c. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi atau acuan bagi
kalangan yang tertarik pada kehidupan anak berkebutuhan khusus khususnya remaja penyandang tunadaksa.
I.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
BAB I Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta
sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai
remaja, tunadaksa, dan penerimaan diri.
BAB III Metodologi Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpul data, teknik pengambilan
sampling, subjek penelitian, panduan wawancara dan observasi, prosedur penelitian, serta prosedur analisis data.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV Analisis Data dan Pembahasan
Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan hasil data wawancara pada partisipan penelitian. Data-data tersebut akan
dibahas sesuai dengan teori proses penerimaan diri untuk menjawab pertanyaan penelitian.
BAB V Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini, di dalamnya dibahas kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang
telah dilakukan.
Universitas Sumatera Utara
13
BAB II LANDASAN TEORI
II.1Penerimaan Diri II.1.A Definisi
Germer 2009 menyatakan bahwa orang yang menerima dirinya adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi,
perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke waktu. Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang
muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana yang ada pada dirinya. Definisi menurut Hurlock 1974
yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tingkat dimana individu memiliki kesadaran mengenai karakteristik dirinya, mampu dan mau
hidup dengan kondisi itu. Jersild dalam Hurlock 1974 juga menjelaskan mengenai penerimaan diri:
“The self-accepting person has a realistic appraisal of his resorces combined with appreciation of his own worth ;
assurance about standards and convictions of his own without being a slave to the opinions of others; and realistic assessment
of limitations without irrational self-reaproach. Self-accepting people recognize their assets and are free to draw upon them even
if they are not all that could be desired. They also recognize their
Universitas Sumatera Utara
shortcomings without needlessly blaming themselves ” Jersild,
dalam Hurlock 1974, hal. 434 Berdasarkan definisi di atas, maka Jersild menyimpulkan bahwa
orang-orang yang menerima dirinya memiliki penilaian realistis terhadap sumber daya yang dimilikinya yang dikombinasikan dengan penghargaan
atas dirinya sendiri; yakin akan standar dan diri sendiri tanpa harus dikendalikan oleh orang lain; dan memiliki penilaian realistis mengenai
keterbatasan tanpa harus mencela diri sendiri. Orang yang menerima dirinya
menyadari aset-aset yang dimiliki dan bebas untuk menggunakannya bahkan jika aset tersebut tidak diinginkan. Mereka juga
mengetahui kelemahannya tanpa perlu menyalahkan dirinya. Dari pernyataan beberapa tokoh di atas mengenai penerimaan diri,
maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi di mana individu sadar akan segala yang dimilikinya dan bersedia untuk
hidup dari waktu ke waktu dengan apa yang dimilikinya tersebut baik itu berupa kelebihan ataupun kekurangan. Individu yang menerima dirinya
akan merasakan kenyamanan pada apa yang dia miliki.
II.1.B Tahap Penerimaan Diri
Germer 2009 menyatakan bahwa proses penerimaan diri sebagai bentuk keadaan melawan ketidaknyamanan terjadi dalam tahapan-
tahapan; ada pelunakan progresif, atau tidak ada perlawanan, untuk menghadapi penderitaan. Proses awal yang terjadi adalah rasa kebencian,
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah, dan jika hal-hal tersebut berjalan dengan baik maka akan berakhir dengan
merangkul apapun yang terjadi dalam hidup seorang individu. Proses ini biasanya berlangsung lama dan alami. Individu tidak dapat maju
ketahapan selanjutnya jika ia tidak merasa sepenuhnya nyaman pada satu tahapan. Tahapan-tahapan penerimaan diri tersebut adalah sebagai
berikut.
Tahap 1: Aversion ─ kebenciankeengganan, menghindari, resisten Reaksi alami pada perasaan yang membuat tidak nyaman adalah
kebencian atau keengganan. Kebenciankeengganan ini juga dapat membentuk keterikatan mental atau perenungan─mencoba mencari
tahu bagaimana cara untuk menghilangkan perasaan tersebut.
Tahap 2: Curiosity ─ melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian Pada tahapan ini individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada
hal-hal yang dirasa perlu untuk diperhatikan. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya muncul adalah “Perasaan apa ini?” “Apa artinya
perasaan ini?” “Kapan perasaan ini terjadi?”.
Tahap 3: Tolerance ─ menanggung derita dengan aman Toleransi berarti menanggung rasa sakit emosional yang dirasakan,
tetapi individu tetap melawannya dan berharap perasaan tersebut akan segera hilang.
Tahap 4: Allowing ─ membiarkan perasaan datang dan pergi
Universitas Sumatera Utara
Pada tahapan ini individu membiarkan perasaan tidak nyamannya datang dan pergi.
