Pendahuluan Landasan Teori Metodologi Penelitian Analisis Data dan Pembahasan Kesimpulan, Diskusi dan Saran METODE PENELITIAN

c. Penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi atau acuan bagi kalangan yang tertarik pada kehidupan anak berkebutuhan khusus khususnya remaja penyandang tunadaksa.

I.5 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

BAB I Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai remaja, tunadaksa, dan penerimaan diri.

BAB III Metodologi Penelitian

Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpul data, teknik pengambilan sampling, subjek penelitian, panduan wawancara dan observasi, prosedur penelitian, serta prosedur analisis data. Universitas Sumatera Utara

BAB IV Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan hasil data wawancara pada partisipan penelitian. Data-data tersebut akan dibahas sesuai dengan teori proses penerimaan diri untuk menjawab pertanyaan penelitian.

BAB V Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini, di dalamnya dibahas kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Universitas Sumatera Utara 13

BAB II LANDASAN TEORI

II.1Penerimaan Diri II.1.A Definisi Germer 2009 menyatakan bahwa orang yang menerima dirinya adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke waktu. Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana yang ada pada dirinya. Definisi menurut Hurlock 1974 yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah tingkat dimana individu memiliki kesadaran mengenai karakteristik dirinya, mampu dan mau hidup dengan kondisi itu. Jersild dalam Hurlock 1974 juga menjelaskan mengenai penerimaan diri: “The self-accepting person has a realistic appraisal of his resorces combined with appreciation of his own worth ; assurance about standards and convictions of his own without being a slave to the opinions of others; and realistic assessment of limitations without irrational self-reaproach. Self-accepting people recognize their assets and are free to draw upon them even if they are not all that could be desired. They also recognize their Universitas Sumatera Utara shortcomings without needlessly blaming themselves ” Jersild, dalam Hurlock 1974, hal. 434 Berdasarkan definisi di atas, maka Jersild menyimpulkan bahwa orang-orang yang menerima dirinya memiliki penilaian realistis terhadap sumber daya yang dimilikinya yang dikombinasikan dengan penghargaan atas dirinya sendiri; yakin akan standar dan diri sendiri tanpa harus dikendalikan oleh orang lain; dan memiliki penilaian realistis mengenai keterbatasan tanpa harus mencela diri sendiri. Orang yang menerima dirinya menyadari aset-aset yang dimiliki dan bebas untuk menggunakannya bahkan jika aset tersebut tidak diinginkan. Mereka juga mengetahui kelemahannya tanpa perlu menyalahkan dirinya. Dari pernyataan beberapa tokoh di atas mengenai penerimaan diri, maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah suatu kondisi di mana individu sadar akan segala yang dimilikinya dan bersedia untuk hidup dari waktu ke waktu dengan apa yang dimilikinya tersebut baik itu berupa kelebihan ataupun kekurangan. Individu yang menerima dirinya akan merasakan kenyamanan pada apa yang dia miliki. II.1.B Tahap Penerimaan Diri Germer 2009 menyatakan bahwa proses penerimaan diri sebagai bentuk keadaan melawan ketidaknyamanan terjadi dalam tahapan- tahapan; ada pelunakan progresif, atau tidak ada perlawanan, untuk menghadapi penderitaan. Proses awal yang terjadi adalah rasa kebencian, Universitas Sumatera Utara selanjutnya proses dimulai dengan keingintahuan akan masalah, dan jika hal-hal tersebut berjalan dengan baik maka akan berakhir dengan merangkul apapun yang terjadi dalam hidup seorang individu. Proses ini biasanya berlangsung lama dan alami. Individu tidak dapat maju ketahapan selanjutnya jika ia tidak merasa sepenuhnya nyaman pada satu tahapan. Tahapan-tahapan penerimaan diri tersebut adalah sebagai berikut.  Tahap 1: Aversion ─ kebenciankeengganan, menghindari, resisten Reaksi alami pada perasaan yang membuat tidak nyaman adalah kebencian atau keengganan. Kebenciankeengganan ini juga dapat membentuk keterikatan mental atau perenungan─mencoba mencari tahu bagaimana cara untuk menghilangkan perasaan tersebut.  Tahap 2: Curiosity ─ melawan rasa tidak nyaman dengan perhatian Pada tahapan ini individu mulai memiliki pertanyaan-pertanyaan pada hal-hal yang dirasa perlu untuk diperhatikan. Pertanyaan-pertanyaan yang biasanya muncul adalah “Perasaan apa ini?” “Apa artinya perasaan ini?” “Kapan perasaan ini terjadi?”.  Tahap 3: Tolerance ─ menanggung derita dengan aman Toleransi berarti menanggung rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan berharap perasaan tersebut akan segera hilang.  Tahap 4: Allowing ─ membiarkan perasaan datang dan pergi Universitas Sumatera Utara Pada tahapan ini individu membiarkan perasaan tidak nyamannya datang dan pergi.  Tahap 5: Friendship─merangkul, melihat nilai-nilai yang tersembunyi Individu melihat nilai-nilai yang ada pada waktu keadaan sulit menimpanya. Hala ini merupakan tahapan terakhir dalam penerimaan diri. II.1.C Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri Hurlock 1974 dalam buku Personality Development mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, seperti:

