau sekarang tangan dulu
baru kepala, gitu aku sekarang. Dari situlah, lama-lama dapat kepintaran, kepandaian yang kita lakuin, katak potong kentang,
potong gimana, itu semua udah aku lakuin.
” WII-DNRb.495-507hal. 23
Dalam kesehariannya yang sudah menjadi penyandang tunadaksa, DNR pernah bertemu dengan orang-orang yang kondisinya sama dengan
dirinya. Bahkan tidak jarang lebih parah. Terhadap orang-orang tersebut DNR bertanya-tanya bagaimana cara mereka bisa hidup dengan
ketidaksempurnaannya. Hal ini pernah dilakukannya kepada teman dengan kondisi yang sama dengannya. Ia melihat temannya tersebut adalah sosok
orang yang tegar, maka DNR bertanya-tanya bagaimana cara temannya itu bisa tegar menjalani kehidupannya dengan tubuh yang tidak sempurna.
“Ga ada. Aku cuma berpikir aja gini, orang ini tetap semangat yaa. Orang ini walaupun kayak gini keadaan dia kenapa dia ga malu? Apa
nanti ke depannya mereka tu gimana ya? gitu juga sih kepikiran. ”
WII-DNRb.622-624hal.29
Universitas Sumatera Utara
“Ada, tapi ga pernah aku bilang sama dia. Paling aku cuma nengok dia aja, dia kayaknya tegar hadapi ini. Apapun kayaknya dia bisa. Itu
yang jadi gimana, aku harus bisalah dari dia. Dia aja bisa kenapa aku ga bisa. Dari situ lah, nengok-nengok dia.
” WII-DNRb.688-692hal.32
3. Toleransi Tolerance