Tahap 5: Friendship─merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi
Individu melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit menimpanya. Hala ini merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan
diri.
II.1.C Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Hurlock 1974
dalam buku
Personality Development
mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, seperti:
1. Pemahaman Diri
Pemahaman diri seseorang tidak ditentukan oleh kapasitas intelektualnya, tapi melalui kesempatan untuk menggali potensi dalam
dirinya. Individu harus memiliki kesempatan untuk mencoba kemampuannya tanpa harus dihalangi oleh orang lain.
Pemahaman dan penerimaan diri berhubungan erat. Semakin baik seseorang memahami dirinya, semakin dapat ia menerima dirinya, dan
sebaliknya. Kurangnya pemahaman diri dapat mengarah kepada kesenjangan antara konsep diri yang ideal dan gambaran yang ia
terima melalui kontak sosial, yang membentuk dasar konsep diri.
2. Harapan yang Realistik
Ketika harapan seseorang untuk sebuah pencapaian bersifat realistis, maka kinerjanya akan meningkat sesuai dengan harapannya.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini akan berkontribusi kepada kepuasan diri yang sangat penting dalam penerimaan diri. Harapan dapat menjadi kenyataan ketika
seseorang cukup memahami dirinya sendiri untuk dapat mengenali keterbatasan dan kekuatannya.
3. Tidak Adanya Hambatan di Dalam Lingkungan
Ketidakmampuan seseorang untuk mencapai tujuan hidup yang realistis dapat berasal dari hambatan yang berasal dari lingkungan
yang tidak dapat dikendalikan, misalnya seperti diskriminasi ras, jenis kelamin, maupun agama. Ketika hal ini terjadi, seseorang yang
mengetahui potensinya akan sulit untuk menerima diri. Ketika lingkungan mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan, maka
ia akan puas dengan pencapaian yang membuktikan bahwa harapannya adalah suatu hal yang realistis.
4. Sikap-Sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan
Seseorang yang mendapatkan sikap yang menyenangkan dari masyarakat lebih dapat menerima dirinya. Tiga hal yang mengarah
kepada evaluasi sosial yang menyenangkan adalah tidak adanya prasangka terhadap individu dan anggota keluarganya; memiliki
keahlian sosial; dan mau untuk menerima kelompok.
5.
Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat Stres
secara emosional
dapat mengarah
kepada ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Ketidakseimbangan fisik
yang diikuti oleh stres emosional dapat membuat seseorang bekerja
Universitas Sumatera Utara
dengan kurang efisien, mengakibatkan kelelahan, dan bereaksi secara negatif kepada orang lain.
Tidak adanya stres dapat membuat seseorang melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya. Selain itu, seseorang dapat menjadi lebih
rileks dan bahagia. Kondisi sepeti ini berkontribusi kepada evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar bagi evaluasi dan penerimaan diri
yang baik pula.
6. Pengaruh Keberhasilan
Pengaruh kegagalan dapat mengarah kepada penolakan diri, dan pengaruh kesuksesan dapat mengarah kepada penerimaan diri.
Kegagalan yang seringkali dirasakan seseorang akan membuat kesuksesan diartikan lebih bermakna.
7. Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik
Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang yang menyesuaikan diri dengan baik dapat mengembangkan sikap
yang positif terhadap hidup dan berperilaku yang mengarah kepada penilaian dan penerimaan diri yang baik.
8. Perspektif Diri
Seseorang yang dapat melihat dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya memiliki pemahaman diri yang baik dibandingkan
dengan seseorang yang perspektif dirinya cenderung sempit dan terdistorsi. Perspektif diri yang baik dapat mendukung penerimaan
diri.
Universitas Sumatera Utara
9. Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik
Inti dari konsep diri yang menentukan penyesuaian diri seseorang di masa depan berawal dari masa kanak-kanak. Pengasuhan secara
demokratis mengarah kepada pola kepribadian yang sehat. Selain itu pada pengasuhan ini, peraturan-peraturan yang dijelaskan kepada anak
dapat membuat anak dihormati sebagai seorang manusia. Anak akan belajar untuk menghormati dirinya dan bertanggung jawab untuk
mengendalikan perilakunya dengan kerangka peraturan yang telah ditetapkan.
10. Konsep Diri yang Stabil
Konsep diri yang stabil merupakan cara seseorang melihat dirinya dengan cara yang sama sepanjang waktu. Konsep diri yang baik
mengarah kepada penerimaan diri, sedangkan konsep diri yang buruk mengarah kepada penolakan diri. Jika seseorang mengembangkan
kebiasaan untuk menerima dirinya, maka hal itu akan menguatkan konsep diri yang baik sehingga penerimaan diri akan menjadi suatu
kebiasaan bagi individu tersebut.
