c. Penelitian  ini  juga  dapat  dijadikan  bahan  referensi  atau  acuan  bagi
kalangan  yang  tertarik  pada  kehidupan  anak  berkebutuhan  khusus khususnya remaja penyandang tunadaksa.
I.5   Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan
Bab  ini  menjelaskan  tentang  latar  belakang  masalah  penelitian, perumusan  masalah  penelitian,  tujuan  dan  manfaat  penelitian,  serta
sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori
Bab  ini  memuat  tinjauan  teoritis  yang  menjadi  acuan  dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai
remaja, tunadaksa, dan penerimaan diri.
BAB III Metodologi Penelitian
Bab  ini  menjelaskan  mengenai  pendekatan  kualitatif,  metode pengumpulan  data,  alat  bantu  pengumpul  data,  teknik  pengambilan
sampling,  subjek  penelitian,  panduan  wawancara  dan  observasi, prosedur penelitian, serta prosedur analisis data.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV Analisis Data dan Pembahasan
Bab  ini  menguraikan  analisis  data  dan  pembahasan  hasil  data wawancara  pada  partisipan  penelitian.  Data-data  tersebut  akan
dibahas sesuai dengan teori proses penerimaan diri untuk menjawab pertanyaan penelitian.
BAB V Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab  ini  merupakan  bab  terakhir  dalam  penelitian  ini,  di  dalamnya dibahas  kesimpulan,  diskusi  dan  saran  dari  hasil  penelitian  yang
telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
13
BAB II LANDASAN TEORI
II.1Penerimaan Diri II.1.A Definisi
Germer  2009  menyatakan  bahwa  orang  yang  menerima  dirinya adalah  orang  yang  sadar  bahwa  dirinya  mengalami  sebuah  sensasi,
perasaan,  maupun  pikiran  yang  ada  pada  dirinya  dari  waktu  ke  waktu. Orang  yang  menerima  dirinya  juga  mampu  merangkul  apapun  yang
muncul  atau  ada  dalam  dirinya,  menerima  dari  waktu  ke  waktu sebagaimana  yang  ada  pada  dirinya.  Definisi  menurut  Hurlock  1974
yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tingkat dimana individu memiliki  kesadaran  mengenai  karakteristik  dirinya,  mampu  dan  mau
hidup dengan kondisi itu. Jersild dalam Hurlock 1974 juga menjelaskan mengenai penerimaan diri:
“The  self-accepting  person  has  a  realistic  appraisal  of  his resorces  combined  with  appreciation  of  his  own  worth  ;
assurance  about  standards  and  convictions  of  his  own  without being  a  slave  to  the  opinions  of  others;  and  realistic  assessment
of  limitations  without  irrational  self-reaproach.  Self-accepting people recognize their assets and are free to draw upon them even
if they are not all that could be desired. They also recognize their
Universitas Sumatera Utara
shortcomings  without  needlessly  blaming  themselves ”  Jersild,
dalam Hurlock 1974, hal. 434 Berdasarkan  definisi  di  atas,  maka  Jersild  menyimpulkan  bahwa
orang-orang yang menerima dirinya memiliki penilaian realistis terhadap sumber daya yang dimilikinya yang dikombinasikan dengan penghargaan
atas  dirinya  sendiri;  yakin  akan  standar  dan  diri  sendiri  tanpa  harus dikendalikan  oleh  orang  lain;  dan  memiliki  penilaian  realistis  mengenai
keterbatasan  tanpa  harus  mencela  diri  sendiri.  Orang  yang  menerima dirinya
menyadari  aset-aset  yang  dimiliki  dan  bebas  untuk menggunakannya bahkan jika aset tersebut tidak diinginkan. Mereka juga
mengetahui kelemahannya tanpa perlu menyalahkan dirinya. Dari pernyataan beberapa tokoh di atas mengenai penerimaan diri,
maka dapat disimpulkan  bahwa penerimaan diri  adalah suatu kondisi  di mana  individu  sadar  akan  segala  yang  dimilikinya  dan  bersedia  untuk
hidup dari waktu ke waktu dengan apa yang dimilikinya tersebut baik itu berupa  kelebihan  ataupun  kekurangan.  Individu  yang  menerima  dirinya
akan merasakan kenyamanan pada apa yang dia miliki.
II.1.B Tahap Penerimaan Diri
Germer 2009  menyatakan  bahwa proses penerimaan diri sebagai bentuk  keadaan  melawan  ketidaknyamanan  terjadi  dalam  tahapan-
tahapan;  ada  pelunakan  progresif,  atau  tidak  ada  perlawanan,  untuk menghadapi penderitaan. Proses awal yang terjadi adalah rasa kebencian,
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah, dan jika hal-hal  tersebut  berjalan  dengan  baik  maka  akan  berakhir  dengan
merangkul apapun yang terjadi dalam hidup seorang individu. Proses ini biasanya  berlangsung  lama  dan  alami.  Individu  tidak  dapat  maju
ketahapan selanjutnya jika ia tidak merasa sepenuhnya nyaman pada satu tahapan.  Tahapan-tahapan  penerimaan  diri  tersebut  adalah  sebagai
berikut. 
Tahap 1: Aversion ─ kebenciankeengganan, menghindari, resisten Reaksi  alami  pada  perasaan  yang  membuat  tidak  nyaman  adalah
kebencian  atau  keengganan.  Kebenciankeengganan  ini  juga  dapat membentuk  keterikatan  mental  atau  perenungan─mencoba  mencari
tahu bagaimana cara untuk menghilangkan perasaan tersebut. 
Tahap 2: Curiosity ─ melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian Pada tahapan ini individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada
hal-hal  yang  dirasa  perlu  untuk  diperhatikan.  Pertanyaan-pertanyaan yang  biasanya  muncul  adalah  “Perasaan  apa  ini?”  “Apa  artinya
perasaan ini?” “Kapan perasaan ini terjadi?”. 
Tahap 3: Tolerance ─ menanggung derita dengan aman Toleransi  berarti  menanggung  rasa  sakit  emosional  yang  dirasakan,
tetapi individu tetap melawannya dan berharap perasaan tersebut akan segera hilang.
 Tahap 4: Allowing ─ membiarkan perasaan datang dan pergi
Universitas Sumatera Utara
Pada  tahapan  ini  individu  membiarkan  perasaan  tidak  nyamannya datang dan pergi.
 Tahap 5: Friendship─merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi
Individu  melihat  nilai-nilai  yang  ada  pada  waktu  keadaan  sulit menimpanya. Hala ini merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan
diri.