1. Pemahaman Diri

Pemahaman diri seseorang tidak ditentukan oleh kapasitas intelektualnya, tapi melalui kesempatan untuk menggali potensi dalam dirinya. Individu harus memiliki kesempatan untuk mencoba kemampuannya tanpa harus dihalangi oleh orang lain. Pemahaman dan penerimaan diri berhubungan erat. Semakin baik seseorang memahami dirinya, semakin dapat ia menerima dirinya, dan sebaliknya. Kurangnya pemahaman diri dapat mengarah kepada kesenjangan antara konsep diri yang ideal dan gambaran yang ia terima melalui kontak sosial, yang membentuk dasar konsep diri.

2. Harapan yang Realistik

Ketika harapan seseorang untuk sebuah pencapaian bersifat realistis, maka kinerjanya akan meningkat sesuai dengan harapannya. Universitas Sumatera Utara Hal ini akan berkontribusi kepada kepuasan diri yang sangat penting dalam penerimaan diri. Harapan dapat menjadi kenyataan ketika seseorang cukup memahami dirinya sendiri untuk dapat mengenali keterbatasan dan kekuatannya.

3. Tidak Adanya Hambatan di Dalam Lingkungan

Ketidakmampuan seseorang untuk mencapai tujuan hidup yang realistis dapat berasal dari hambatan yang berasal dari lingkungan yang tidak dapat dikendalikan, misalnya seperti diskriminasi ras, jenis kelamin, maupun agama. Ketika hal ini terjadi, seseorang yang mengetahui potensinya akan sulit untuk menerima diri. Ketika lingkungan mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan, maka ia akan puas dengan pencapaian yang membuktikan bahwa harapannya adalah suatu hal yang realistis.

4. Sikap-Sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan

Seseorang yang mendapatkan sikap yang menyenangkan dari masyarakat lebih dapat menerima dirinya. Tiga hal yang mengarah kepada evaluasi sosial yang menyenangkan adalah tidak adanya prasangka terhadap individu dan anggota keluarganya; memiliki keahlian sosial; dan mau untuk menerima kelompok. 5. Tidak Adanya Gangguan Emosional yang Berat Stres secara emosional dapat mengarah kepada ketidakseimbangan fisik dan psikologis. Ketidakseimbangan fisik yang diikuti oleh stres emosional dapat membuat seseorang bekerja Universitas Sumatera Utara dengan kurang efisien, mengakibatkan kelelahan, dan bereaksi secara negatif kepada orang lain. Tidak adanya stres dapat membuat seseorang melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya. Selain itu, seseorang dapat menjadi lebih rileks dan bahagia. Kondisi sepeti ini berkontribusi kepada evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar bagi evaluasi dan penerimaan diri yang baik pula.

6. Pengaruh Keberhasilan

Pengaruh kegagalan dapat mengarah kepada penolakan diri, dan pengaruh kesuksesan dapat mengarah kepada penerimaan diri. Kegagalan yang seringkali dirasakan seseorang akan membuat kesuksesan diartikan lebih bermakna.

7. Identifikasi dengan Orang yang Memiliki Penyesuaian Diri yang Baik

Seseorang yang mengidentifikasikan dirinya dengan orang-orang yang menyesuaikan diri dengan baik dapat mengembangkan sikap yang positif terhadap hidup dan berperilaku yang mengarah kepada penilaian dan penerimaan diri yang baik.

8. Perspektif Diri

Seseorang yang dapat melihat dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya memiliki pemahaman diri yang baik dibandingkan dengan seseorang yang perspektif dirinya cenderung sempit dan terdistorsi. Perspektif diri yang baik dapat mendukung penerimaan diri. Universitas Sumatera Utara

9. Pola Asuh di Masa Kecil yang Baik

Inti dari konsep diri yang menentukan penyesuaian diri seseorang di masa depan berawal dari masa kanak-kanak. Pengasuhan secara demokratis mengarah kepada pola kepribadian yang sehat. Selain itu pada pengasuhan ini, peraturan-peraturan yang dijelaskan kepada anak dapat membuat anak dihormati sebagai seorang manusia. Anak akan belajar untuk menghormati dirinya dan bertanggung jawab untuk mengendalikan perilakunya dengan kerangka peraturan yang telah ditetapkan.

10. Konsep Diri yang Stabil

Konsep diri yang stabil merupakan cara seseorang melihat dirinya dengan cara yang sama sepanjang waktu. Konsep diri yang baik mengarah kepada penerimaan diri, sedangkan konsep diri yang buruk mengarah kepada penolakan diri. Jika seseorang mengembangkan kebiasaan untuk menerima dirinya, maka hal itu akan menguatkan konsep diri yang baik sehingga penerimaan diri akan menjadi suatu kebiasaan bagi individu tersebut. II.1.D Dampak Penerimaan Diri Penelitian menunjukkan pengaruh yang luas dari penerimaan diri. Hurlock 1974 membagi dampak dari penerimaan diri menjadi dua kelompok besar – terhadap penyesuaian diri dan penyesuaian sosial. Universitas Sumatera Utara 1. Dampak Terhadap Penyesuaian Diri Orang dengan penerimaan diri mampu mengenali kelebihan maupun kekurangannya. Salah satu karakteristik orang yang penyesuaian dirinya baik adalah ia dapat mengenali dan menekankan kelebihannya terlebih dahulu dibandingkan dengan kekurangannya. Seseorang dengan penerimaan diri yang baik memiliki kepercayaan diri dan self-esteem yang baik. Ia mau untuk menerima kritikan. Ia bahkan membuat critical self-appraisals untuk membantunya mengenali dan memperbaiki kelemahannya. Penerimaan diri diikuti dengan personal security. Hal ini mendorong seseorang untuk percaya bahwa ia dapat mengendalikan permasalahan hidup dan bahwa ia diterima oleh orang-orang penting di dalam hidupnya. Orang-orang yang menerima dirinya mampu mengevaluasi diri secara realistis sehingga ia dapat menggunakan kapasitas dirinya secara efektif. Orang yang dapat menerima dirinya tidak mau menjadi orang lain. Ia puas dengan menjadi dirinya sendiri. Ia akan meningkatkan kualitas dirinya yang baik dan menghilangkan kuailtas diri yang buruk. 2. Dampak Terhadap Penyesuaian Sosial Penerimaan diri seseorang diikuti oleh penerimaan oleh orang lain. Orang-orang yang mampu menerima dirinya tertarik untuk berhubungan dengan orang lain dan merasa empati – kemampuan Universitas Sumatera Utara untuk menempatkan diri dalam pemikiran, perasaan, dan tindakan orang lain. Hasilnya, ia akan memiliki penyesuaian sosial yang lebih baik. Orang-orang yang menerima dirinya memiliki toleransi kepada orang lain, mengabaikan kelemahannya. Toleransi juga sejalan dengan keinginan untuk menolong orang lain. Ia mau untuk membantu orang lain yang memerlukan bantuannya. Secara umum, semakin seseorang dapat menerima dirinya, ia akan lebih diterima orang lain di kehidupan sosial. II.1.E Ciri-Ciri Orang yang Menerima Dirinya Ciri-ciri orang yang menerima dirinya menurut Sheere dalam Cronbach, 1963 adalah : a. Mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi kehidupannya. b. Menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia yang sederajat dengan orang lain. c. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya. d. Menerima pujian dan celaan secara objektif. e. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimilikinya ataupun mengingkari kelebihannya. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan beberapa ciri di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri orang yang menerima dirinya adalah orang yang merasa dirinya berharga dengan menerima kekurangan dan kelebihan dirinya serta berpikir objektif akan kritikan atau celaan yang diterimanya. Sehingga mempunyai keyakinan untuk menghadapi kehidupannya dengan bertanggung jawab akan setiap perilakunya. II.2 Tunadaksa II.2.A Definisi Tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang, dan “daksa” yang berarti tubuh. Menurut Direktorat Pendidikan Luar Biasa, istilah yang sering digunakan untuk menyebut anak tunadaksa adalah anak yang memiliki cacat fisik, tubuh atau cacat orthopedi. Dalam bahasa asing sering dikenal dengan istilah crippled, physically handicapped, physically disable, dan sebagainya. Keragaman istilah yang dikemuakakan untuk menyebutkan tunadaksa tergantung dari alasan para ahli yang menentukan. Meskipun istilah yang dikemukakan berbeda, tapi secara material pada dasarnya memiliki makna yang sama Pendidikan, 2006. Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan Sosial Bagi Penderita Cacat menyebutkan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan memiliki kelainan fisik dan atau mental yang oleh karenanya dapat Universitas Sumatera Utara menjadi rintangan atau hambatan bagi dirinya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Undang-Undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pada bagian penjelasan menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuh, antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara Raharjo, dalam Wrastari, 2003. Menurut Mangunson dalam Suranti, 2008 cacat fisik didefinisikan sebagai ketidakmampuan tubuh seperti keadaan normal. Berdasarkan ketiga definisi di atas, cacat fisik adalah kelainan fisik dan atau mental sehingga timbul rintangan dan hambatan yang mengakibatkan tubuh tidak mampu berfungsi secara normal. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tunadaksa yang sering juga disebut cacat fisik adalah seseorang yang memiliki hambatan fisik yang mengakibatkan munculnya beberapa gangguan pada fungsi tubuh, seperti gerak tubuh ataupun mental yang tidak dapat berfungsi secara normal. II.2.B Penyebab Tunadaksa Suhartono dalam Suranti, 2008 menemukan sebab-sebab cacat fisik sebagai berikut: 1. Cacat sejak lahir karena proses kelahiran individu sudah dalam keadaan cacat. Universitas Sumatera Utara 2. Cacat non bawaan adalah cacat yang dialami individu bukan sejak lahir tetapi terjadi pada masa pertumbuhan yang disebabkan oleh penyakit, kecelakaan dan peperangan. Menurut Koening dalam Somantri, 2006, tunadaksa dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kerusakan yang dibawa sejak lahir atau kerusakan yang merupakan keturunan, meliputi: 1. Club-foot kaki seperti tongkat 2. Club-hand tangan seperti tongkat 3. Polydctylism jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau kaki 4. Torticolis gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka 5. Syndactylism jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan yang lainnya 6. Cretinism kerdil atau katai 7. Mycrocepalus kepala yang kecil, tidak normal 8. Hydrocepalus kepala yang besar karena adanya cairan 9. Herelip gangguan pada bibir dan mulut 10.Congenital amputation bayi yang dilahirkan tanpa anggota tubuh tertentu Universitas Sumatera Utara b. Kerusakan pada waktu kelahiran : 1. Erb‟s palys kerusakan pada syaraf lengan akibat tertekan atau tertarik waktu kelahiran 2. Fragilitas osium tulang yang rapuh dan mudah patah c. Infeksi : 1. Tuberkolosis tulang menyerang sendi paha sehingga menjadi kaku 2. Osteomyelitis radang di dalam dan di sekeliling sumsum tulang karena bakteri 3. Poliomyelitis infeksi virus yang mungkin menyebabkan kelumpuhan 4. Tuberkolosis pada lutut atau sendi lain d. Kondisi traumatik : 1. Amputasi anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan 2. Kecelakaan akibat luka bakar 3. Patah tulang II.2.C Tunadaksa Akibat Kecelakaan Lalu Lintas Koening dalam Somantri, 2006 menyebutkan bahwa salah satu penyebab seorang individu menjadi penyandang tunadaksa adalah dikarenakan kecelakaan, yang mana salah satu bentuk kecelakaan adalah Universitas Sumatera Utara kecelakaan saat berkendara yang sering dikenal dengan kecelakaan lalu lintas Baltus, 1983. Hawari 1996 menyatakan bahwa pada dasarnya cacat fisik karena kecelakaan merupakan sumber stres yang menimbulkan depresi. Orang yang mengalami kecelakaan terkadang dihadapkan pada ketidakpastian mengenai keadaannya, apalagi setelah dia mengetahui keadaan fisiknya yang tidak sesuai dengan harapannya. Keadaan seperti ini bisa menyebabkan depresi sebab dia sendiri belum siap secara mental untuk menerima keadaannya. II.2.D Reaksi Terhadap Kondisi Tunadaksa Berbagai reaksi yang timbul pada tunadaksa dipengaruhi oleh berbagai faktor Hurlock, 1974, yaitu : a. Usia ketika terjadinya cacat tubuh dapat mempengaruhi reaksi individu mengenai kondisi kecacatannya. Jika cacat tubuh terjadi pada awal kehidupan, biasanya penyesuaian yang terjadi akan sangat baik. b. Reaksi masyarakat cenderung lebih menyenangkan pada cacat tubuh daripada cacat mental. c. Berat ringannya kecacatan. d. Pengakuan adanya perbedaan. e. Sikap sosial atau masyarakat yang berakibat pada sikap individu. f. Sikap individu terhadap cacat yang ditentukan oleh sikap sosial. Universitas Sumatera Utara II.3 Remaja II.3.A Definisi Pengertian remaja menurut Papalia, Olds, dan Feldman 2007 adalah transisi perkembangan yang dimulai dari usia 10 atau 11 tahun hingga awal usia dua puluhan yang berhubungan dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Masa remaja diawali dengan dimulainya pubertas, sebuah proses yang mengarah kepada kematangan seksual atau kesuburan – kemampuan untuk bereproduksi. Remaja menurut Dariyo 2004 adalah masa transisi satau peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis, dan psikososial yang berkisar di antara usia 12-13 tahun sampai 21 tahun. Thornburg dalam Dariyo 2004 membagi remaja ke dalam tiga tahap, yaitu remaja awal usia 13-14 tahun, remaja tengah usia 15-17 tahun, dan remaja akhir usia 18-21 tahun. Berdasarkan definisi di atas, masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang diawali oleh masa pubertas di usia 10 hingga 21 tahun dengan perubahan pada aspek fisik, psikis, dan psikososial. Masa remaja juga terbagi ke dalam 3 tahap, yaitu remaja awal, remaja tengah, dan remaja akhir. II.3.B Tugas Perkembangan Remaja Pada tahap remaja, Havighurst dalam Agustiani, 2006 menggambarkan delapan tugas perkembangan remaja yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Mencapai relasi baru dan lebih matang bergaul dengan teman seusia dari kedua jenis kelamin. 2. Mencapai maskulinitas dan femininitas dari peran sosial. 3. Menerima perubahan fisik dan menggunakannya secara efektif. 4. Mencapai ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya. 5. Menyiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga. 6. Menyiapkan diri untuk karir ekonomi. 7. Menemukan set dari nilai-nilai dan sistem etika sebagai petunjuk dalam berperilaku mengembangkan ideologi. 8. Mencapai dan diharapkan untuk memiliki tingkah laku sosial secara bertanggung jawab. II.3.C Remaja Penyandang Tunadaksa Kondisi tunadaksa dapat terjadi pada siapa saja tidak terkecuali remaja. Remaja penyandang tunadaksa akan memiliki permasalahan, salah satunya adalah permasalahan pada gambaran tubuh body image, yang merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja. Somantri 2006 menjelaskan bahwa kondisi tunadaksa yang dialami pada remaja akan membawa pengaruh pada persepsi gambaran tubuh mereka, hal ini merupakan bentuk permasalahan dalam perkembangan kepribadian pada tunadaksa. Kekurangan pada bagian tubuh remaja Universitas Sumatera Utara penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif. Hill dan Mönks dalam Mönks dan Knoers, 1999 : hal.268, menyatakan bahwa penyimpangan-penyimpangan pada masa remaja akan menimbulkan masalah-masalah yang berhubungan dengan penilaian diri dan sikap sosialnya, oleh karena itu kondisi tunadaksa pada masa remaja akan mempengaruhi penilaian diri remaja sedemikian rupa sehingga menghambat perkembangan kepribadian yang sehat. Conger dalam Crider dkk., 1983, menyatakan bahwa cacat tubuh tunadaksa yang berat akan mempengaruhi penilaian diri remaja.