II.1.D Dampak Penerimaan Diri
Penelitian menunjukkan pengaruh yang luas dari penerimaan diri. Hurlock 1974 membagi dampak dari penerimaan diri menjadi dua
kelompok besar – terhadap penyesuaian diri dan penyesuaian sosial.
Universitas Sumatera Utara
1. Dampak Terhadap Penyesuaian Diri
Orang dengan penerimaan diri mampu mengenali kelebihan maupun kekurangannya. Salah satu karakteristik orang yang
penyesuaian dirinya baik adalah ia dapat mengenali dan menekankan kelebihannya terlebih dahulu dibandingkan dengan kekurangannya.
Seseorang dengan penerimaan diri yang baik memiliki kepercayaan diri dan self-esteem yang baik. Ia mau untuk menerima
kritikan. Ia bahkan membuat critical self-appraisals untuk membantunya mengenali dan memperbaiki kelemahannya.
Penerimaan diri diikuti dengan personal security. Hal ini mendorong seseorang untuk percaya bahwa ia dapat mengendalikan
permasalahan hidup dan bahwa ia diterima oleh orang-orang penting di dalam hidupnya. Orang-orang yang menerima dirinya mampu
mengevaluasi diri secara realistis sehingga ia dapat menggunakan kapasitas dirinya secara efektif.
Orang yang dapat menerima dirinya tidak mau menjadi orang lain. Ia puas dengan menjadi dirinya sendiri. Ia akan meningkatkan
kualitas dirinya yang baik dan menghilangkan kuailtas diri yang buruk.
2. Dampak Terhadap Penyesuaian Sosial
Penerimaan diri seseorang diikuti oleh penerimaan oleh orang lain. Orang-orang yang mampu menerima dirinya tertarik untuk
berhubungan dengan orang lain dan merasa empati – kemampuan
Universitas Sumatera Utara
untuk menempatkan diri dalam pemikiran, perasaan, dan tindakan orang lain. Hasilnya, ia akan memiliki penyesuaian sosial yang lebih
baik. Orang-orang yang menerima dirinya memiliki toleransi kepada
orang lain, mengabaikan kelemahannya. Toleransi juga sejalan dengan keinginan untuk menolong orang lain. Ia mau untuk membantu orang
lain yang memerlukan bantuannya. Secara umum, semakin seseorang dapat menerima dirinya, ia akan lebih diterima orang lain di
kehidupan sosial.
II.1.E Ciri-Ciri Orang yang Menerima Dirinya
Ciri-ciri orang yang menerima dirinya menurut Sheere dalam Cronbach, 1963 adalah :
a. Mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya.
b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain.
c. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. d. Menerima pujian dan celaan secara objektif.
e. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan beberapa ciri di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah orang yang merasa dirinya
berharga dengan menerima kekurangan dan kelebihan dirinya serta berpikir objektif akan kritikan atau celaan yang diterimanya. Sehingga
mempunyai keyakinan untuk menghadapi kehidupannya dengan bertanggung jawab akan setiap perilakunya.
II.2 Tunadaksa II.2.A Definisi
Tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan “daksa” yang berarti tubuh. Menurut Direktorat Pendidikan Luar
Biasa, istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak tunadaksa adalah anak yang memiliki cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi. Dalam
bahasa asing sering dikenal dengan istilah crippled, physically handicapped, physically disable, dan sebagainya. Keragaman istilah yang
dikemuakakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari alasan para ahli yang menentukan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda, tapi
secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama Pendidikan, 2006.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat menyebutkan bahwa penderita
cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan memiliki kelainan fisik dan atau mental yang oleh karenanya dapat
Universitas Sumatera Utara
menjadi rintangan atau hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat pada bagian penjelasan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan
gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara Raharjo, dalam Wrastari,
2003. Menurut
Mangunson dalam
Suranti, 2008
cacat fisik
didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh seperti keadaan normal. Berdasarkan ketiga definisi di atas, cacat fisik adalah kelainan fisik dan
atau mental sehingga timbul rintangan dan hambatan
yang mengakibatkan tubuh tidak mampu berfungsi secara normal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tunadaksa yang sering juga disebut cacat fisik adalah seseorang yang
memiliki hambatan fisik yang mengakibatkan munculnya beberapa gangguan pada fungsi tubuh, seperti gerak tubuh ataupun mental yang
tidak dapat berfungsi secara normal.
II.2.B Penyebab Tunadaksa
Suhartono dalam Suranti, 2008 menemukan sebab-sebab cacat fisik sebagai berikut:
1. Cacat sejak lahir karena proses kelahiran individu sudah dalam keadaan cacat.
Universitas Sumatera Utara
2. Cacat non bawaan adalah cacat yang dialami individu bukan sejak lahir tetapi terjadi pada masa pertumbuhan yang disebabkan oleh
penyakit, kecelakaan dan peperangan. Menurut Koening dalam Somantri, 2006, tunadaksa dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan
keturunan, meliputi: 1. Club-foot kaki seperti tongkat
2. Club-hand tangan seperti tongkat 3. Polydctylism jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan
atau kaki 4. Torticolis gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka
5. Syndactylism jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya
6. Cretinism kerdil atau katai 7. Mycrocepalus kepala yang kecil, tidak normal
8. Hydrocepalus kepala yang besar karena adanya cairan 9. Herelip gangguan pada bibir dan mulut
10.Congenital amputation bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu
Universitas Sumatera Utara
b. Kerusakan pada waktu kelahiran : 1.
Erb‟s palys kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran
2. Fragilitas osium tulang yang rapuh dan mudah patah
c. Infeksi : 1. Tuberkolosis tulang menyerang sendi paha sehingga menjadi
kaku 2. Osteomyelitis radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang
karena bakteri 3. Poliomyelitis
infeksi virus
yang mungkin
menyebabkan kelumpuhan
4. Tuberkolosis pada lutut atau sendi lain
d. Kondisi traumatik : 1. Amputasi anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan
2. Kecelakaan akibat luka bakar 3. Patah tulang
II.2.C Tunadaksa Akibat Kecelakaan Lalu Lintas
Koening dalam Somantri, 2006 menyebutkan bahwa salah satu penyebab seorang individu menjadi penyandang tunadaksa adalah
dikarenakan kecelakaan, yang mana salah satu bentuk kecelakaan adalah
Universitas Sumatera Utara
kecelakaan saat berkendara yang sering dikenal dengan kecelakaan lalu lintas Baltus, 1983.
Hawari 1996 menyatakan bahwa pada dasarnya cacat fisik karena kecelakaan merupakan sumber stres yang menimbulkan depresi. Orang
yang mengalami kecelakaan terkadang dihadapkan pada ketidakpastian mengenai keadaannya, apalagi setelah dia mengetahui keadaan fisiknya
yang tidak sesuai dengan harapannya. Keadaan seperti ini bisa menyebabkan depresi sebab dia sendiri belum siap secara mental untuk
menerima keadaannya.
II.2.D Reaksi Terhadap Kondisi Tunadaksa
Berbagai reaksi yang timbul pada tunadaksa dipengaruhi oleh berbagai faktor Hurlock, 1974, yaitu :
a. Usia ketika terjadinya cacat tubuh dapat mempengaruhi reaksi individu mengenai kondisi kecacatannya. Jika cacat tubuh terjadi pada
awal kehidupan, biasanya penyesuaian yang terjadi akan sangat baik. b. Reaksi masyarakat cenderung lebih menyenangkan pada cacat tubuh
daripada cacat mental. c. Berat ringannya kecacatan.
d. Pengakuan adanya perbedaan. e. Sikap sosial atau masyarakat yang berakibat pada sikap individu.
f. Sikap individu terhadap cacat yang ditentukan oleh sikap sosial.
Universitas Sumatera Utara
II.3 Remaja II.3.A Definisi
Pengertian remaja menurut Papalia, Olds, dan Feldman 2007 adalah transisi perkembangan yang dimulai dari usia 10 atau 11 tahun
hingga awal usia dua puluhan yang berhubungan dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Masa remaja diawali dengan dimulainya
pubertas, sebuah proses yang mengarah kepada kematangan seksual atau kesuburan
– kemampuan untuk bereproduksi. Remaja menurut Dariyo 2004 adalah masa transisi satau peralihan
dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial yang berkisar di antara usia
12-13 tahun sampai 21 tahun. Thornburg dalam Dariyo 2004 membagi remaja ke dalam tiga tahap, yaitu remaja awal usia 13-14 tahun, remaja
tengah usia 15-17 tahun, dan remaja akhir usia 18-21 tahun. Berdasarkan definisi di atas, masa remaja merupakan masa transisi
dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang diawali oleh masa pubertas di usia 10 hingga 21 tahun dengan perubahan pada aspek fisik,
psikis, dan psikososial. Masa remaja juga terbagi ke dalam 3 tahap, yaitu remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir.
II.3.B Tugas Perkembangan Remaja
Pada tahap remaja, Havighurst dalam Agustiani, 2006 menggambarkan delapan tugas perkembangan remaja yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Mencapai relasi baru dan lebih matang bergaul dengan teman seusia
dari kedua jenis kelamin. 2.
Mencapai maskulinitas dan femininitas dari peran sosial. 3.
Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif. 4.
Mencapai ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya.
5. Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
6. Menyiapkan diri untuk karir ekonomi.
7. Menemukan set dari nilai-nilai dan sistem etika sebagai petunjuk
dalam berperilaku mengembangkan ideologi. 8.
Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah laku sosial secara bertanggung jawab.
II.3.C Remaja Penyandang Tunadaksa
Kondisi tunadaksa dapat terjadi pada siapa saja tidak terkecuali remaja. Remaja penyandang tunadaksa akan memiliki permasalahan,
salah satunya adalah permasalahan pada gambaran tubuh body image, yang merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja.
Somantri 2006 menjelaskan bahwa kondisi tunadaksa yang dialami pada remaja akan membawa pengaruh pada persepsi gambaran tubuh
mereka, hal ini merupakan bentuk permasalahan dalam perkembangan kepribadian pada tunadaksa. Kekurangan pada bagian tubuh remaja
Universitas Sumatera Utara
penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif.
Hill dan Mönks dalam Mönks dan Knoers, 1999 : hal.268, menyatakan bahwa penyimpangan-penyimpangan pada masa remaja
akan menimbulkan masalah-masalah yang berhubungan dengan penilaian diri dan sikap sosialnya, oleh karena itu kondisi tunadaksa pada masa
remaja akan mempengaruhi penilaian diri remaja sedemikian rupa sehingga menghambat perkembangan kepribadian yang sehat. Conger
dalam Crider dkk., 1983, menyatakan bahwa cacat tubuh tunadaksa yang berat akan mempengaruhi penilaian diri remaja.
II.4 Penerimaan Diri pada Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas
Kondisi ketidaknormalan yang dialami oleh seorang remaja dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikisnya. Penyebab ketidaknormalan
pada seorang remaja dapat terjadi karena bawaan lahir atau karena kejadian- kejadian selama masa hidup yang menimbulkan bekas yang tidak normal.
Walaupun kedua penyebab tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan kehidupan seorang remaja, namun penyebab yang dikarenakan
tidak bawaan dari lahir akan lebih buruk mempengaruhi perkembangan fisik dan psikis remaja tersebut. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang sudah
Universitas Sumatera Utara
merasakan keleluasaan dalam hidupnya akan berat menerima ketika dihadapkan pada keterbatasan Patty Johnson, 1953.
Salah satu kondisi yang membuat remaja menjadi tidak normal adalah kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas dapat memakan korban jiwa dan
dapat juga meninggalkan bekas luka yang sangat parah, dalam hal ini seperti amputasi pada salah satu anggota tubuh. Kondisi ketidaknormalan karena
amputasi ini dapat disebut cacat fisik atau tunadaksa. Remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas akan mengalami
berbagai macam dampak dari hilangnya salah satu anggota tubuhnya tersebut. Somantri 2006 menjelaskan dampak tunadaksa secara perkembangan sosial
dan kepribadian, di mana secara perkembangan sosial anak tunadaksa akan memiliki konsep diri yang negatif akibat kerap kali mendapat ejekan dari
lingkungan disekitarnya. Hal tersebut dapat membuat anak tunadaksa manarik diri dari lingkungan sekitarnya. Jika seorang remaja dibiarkan untuk tidak
bergaul dalam lingkungan sekitarnya, maka remaja tersebut akan kehilangan kesempatan untuk bereksperimen mengenai peran dan ideologi yang berbeda-
beda yang nantinya akan disesuaikan dengan dirinya Schultz Schultz, 1994. Dampak lainnya secara perkembangan kepribadian adalah anak tunadaksa kerap
kali menunjukkan sifat rendah diri, cemas, dan agresif. Hal-hal tersebut dipengaruhi oleh terlihat atau tidak terlihatnya kecacatan yang dimiliki yang
berkaitan dengan gambaran tubuh.
Universitas Sumatera Utara
Kecacatan yang dialami oleh remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas harus bisa diterima oleh remaja tersebut. Penerimaan akan
dirinya yang tidak lagi sempurna ini akan membantu remaja tunadaksa lebih mudah menjalani kehidupan dengan kecacatan yang dimiliki. Penerimaan diri
dapat membantu penyandang tunadaksa menjalani hidupnya agar lebih bahagia dan sejahtera walaupun dengan kekurangan yang dimilikinya. Penerimaan diri
menurut Germer 2009 adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke
waktu. Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana
yang ada pada dirinya. Pada seorang remaja yang sedang mengalami berbagai macam perubahan seperti fisik, mental, maupun kehidupan sosial, tentunya
penerimaan diri ini sangat dibutuhkan agar memperoleh kebahagian Hurlock, 1993.
Seseorang yang ingin menerima dirinya akan masuk dalam sebuah proses. Germer 2009 menjelaskan mengenai proses penerimaan diri yang
dibagi ke dalam lima tahapan, yaitu tahap pertama adalah kebencian atau keengganan aversion, pada saat seseorang dihadapkan pada kondisi tidak
nyaman, maka orang tersebut akan merasa enggan atau benci pada hal yang membuatnya tidak nyaman tersebut. Tahap kedua adalah keingintahuan
curiosity, orang tersebut akan mulai untuk mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan perasaan tidak nyamannya tersebut seperti ada apa dengan perasaannya,
apa yang terjadi, apa maksud dari perasaannya tersebut. Selanjutnya tahap ketiga
Universitas Sumatera Utara
yaitu toleransi, individu tersebut mulai mengurangi perasaan tidak nyamannya, namun tetap mempunyai keinginan agar perasaan tersebut segera hilang. Tahap
keempat adalah membiarkan perasaan datang dan pergi allowing, individu membiarkan perasaan tidak nyamannya datang dan pergi sebagaimana mestinya.
Tahap terakhir dari penerimaan diri adalah melihat nilai-nilai yang tidak terlihat friendship, individu sudah mulai beradaptasi dengan perasaan tidak nyamannya
tersebut dan mulai melihat hikmah dari kondisi atau kejadian yang memberikan perasaan tidak nyaman terhadapnya.
Pencapaian setiap tahapan penerimaan diri dapat dibantu dengan faktor- faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock
1974. Untuk bisa menerima dirinya seseorang harus paham akan dirinya sendiri. Hal tersebut merupakan faktor penerimaan diri yang oertama menurut
Hurlock 1974. Orang yang memiliki pemahaman diri akan mengetahui potensi dalam dirinya yang dapat membantu untuk menciptakan konsep diri yang ideal
untuk dirinya. Faktor kedua adalah harapan yang realistik, di mana harapan dengan pencapaian yang realistik akan memberikan kepuasan diri yang
berpengaruh terhadap penerimaan diri. Faktor ketiga adalah tidak adanya hambatan di dalam lingkungan, seseorang yang tidak mempunyai hambatan
dalam lingkungannya akan lebih mudah mengetahui potensi yang ada pada dirinya dan mudah untuk menerima dirinya. Seseorang juga akan lebih mudah
menerima dirinya apabila mendapat perlakuan yang menyenangkan dari masyarakat. Hal tersebut merupakan faktor keempat dalam penerimaan diri.
Selanjutnya faktor kelima adalah tidak adanya gangguan emosional yang berat,
Universitas Sumatera Utara
orang yang tidak memiliki gangguan emosional seperti stres akan lebih bahagia dan dapat memberikan evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar dari
evaluasi dan penerimaan diri yang baik pula. Orang yang berhasil dan memperoleh kesuksesan akan mengarah terhadap penerimaan diri. Hal tersebut
merupakan faktor keenam penerimaan diri. Identifikasi terhadap orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan mengembangkan sikap positif pada
diri seseorang yang nantinya berpengaruh terhadap penilaian dan penerimaan diri yang baik. Faktor kedelapan adalah perspektif diri, orang yang melihat
dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya dikatakan dapat mendukung penerimaan diri. Pola asuh dimasa kecil juga mempengaruhi penerimaan diri
karena hal tersebut berkontribusi terhadap konsep diri seseorang. Faktor terakhir adalah konsep diri yang stabil, di mana dalam hal ini seseorang yang menerima
dirinya akan mampu melihat dirinya dengan cara yang sama sepanjang waktu.
Universitas Sumatera Utara
II.5 Kerangka Teoritis
Keterangan:
Kecelakaan Lalu Lintas pada Masa Remaja
Menarik diri dari lingkungan, konsep diri negatif, rendah diri,
cemas, agresif Somantri, 2006
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Penerimaan Diri Hurlock, 1974
pemahaman diri, harapan yang realistik, tidak adanya
hambatan di dalam lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat
yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional
yang berat, pengaruh keberhasilan, identifikasi
dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik,
perspektif diri, pola asuh di masa kecil yang baik, dan
konsep diri yang stabil.
Tunadaksa
Penerimaan Diri
Tahapan Penerimaan Diri Germer, 2009
Aversion
Curiosity
Tolerance
Allowing
Friendship
Kondisi Traumatik: Amputasi
: melihat proses
penerimaan diri : dipengaruhi
Gambar 1. Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas
Universitas Sumatera Utara
35
BAB III METODE PENELITIAN
III.1 Pendekatan Kualitatif
Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2006, metode penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang
akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk
menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya.
Melihat masalah yang diangkat pada penelitian ini, yaitu penerimaan diri remaja tunadaksa karena kecelakaan, pendekatan kualitiatif sangat sesuai untuk
digunakan agar dapat mengetahui bagaimana proses penerimaan diri tersebut. Proses penerimaan diri pada diri individu merupakan hal yang subjektif yang
berbeda denga orang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif maka proses penerimaan diri yang subjektif itu dapat terungkap. Hal ini sesuai dengan
yang dikemukakan oleh Poerwandari 2007 bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.
Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat proses penerimaan diri pada remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas
dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan faktor-faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi subyek penelitian. Hal ini sesuai dengan
pendapat Poerwandari 2007 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting
Universitas Sumatera Utara
penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti.
III.2 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Poerwandari 2007 menjelaskan mengenai kasus yaitu fenomena khusus yang
hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas. Kasus yang dimaksud dapat berupa individu, peran,
kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau dapat berupa bangsa. Kasus juga dapat berupa keputusan, kebijakan, proses, dan lain sebagainya. Punch 1998;
Poerwandari, 2007 menjelaskan beberapa tipe yang dapat diteliti dengan menggunakan studi kasus yaitu individu-individu, karakteristik atau atribut dari
individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu.
Pada penelitian ini tipe studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik. Di mana yang dimaksud dengan studi kasus intrinsik adalah penelitian
dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan
untuk menghasilkan konsep-konsepteori ataupun tanpa adanya upaya untuk menggeneralisasi. Penelitian akan dilakukan dengan melihat kasus berbeda yang
terjadi pada dua orang subjek dengan karakteristik yang sama.
Universitas Sumatera Utara
III.3 Metode Pengumpulan Data
Poerwandari 2007 menyatakan ada beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Metode-metode ini dapat
dikombinasikan satu sama lain, bahkan juga dapat dikombinasikan dengan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan
menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.
III.3.A. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan apabila
peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna- makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang
diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain Banister dkk.,
1994 dalam Poewandari, 2007. Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, setidaknya satu orang memiliki tujuan
yang meliputi proses bertanya dan menjawab pertanyaan Stewart Cash, 2003.
Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Jenis wawancara ini digunakan agar dapat
mengali lebih dalam proses penerimaan diri pada remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas dengan melihat faktor-faktor
penerimaan diri.
Universitas Sumatera Utara
Banister 1994 menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun
penggunaannya tidak
sekedar wawancara
terstruktur dalam
Poerwandari, 2007. Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori faktor penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock 1974.
Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk memandu peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar
pengecek check list apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.
III.4 Alat Bantu Pengumpulan Data
Menurut Poerwandari 2007 yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan
pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam tape recorder, pedoman wawancara, dan catatan lapangan yang akan digunakan
selama proses pengambilan data berlangsung.
III.4.A. Alat Perekam tape recorder
Poerwandari 2007 menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim kata demi kata,
sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah
mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek
Universitas Sumatera Utara
kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek.
III.4.B. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga
sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya
berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab Poerwandari, 2007.
Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar
pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.
III.5 Subjek Penelitian III.5.A. Karakteristik Subjek Penelitian
Pada penelitian ini, karakteristik subjek yang dikehendaki adalah remaja dengan rentang usia 11-20 tahun Papalia, Olds, dan Feldman,
2007. Karakteristik lain adalah subjek mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan subjek kehilangan salah satu anggota tubuh.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini akan diadakan di kota Medan, karena mempertimbangkan keterbatasan biaya, waktu, dan tenaga peneliti, sehingga dapat
mempermudah peneliti untuk memperoleh dan mengumpulkan data.
III.5.B. Jumlah Subjek Penelitian
Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak 2 orang. Jumlah sampel yang tergolong sedikit dikarenkan penelitian dengan pendekatan
kualitatif ini memerlukan pendekatan yang lebih mendalam kepada subjek-subjek penelitiannya, sehingga jumlah sampel yang sedikit akan
memaksimalkan jalannya penelitian ini.
III.5.C. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian
Patton 1990; Poerwandari, 2007 menjelaskan pedoman pengambilan sampel pada penelitian kualitatif yang harus disesuaikan dengan masalah dan
tujuan penelitian. Untuk itu pada penelitian ini, teknik sampling untuk menentukan subjek penelitiannya adalah teknik pengambilan sampel yang
berfokus pada intensitas. Di mana teknik ini bertujuan untuk memperoleh data yang kaya mengenai suatu fenomena tertentu. Subjek yang diambil
dengan teknik ini merupakan subjek yang dianggap mewakili fenomena secara intens Poerwandari, 2007. Fenomena yang terdapat pada penelitian
ini adalah kecelakaan lalu lintas dengan subjek penelitian adalah remaja- remaja yang menjadi korban dalam kecelakaan-kecelakaan lalu lintas
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
III.6 Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif
Kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas
penelitian kualitatif. Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan
setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kompleksitas aspek-aspek terkait disebut variabel
pada penelitian kuantitatif dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif Poerwandari, 2007.
Upaya untuk menjaga kredibilitas dan keobjektifan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memilih subjek dengan karakteristik yang telah ditentukan, dalam hal
ini yaitu remaja laki-laki atau perempuan usia 11-20 tahun yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya karena kecelakaan lalu lintas.
2. Membuat pedoman wawancara yang sesuai dengan teori tahapan
penerimaan diri. 3.
Menggunakan pertanyaan terbuka dalam wawancara agar memperoleh hasil yang lebih akurat.
4. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen-dosen yang
ahli dalam metode kualitatif dan bahasan penelitian untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritikan agar memperkecil kesalahan
akibat keterbatasan yang dimiliki peneliti.
Universitas Sumatera Utara
III.7 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan dalam Moleong, 2006. Terdapat tiga tahapan dalam
prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.
III.7.A. Tahap Pralapangan
Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian Moleong, 2006, yaitu
sebagai berikut: 1.
Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan penerimaan diri, tunadaksa, dam remaja baik yang berasal dari teori maupun dari
literatur lepas seperti artikel. 2.
Menyusun pedoman wawancara. Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses
wawancara. 3.
Persiapan untuk pengumpulan data. Peneliti mencari beberapa orang subjek yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta
kesediaannya informed consent untuk menjadi subjek penelitian dan mengumpulkan informasi tentang calon subjek penelitian tersebut.
4. Membangun rapport. Setelah memperoleh kesediaan dari subjek
penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah peneliti dan subjek penelitian mengadakan
Universitas Sumatera Utara
kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.
III.7.B. Tahap Pelaksanaan Penelitian
Setelah diadakan kesepakatan, maka peneliti mulai melakukan wawancara. Wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh
subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat bahasa non verbal responden
ketika wawancara berlangsung sebagai bentuk observasi.
III.7.C. Tahap Pencatatan Data
Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat
dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada subjek penelitian untuk merekam wawancara yang
akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut.
III.8 Metode Analisis Data
Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari 2007, yaitu :
1. Koding Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang
diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan
Universitas Sumatera Utara
mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari.
Proses pengkodingan akan dilakukan setelah wawancara berlangsung. Hal ini juga berguna agar memudahkan peneliti dalam mengarsipkan data-data
yang didapat dari lapangan. 2. Organisasi Data
Highlen dan Finley dalam Poerwandari, 2007 menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :
a Memperoleh data yang baik,
b Mendokumentasikan analisis yang dilakukan,
c Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.
Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah sebagai berikut.
1 Data mentah catatan lapangan dan kaset hasil rekaman
2 Data yang sudah diproses sebagiannya transkrip wawancara
3 Data yang sudah ditandaidibubuhi kode-kode spesifik dapat terdiri dari
beberapa tahapan pengolahan 4
Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori secara luas melalui skema 5
Memo dan dan draft insight untuk analisis data refleksi konseptual peneliti mengenai arti konseptual data
6 Catatan pencarian dan penemuan search and retrieval records, yang
disusun untuk memudahkan pencarian berbagai kategori data
Universitas Sumatera Utara
7 Display data melalui skema atau jaringan informasi dalam bentuk
padatesensial 8
Episode analisis dokumentasi dari langkah-langkah dan proses penelitian 9
Dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis
10 Daftar indeks dari semua material
11 Teks laporan draft yang terus menerus ditambah dan diperbaiki
3. Analisis Tematik Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola
yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis
tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang
biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan
fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena. 4. Pengujian Terhadap Dugaan
Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan
sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk
meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran
Universitas Sumatera Utara
berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama.
Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.
5. Tahapan Interpretasi
Kvale dalam Poerwandari, 2007 menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada
tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale dalam Poerwandari, 2007, yaitu: pertama, konteks
interpretasi pemahaman diri self understanding terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk
yang lebih padat condensed apa yang oleh subjek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Kedua, konteks interpretasi
pemahaman biasa yang kritis „criticial commonsense understanding‟ terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya.
Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subjek, bersifat kritis terhadap apa yang
dikatakan subjek, baik dengan memfokuskan pada „isi‟ pernyataan maupun pada subjek yang membuat pernyataan. Ketiga, konteks interpretasi
pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan
yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subjek ataupun penalaran umum.
Universitas Sumatera Utara
47
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN