Toleransi Tolerance Analisa Partisipan II .A Identitas Diri Partisipan II

“Ada, tapi ga pernah aku bilang sama dia. Paling aku cuma nengok dia aja, dia kayaknya tegar hadapi ini. Apapun kayaknya dia bisa. Itu yang jadi gimana, aku harus bisalah dari dia. Dia aja bisa kenapa aku ga bisa. Dari situ lah, nengok-nengok dia. ” WII-DNRb.688-692hal.32

3. Toleransi Tolerance

Setelah menjalani kehidupan yang cukup lama dengan ketidaksempurnaannya, DNR mulai pasrah dengan kehidupannya. Ia menyadari bahwa tangannya tidak akan bisa kembali lagi. Ia juga tidak jarang berpikir bahwa kecelakaan yang sampai mengorbankan tangan kanannya itu memang sudah menjadi nasipnya. Namun, dirinya mengatakan bahwa ingatan mengenai kecelakaan itu tidak akan bisa dia lupakan untuk seumur hidupnya. Kepasrahan ini didukung oleh dirinya yang sudah terbiasa dengan kehidupan pasca kecelakaan. Ia sudah mampu melakukan aktifitas sehari-hari seperti sedia kala. Walaupun ada keterbatasan, tapi DNR sudah cukup puas akan hal itu dan masih ingin membenahi diri. “Senang, bangga dengan diri sendiri. Ternyata aku bisa melakukan hal ini walaupun aku kekurangan satu tangan. Aku bisa melakukan ini. Aku bisa melakukan apa yang orang lain lakukan. ” WIII-DNRb.162-165hal.8 “Sebenarnya sih banyak kebisaan aku. Nyuci bisa, seterika bisa, nyapu bisa, ngepel bisa. Apa yaa…” WIII-DNRb.420-421hal.20 Ketika berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, DNR menguatkan dirinya untuk menghadapi tanggapan orang mengenai ketunaannya. Walaupun orang-orang di sekitar tempat tinggalnya sudah Universitas Sumatera Utara mengetahui kondisi DNR, tetapi tidak jarang perlakuan tidak nyaman seperti munculnya rasa minder atau perilaku ibunya yang menunjukkan kesedihan akan kondisinya masih sering diterima. DNR berusaha untuk selalu terlihat kuat dihadapan orang-orang. Dirinya tidak pernah mengeluh. “Soalnya, kalau aku nampakkan kesedihan aku, aku selalu mengeluh, aku ga bisa kayak gini, aku udah kayak gini kayakmana nanti ya aku ngurus anak-anakku, ngurus suamiku, aku ga pernah mengeluhkan hal itu. ” WI-DNRb. 289-290hal.14 “minder juga lah. Tapi dikuat-kuatkan lah. Kalau ga dikuatan nanti yang ada nanti malah gimana, ya udah. Jadi udah kayak gini, sampai kapanpun kayak gini ya udah lanjut aja perjuangan. ” WII-DNRb.6-9hal.1 DNR juga tidak pernah terlihat sedih dihadapan orang-orang. Hal ini terlihat jelas karena pada saat wawancara berlangsung pun DNR jarang menunjukkan kesedihannya, ia malah memberikan humor setelah memberikan pernyataan sedihnya. Ia mengaku tidak ingin terlihat sedih karena ia tidak ingin dikasihani. DNR mengaku bahwa dirinya adalah orang yang lemah, namun ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya itu. DNR juga memikirkan orang tuanya ketika ia sedih. Ia tidak ingin sedih terus- menerus karena takut orang tuanya akan ikut sedih melihat dirinya. “Apa yah? Kayak yang tadi aku bilang, di depan orang lain itu kita jangan lihatin kalau kita sedih. Sedih itu buat kita sendiri aja, orang lain ga perlu. Ya palingan di depan orangtua terutama. Kita jangan pernah neteskan air mata. Kita jangan pernah ngeluh, pokoknya orangtua itu jangan pernah tahu lah kalau kita itu sedih. Cukup kita doang. Orangtua itu tahunya hanya kita itu bangkit, mau berusaha untuk maju ke depan, pasti orangtua itu akan senang. ” WI-DNRb.679-687hal.32 Universitas Sumatera Utara “Karena kalau lagi ramai-ramai jangan sampai orang itu nengok aku lemah. Itu ga akan pernah aku kasih tunjuk. Ga akan pernah terlihat pun kelemahan aku. Nangis pun enggak. Aku ga mau dikasihani. ” WI-DNRb.725-726hal.34 Dalam kesehariannya perasaan DNR masih bercampur. Terkadang perlakuan orang-orang sekitar yang membuatnya tidak nyaman itu bisa membuatnya berpikir kembali mengenai kondisinya. Maka, pada waktu itu terjadi DNR langsung mencari kegiatan untuk menghilangkan pikiran tersebut. Seringnya DNR tidur agar melupakannya, tetapi tidak jarang pula ia memilih untuk mengganggu orang-orang disekitarnya, seperti mengganggu sang ibu dengan candaannya. “Yaa palingan kalau kita sama teman-teman, ada teman yang lagi dekat sama kita kan, aku lagi gini, gini, gini. Udah, palingan karena teman kita itulah jadi bisa gimana. Kalau ga ada teman kita kekeluarga, kita bilang sama keluarga, cari happy kita kekeluarga, ketawa-ketawa, pasti kita lupa dengan perasaan itu. ” WIII-DNRb.290-296hal.14 “Saat aku sendiri ya udah palingan bawa tidur. Udah, siap itu ga ada lagi, karena hanya tidur yang bisa nenangkan pikiran dan hati. Kalau udah bangun ya ingat lagi. ” WIII-DNRb.298-301hal.14

4. Membiarkan Perasaan dan Pikirannya Allowing