II.1.C Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Hurlock 1974
dalam buku
Personality Development
mengungkapkan  faktor-faktor  yang  mempengaruhi  penerimaan  diri, seperti:
1. Pemahaman Diri
Pemahaman  diri  seseorang  tidak  ditentukan  oleh  kapasitas intelektualnya, tapi melalui kesempatan untuk menggali potensi dalam
dirinya.  Individu  harus  memiliki  kesempatan  untuk  mencoba kemampuannya tanpa harus dihalangi oleh orang lain.
Pemahaman dan penerimaan diri berhubungan erat. Semakin baik seseorang memahami dirinya, semakin dapat ia menerima dirinya, dan
sebaliknya.  Kurangnya  pemahaman  diri  dapat  mengarah  kepada kesenjangan  antara  konsep  diri  yang  ideal  dan  gambaran  yang  ia
terima melalui kontak sosial, yang membentuk dasar konsep diri.
2. Harapan yang Realistik
Ketika  harapan  seseorang  untuk  sebuah  pencapaian  bersifat realistis, maka kinerjanya akan meningkat sesuai  dengan harapannya.
Universitas Sumatera Utara
Hal  ini  akan  berkontribusi  kepada  kepuasan  diri  yang  sangat  penting dalam  penerimaan  diri.  Harapan  dapat  menjadi  kenyataan  ketika
seseorang  cukup  memahami  dirinya  sendiri  untuk  dapat  mengenali keterbatasan dan kekuatannya.
3. Tidak Adanya Hambatan di Dalam Lingkungan
Ketidakmampuan  seseorang  untuk  mencapai  tujuan  hidup  yang realistis  dapat  berasal  dari  hambatan  yang  berasal  dari  lingkungan
yang tidak dapat dikendalikan, misalnya seperti diskriminasi ras, jenis kelamin,  maupun  agama.  Ketika  hal  ini  terjadi,  seseorang  yang
mengetahui  potensinya  akan  sulit  untuk  menerima  diri.  Ketika lingkungan mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan, maka
ia  akan  puas  dengan  pencapaian  yang  membuktikan  bahwa harapannya adalah suatu hal yang realistis.
4. Sikap-Sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan
Seseorang  yang  mendapatkan  sikap  yang  menyenangkan  dari masyarakat  lebih  dapat  menerima  dirinya.  Tiga  hal  yang  mengarah
kepada  evaluasi  sosial  yang  menyenangkan  adalah  tidak  adanya prasangka  terhadap  individu  dan  anggota  keluarganya;  memiliki
keahlian sosial; dan mau untuk menerima kelompok.
5.
Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat Stres
secara emosional
dapat mengarah
kepada ketidakseimbangan  fisik  dan  psikologis.  Ketidakseimbangan  fisik
yang  diikuti  oleh  stres  emosional  dapat  membuat  seseorang  bekerja
Universitas Sumatera Utara
dengan kurang efisien, mengakibatkan kelelahan, dan  bereaksi secara negatif kepada orang lain.
Tidak  adanya  stres  dapat  membuat  seseorang  melakukan  yang terbaik untuk pekerjaannya. Selain itu, seseorang dapat menjadi lebih
rileks  dan  bahagia.  Kondisi  sepeti  ini  berkontribusi  kepada  evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar bagi evaluasi dan penerimaan diri
yang baik pula.
6. Pengaruh Keberhasilan
Pengaruh  kegagalan  dapat  mengarah  kepada  penolakan  diri,  dan pengaruh  kesuksesan  dapat  mengarah  kepada  penerimaan  diri.
Kegagalan  yang  seringkali  dirasakan  seseorang  akan  membuat kesuksesan diartikan lebih bermakna.
7. Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik
Seseorang  yang  mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang yang  menyesuaikan  diri  dengan  baik  dapat  mengembangkan  sikap
yang  positif  terhadap  hidup  dan  berperilaku  yang  mengarah  kepada penilaian dan penerimaan diri yang baik.
8. Perspektif Diri
Seseorang  yang  dapat  melihat  dirinya  sama  seperti  orang  lain melihat  dirinya  memiliki  pemahaman  diri  yang  baik  dibandingkan
dengan  seseorang  yang  perspektif  dirinya  cenderung  sempit  dan terdistorsi.  Perspektif  diri  yang  baik  dapat  mendukung  penerimaan
diri.
Universitas Sumatera Utara
9. Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik
Inti dari konsep diri yang menentukan penyesuaian diri seseorang di  masa  depan  berawal  dari  masa  kanak-kanak.  Pengasuhan  secara
demokratis  mengarah  kepada  pola  kepribadian  yang  sehat.  Selain  itu pada pengasuhan ini, peraturan-peraturan yang dijelaskan kepada anak
dapat  membuat  anak  dihormati  sebagai  seorang  manusia.  Anak  akan belajar  untuk  menghormati  dirinya  dan  bertanggung  jawab  untuk
mengendalikan  perilakunya  dengan  kerangka  peraturan  yang  telah ditetapkan.
10. Konsep Diri yang Stabil
Konsep diri yang stabil merupakan cara seseorang melihat dirinya dengan  cara  yang  sama  sepanjang  waktu.  Konsep  diri  yang  baik
mengarah kepada penerimaan diri, sedangkan konsep diri yang buruk mengarah  kepada  penolakan  diri.  Jika  seseorang  mengembangkan
kebiasaan  untuk  menerima  dirinya,  maka  hal  itu  akan  menguatkan konsep  diri  yang  baik  sehingga  penerimaan  diri  akan  menjadi  suatu
kebiasaan bagi individu tersebut.
II.1.D Dampak Penerimaan Diri
Penelitian  menunjukkan  pengaruh  yang  luas  dari  penerimaan  diri. Hurlock  1974  membagi  dampak  dari  penerimaan  diri  menjadi  dua
kelompok besar – terhadap penyesuaian diri dan penyesuaian sosial.
Universitas Sumatera Utara
1. Dampak Terhadap Penyesuaian Diri
Orang  dengan  penerimaan  diri  mampu  mengenali  kelebihan maupun  kekurangannya.  Salah  satu  karakteristik  orang  yang
penyesuaian dirinya  baik adalah  ia dapat mengenali dan  menekankan kelebihannya terlebih dahulu dibandingkan dengan kekurangannya.
Seseorang  dengan  penerimaan  diri  yang  baik  memiliki kepercayaan  diri  dan  self-esteem  yang  baik.  Ia  mau  untuk  menerima
kritikan.  Ia  bahkan  membuat  critical  self-appraisals  untuk membantunya mengenali dan memperbaiki kelemahannya.
Penerimaan  diri  diikuti  dengan  personal  security.  Hal  ini mendorong  seseorang  untuk  percaya  bahwa  ia  dapat  mengendalikan
permasalahan  hidup  dan  bahwa  ia  diterima  oleh  orang-orang  penting di  dalam  hidupnya.  Orang-orang  yang  menerima  dirinya  mampu
mengevaluasi  diri  secara  realistis  sehingga  ia  dapat  menggunakan kapasitas dirinya secara efektif.