II.4 Penerimaan Diri pada Remaja Penyandang Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas

Kondisi ketidaknormalan yang dialami oleh seorang remaja dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan psikisnya. Penyebab ketidaknormalan pada seorang remaja dapat terjadi karena bawaan lahir atau karena kejadian- kejadian selama masa hidup yang menimbulkan bekas yang tidak normal. Walaupun kedua penyebab tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap perkembangan kehidupan seorang remaja, namun penyebab yang dikarenakan tidak bawaan dari lahir akan lebih buruk mempengaruhi perkembangan fisik dan psikis remaja tersebut. Hal tersebut dikarenakan seseorang yang sudah Universitas Sumatera Utara merasakan keleluasaan dalam hidupnya akan berat menerima ketika dihadapkan pada keterbatasan Patty Johnson, 1953. Salah satu kondisi yang membuat remaja menjadi tidak normal adalah kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas dapat memakan korban jiwa dan dapat juga meninggalkan bekas luka yang sangat parah, dalam hal ini seperti amputasi pada salah satu anggota tubuh. Kondisi ketidaknormalan karena amputasi ini dapat disebut cacat fisik atau tunadaksa. Remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas akan mengalami berbagai macam dampak dari hilangnya salah satu anggota tubuhnya tersebut. Somantri 2006 menjelaskan dampak tunadaksa secara perkembangan sosial dan kepribadian, di mana secara perkembangan sosial anak tunadaksa akan memiliki konsep diri yang negatif akibat kerap kali mendapat ejekan dari lingkungan disekitarnya. Hal tersebut dapat membuat anak tunadaksa manarik diri dari lingkungan sekitarnya. Jika seorang remaja dibiarkan untuk tidak bergaul dalam lingkungan sekitarnya, maka remaja tersebut akan kehilangan kesempatan untuk bereksperimen mengenai peran dan ideologi yang berbeda- beda yang nantinya akan disesuaikan dengan dirinya Schultz Schultz, 1994. Dampak lainnya secara perkembangan kepribadian adalah anak tunadaksa kerap kali menunjukkan sifat rendah diri, cemas, dan agresif. Hal-hal tersebut dipengaruhi oleh terlihat atau tidak terlihatnya kecacatan yang dimiliki yang berkaitan dengan gambaran tubuh. Universitas Sumatera Utara Kecacatan yang dialami oleh remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas harus bisa diterima oleh remaja tersebut. Penerimaan akan dirinya yang tidak lagi sempurna ini akan membantu remaja tunadaksa lebih mudah menjalani kehidupan dengan kecacatan yang dimiliki. Penerimaan diri dapat membantu penyandang tunadaksa menjalani hidupnya agar lebih bahagia dan sejahtera walaupun dengan kekurangan yang dimilikinya. Penerimaan diri menurut Germer 2009 adalah orang yang sadar bahwa dirinya mengalami sebuah sensasi, perasaan, maupun pikiran yang ada pada dirinya dari waktu ke waktu. Orang yang menerima dirinya juga mampu merangkul apapun yang muncul atau ada dalam dirinya, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana yang ada pada dirinya. Pada seorang remaja yang sedang mengalami berbagai macam perubahan seperti fisik, mental, maupun kehidupan sosial, tentunya penerimaan diri ini sangat dibutuhkan agar memperoleh kebahagian Hurlock, 1993. Seseorang yang ingin menerima dirinya akan masuk dalam sebuah proses. Germer 2009 menjelaskan mengenai proses penerimaan diri yang dibagi ke dalam lima tahapan, yaitu tahap pertama adalah kebencian atau keengganan aversion, pada saat seseorang dihadapkan pada kondisi tidak nyaman, maka orang tersebut akan merasa enggan atau benci pada hal yang membuatnya tidak nyaman tersebut. Tahap kedua adalah keingintahuan curiosity, orang tersebut akan mulai untuk mencari tahu hal-hal yang berkaitan dengan perasaan tidak nyamannya tersebut seperti ada apa dengan perasaannya, apa yang terjadi, apa maksud dari perasaannya tersebut. Selanjutnya tahap ketiga Universitas Sumatera Utara yaitu toleransi, individu tersebut mulai mengurangi perasaan tidak nyamannya, namun tetap mempunyai keinginan agar perasaan tersebut segera hilang. Tahap keempat adalah membiarkan perasaan datang dan pergi allowing, individu membiarkan perasaan tidak nyamannya datang dan pergi sebagaimana mestinya. Tahap terakhir dari penerimaan diri adalah melihat nilai-nilai yang tidak terlihat friendship, individu sudah mulai beradaptasi dengan perasaan tidak nyamannya tersebut dan mulai melihat hikmah dari kondisi atau kejadian yang memberikan perasaan tidak nyaman terhadapnya. Pencapaian setiap tahapan penerimaan diri dapat dibantu dengan faktor- faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock 1974. Untuk bisa menerima dirinya seseorang harus paham akan dirinya sendiri. Hal tersebut merupakan faktor penerimaan diri yang oertama menurut Hurlock 1974. Orang yang memiliki pemahaman diri akan mengetahui potensi dalam dirinya yang dapat membantu untuk menciptakan konsep diri yang ideal untuk dirinya. Faktor kedua adalah harapan yang realistik, di mana harapan dengan pencapaian yang realistik akan memberikan kepuasan diri yang berpengaruh terhadap penerimaan diri. Faktor ketiga adalah tidak adanya hambatan di dalam lingkungan, seseorang yang tidak mempunyai hambatan dalam lingkungannya akan lebih mudah mengetahui potensi yang ada pada dirinya dan mudah untuk menerima dirinya. Seseorang juga akan lebih mudah menerima dirinya apabila mendapat perlakuan yang menyenangkan dari masyarakat. Hal tersebut merupakan faktor keempat dalam penerimaan diri. Selanjutnya faktor kelima adalah tidak adanya gangguan emosional yang berat, Universitas Sumatera Utara orang yang tidak memiliki gangguan emosional seperti stres akan lebih bahagia dan dapat memberikan evaluasi sosial yang baik yang menjadi dasar dari evaluasi dan penerimaan diri yang baik pula. Orang yang berhasil dan memperoleh kesuksesan akan mengarah terhadap penerimaan diri. Hal tersebut merupakan faktor keenam penerimaan diri. Identifikasi terhadap orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan mengembangkan sikap positif pada diri seseorang yang nantinya berpengaruh terhadap penilaian dan penerimaan diri yang baik. Faktor kedelapan adalah perspektif diri, orang yang melihat dirinya sama seperti orang lain melihat dirinya dikatakan dapat mendukung penerimaan diri. Pola asuh dimasa kecil juga mempengaruhi penerimaan diri karena hal tersebut berkontribusi terhadap konsep diri seseorang. Faktor terakhir adalah konsep diri yang stabil, di mana dalam hal ini seseorang yang menerima dirinya akan mampu melihat dirinya dengan cara yang sama sepanjang waktu. Universitas Sumatera Utara

II.5 Kerangka Teoritis

Keterangan: Kecelakaan Lalu Lintas pada Masa Remaja Menarik diri dari lingkungan, konsep diri negatif, rendah diri, cemas, agresif Somantri, 2006 Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri Hurlock, 1974 pemahaman diri, harapan yang realistik, tidak adanya hambatan di dalam lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, pengaruh keberhasilan, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, perspektif diri, pola asuh di masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil. Tunadaksa Penerimaan Diri Tahapan Penerimaan Diri Germer, 2009  Aversion  Curiosity  Tolerance  Allowing  Friendship Kondisi Traumatik: Amputasi : melihat proses penerimaan diri : dipengaruhi Gambar 1. Gambaran Proses Penerimaan Diri Remaja Tunadaksa karena Kecelakaan Lalu Lintas Universitas Sumatera Utara 35

BAB III METODE PENELITIAN

III.1 Pendekatan Kualitatif Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2006, metode penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang- orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta konteksnya. Melihat masalah yang diangkat pada penelitian ini, yaitu penerimaan diri remaja tunadaksa karena kecelakaan, pendekatan kualitiatif sangat sesuai untuk digunakan agar dapat mengetahui bagaimana proses penerimaan diri tersebut. Proses penerimaan diri pada diri individu merupakan hal yang subjektif yang berbeda denga orang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif maka proses penerimaan diri yang subjektif itu dapat terungkap. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari 2007 bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif. Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat proses penerimaan diri pada remaja tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan faktor-faktor eksternal maupun internal yang mempengaruhi subyek penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari 2007 yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting Universitas Sumatera Utara penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti. III.2 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah studi kasus. Poerwandari 2007 menjelaskan mengenai kasus yaitu fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi, meski batas-batas antara fenomena dan konteks tidak terlalu jelas. Kasus yang dimaksud dapat berupa individu, peran, kelompok kecil, organisasi, komunitas, atau dapat berupa bangsa. Kasus juga dapat berupa keputusan, kebijakan, proses, dan lain sebagainya. Punch 1998; Poerwandari, 2007 menjelaskan beberapa tipe yang dapat diteliti dengan menggunakan studi kasus yaitu individu-individu, karakteristik atau atribut dari individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak perilaku, setting, serta peristiwa atau insiden tertentu. Pada penelitian ini tipe studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik. Di mana yang dimaksud dengan studi kasus intrinsik adalah penelitian dilakukan karena ketertarikan atau kepedulian pada suatu kasus. Penelitian dilakukan untuk memahami secara utuh kasus tersebut, tanpa harus dimaksudkan untuk menghasilkan konsep-konsepteori ataupun tanpa adanya upaya untuk menggeneralisasi. Penelitian akan dilakukan dengan melihat kasus berbeda yang terjadi pada dua orang subjek dengan karakteristik yang sama. Universitas Sumatera Utara III.3 Metode Pengumpulan Data Poerwandari 2007 menyatakan ada beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Metode-metode ini dapat dikombinasikan satu sama lain, bahkan juga dapat dikombinasikan dengan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi. III.3.A. Wawancara Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan apabila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna- makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain Banister dkk., 1994 dalam Poewandari, 2007. Wawancara adalah proses komunikasi interaksional antara dua pihak, setidaknya satu orang memiliki tujuan yang meliputi proses bertanya dan menjawab pertanyaan Stewart Cash, 2003. Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam. Jenis wawancara ini digunakan agar dapat mengali lebih dalam proses penerimaan diri pada remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas dengan melihat faktor-faktor penerimaan diri. Universitas Sumatera Utara Banister 1994 menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur dalam Poerwandari, 2007. Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori faktor penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock 1974. Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk memandu peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek check list apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. III.4 Alat Bantu Pengumpulan Data Menurut Poerwandari 2007 yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam tape recorder, pedoman wawancara, dan catatan lapangan yang akan digunakan selama proses pengambilan data berlangsung. III.4.A. Alat Perekam tape recorder Poerwandari 2007 menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim kata demi kata, sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subjek Universitas Sumatera Utara kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subjek. III.4.B. Pedoman Wawancara Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab Poerwandari, 2007. Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. III.5 Subjek Penelitian III.5.A. Karakteristik Subjek Penelitian Pada penelitian ini, karakteristik subjek yang dikehendaki adalah remaja dengan rentang usia 11-20 tahun Papalia, Olds, dan Feldman, 2007. Karakteristik lain adalah subjek mengalami kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan subjek kehilangan salah satu anggota tubuh. Universitas Sumatera Utara Penelitian ini akan diadakan di kota Medan, karena mempertimbangkan keterbatasan biaya, waktu, dan tenaga peneliti, sehingga dapat mempermudah peneliti untuk memperoleh dan mengumpulkan data. III.5.B. Jumlah Subjek Penelitian Penelitian ini akan mengambil sampel sebanyak 2 orang. Jumlah sampel yang tergolong sedikit dikarenkan penelitian dengan pendekatan kualitatif ini memerlukan pendekatan yang lebih mendalam kepada subjek-subjek penelitiannya, sehingga jumlah sampel yang sedikit akan memaksimalkan jalannya penelitian ini. III.5.C. Teknik Pengambilan Subjek Penelitian Patton 1990; Poerwandari, 2007 menjelaskan pedoman pengambilan sampel pada penelitian kualitatif yang harus disesuaikan dengan masalah dan tujuan penelitian. Untuk itu pada penelitian ini, teknik sampling untuk menentukan subjek penelitiannya adalah teknik pengambilan sampel yang berfokus pada intensitas. Di mana teknik ini bertujuan untuk memperoleh data yang kaya mengenai suatu fenomena tertentu. Subjek yang diambil dengan teknik ini merupakan subjek yang dianggap mewakili fenomena secara intens Poerwandari, 2007. Fenomena yang terdapat pada penelitian ini adalah kecelakaan lalu lintas dengan subjek penelitian adalah remaja- remaja yang menjadi korban dalam kecelakaan-kecelakaan lalu lintas tersebut. Universitas Sumatera Utara III.6 Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif Kredibilitas menjadi istilah yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas, dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas dalam penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks. Deskripsi mendalam yang menjelaskan kompleksitas aspek-aspek terkait disebut variabel pada penelitian kuantitatif dan interaksi dari berbagai aspek menjadi salah satu ukuran kredibilitas penelitian kualitatif Poerwandari, 2007. Upaya untuk menjaga kredibilitas dan keobjektifan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Memilih subjek dengan karakteristik yang telah ditentukan, dalam hal ini yaitu remaja laki-laki atau perempuan usia 11-20 tahun yang kehilangan salah satu anggota tubuhnya karena kecelakaan lalu lintas. 2. Membuat pedoman wawancara yang sesuai dengan teori tahapan penerimaan diri. 3. Menggunakan pertanyaan terbuka dalam wawancara agar memperoleh hasil yang lebih akurat. 4. Melibatkan teman sejawat, dosen pembimbing, dan dosen-dosen yang ahli dalam metode kualitatif dan bahasan penelitian untuk berdiskusi, memberikan masukan dan kritikan agar memperkecil kesalahan akibat keterbatasan yang dimiliki peneliti. Universitas Sumatera Utara III.7 Prosedur Penelitian Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan dalam Moleong, 2006. Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data. III.7.A. Tahap Pralapangan Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian Moleong, 2006, yaitu sebagai berikut: 1. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan penerimaan diri, tunadaksa, dam remaja baik yang berasal dari teori maupun dari literatur lepas seperti artikel. 2. Menyusun pedoman wawancara. Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara. 3. Persiapan untuk pengumpulan data. Peneliti mencari beberapa orang subjek yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya informed consent untuk menjadi subjek penelitian dan mengumpulkan informasi tentang calon subjek penelitian tersebut. 4. Membangun rapport. Setelah memperoleh kesediaan dari subjek penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah peneliti dan subjek penelitian mengadakan Universitas Sumatera Utara kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak. III.7.B. Tahap Pelaksanaan Penelitian Setelah diadakan kesepakatan, maka peneliti mulai melakukan wawancara. Wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung sebagai bentuk observasi. III.7.C. Tahap Pencatatan Data Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada subjek penelitian untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut. III.8 Metode Analisis Data Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari 2007, yaitu : 1. Koding Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan Universitas Sumatera Utara mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Proses pengkodingan akan dilakukan setelah wawancara berlangsung. Hal ini juga berguna agar memudahkan peneliti dalam mengarsipkan data-data yang didapat dari lapangan. 2. Organisasi Data Highlen dan Finley dalam Poerwandari, 2007 menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk : a Memperoleh data yang baik, b Mendokumentasikan analisis yang dilakukan, c Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian. Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah sebagai berikut. 1 Data mentah catatan lapangan dan kaset hasil rekaman 2 Data yang sudah diproses sebagiannya transkrip wawancara 3 Data yang sudah ditandaidibubuhi kode-kode spesifik dapat terdiri dari beberapa tahapan pengolahan 4 Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori secara luas melalui skema 5 Memo dan dan draft insight untuk analisis data refleksi konseptual peneliti mengenai arti konseptual data 6 Catatan pencarian dan penemuan search and retrieval records, yang disusun untuk memudahkan pencarian berbagai kategori data Universitas Sumatera Utara 7 Display data melalui skema atau jaringan informasi dalam bentuk padatesensial 8 Episode analisis dokumentasi dari langkah-langkah dan proses penelitian 9 Dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis 10 Daftar indeks dari semua material 11 Teks laporan draft yang terus menerus ditambah dan diperbaiki 3. Analisis Tematik Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal dapat mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena. 4. Pengujian Terhadap Dugaan Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran Universitas Sumatera Utara berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti. 5. Tahapan Interpretasi Kvale dalam Poerwandari, 2007 menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale dalam Poerwandari, 2007, yaitu: pertama, konteks interpretasi pemahaman diri self understanding terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat condensed apa yang oleh subjek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis „criticial commonsense understanding‟ terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subjek penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subjek, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan subjek, baik dengan memfokuskan pada „isi‟ pernyataan maupun pada subjek yang membuat pernyataan. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subjek ataupun penalaran umum. Universitas Sumatera Utara 47

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN