Membiarkan Perasaan dan Pikirannya Allowing

“Karena kalau lagi ramai-ramai jangan sampai orang itu nengok aku lemah. Itu ga akan pernah aku kasih tunjuk. Ga akan pernah terlihat pun kelemahan aku. Nangis pun enggak. Aku ga mau dikasihani. ” WI-DNRb.725-726hal.34 Dalam kesehariannya perasaan DNR masih bercampur. Terkadang perlakuan orang-orang sekitar yang membuatnya tidak nyaman itu bisa membuatnya berpikir kembali mengenai kondisinya. Maka, pada waktu itu terjadi DNR langsung mencari kegiatan untuk menghilangkan pikiran tersebut. Seringnya DNR tidur agar melupakannya, tetapi tidak jarang pula ia memilih untuk mengganggu orang-orang disekitarnya, seperti mengganggu sang ibu dengan candaannya. “Yaa palingan kalau kita sama teman-teman, ada teman yang lagi dekat sama kita kan, aku lagi gini, gini, gini. Udah, palingan karena teman kita itulah jadi bisa gimana. Kalau ga ada teman kita kekeluarga, kita bilang sama keluarga, cari happy kita kekeluarga, ketawa-ketawa, pasti kita lupa dengan perasaan itu. ” WIII-DNRb.290-296hal.14 “Saat aku sendiri ya udah palingan bawa tidur. Udah, siap itu ga ada lagi, karena hanya tidur yang bisa nenangkan pikiran dan hati. Kalau udah bangun ya ingat lagi. ” WIII-DNRb.298-301hal.14

4. Membiarkan Perasaan dan Pikirannya Allowing

Seiring berjalannya waktu, DNR yang sudah terbiasa dengan kehidupannya yang tidak lagi memiliki anggota tubuh sempurna membuat dirinya merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Ia tidak peduli dengan orang-orang baru yang memperhatikan dirinya. Ia berpikir orang- orang yang memperhatikan ketunaannya atau membicarakan hal tersebut Universitas Sumatera Utara adalah karena rasa penasaran menganai bagaimana DNR melakukan sesuatu dengan keterbatasannya tersebut. Walaupun mengatakan bahwa dirinya tidak lagi mengambil pusing akan omongan orang, DNR masih menginginkan orang-orang tersebut jangan menilainya sebelum benar-benar mengenal dirinya. Ia berpikir apa yang orang lain pikirkan belum tentu sama dengan yang ia pikirkan, maka lebih baik untuk mengenalnya terlebih dahulu. “Terserah lah orang mau beranggapan apa. Ini aku sekarang, ya udah, PD Percaya Diri aja, jalan aja. Kemanapun aku biar aja orang berkata apa, yang penting aku nyaman, aku happy.” WI-DNRb310-314hal.15 Palingan orang itu berpikir gini aja, kalau menurut DNR yaa. Berpikiran kalau apa dia bisa melakukan semuanya apa yang orang lakukan. Gitu aja palingan. Tapi kan semua itu kan ga pernah mereka bilang. Bilang sih bilang, tapi ya DNR bilang aja, Ya bisa. Kenapa ga bisa. Gitu. ” WIII-DNRb.78-83hal.4 “Mereka itu benar-benar kenal aku dulu, benar-benar tahu siapa aku. Kalau mereka tahu siapa aku, baru mereka bisa menilai aku. Nilai aku udah kenal dulu, jangan nilai aku tanpa ngenalin aku. ” WIII-DNRb.274-277hal.13 Kenyamannan yang dirasakan DNR akan kondisi dan kehidupannya membuat DNR sudah merasa bahagia. Perasaan bahagia ini ditunjukkannya dengan menghibur ibunya yang masih suka sedih memikirkan kondisi dirinya yang tidak lagi sempurna. Ketika bertemu dengan orang-orang yang penasaran akan kondisinya DNR juga sudah bisa menjawab dengan baik pertanyaan-pertanyaan orang seputar peristiwa kecelakaan. Universitas Sumatera Utara Tapi dengan rasa kesedihan itu yaa kita buat dia itu ga sedih, biar dia itu ketawa, otomatis kita akan mengibur dia. Seperti mainin tangan kita yang sakit itu kan. „Mak, aku ada gaya baru loh. Gaya berenang. Dia bisa berenang. Gaya nembak pun aku udah bisa. Kalau mau nunjuk bisa, tapi bau burket istilah. ‟ Gitu, ketawa dia.” WI-DNRb.261-267hal.13 “Kalau mengenai tanggapan orang lain enggak, ga ada masalah buat aku. Soalnya udah kayak gini aku ya mau kayak mana lagi. Ga mungkin aku bilang, „Jadi, masalah buat ibu?‟ enggak kan. Masalah buat aku enggak juga. Ga ada masalah. ” WIII-DNRb.488-492hal.23 Perasaan nyaman dan bahagia yang dirasakannya sekarang belum bisa menghilangkan keinginan dirinya untuk bisa seperti dulu lagi. Keinginan ini terkadang datang terutama disaat DNR bertemu dengan lawan jenis yang menurutnya menarik. DNR memang orang yang memperhatikan penampilan dan tanggapan orang mengenai dirinya, maka penilaian seseorang khususnya lawan jenis bisa menimbulkan keinginan tersebut. Keinginan tersebut juga bisa muncul saat DNR merindukan aktivitas lamanya, namun menanggapi keinginan-keinginan itu DNR memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. “Menjalaninya enjoy, tapi kalau perasaannya ya gitulah.” WII-DNRb.69hal.4 “Kalau itu pernah. Pernah aku bilang gini kan, „Kalau aku ga kayak gini pasti aku itu bisa bawa kereta. Kalau aku ga kayak gini pasti banyak tu cowok yang ngumpul-ngumpul di rumah gitu kan. Kalau aku ga kayak gini pasti aku gampang dapat kecengan pacar. Tapi ya udah lah, jalani aja. ‟ Itu kan hanya pikiran yang gimana gitu. Kerjaan, rezeki, apapun itu pokoknya udah ada yang ngatur. Ini jalan aku harus aku lakuin. Apapun yang terjadi sama aku ya aku jalani. Ga tahu kapannya, pokoknya itu datangnya sering. Semalam ada tu. Sering. Tapi, ah, udahlah, pikiran bodoh gitu aja. ” WIII-DNRb.596-610hal.28 Universitas Sumatera Utara IV.2.E Hasil Data Partisipan II Kecelakaan lalu lintas yang memberikan dampak kecacatan tentunya membuat korban mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupannya. Pada DNR perubahan yang terjadi adalah perubahan fisik tentunya yang membuatnya tidak lagi terlihat sebagai orang dengan kondisi tubuh sempurna. Perubahan fisik ini juga membuat DNR kesulitan untuk menjalani aktifitas sehari-hari seperti mandi, berpakaian, menulis, mencuci, dan lain sebagainya karena bagian yang diamputasi merupakan bagian terpenting dalam diri DNR yaitu tangan kanan di mana ia terbiasa melakukan segala sesuatu menggunakan tangan tersebut. Hal ini membuatnya harus kembali belajar berkegiatan apapun dengan menggunakan tangan kiri. Perubahan lainnya adalah sikap orang-orang dilingkungan sekitarnya. Kecacatan yang dialami DNR membuat teman-teman DNR menjauhinya karena alasan yang tidak jelas. DNR hanya menganggap teman-temannya tersebut menjauhinya karena kondisinya yang tidak lagi sempurna. Sikap anggota masyarakat di lingkungan sekitarnya pun berubah. DNR seperti mendapat perhatian lebih dari orang-orang sekitar yang melihatnya, sayangnya perhatian tersebut merupakan bentuk rasa kasihan atau rasa penasaran akan bagaimana DNR menjalani kehidupannya dengan bertangan satu. Namun, sikap keluarga yang berubah menjadi lebih perhatian dan peduli kepada DNR merupakan hal yang disyukurinya dan memotivasi dirinya. Universitas Sumatera Utara Penerimaan diri dibutuhkan agar seseorang mampu menjalani hidupnya dengan keterbatasan yang dimiliki. Lamanya waktu yang sudah dilalui tidak membuat DNR sudah menerima dirinya. Dari lima tahapan penerimaan diri, setelah dua tahun pasca kecelakaan DNR baru mancapai tahap keempat dari tahapan ini. Perilaku dari tahapan penerimaan diri terlihat sebagai berikut.

1. KebencianKeengganan Aversion

DNR merasa sedih akan kehilangan tangan kanannya. DNR juga sedih melihat reaksi orang tua yang sedih dengan kondisi dirinya yang tidak lagi sempurna. Perasaan sedih itu membuat DNR tidak menginginkan kecacatannya. Kecacatannya juga membuat dirinya dijauhi oleh teman- temannya. Hal tersebut membuat DNR marah dan sedih dengan sikap teman-temannya tersebut. Selain itu, sikap anggota masyarakat yang kerap kali mengasihani, menanyakan mengenai kecelakaan, menanyakan mengenai bagaimana caranya menjalani aktivitas sehari-hari juga membuat DNR merasa sedih dan tidak suka. Sikap masyarakat yang seperti itu membuatnya malu dan minder akan kondisinya. Ia sangat ingin bisa kembali ketubuh sempurnanya dahulu. Saat pikiran dan perasaan tidak nyaman itu datang, DNR hanya ingin menyendiri.

2. Keingintahuan Curiosity

Rasa ingin tahu DNR muncul saat ia mulai mengkhawatirkan masa depannya yang akan dilalui dengan ketunaannya. Pikiran itu tidak lantas Universitas Sumatera Utara membuatnya diam dan tidak melakukan apa-apa, kejenuhan dan keengganan untuk melihat orang tuanya sedih serta keengganan untuk dikasihani dan diremehkan membuat DNR mulai mempelajari aktivitas sehari-harinya dengan menggunakan tangan kiri. DNR juga belajar dari orang-orang dengan kecacatan fisik lainnya, ia melihat bagaimana orang-orang tersebut bisa tegar dan bahagia dalam menjalani kehidupan dengan keterbatasan.

3. Toleransi Tolerance

Ketika DNR sudah mampu menjalani aktifitas sehari-hari dengan keterbatasannya, DNR mulai pasrah dengan kondisinya. Ia mengaku sudah terbiasa dengan kehidupan dengan keterbatasannya. Namun, perasaan tidak nyaman karena tanggapan orang-orang mengenai kecacatannya masih mengganggu DNR, tetapi DNR menguatkan dirinya karena ia tidak ingin terlihat lemah dihadapan orang lain. Usaha DNR untuk tetap terlihat kuat ini tidak terlepas dari perilaku sang ibu yang masih belum bisa menerima kecacatan DNR. Walaupun ibunya tidak jarang memberikan motivasi, tapi ibunya juga kerap kali menunjukkan kesedihannya. Untuk itu lah DNR ingin terlihat kuat agar sang ibu tahu bahwa DNR tidak mempermasalahkan kecacatannya. Kepasrahan namun terkadang masih ada perasaan tidak nyaman ini membuat DNR ingin menghilangkan perasaan tersebut. Hal yang biasanya DNR lakukan untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman atau pikiran mengenai kondisinya adalah dengan mencari kegiatan atau menyibukkan dirinya. Universitas Sumatera Utara 4. Membiarkan perasaan dan pikirannya Allowing Setelah 2 tahun pasca kecelakaan, DNR mengaku saat ini sudah nyaman dengan kehidupannya yang harus dijalani dengan tangan satu. Ia tidak lagi peduli akan orang-orang yang memperhatikan dirinya yang tidak sempurna. Ia bahkan sudah mampu menjawab dengan baik pertanyaan- pertanyaan orang-orang yang penasaran akan apa yang terjadi pada dirinya. DNR juga lebih senang menghibur ibunya yang masih belum bisa menerima kecacatan dirinya. Namun dibalik semua itu, DNR mengaku apabila sedang sendiri dirinya merasa lemah. DNR juga masih mempunyai keinginan untuk bisa bertubuh sempurna lagi terutama dikala ia bertemu dengan lawan jenis yang menarik hatinya. DNR memang remaja perempuan yang peduli dengan penampilannya dan menyukai untuk berteman dengan banyak anak laki- laki. Tetapi, saat ini apabila perasaan lemah dan keinginan itu datang DNR memilih untuk tidak terlalu memikirkan perasaan dan keinginannya tersebut. Faktor penerimaan diri yang turut membantu DNR selama proses penerimaan diri salah satunya adalah tidak adanya hambatan dari lingkungan. Tidak ada hambatan berupa diskriminasi selama DNR menjalani kehidupan dengan kecacatannya karena keluarga, yang menurut DNR merupakan orang-orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya, sangat mendukung DNR untuk dapat melakukan aktifitas-aktifitas layaknya orang normal. Universitas Sumatera Utara IV.2.F Analisa dan Pembahasan Data Partisipan II Perubahan fisik yang juga memberikan perubahan psikologis, aktifitas sehari-hari, dan sikap-sikap orang-orang dilingkungan sekitar membuat DNR sulit untuk menerima dirinya. Dirinya yang sebelumnya pernah merasakan kehidupan dengan tubuh yang normal akan merasa bahwa kecacatan yang dialaminya merupakan kemunduran dan sangat sulit untuk menerima kondisi tersebut Somantri, 2006. Untuk dapat menerima kecacatan dan menjalani kehidupan dengan keterbatasannya, DNR melalui beberapa tahapan penerimaan diri. Kecelakaan yang telah terjadi selama 2 tahun tidak lantas membuat DNR sudah menerima dirinya yang cacat. Menurut Damayanti dan Rostiana 2003; Tentama, 2010 penyandang tunadaksa karena kecelakaan memang membutuhkan waktu lama untuk menerima kondisinya dan penerimaan ini sangat tergantung pada diri seseorang tersebut. Dalam proses penerimaan dirinya DNR mengawali dengan perasaan sedih akan kondisi fisik yang tidak lagi sempurna. Rasa marah juga muncul sebagai bentuk kekesalan kepada teman-temannya yang meninggalkannya karena dirinya tidak lagi sempurna. Hal ini merupakan salah satu bentuk kebencian dan keengganan akan kondisi tidak nyaman yang dirasakan menurut Germer 2009. DNR juga menunjukkan rasa sedih ketika orang-orang mengasihaninya dan rasa minder serta malu untuk bertemu dengan orang Universitas Sumatera Utara lain. Hal-hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan oleh Somantri 2006 bahwa anak yang mengalami kecacatan fisik atau tunadaksa akan menunjukkan sikap rendah diri, cemas, dan agresif. Reaksi yang sangat menonjol pada DNR adalah kekhawatiran dan kesedihannya memikirkan tanggapan orang tuanya dengan kondisi ketunaannya. Hal ini menarik karena dibanding sedih akan kehilangan tangannya, DNR lebih sedih melihat orang tuanya yang sedih melihat kondisinya. DNR menganggap bahwa keluarga adalah segalanya untuk dirinya. Maka, saat ia dihadapkan pada kondisi kecacatan yang mana tidak hanya dirinya tetapi lingkungannya pun akan sulit untuk menerima kondisi tersebut, ia merasa cemas untuk tidak diterima oleh lingkungannya yang dalam hal ini adalah keluarganya. Hal ini dapat dikatakan bentuk kecemasan pada anak tunadaksa yang dikatakan Somantri 2006. Bentuk keengganan atau kebencian lainnya yang terlihat pada DNR adalah ketidaknyamanannya pada orang yang bertanya-tanya mengenai kondisi dirinya dan yang meremehkannya. Sehingga, diawal kehidupannya pasca kecelakaan DNR kerap kali menyendiri. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Somantri 2006 bahwa keterbatasan yang dialami oleh penyandang tunadaksa dapat membuat mereka menarik diri dari pergaulan. DNR memasuki tahapan kedua penerimaan diri ketika ia memikirkan masa depan yang akan dijalani dengan kecacatan pada tubuhnya. Ia juga mulai belajar untuk bisa melakukan hal-hal yang dulu dilakukannya dengan keterbatasan yang kini ia miliki. Rasa ingin tahu juga muncul saat bertemu Universitas Sumatera Utara dengan penyandang cacat fisik lainnya, ia ingin tahu bagaimana cara orang tersebut bisa semangat dan tidak malu dengan kecacatannya. Perilaku- perilaku tersebut merupakan bentuk rasa ingin tahu akan hal-hal yang dirasa perlu diperhatiakan menurut Germer 2009. DNR berpikir daripada ia hanya menyendiri merenungi kondisinya yang tidak lagi sempurna, lebih baik ia mulai berpikir untuk kehidupannya dimasa yang akan datang. Ia tidak ingin terus-menerus melihat orang tuanya sedih dan bergantung pada mereka. Hal ini merupakan hal yang wajar karena mengingat bahwa DNR masih pada tahap perkembangan remaja, di mana ketidaktergantungan terhadap orang tua atau orang dewasa lainnya merupakan salah satu tugas perkembangan pada masa remaja Havighurst, 1972; Agustiani, 2006 Kemampuan DNR yang sudah bisa melakukan beberapa kegiatan dengan keterbatasannya membuat DNR terbiasa dengan hidup dengan kecacatannya. Terkadang DNR masih merasa sedih dengan pikiran mengenai kondisinya dan menanggapi reaksi orang terhadapnya berusaha melawan perasaan tersebut dengan menguatkan dirinya. Ia tidak pernah mengeluhkan apa yang terjadi pada dirinya. DNR juga berusaha untuk tidak terlihat sedih dihadapan orang. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa DNR berada pada tahap ketiga penerimaan diri. Menurut Germer 2009 individu yang mencapai tahap ketiga penerimaan diri ditandai dengan kemampuannya menanggung rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan berharap perasaan tersebut akan segera hilang. Universitas Sumatera Utara Setelah 2 tahun kecelakaan terjadi DNR sudah nyaman hidup dengan keterbatasan yang dimiliki. Ia bahkan mampu menghibur ibunya yang masih suka sedih melihat kecacatan DNR. Saat ini DNR sudah mencapai tahap keempat penerimaan diri di mana ia sudah mampu membiarkan perasan dan pikiran mengenai kecacatan dan tanggapan orang mengenai kecacatannya. Seiring berjalannya waktu, proses penerimaan diri akan ketunaannya semakin membaik. Sejalan dengan yang dinyatakan Somantri 2006 bahwa seseorang yang baru mengalami ketunaan semakin lama ia mengalaminya maka ia akan dapat menerima ketunaan yang dideritanya. Faktor yang mempengaruhi proses penerimaan diri DNR adalah tidak adanya hambatan dari lingkungan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencapai tujuan hidup yang realistis dapat berasal dari hambatan yang berasal dari lingkungan yang tidak dapat dikendalikan, misalnya seperti diskriminasi Hurlock, 1974. Pada DNR tidak ditemukan diskriminasi karena orang-orang disekitar DNR seperti keluarga selalu mengatakan bahwa DNR bisa melakukan apa yang orang normal lakukan. Dukungan ini juga yang membuat DNR memberi pengakuan sendiri terhadap dirinya bahwa ia bisa melakukan hal yang orang normal lakukan, maka tidak ada perasaan terdiskriminasi pada dirinya. Hal ini dikarenakan ketika lingkungan mendorong seseorang untuk mencapai keberhasilan, maka ia akan puas dengan pencapaian yang membuktikan bahwa harapannya adalah suatu hal yang realistis Hurlock, 1974. Universitas Sumatera Utara Tabel 8. Gambaran Tahapan Penerimaan Diri Partisipan II No. Tahapan Penerimaan Diri Gambaran Tahapan Penerimaan Diri 1. Kebencian Keengganan Aversion  Khawatir dan sedih dengan tanggapan orangtua mengenai ketunaannya.  Marah dengan teman-teman yang meninggalkannya.  Merasa malu dan minder dengan ketunaannya.  Sedih menanggapi orang-orang yang mengasihaninya.  Tidak suka dianggap remeh.  Tidak nyaman untuk menceritakan kembali mengenai kecelakaan.  Menyendiri dan merenung jika pikiran yang menyangkut kondisinya datang.  Menginginkan dirinya yang dulu.

2. Keingintahuan Curiosity

 Memikirkan masa depan yang akan dilalui dengan ketunaannya.  Belajar melakukan kegiatan dengan keterbatasannya.  Bertanya-tanya tentang bagaimana orang-orang dengan kondisi yang sama dengannya bisa semangat dan tidak malu.

3. Toleransi Tolerance

 Pasrah dengan kondisi ketunaannya.  Terbiasa dengan kehidupan pasca ketunaannya.  Menguatkan diri untuk menghadapi tanggapan orang mengenai ketunaannya.  Tidak ingin terlihat sedih dihadapan orang dan berharap pikiran yang membuatnya sedih segera hilang.  Mencari kegiatan untuk menghilangkan pikiran menyangkut kondisinya. 4. Membiarkan perasaan dan pikirannya Allowing  Nyaman dengan hidupnya sekarang.  Tidak peduli dengan orang yang memperhatikan dirinya dengan ketunaannya.  Menghibur sang ibu dan bersikap baik pada orang yang bertanya-tanya mengenai kondisinya.  Masih mempunyai keinginan untuk bisa seperti dulu, namun memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. Universitas Sumatera Utara Mengalami kecelakaan lalu lintas pada tahun 2011 diusia 17 tahun Sedih, khawatir dengan perasaan orang tua, mencemaskan masa depan, minder, tidak suka dikasihani dan dianggap remeh. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penerimaan Diri Tunadaksa Seluruh tangan kanan diamputasi KebencianKeengganan Aversion - Khawatir dan sedih mengenai kondisi fisik dan tanggapan orang tua pada kecacatannya. - Marah pada teman-teman yang meninggalkannya. - Minder dengan kondisinya dan sedih bila dikasihani. - Tidak mau dianggap remeh. - Tidak nyaman menceritakan soal kecelakaan. - Menyendiri saat sedih dan menginginkan dirinya yang dulu dengan kondisi fisik sempurna. Keingintahuan Curiosity - Memikirikan masa depannya. - Belajar melakukan kegiatan sehari-hari dengan keterbatasannya. - Bertanya-tanya bagaimana seseorang yang cacat bisa semangat dan tidak malu dengan kecacatannya. Toleransi Tolerance - Pasrah dengan kecacatan dan terbiasa hidup dengan keterbatasannya. - Menguatkan diri untuk menghadapi tanggapan orang lain. - Tidak ingin menunjukkan kesedihannya dan berharap pikiran-pikiran mengenai kecacatannya degera hilang. - Mencari kegiatan untuk menghilangkan pikiran mengenai kondisi fisiknya. DNR Tahapan Penerimaan Diri Gambar 3. Skema Gambaran Proses Penerimaan Diri DNR  Tidak adanya hambatan di dalam lingkungan Keluarga mendukung DNR dalam mempelajari kegiatan- kegiatan layaknya orang normal. Keterangan: = dipengaruhi Membiarkan Perasaan dan Pikirannya Allowing - Nyaman hidup dengan keterbatasannya dan tidak peduli pada tanggapan orang. - Menghibur sang ibu yang masih belum menerima kecacatannya dan bersikap baik kepada orang-orang yang penasaran dengan kondisi fisiknya. - Masih mempunyai keinginan untuk mempunyai tubuh yang sempurna, tetapi memilih tidak terlalu memikirkannya. Universitas Sumatera Utara Rangkuman Analisa Antar Partisipan Berdasarkan analisa pada masing-masing partisipan yang telah dilakukan sebelumnya, maka pada tabel berikut akan dengan lebih ringkas rangkuman gambaran proses penerimaan diri antar partisipan. Tabel 9. Rangkuman Analisa Antar Partisipan NO. Proses Penerimaan Diri Partisipan I Partisipan II 1. Perubahan Pasca Amputasi  HK mengalami perubahan fisik seperti kehilangan kaki kiri dan beberapa anggota tubuh seperti limpa yang membuat HK kaget dan tidak percaya dengan apa yang terjadi dengannya.  Kecacatan juga membuatnya tidak lagi bisa melakukan aktifitas seperti biasa. Ia memerlukan bantuan seseorang untuk merawat dirinya.  Perubahan fisik dan kecelakaan yang merengut nyawa ibunya membuat HK mengalami perubahan psikologis seperti bertingkah aneh, histeris, murung dan sedih.  DNR kehilangan tangan kanannya setelah kecelakaan lalu lintas yang dialaminya.  Kecacatan yang dimilikinya membuat DNR menunjukkan perubahan psikologis seperti sedih, menjadi khawatir tentang perasaan orang tua dan juga penyesalan krn tidak menikuti omongan orang tua.  DNR mengalami perubahan dalam melakukan kegiatan sehari-hari seperti mandi, berpakaian, makan, menulis, dan lain sebagainya.  Sikap orang-orang disekitar lingkungan DNR juga berubah. DNR dijauhi teman- temannya, dikasihani dan didera pertanyaan-pertanyaan mengenai kecacatan oleh orang-orang yang melihatnya.  Perubahan juga terjadi pada sikap keluarga DNR. Keluarga DNR menjadi lebih perhatian dan peduli terhadap DNR. DNR merasa kepentingannya selalu didahulukan dibanding kakak dan adiknya. 2. Tahap Pertama Penerimaan Diri: Aversion  Merasa sedih dan tidak berdaya dengan kejadian yang menimpa dirinya.  Benci dan dendam terhadap  Khawatir dan sedih dengan tanggapan orangtua mengenai ketunaannya.  Marah dengan teman-teman Universitas Sumatera Utara hal-hal yang dirasa membuat dirinya kehilangan kaki.  Benci terhadap orang-orang yang bereaksi berlebihan terhadap kondisinya.  Minder dengan kondisinya.  Menyesali kejadian yang menimpanya.  Merindukan dirinya yang bisa beraktifitas normal.  Merasa tidak nyaman ketika berkumpul dengan orang yang kondisinya sama dengan dirinya.  Menyatakan belum bisa menerima kondisinya saat ini.  Tidak bisa menggambarkan dirinya sendiri. yang meninggalkannya.  Merasa malu dan minder dengan ketunaannya.  Sedih menanggapi orang- orang yang mengasihaninya.  Tidak suka dianggap remeh.  Tidak nyaman untuk menceritakan kembali mengenai kecelakaan.  Menyendiri dan merenung jika pikiran yang menyangkut kondisinya datang.  Menginginkan dirinya yang dulu. 3. Tahap Kedua Penerimaan Diri: Curiosity  Menanyakan dan mencari tahu mengenai kecelakaan.  Bertanya-tanya hal yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan kondisi tubuhnya tidak lagi sempurna.  Khawatir dan takut dengan apa yang akan terjadi di masa depannya.  Ingin menumbuhkan rasa percaya diri.  Memotivasi diri dengan membandingkan dirinya dengan orang yang kondisinya di bawah dia.  Memikirkan masa depan yang akan dilalui dengan ketunaannya.  Belajar melakukan kegiatan dengan keterbatasannya.  Bertanya-tanya tentang bagaimana orang-orang dengan kondisi yang sama dengannya bisa semangat dan tidak malu. 4. Tahap Ketiga Penerimaan Diri: Tolerance  Sudah terbiasa dengan kondisinya sekarang.  Merasa biasa saja dengan kondisinya saat ini dan memilih untuk menjalaninya saja.  Malas untuk mengingat kejadian yang menimpa dirinya dan ingin menghilangkan perasaan tersebut.  Menyibukkan diri saat pikiran  Pasrah dengan kondisi ketunaannya.  Terbiasa dengan kehidupan pasca ketunaannya.  Menguatkan diri untuk menghadapi tanggapan orang mengenai ketunaannya.  Tidak ingin terlihat sedih dihadapan orang dan berharap pikiran yang membuatnya sedih segera hilang.  Mencari kegiatan untuk Universitas Sumatera Utara mengenai kondisinya datang.  Menyatakan yang berubah pada dirinya hanyalah kondisi fisiknya.  Senang apabila kondisinya semakin membaik.  Tidak terlalu peduli mengenai perasaannya terhadap supir dan mantannya.  Mulai berhubungan dengan orang-orang baru. menghilangkan pikiran menyangkut kondisinya. 5. Tahap Keempat Penerimaan Diri: Allowing Belum sampai pada tahapan ini  Nyaman dengan hidupnya sekarang.  Tidak peduli dengan orang yang memperhatikan dirinya dengan ketunaannya.  Menghibur sang ibu dan bersikap baik pada orang yang bertanya-tanya mengenai kondisinya.  Masih mempunyai keinginan untuk bisa seperti dulu, namun memilih untuk tidak terlalu memikirkannya. 6. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri: Tidak Adanya Hambatan dalam Lingkungan Dalam mempelajar aktifitas sehari-hari lingkungan turut membantu seperti keluarga HK yang perlahan-lahan membiarkan HK untuk mandi sendiri. Lingkungan disekitar HK seperti keluarga, teman, dan tetangga tidak merubah sikapnya terhadap HK. Keluarga mendukung DNR dalam mempelajari kegiatan- kegiatan layaknya orang normal. 7. Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri: Sikap-Sikap Anggota Masyarakat yang Menyenangkan Keluarga dan teman-teman HK selalu ada untuk HK dan selalu memberikan motivasi kepada HK. Universitas Sumatera Utara

IV.3 Pembahasan Antar Partisipan I dan II