Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Masa remaja sering kali disebut masa transisi atau masa peralihan dari anak-anak sebelum akhirnya masuk ke masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami perubahan fisik, emosi, minat, pola perilaku, dan juga penuh dengan masalah-masalah Hurlock, 1998. Sama seperti tahapan-tahapan perkembangan lainnya, pada masa remaja juga terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus dijalankan oleh remaja tersebut demi kesejahteraan pada tahapan tersebut maupun pada tahapan selanjutnya. Salah satu tugas perkembangan menurut Havighurst 1972; Hurlock, 1993 adalah remaja harus menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. Lebih lanjut Havighurst menjelaskan bahwa dari salah satu tugas perkembangan masa remaja tersebut diharapkan remaja menjadi bangga dengan tubuhnya agar dapat menggunakan dan melindungi tubuhnya secara efektif dan dengan merasa puas. Tugas perkembangan ini akan sulit dicapai apabila dihadapkan pada remaja yang kondisi fisiknya tidak normal. Salah satu kondisi ketidaknormalan adalah bentuk kecacatan fisik yang disebut tunadaksa. Tunadaksa dapat diartikan sebagai suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal Somantri, 2006. Kondisi tunadaksa dapat Universitas Sumatera Utara disebabkan oleh penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh bawaan sejak lahir White House Conference; 1931, Somantri, 2006. Frances G. Koening dalam Somantri, 2006 menjelaskan mengenai klasifikasi tunadaksa, yang salah satunya adalah kondisi atau kerusakan traumatik seperti amputasi anggota tubuh dibuang akibat kecelakaan, kecelakaan akibat luka bakar, dan patah tulang. Klasifikasi tunadaksa tersebut dapat terjadi pada masa remaja, karena masa ini merupakan salah satu rentang usia yang termasuk beresiko terjadinya kecelakaan, menurut Hurlock 1974 kecelakaan umumnya terjadi antara umur 4 sampai 15 tahun dan setelah umur 65 tahun. Selain itu, berdasarkan hasil pendataansurvey yang dilakukan oleh Kementerian Sosial RI, terdapat beberapa jumlah korban penyandang cacat pada 9 provinsi yakni sebanyak 299.203 jiwa dan 10,5 31.327 jiwa merupakan penyandang cacat berat yang mengalami hambatan dalam kegiatan sehari-hari activity daily livingADL. Dari kelompok umur, usia 18-60 tahun menempati posisi tertinggi. Kecacatan yang paling banyak dialami adalah cacat kaki 21,86, mental retardasi 15,41 dan bicara 13,08. Bentuk kecelakaan yang kerap kali terjadi pada masa remaja adalah kecelakaan lalu lintas. Hal ini dikarenakan perilaku tidak tertib lalu lintas atau kebut-kebutan yang merupakan salah satu bentuk permasalahan-permasalahan yang timbul pada masa ini Kartono, 1986. Masalah kebut-kebutan yang berujung terjadinya kecelakaan lalu lintas ini tidak jarang memakan korban, dijelaskan bahwa 2 dari 5 penyebab kematian pada masa remaja dikarenakan kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada anak usia 16 sampai 19 tahun Papalia, Olds, Feldman, 2007. Tabrakan menjadi lebih fatal apabila pengemudi masih Universitas Sumatera Utara masuk dalam tahap perkembangan remaja, mungkin karena remaja cenderung mengemudi gila-gilaan dihadapan teman-temannya Chen, Baker, Braver, Li, 2000. Setiap tahunnya selalu saja ada kecelakaan yang memakan korban di Indonesia. Korban yang berjatuhan tentunya masuk kedalam kategori ringan sampai kategori yang berat. Pada tahun 2010, Kepolisian Republik Indonesia mencatat angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia sebanyak 61.606 kasus, di mana angka tersebut naik 1,04 dari tahun 2009. Dari total kecelakaan tersebut, terdapat 10.349 korban jiwa, 13.600 korban luka berat, dan 30.794 korban mengalami luka ringan. Sedangkan kasus kecelakaan saat mudik 2012 mencapai 4.744 kejadian, dengan jumlah korban jiwa 779 orang. Dari jumlah itu, terdapat 62 kasus kecelakaan di jalan tol dengan korban meninggal 10 orang, luka berat 31 orang, dan luka ringan 78 orang. Remaja penyandang tunadaksa yang dikarenakan kecelakaan lalu lintas tentunya tidak mudah menerima kecacatannya. Sehingga, tidak mengherankan apabila korban atau penyandangnya mengalami gejolak emosi. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Somantri 2006 bahwa individu yang baru mengalami kondisi yang menyebabkan dirinya cacat memang lebih banyak menunjukkan adanya gangguan emosi. Gejolak emosi ini tentunya akan lebih kompleks apabila dialami oleh remaja yang memang kondisi emosinya masih belum stabil, hal tersebut merupakan konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru Hurlock, 1993. Universitas Sumatera Utara Perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja sudah menjadi hal yang sangat diperhatikan dan membuat remaja tersebut gelisah, hal ini dikarenakan remaja mulai sadar bahwa penampilan merupakan hal penting dalam kehidupan sosial Hurlock, 1993. Pada remaja penyandang tunadaksa tentunya akan mengalami kesulitan untuk menerima keadaan fisiknya karena kondisinya sudah sangat jauh dari kata ideal, terlebih lagi apabila sebelumnya dia mempunyai tubuh yang normalideal. Hal ini sesuai dengan pengalaman Tavip yang merupakan seorang penyandang cacat dikarenakan tertimpa alat berat. Ia mengaku sangat tertekan dikarenakan musibah yang menimpanya. “Saya merasa jiwa saya menjadi begitu tertekan. Saya mulanya sehat dan tidak mengalami gangguan apa-apa, namun saat ini tiba-tiba tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam usia muda, dalam usia yang produktif, saya harus mengalami kecelakaan seberat ini. Saya menjadi begitu takut, dalam usia yang masih muda tidak terbayang dalam pikiran bahwa saya harus mengalami kelumpuhan seumur hidup. Saya menjadi sangat tertekan. ” Tavip, penderita kelumpuhan, 15 Agustus 2012 Kondisi fisik yang sebelumnya normal lalu berubah menjadi tidak normal tentunya akan menimbulkan permasalahan baru pada diri remaja tersebut. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Patty Johnson 1953 bahwa individu yang sudah merasakan keleluasaan dalam hidupnya akan berat untuk menerima ketika dirinya dihadapkan pada keterbatasan. Anak yang baru mengalami kejadian yang menyebabkan dirinya menyandang tunadaksa umumnya menganggap hal yang terjadi pada dirinya merupakan kemunduran dan sangat sulit untuk menerima kondisi tersebut Somantri, 2006. Universitas Sumatera Utara Somantri 2006 menjelaskan beberapa dampak menjadi tunadaksa berdasarkan perkembangan sosial dan kepribadian anak tunadaksa. Secara perkembangan sosial, dijelaskan bahwa lingkungan disekitar anak tunadaksa akan mempengaruhi konsep diri dan pergaulan sosial mereka. Anak tunadaksa yang dihargai akan memberikan penghargaan juga terhadap dirinya, sehingga dapat memperoleh konsep diri yang lebih baik. Namun, anak tunadaksa kerap kali menerima ejekan dari orang-orang disekitarnya, hal ini dapat mengakibatkan timbulnya perasaan negatif pada diri mereka yang akhirnya dapat menghambat pergaulan sosial anak tunadaksa. Secara perkembangan kepribadian, terlihat atau tidak terlihatnya kondisi kecacatan akan memberikan dampak pada kepribadian anak tunadaksa, karena hal ini sangat terkait dengan gambaran tubuh body image yang berkembang pada tahap perkembangan remaja. Umumnya anak-anak tunadaksa menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Christie Damayanti dalam sebuah artikel mengenai seorang remaja berumur 14 tahun yang bernama Ayu. Ia merasa rendah diri sebagai penyandang tunadaksa. “Aku, seorang yang cacat fisik, juga kadang-kadang sering merasa sedikit rendah diri, ketika lingkunganku yang baru misalnya jika berjalan-jalan di mall, melihat dan memandangku rendah, walau biasanya hanya beberapa saat, sebelum aku bangkit lagi untuk menyemangati diriku supaya lebih merasa percaya diri” “Ayu sering merasa rendah diri sebagai remaja yang „berkebutuhan khusus‟, sehingga Ayu hanya sering di rumah, melakukan aktifitas dan hobi sendiri, padahal remaja-remaja teman-temannya bisa berlari- lari, main sepeda dan belajar menari di desa.” “Ayu, Remaja „Berkebutuhan Khusus‟ dalam Mimpi-Mimpinya”, 21 Maret 2012. Universitas Sumatera Utara Remaja berkembang dalam dua kondisi, yaitu normatif dan non normatif. Papalia, Olds, dan Feldman 2007 menjelaskan mengenai pengaruh normatif dan non normatif dalam perkembangan manusia. Mereka menyatakan bahwa pengaruh normatif adalah karakteristik dari sebuah peristiwa yang terjadi dengan cara yang sama pada sebagian besar orang dalam sebuah kelompok. Sedangkan pengaruh non normatif adalah peristiwa luar biasa yang berpengaruh besar dalam kehidupan seseorang, hal ini nantinya akan berpengaruh pada tahapan perkembangan individu. Contoh dari pengaruh non normatif ini seperti kematian orangtua, anak cacat, atau terancam serangan teroris. Kecelakaan yang menyebabkan remaja menyandang tunadaksa dapat dikatakan salah satu bentuk pengaruh non normatif, sehingga nantinya perkembangan remaja tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Hobbs dan Horne 1975; 1988; Santrock, 2003 bahwa remaja yang mempunyai label cacat tunadaksa mungkin akan merasa selamanya dianggap sebagai remaja yang terbelakang atau tidak mampu serta ditolak, dan mereka bisa jadi tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara penuh. Remaja penyandang tunadaksa mengalami beberapa masalah konsep diri negatif, rendah diri, cemas, dan agresif, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dampak-dampak tersebut tentunya dapat berpengaruh pada tahapan kehidupan remaja selanjutnya. Somantri 2006 menjelaskan bahwa keterbatasan yang dialami oleh penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menarik diri dari pergaulan masyarakat. Hal ini juga dapat menimbulkan masalah pada kehidupan remaja selanjutnya, karena menurut Erikson, remaja harus bereksperimen di Universitas Sumatera Utara lingkungan masyarakat mengenai peran dan ideologi yang berbeda-beda agar dapat mengetahui mana yang paling sesuai dengan dirinya Schultz Schultz, 1994. Dampak-dampak tunadaksa Somantri, 2006 akibat kecelakaan pada remaja seperti konsep diri yang negatif, menarik diri dari lingkungan, cemas, rendah diri, dan agresif dapat ditanggulangi dengan kemampuan remaja tersebut untuk bisa menerima diri mereka sebagaimana mestinya, menerima dirinya dengan kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki. Tentu saja proses penerimaan diri ini harus timbul dari dalam diri korban sendiri. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Germer 2009 mengenai penerimaan diri yaitu merangkul apapun yang muncul atau ada dalam diri kita, menerima dari waktu ke waktu sebagaimana mestinya apa yang kita miliki tersebut. Lebih lanjut dijelaskan oleh Hurlock 1974 yang menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran individu tentang karakteristik kepribadiannya, akan kemauan untuk hidup dengan keadaan tersebut. Proses penerimaan diri pada masing-masing orang berbeda. Seperti yang dituliskan pada hasil penelitian Damayanti dan Rostiana 2003; Fatwa Tentama, 2010, keempat penyandang tunadaksa pasca kecelakaan yang menjadi subjek dalam penelitian ini masing-masing membutuhkan waktu yang lama untuk dapat mencapai tahap penerimaan diri setelah kecelakaan yang dialami, sehingga dinamika emosinya juga bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, variasi dalam penerimaan diri seorang penyandang tunadaksa dapat dilihat pada tahapan mana penyandang tunadaksa tersebut menerimaan dirinya. Germer 2009 Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa ada lima tahapan penerimaan, yaitu aversion keengganan, kebencian, curiosity keingintahuan akan minat, tolerance merasa aman, allowing membiarkan perasaan datang dan pergi, dan friendship melihat nilai- nilai yang tidak terlihat. Cepat atau lambatnya penerimaan diri seseorang dapat juga dilihat dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri tersebut. Menurut Hurlock 1974 terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri, yaitu pemahaman diri, harapan yang realistik, tidak adanya hambatan di dalam lingkungan, sikap-sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak adanya gangguan emosional yang berat, pengaruh keberhasilan, identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang baik, perspektif diri, pola asuh di masa kecil yang baik, dan konsep diri yang stabil. Dampak dari penerimaan diri akan mengarah kepada penyesuaian diri dan sosial yang lebih baik. Penyesuaian diri yang baik akan membuat seseorang bahagia dan sukses. Sedangkan penyesuaian sosial yang baik akan membuat seseorang menjadi lebih populer, menikmati kontak sosial, dan akan memiliki kehidupan yang penuh makna Hurlock, 1974. Selain itu, pada remaja penerimaan akan kondisi tubuhnya juga termasuk salah satu hal yang dapat membuat remaja tersebut bahagia Hurlock, 1993 Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa penerimaan diri sangat dibutuhkan bagi para remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan lalu lintas. Hal ini berguna agar para korban tersebut dapat menjalankan proses tumbuh-kembangnya secara lebih optimal walupun dengan Universitas Sumatera Utara kekurangan yang dimiliki. Maka, pada penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana proses penerimaan diri remaja tunadaksa dikarenakan kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini akan melihat tahapan penerimaan diri menurut Germer 2009 pada remaja penyandang tunadaksa karena kecelakaan dengan melihat juga faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri yang dikemukakan oleh Hurlock 1974.

I.2 Perumusan Masalah