Orang  yang  dapat  menerima  dirinya  tidak  mau  menjadi  orang lain.  Ia  puas  dengan  menjadi  dirinya  sendiri.  Ia  akan  meningkatkan
kualitas  dirinya  yang  baik  dan  menghilangkan  kuailtas  diri  yang buruk.
2. Dampak Terhadap Penyesuaian Sosial
Penerimaan  diri  seseorang  diikuti  oleh  penerimaan  oleh  orang lain.  Orang-orang  yang  mampu  menerima  dirinya  tertarik  untuk
berhubungan  dengan  orang  lain  dan  merasa  empati –  kemampuan
Universitas Sumatera Utara
untuk  menempatkan  diri  dalam  pemikiran,  perasaan,  dan  tindakan orang  lain. Hasilnya,  ia akan  memiliki penyesuaian sosial  yang  lebih
baik. Orang-orang  yang  menerima  dirinya  memiliki  toleransi  kepada
orang lain, mengabaikan kelemahannya. Toleransi juga sejalan dengan keinginan untuk menolong orang lain. Ia mau untuk membantu orang
lain yang memerlukan bantuannya. Secara umum, semakin seseorang dapat  menerima  dirinya,  ia  akan  lebih  diterima  orang  lain  di
kehidupan sosial.
II.1.E Ciri-Ciri Orang yang Menerima Dirinya
Ciri-ciri  orang  yang  menerima  dirinya  menurut  Sheere  dalam Cronbach, 1963 adalah :
a.  Mempunyai  keyakinan  akan  kemampuannya  untuk  menghadapi kehidupannya.
b.  Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain.
c.  Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. d.  Menerima pujian dan celaan secara objektif.
e.  Tidak  menyalahkan  dirinya  akan  keterbatasan  yang  dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan  beberapa  ciri  di  atas  maka  dapat  disimpulkan  bahwa ciri-ciri orang  yang  menerima dirinya adalah orang  yang  merasa dirinya
berharga  dengan  menerima  kekurangan  dan  kelebihan  dirinya  serta berpikir  objektif  akan  kritikan  atau  celaan  yang  diterimanya.  Sehingga
mempunyai  keyakinan  untuk  menghadapi  kehidupannya  dengan bertanggung jawab akan setiap perilakunya.
II.2 Tunadaksa II.2.A Definisi
Tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan  “daksa”  yang  berarti  tubuh.  Menurut  Direktorat  Pendidikan  Luar
Biasa,  istilah  yang  sering  digunakan  untuk  menyebut  anak  tunadaksa adalah anak yang memiliki cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi. Dalam
bahasa  asing  sering  dikenal  dengan  istilah  crippled,  physically handicapped, physically disable, dan sebagainya. Keragaman istilah yang
dikemuakakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari alasan para ahli yang menentukan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda, tapi
secara  material  pada  dasarnya  memiliki  makna  yang  sama  Pendidikan, 2006.
Peraturan  Pemerintah  No.  36  Tahun  1980  tentang  Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat menyebutkan bahwa penderita
cacat  adalah  seseorang  yang  menurut  ilmu  kedokteran  dinyatakan memiliki  kelainan  fisik  dan  atau  mental  yang  oleh  karenanya  dapat
Universitas Sumatera Utara
menjadi rintangan atau hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan secara  selayaknya.  Undang-Undang  No.4  Tahun  1997  tentang
Penyandang  Cacat  pada  bagian  penjelasan  menyebutkan  bahwa  yang dimaksud  dengan  cacat  fisik  adalah  kecacatan  yang  mengakibatkan
gangguan  pada  fungsi  tubuh,  antara  lain  gerak  tubuh,  penglihatan, pendengaran,  dan  kemampuan  berbicara  Raharjo,  dalam  Wrastari,
2003. Menurut
Mangunson dalam
Suranti, 2008
cacat fisik
didefinisikan  sebagai  ketidakmampuan  tubuh  seperti  keadaan  normal. Berdasarkan ketiga definisi di atas, cacat  fisik adalah kelainan  fisik dan
atau  mental  sehingga  timbul  rintangan  dan hambatan
yang mengakibatkan tubuh tidak mampu berfungsi secara normal.
Berdasarkan  uraian  di  atas,  maka  dapat  disimpulkan  bahwa tunadaksa  yang  sering  juga  disebut  cacat  fisik  adalah  seseorang  yang
memiliki  hambatan  fisik  yang  mengakibatkan  munculnya  beberapa gangguan  pada  fungsi  tubuh,  seperti  gerak  tubuh  ataupun  mental  yang
tidak dapat berfungsi secara normal.
II.2.B Penyebab Tunadaksa
Suhartono  dalam  Suranti,  2008  menemukan  sebab-sebab  cacat fisik sebagai berikut:
1.  Cacat  sejak  lahir  karena  proses  kelahiran  individu  sudah  dalam keadaan cacat.
Universitas Sumatera Utara
2.  Cacat  non  bawaan  adalah  cacat  yang  dialami  individu  bukan  sejak lahir  tetapi  terjadi  pada  masa  pertumbuhan  yang  disebabkan  oleh
penyakit, kecelakaan dan peperangan. Menurut  Koening  dalam  Somantri,  2006,  tunadaksa  dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: a.  Kerusakan  yang  dibawa  sejak  lahir  atau  kerusakan  yang  merupakan
keturunan, meliputi: 1.  Club-foot kaki seperti tongkat
2.  Club-hand tangan seperti tongkat 3.  Polydctylism jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan
atau kaki 4.  Torticolis gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka
5.  Syndactylism jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya
6.  Cretinism kerdil atau katai 7.  Mycrocepalus kepala yang kecil, tidak normal
8.  Hydrocepalus kepala yang besar karena adanya cairan 9.  Herelip gangguan pada bibir dan mulut
10.Congenital  amputation  bayi  yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu
Universitas Sumatera Utara
b.  Kerusakan pada waktu kelahiran : 1.
Erb‟s  palys  kerusakan  pada  syaraf  lengan  akibat  tertekan  atau tertarik waktu kelahiran
2.  Fragilitas osium tulang yang rapuh dan mudah patah
c.  Infeksi : 1.  Tuberkolosis  tulang  menyerang  sendi  paha  sehingga  menjadi
kaku 2.  Osteomyelitis  radang  di  dalam  dan  di  sekeliling  sumsum  tulang
karena bakteri 3.  Poliomyelitis
infeksi virus
yang mungkin
menyebabkan kelumpuhan
4.  Tuberkolosis pada lutut atau sendi lain
d.  Kondisi traumatik : 1.  Amputasi anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan
2.  Kecelakaan akibat luka bakar 3.  Patah tulang
II.2.C Tunadaksa Akibat Kecelakaan Lalu Lintas
Koening  dalam  Somantri,  2006  menyebutkan  bahwa  salah  satu penyebab  seorang  individu  menjadi  penyandang  tunadaksa  adalah
dikarenakan kecelakaan, yang mana salah satu bentuk kecelakaan adalah
Universitas Sumatera Utara
kecelakaan  saat  berkendara  yang  sering  dikenal  dengan  kecelakaan  lalu lintas Baltus, 1983.
Hawari 1996 menyatakan bahwa pada dasarnya cacat fisik karena kecelakaan  merupakan  sumber  stres  yang  menimbulkan  depresi.  Orang
yang  mengalami  kecelakaan  terkadang  dihadapkan  pada  ketidakpastian mengenai  keadaannya,  apalagi  setelah  dia  mengetahui  keadaan  fisiknya
yang  tidak  sesuai  dengan  harapannya.  Keadaan  seperti  ini  bisa menyebabkan  depresi  sebab  dia  sendiri  belum  siap  secara  mental  untuk
menerima keadaannya.
II.2.D Reaksi Terhadap Kondisi Tunadaksa
Berbagai  reaksi  yang  timbul  pada  tunadaksa  dipengaruhi  oleh berbagai faktor Hurlock, 1974, yaitu :
a.  Usia  ketika  terjadinya  cacat  tubuh  dapat  mempengaruhi  reaksi individu mengenai kondisi kecacatannya. Jika cacat tubuh terjadi pada
awal kehidupan, biasanya penyesuaian yang terjadi akan sangat baik. b.  Reaksi  masyarakat  cenderung  lebih  menyenangkan  pada  cacat  tubuh
daripada cacat mental. c.  Berat ringannya kecacatan.
d.  Pengakuan adanya perbedaan. e.  Sikap sosial atau masyarakat yang berakibat pada sikap individu.
f.  Sikap individu terhadap cacat yang ditentukan oleh sikap sosial.
Universitas Sumatera Utara
II.3 Remaja II.3.A Definisi
Pengertian  remaja  menurut  Papalia,  Olds,  dan  Feldman  2007 adalah  transisi  perkembangan  yang  dimulai  dari  usia  10  atau  11  tahun
hingga awal usia dua puluhan yang berhubungan dengan perubahan fisik, kognitif,  dan  psikososial.  Masa  remaja  diawali  dengan  dimulainya
pubertas, sebuah proses yang mengarah kepada kematangan seksual atau kesuburan
– kemampuan untuk bereproduksi. Remaja menurut Dariyo 2004 adalah masa transisi satau peralihan
dari  masa  kanak-kanak  menuju  dewasa  yang  ditandai  dengan  adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial yang berkisar di antara usia
12-13 tahun sampai 21 tahun. Thornburg dalam Dariyo 2004 membagi remaja ke dalam tiga tahap, yaitu remaja awal usia 13-14 tahun, remaja
tengah usia 15-17 tahun, dan remaja akhir usia 18-21 tahun. Berdasarkan definisi di atas, masa remaja merupakan masa transisi
dari  masa  kanak-kanak  menuju  masa  dewasa  yang  diawali  oleh  masa pubertas di usia 10 hingga 21 tahun dengan perubahan pada aspek fisik,
psikis, dan psikososial. Masa remaja juga terbagi ke dalam 3 tahap, yaitu remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir.
II.3.B Tugas Perkembangan Remaja
Pada  tahap  remaja,  Havighurst  dalam  Agustiani,  2006 menggambarkan delapan tugas perkembangan remaja yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Mencapai relasi baru dan lebih matang bergaul dengan teman seusia
dari kedua jenis kelamin. 2.
Mencapai maskulinitas dan femininitas dari peran sosial. 3.
Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif. 4.
Mencapai  ketidaktergantungan  emosional  dari  orang  tua  dan  orang dewasa lainnya.
5. Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
6. Menyiapkan diri untuk karir ekonomi.
7. Menemukan  set  dari  nilai-nilai  dan  sistem  etika  sebagai  petunjuk
dalam berperilaku mengembangkan ideologi. 8.
Mencapai  dan  diharapkan  untuk  memiliki  tingkah  laku  sosial  secara bertanggung jawab.
II.3.C Remaja Penyandang Tunadaksa
Kondisi  tunadaksa  dapat  terjadi  pada  siapa  saja  tidak  terkecuali remaja.  Remaja  penyandang  tunadaksa  akan  memiliki  permasalahan,
salah  satunya  adalah  permasalahan  pada  gambaran  tubuh  body  image, yang  merupakan  salah  satu  tugas  perkembangan  pada  masa  remaja.
Somantri  2006  menjelaskan  bahwa  kondisi  tunadaksa  yang  dialami pada  remaja  akan  membawa  pengaruh  pada  persepsi  gambaran  tubuh
mereka,  hal  ini  merupakan  bentuk  permasalahan  dalam  perkembangan kepribadian  pada  tunadaksa.  Kekurangan  pada  bagian  tubuh  remaja
Universitas Sumatera Utara
penyandang  tunadaksa  dapat  membuat  mereka  menunjukkan  sikap rendah diri, cemas, dan agresif.
Hill  dan  Mönks  dalam  Mönks  dan  Knoers,  1999  :  hal.268, menyatakan  bahwa  penyimpangan-penyimpangan  pada  masa  remaja
akan menimbulkan masalah-masalah yang berhubungan dengan penilaian diri  dan  sikap  sosialnya,  oleh  karena  itu  kondisi  tunadaksa  pada  masa
remaja  akan  mempengaruhi  penilaian  diri  remaja  sedemikian  rupa sehingga  menghambat  perkembangan  kepribadian  yang  sehat.  Conger
dalam  Crider  dkk.,  1983,  menyatakan  bahwa  cacat  tubuh  tunadaksa yang berat akan mempengaruhi penilaian diri remaja.
II.4   Penerimaan Diri pada Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas
Kondisi  ketidaknormalan  yang  dialami  oleh  seorang  remaja  dapat mempengaruhi  perkembangan  fisik  dan  psikisnya.  Penyebab  ketidaknormalan
pada  seorang  remaja  dapat  terjadi  karena  bawaan  lahir  atau  karena  kejadian- kejadian  selama  masa  hidup  yang  menimbulkan  bekas  yang  tidak  normal.
Walaupun  kedua  penyebab  tersebut  dapat  memberikan  pengaruh  terhadap perkembangan  kehidupan  seorang  remaja,  namun  penyebab  yang  dikarenakan
tidak bawaan dari lahir akan lebih buruk mempengaruhi perkembangan fisik dan psikis  remaja  tersebut.  Hal  tersebut  dikarenakan  seseorang  yang  sudah
Universitas Sumatera Utara
merasakan keleluasaan dalam hidupnya akan berat menerima ketika dihadapkan pada keterbatasan Patty  Johnson, 1953.
Salah  satu  kondisi  yang  membuat  remaja  menjadi  tidak  normal  adalah kecelakaan  lalu  lintas.  Kecelakaan  lalu  lintas  dapat  memakan  korban  jiwa  dan
dapat  juga  meninggalkan  bekas  luka  yang  sangat  parah,  dalam  hal  ini  seperti amputasi  pada  salah  satu  anggota  tubuh.  Kondisi  ketidaknormalan  karena
amputasi ini dapat disebut cacat fisik atau tunadaksa. Remaja  tunadaksa  karena  kecelakaan  lalu  lintas  akan  mengalami
berbagai  macam  dampak  dari  hilangnya  salah  satu  anggota  tubuhnya  tersebut. Somantri  2006  menjelaskan  dampak  tunadaksa  secara  perkembangan  sosial
dan  kepribadian,  di  mana  secara  perkembangan  sosial  anak  tunadaksa  akan memiliki  konsep  diri  yang  negatif  akibat  kerap  kali  mendapat  ejekan  dari
lingkungan  disekitarnya.  Hal  tersebut  dapat  membuat  anak  tunadaksa  manarik diri  dari  lingkungan  sekitarnya.  Jika  seorang  remaja  dibiarkan  untuk  tidak
bergaul  dalam  lingkungan  sekitarnya,  maka  remaja  tersebut  akan  kehilangan kesempatan  untuk  bereksperimen  mengenai  peran  dan  ideologi  yang  berbeda-
beda yang nantinya akan disesuaikan dengan dirinya Schultz  Schultz, 1994. Dampak lainnya secara perkembangan kepribadian adalah anak tunadaksa kerap
kali  menunjukkan  sifat  rendah  diri,  cemas,  dan  agresif.  Hal-hal  tersebut dipengaruhi  oleh  terlihat  atau  tidak  terlihatnya  kecacatan  yang  dimiliki  yang
berkaitan dengan gambaran tubuh.
Universitas Sumatera Utara
Kecacatan  yang  dialami  oleh  remaja  penyandang  tunadaksa  karena kecelakaan lalu lintas harus bisa diterima oleh remaja tersebut. Penerimaan akan
dirinya  yang  tidak  lagi  sempurna  ini  akan  membantu  remaja  tunadaksa  lebih mudah  menjalani  kehidupan  dengan  kecacatan  yang  dimiliki.  Penerimaan  diri
dapat membantu penyandang tunadaksa  menjalani  hidupnya agar  lebih  bahagia dan  sejahtera  walaupun  dengan  kekurangan  yang  dimilikinya.  Penerimaan  diri
menurut  Germer  2009  adalah  orang  yang  sadar  bahwa  dirinya  mengalami sebuah  sensasi, perasaan,  maupun  pikiran  yang ada pada dirinya dari  waktu ke
waktu.  Orang  yang  menerima  dirinya  juga  mampu  merangkul  apapun  yang muncul  atau  ada  dalam  dirinya,  menerima  dari  waktu  ke  waktu  sebagaimana
yang  ada  pada  dirinya.  Pada  seorang  remaja  yang  sedang  mengalami  berbagai macam  perubahan  seperti  fisik,  mental,  maupun  kehidupan  sosial,  tentunya
penerimaan  diri  ini  sangat  dibutuhkan  agar  memperoleh  kebahagian  Hurlock, 1993.
Seseorang  yang  ingin  menerima  dirinya  akan  masuk  dalam  sebuah proses.  Germer  2009  menjelaskan  mengenai  proses  penerimaan  diri  yang
dibagi  ke  dalam  lima  tahapan,  yaitu  tahap  pertama  adalah  kebencian  atau keengganan  aversion,  pada  saat  seseorang  dihadapkan  pada  kondisi  tidak
nyaman,  maka  orang  tersebut  akan  merasa  enggan  atau  benci  pada  hal  yang membuatnya  tidak  nyaman  tersebut.  Tahap  kedua  adalah  keingintahuan
curiosity, orang tersebut akan mulai untuk mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan perasaan tidak nyamannya tersebut seperti ada apa dengan perasaannya,
apa yang terjadi, apa maksud dari perasaannya tersebut. Selanjutnya tahap ketiga
Universitas Sumatera Utara
yaitu  toleransi,  individu  tersebut  mulai  mengurangi  perasaan  tidak  nyamannya, namun tetap mempunyai keinginan agar perasaan tersebut segera hilang. Tahap
keempat  adalah  membiarkan  perasaan  datang  dan  pergi  allowing,  individu membiarkan perasaan tidak nyamannya datang dan pergi sebagaimana mestinya.
Tahap terakhir dari penerimaan diri adalah melihat nilai-nilai yang tidak terlihat friendship, individu sudah mulai beradaptasi dengan perasaan tidak nyamannya
tersebut dan mulai melihat hikmah dari kondisi atau kejadian yang memberikan perasaan tidak nyaman terhadapnya.
Pencapaian setiap tahapan penerimaan diri dapat dibantu dengan  faktor- faktor  yang  mempengaruhi  penerimaan  diri  yang  dikemukakan  oleh  Hurlock
1974.  Untuk  bisa  menerima  dirinya  seseorang  harus  paham  akan  dirinya sendiri.  Hal  tersebut  merupakan  faktor  penerimaan  diri  yang  oertama  menurut
Hurlock 1974. Orang yang memiliki pemahaman diri akan mengetahui potensi dalam dirinya  yang dapat  membantu untuk menciptakan konsep diri  yang  ideal
untuk  dirinya.  Faktor  kedua  adalah  harapan  yang  realistik,  di  mana  harapan dengan  pencapaian  yang  realistik  akan  memberikan  kepuasan  diri  yang
berpengaruh  terhadap  penerimaan  diri.  Faktor  ketiga  adalah  tidak  adanya hambatan  di  dalam  lingkungan,  seseorang  yang  tidak  mempunyai  hambatan
dalam  lingkungannya  akan  lebih  mudah  mengetahui  potensi  yang  ada  pada dirinya  dan  mudah  untuk  menerima  dirinya.  Seseorang  juga  akan  lebih  mudah
menerima  dirinya  apabila  mendapat  perlakuan  yang  menyenangkan  dari masyarakat.  Hal  tersebut  merupakan  faktor  keempat  dalam  penerimaan  diri.
Selanjutnya  faktor kelima adalah tidak adanya gangguan emosional  yang  berat,
Universitas Sumatera Utara
orang yang tidak memiliki gangguan emosional seperti stres akan lebih bahagia dan  dapat  memberikan  evaluasi  sosial  yang  baik  yang  menjadi  dasar  dari
evaluasi  dan  penerimaan  diri  yang  baik  pula.  Orang  yang  berhasil  dan memperoleh  kesuksesan  akan  mengarah  terhadap  penerimaan  diri.  Hal  tersebut
merupakan  faktor  keenam  penerimaan  diri.  Identifikasi  terhadap  orang  yang memiliki  penyesuaian  diri  yang  baik  akan  mengembangkan  sikap  positif  pada
diri  seseorang  yang  nantinya  berpengaruh  terhadap  penilaian  dan  penerimaan diri  yang  baik.  Faktor  kedelapan  adalah  perspektif  diri,  orang  yang  melihat
dirinya  sama  seperti  orang  lain  melihat  dirinya  dikatakan  dapat  mendukung penerimaan  diri.  Pola  asuh  dimasa  kecil  juga  mempengaruhi  penerimaan  diri
karena hal tersebut berkontribusi terhadap konsep diri seseorang. Faktor terakhir adalah konsep diri yang stabil, di mana dalam hal ini seseorang yang menerima
dirinya akan mampu melihat dirinya dengan cara yang sama sepanjang waktu.
Universitas Sumatera Utara
II.5 Kerangka Teoritis
Keterangan:
Kecelakaan Lalu Lintas pada Masa Remaja
Menarik diri dari lingkungan, konsep diri negatif, rendah diri,
cemas, agresif Somantri, 2006
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Penerimaan Diri Hurlock, 1974
pemahaman diri, harapan yang realistik, tidak adanya
hambatan di dalam lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat
yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional
yang berat, pengaruh keberhasilan, identifikasi
dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik,
perspektif diri, pola asuh di masa kecil yang baik, dan
konsep diri yang stabil.
Tunadaksa
Penerimaan Diri
Tahapan Penerimaan Diri Germer, 2009
 Aversion
 Curiosity
 Tolerance
 Allowing
 Friendship
Kondisi Traumatik: Amputasi
: melihat proses
penerimaan diri : dipengaruhi
Gambar 1. Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas
Universitas Sumatera Utara
35
BAB III METODE PENELITIAN
III.1 Pendekatan Kualitatif
Menurut Bogdan dan Taylor dalam  Moleong, 2006, metode penelitian dengan  menggunakan  pendekatan  kualitatif  merupakan  prosedur  penelitian  yang
akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang  dan  perilaku  yang  dapat  diamati.  Pendekatan  ini  juga  digunakan  untuk
menggambarkan  dan  menjawab  pertanyaan  seputar  subjek  penelitian  beserta konteksnya.
Melihat masalah yang diangkat pada penelitian ini, yaitu penerimaan diri remaja  tunadaksa  karena  kecelakaan,  pendekatan  kualitiatif  sangat  sesuai  untuk
digunakan  agar  dapat  mengetahui  bagaimana  proses  penerimaan  diri  tersebut. Proses  penerimaan  diri  pada  diri  individu  merupakan  hal  yang  subjektif  yang
berbeda  denga  orang  lainnya.  Dengan  menggunakan  pendekatan  kualitatif  maka proses penerimaan diri  yang  subjektif  itu dapat terungkap. Hal  ini sesuai dengan
yang  dikemukakan  oleh  Poerwandari  2007  bahwa  dalam  penelitian  kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.
Melalui  penelitian  kualitatif,  diharapkan  peneliti  akan  dapat  melihat proses  penerimaan  diri  pada  remaja  tunadaksa  karena  kecelakaan  lalu  lintas
dengan  lebih  mendalam  karena  turut  mempertimbangkan  faktor-faktor  eksternal maupun  internal  yang  mempengaruhi  subyek  penelitian.  Hal  ini  sesuai  dengan
pendapat  Poerwandari  2007  yang  menyatakan  bahwa  salah  satu  tujuan  penting
Universitas Sumatera Utara
penelitian  kualitatif  adalah  diperolehnya  pemahaman  yang  menyeluruh  dan  utuh tentang fenomena yang diteliti.
III.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Poerwandari  2007  menjelaskan  mengenai  kasus  yaitu  fenomena  khusus  yang
hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan konteks  tidak  terlalu  jelas.  Kasus  yang  dimaksud  dapat  berupa  individu,  peran,
kelompok  kecil,  organisasi,  komunitas,  atau  dapat  berupa  bangsa.  Kasus  juga dapat  berupa  keputusan,  kebijakan,  proses,  dan  lain  sebagainya.  Punch  1998;
Poerwandari,  2007  menjelaskan  beberapa  tipe  yang  dapat  diteliti  dengan menggunakan  studi  kasus  yaitu  individu-individu,  karakteristik  atau  atribut  dari
individu,  aksi  dan  interaksi,  peninggalan  atau  artefak  perilaku,  setting,  serta peristiwa atau insiden tertentu.
Pada  penelitian  ini  tipe  studi  kasus  yang  digunakan  adalah  studi  kasus intrinsik.  Di  mana  yang  dimaksud  dengan  studi  kasus  intrinsik  adalah  penelitian
dilakukan  karena  ketertarikan  atau  kepedulian  pada  suatu  kasus.  Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan
untuk  menghasilkan  konsep-konsepteori  ataupun  tanpa  adanya  upaya  untuk menggeneralisasi.  Penelitian  akan  dilakukan  dengan  melihat  kasus  berbeda  yang
terjadi pada dua orang subjek dengan karakteristik yang sama.
Universitas Sumatera Utara
III.3 Metode Pengumpulan Data
Poerwandari 2007 menyatakan ada beberapa metode pengumpulan data yang  digunakan  dalam  penelitian  kualitatif.  Metode-metode  ini  dapat
dikombinasikan satu sama lain, bahkan juga dapat dikombinasikan dengan metode kuantitatif.  Dalam  penelitian  ini,  peneliti  mengumpulkan  data  dengan
menggunakan  metode  wawancara  dan  selama  wawancara  akan  dilakukan observasi.
III.3.A. Wawancara
Wawancara  adalah  percakapan  dan  tanya  jawab  yang  diarahkan untuk  mencapai  tujuan  tertentu.  Wawancara  kualitatif  dilakukan  apabila
peneliti  bermaksud  untuk  memperoleh  pengetahuan  tentang  makna- makna  subjektif  yang  dipahami  individu  berkenaan  dengan  topik  yang
diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal  yang  tidak  dapat  dilakukan  melalui  pendekatan  lain  Banister  dkk.,
1994  dalam  Poewandari,  2007.  Wawancara  adalah  proses  komunikasi interaksional  antara  dua  pihak,  setidaknya  satu  orang  memiliki  tujuan
yang  meliputi  proses  bertanya  dan  menjawab  pertanyaan  Stewart Cash, 2003.
Jenis  wawancara  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah wawancara  mendalam.  Jenis  wawancara  ini  digunakan  agar  dapat
mengali  lebih  dalam  proses  penerimaan  diri  pada  remaja  penyandang tunadaksa  karena  kecelakaan  lalu  lintas  dengan  melihat  faktor-faktor
penerimaan diri.
Universitas Sumatera Utara
Banister  1994  menjelaskan  bahwa  wawancara  mendalam  adalah wawancara  yang  tetap  menggunakan  pedoman  wawancara,  namun
penggunaannya tidak
sekedar wawancara
terstruktur dalam
Poerwandari,  2007.  Pedoman  wawancara  ini  dibuat  berdasarkan  pada teori faktor penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock 1974.
Pedoman  wawancara  ini  juga  digunakan  untuk  memandu  peneliti mengenai  aspek-aspek  yang  harus  dibahas,  sekaligus  menjadi  daftar
pengecek check list apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.
III.4 Alat Bantu Pengumpulan Data
Menurut  Poerwandari  2007  yang  menjadi  alat  terpenting  dalam penelitian  kualitatif  adalah  peneliti  sendiri.  Namun,  untuk  memudahkan
pengumpulan  data,  peneliti  membutuhkan  alat  bantu,  seperti  alat  perekam  tape recorder,  pedoman  wawancara,  dan  catatan  lapangan  yang  akan  digunakan
selama proses pengambilan data berlangsung.
III.4.A. Alat Perekam tape recorder
Poerwandari  2007  menyatakan  sedapat  mungkin  wawancara  perlu direkam  dan  dibuat  transkripnya  secara  verbatim  kata  demi  kata,
sehingga  tidak  bijaksana  jika  peneliti  hanya  mengandalkan  ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah
mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek
Universitas Sumatera Utara
kembali  apabila  ada  hal  yang  masih  belum  lengkap  atau  belum  jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek.
III.4.B. Pedoman Wawancara
Pedoman  wawancara  digunakan  agar  wawancara  yang  dilakukan tidak  menyimpang  dari  tujuan  penelitian.  Pedoman  wawancara  ini  juga
sebagai  alat  bantu  untuk  mengkategorisasikan  jawaban  sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya
berdasarkan tujuan penelitian, tapi  juga  berdasarkan pada  berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab Poerwandari, 2007.
Pedoman  umum  wawancara  memuat  isu-isu  yang  berkaitan  dengan tema  penelitian  tanpa  menentukan  urutan  pertanyaan  karena  akan
disesuaikan  dengan  situasi  dan  kondisi  saat  wawancara  berlangsung. Pedoman  ini  digunakan  untuk  mengingatkan  sekaligus  sebagai  daftar
pengecek  bahwa  semua  aspek  yang  relevan  telah  dibahas  atau ditanyakan.
III.5 Subjek Penelitian III.5.A. Karakteristik Subjek Penelitian
Pada  penelitian  ini,  karakteristik  subjek  yang  dikehendaki  adalah remaja  dengan  rentang  usia  11-20  tahun  Papalia,  Olds,  dan  Feldman,
2007. Karakteristik lain adalah subjek mengalami kecelakaan lalu lintas yang  menyebabkan  subjek  kehilangan  salah  satu  anggota  tubuh.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian  ini  akan diadakan di  kota Medan, karena  mempertimbangkan keterbatasan  biaya,  waktu,  dan  tenaga  peneliti,  sehingga  dapat
mempermudah peneliti untuk memperoleh dan mengumpulkan data.
III.5.B. Jumlah Subjek Penelitian
Penelitian  ini  akan  mengambil  sampel  sebanyak  2  orang.  Jumlah sampel  yang tergolong  sedikit dikarenkan penelitian dengan pendekatan
kualitatif  ini  memerlukan  pendekatan  yang  lebih  mendalam  kepada subjek-subjek  penelitiannya,  sehingga  jumlah  sampel  yang  sedikit  akan
memaksimalkan jalannya penelitian ini.
III.5.C. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian
Patton  1990;  Poerwandari,  2007  menjelaskan  pedoman  pengambilan sampel pada penelitian kualitatif yang harus disesuaikan dengan masalah dan
tujuan  penelitian.  Untuk  itu  pada  penelitian  ini,  teknik  sampling  untuk menentukan  subjek  penelitiannya  adalah  teknik  pengambilan  sampel  yang
berfokus  pada  intensitas.  Di  mana  teknik  ini  bertujuan  untuk  memperoleh data  yang  kaya  mengenai  suatu  fenomena  tertentu.  Subjek  yang  diambil
dengan  teknik  ini  merupakan  subjek  yang  dianggap  mewakili  fenomena secara  intens  Poerwandari,  2007.  Fenomena  yang  terdapat  pada  penelitian
ini  adalah  kecelakaan  lalu  lintas  dengan  subjek  penelitian  adalah  remaja- remaja  yang  menjadi  korban  dalam  kecelakaan-kecelakaan  lalu  lintas
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
III.6 Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif
Kredibilitas  menjadi  istilah  yang paling  banyak dipilih untuk  mengganti konsep  validitas,  dimaksudkan  untuk  merangkum  bahasan  menyangkut  kualitas
penelitian  kualitatif.  Kredibilitas  dalam  penelitian  kualitatif  terletak  pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan
setting,  proses,  kelompok  sosial  atau  pola  interaksi  yang  kompleks.  Deskripsi mendalam  yang  menjelaskan  kompleksitas  aspek-aspek  terkait  disebut  variabel
pada  penelitian  kuantitatif  dan  interaksi  dari  berbagai  aspek  menjadi  salah  satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif Poerwandari, 2007.
Upaya untuk  menjaga kredibilitas dan keobjektifan penelitian  ini adalah sebagai berikut.
1. Memilih subjek dengan karakteristik yang telah ditentukan, dalam hal
ini  yaitu  remaja  laki-laki  atau  perempuan  usia  11-20  tahun  yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya karena kecelakaan lalu lintas.
2. Membuat  pedoman  wawancara  yang  sesuai  dengan  teori  tahapan
penerimaan diri. 3.
Menggunakan  pertanyaan  terbuka  dalam  wawancara  agar memperoleh hasil yang lebih akurat.
4. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen-dosen yang
ahli dalam metode kualitatif dan bahasan penelitian untuk berdiskusi, memberikan  masukan  dan  kritikan  agar  memperkecil  kesalahan
akibat keterbatasan yang dimiliki peneliti.
Universitas Sumatera Utara
III.7 Prosedur Penelitian
Prosedur  penelitian  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  sesuai  dengan yang diungkapkan Bogdan dalam Moleong, 2006. Terdapat tiga tahapan dalam
prosedur  penelitian  kualitatif,  yaitu  tahap  pralapangan,  pekerjaan  lapangan,  dan tahap analisis data.
III.7.A. Tahap Pralapangan
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang  diperlukan  untuk  melaksanakan  penelitian  Moleong,  2006,  yaitu
sebagai berikut: 1.
Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan penerimaan diri,  tunadaksa,  dam  remaja  baik  yang  berasal  dari  teori  maupun  dari
literatur lepas seperti artikel. 2.
Menyusun pedoman wawancara. Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan  kerangka  teoritis  untuk  menjadi  pedoman  dalam  proses
wawancara. 3.
Persiapan  untuk  pengumpulan  data.  Peneliti  mencari  beberapa  orang subjek yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta
kesediaannya  informed  consent  untuk  menjadi  subjek  penelitian  dan mengumpulkan informasi tentang calon subjek penelitian tersebut.
4. Membangun  rapport.  Setelah  memperoleh  kesediaan  dari  subjek
penelitian,  peneliti  meminta  kesediaan  untuk  bertemu  dan  mulai membangun  rapport.  Setelah  peneliti  dan  subjek  penelitian  mengadakan
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.
III.7.B. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah  diadakan  kesepakatan,  maka  peneliti  mulai  melakukan wawancara.  Wawancara  akan  dilakukan  di  tempat  yang  ditentukan  oleh
subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga  akhir.  Peneliti  juga  akan  mencatat  bahasa  non  verbal  responden
ketika wawancara berlangsung sebagai bentuk observasi.
III.7.C. Tahap Pencatatan Data
Untuk  memudahkan  pencatatan  data,  peneliti  menggunakan  alat perekam  sebagai  alat  bantu  agar  data  yang  diperoleh  dapat  lebih  akurat
dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta  izin kepada  subjek penelitian untuk merekam wawancara  yang
akan  dilakukan.  Setelah  wawancara  dilakukan,  peneliti  membuat verbatim dari wawancara tersebut.
III.8 Metode Analisis Data
Beberapa  tahapan  dalam  menganalisis  data  kualitatif  menurut Poerwandari 2007, yaitu :
1. Koding Koding  adalah  proses  membubuhkan  kode-kode  pada  materi  yang
diperoleh.  Koding  dimaksudkan  untuk  dapat  mengorganisasikan  dan
Universitas Sumatera Utara
mensistemasi  data  secara  lengkap  dan  mendetail  sehingga  data  dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.
Proses pengkodingan akan dilakukan setelah wawancara berlangsung. Hal ini  juga  berguna  agar  memudahkan  peneliti  dalam  mengarsipkan  data-data
yang didapat dari lapangan. 2. Organisasi Data
Highlen  dan  Finley  dalam  Poerwandari,  2007  menyatakan  bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :
a Memperoleh data yang baik,
b Mendokumentasikan analisis yang dilakukan,
c Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.
Hal-hal  yang  penting  untuk  disimpan  dan  diorganisasikan  adalah  sebagai berikut.
1 Data mentah catatan lapangan dan kaset hasil rekaman
2 Data yang sudah diproses sebagiannya transkrip wawancara
3 Data  yang  sudah  ditandaidibubuhi  kode-kode  spesifik  dapat  terdiri  dari
beberapa tahapan pengolahan 4
Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori secara luas melalui skema 5
Memo dan dan draft insight untuk analisis data refleksi konseptual peneliti mengenai arti konseptual data
6 Catatan  pencarian  dan  penemuan  search  and  retrieval  records,  yang
disusun untuk memudahkan pencarian berbagai kategori data
Universitas Sumatera Utara
7 Display  data  melalui  skema  atau  jaringan  informasi  dalam  bentuk
padatesensial 8
Episode analisis dokumentasi dari langkah-langkah dan proses penelitian 9
Dokumentasi  umum  yang  kronologis  mengenai  pengumpulan  data  dan langkah analisis
10 Daftar indeks dari semua material
11 Teks laporan draft yang terus menerus ditambah dan diperbaiki
3. Analisis Tematik Penggunaan  analisis  tematik  memungkinkan  peneliti  menemukan  pola
yang  pihak  lain  tidak  bisa  melihatnya  secara  jelas.  Pola  atau  tema  tersebut tampil  seolah  secara  acak  dalam  tumpukan  informasi  yang  tersedia.  Analisis
tematik  merupakan  proses  mengkode  informasi,  yang  dapat  menghasilkan daftar  tema,  model  tema,  atau  indikator  yang  kompleks,  kualifikasi  yang
biasanya  terkait  dengan  tema  itu  atau  hal-hal  di  antara  gabungan  dari  yang telah  disebutkan.  Tema  tersebut  secara  minimal  dapat  mendeskripsikan
fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena. 4. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan  adalah  kesimpulan  sementara.  Dengan  mempelajari  data  kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan
sementara.  Dugaan  yang  dikembangkan  tersebut  juga  harus  dipertajam  dan diuji  ketepatannya.  Begitu  tema-tema  dan  pola-pola  muncul  dari  data,  untuk
meyakini  temuannya,  selain  mencoba  untuk terus  menajamkan  tema  dan  pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran
Universitas Sumatera Utara
berbeda  dari  pola-pola  yang  muncul  tersebut.  Hal  ini  berkaitan  erat  dengan upaya  mencari  penjelasan  yang  berbeda-beda  mengenai  data  yang  sama.
Berbagai  perspektif  harus  disesuaikan  untuk  memungkinkan  keluasan  analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.
5. Tahapan Interpretasi
Kvale dalam Poerwandari, 2007 menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada  upaya  memahami  data  secara  lebih  ekstensif  sekaligus  mendalam.  Ada
tiga  tingkatan  konteks  interpretasi  yang  diajukan  Kvale  dalam  Poerwandari, 2007,  yaitu:  pertama,  konteks
interpretasi  pemahaman  diri  self understanding  terjadi  bila  peneliti  berusaha  memformulasikan  dalam  bentuk
yang lebih padat condensed apa yang oleh subjek penelitian sendiri dipahami sebagai  makna  dari  pernyataan-pernyataannya.  Kedua,  konteks  interpretasi
pemahaman  biasa  yang kritis „criticial commonsense understanding‟ terjadi bila  peneliti  berpijak  lebih  jauh  dari  pemahaman  diri  subjek  penelitiannya.
Peneliti  mungkin  akan  menggunakan  kerangka  pemahaman  yang  lebih  luas daripada  kerangka  pemahaman  subjek,  bersifat  kritis  terhadap  apa  yang
dikatakan  subjek,  baik  dengan  memfokuskan  pada  „isi‟  pernyataan  maupun pada  subjek  yang  membuat  pernyataan.  Ketiga,  konteks  interpretasi
pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga  ini, kerangka  teoritis  tertentu  digunakan  untuk  memahami  pernyataan-pernyataan
yang  ada,  sehingga  dapat  mengatasi  konteks  pemahaman  diri  subjek  ataupun penalaran umum.
Universitas Sumatera Utara
47
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN