IV.3 Pembahasan Antar Partisipan I dan II
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa baik partisipan I maupun partisipan II sama-sama mengalami perubahan fisik, psikologis, dan perubahan dalam
aktifitas sehari-hari. Tetapi, pada partisipan II terjadi perubahan dalam lingkungan sosial dan pergaulannya. Partisipan II yang dikasihani oleh orang-orang
disekitarnya dan dijauhi oleh teman-temannya ini merasa sedih dan marah akan hal tersebut. Lain halnya yang terjadi dengan partisipan I, diawal kehidupannya
setelah menjadi cacat orang-orang disekitarnya selalu memotivasinya. Selain itu, partisipan II juga mengalami perubahan pada sikap keluarga kepada dirinya yang
setelah dirinya menjadi cacat keluarga partisipan II sangat peduli dan perhatian kepadanya. Hal ini menghibur hati partisipan II. Sedangkan partisipan I harus
dihadapkan oleh kematian ibunya yang menjadi korban dalam kecelakaan lalu lintas itu. Maka partisipan I tidak hanya mengalami kehilangan pada salah satu
anggota tubuh tapi juga kehilangan sang ibu. Perubahan-perubahan ini memunculkan beberapa macam emosi yang mengganggu kehidupan para
partisipan dalam penelitian ini. Somantri 2006 menyatakan bahwa individu yang baru mengalami kondisi yang menyebabkan dirinya cacat memang lebih banyak
menunjukkan adanya gangguan emosi. Pada tahapan penerimaan diri, kedua partisipan juga mengalami hal-hal
yang berbeda. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan bahwa setelah 7 bulan kecelakaan lalu lintas terjadi partisipan I baru mencapai tahap ketiga dari
penerimaan diri yaitu toleransi, sedangkan partispan II yang sudah dua tahun
Universitas Sumatera Utara
hidup dengan keterbatasannya berada pada tahap keempat penerimaan diri yaitu membiarkan perasaan dan pikiran yang tidak nyaman tersebut.
Pada tahap pertama yaitu kebencian atau keengganan aversion kedua partisipan sama-sama merasakan sedih karena kehilangan salah satu anggota
tubuhnya. Namun rasa sedih yang mendalam ditunjukkan oleh partisipan I karena ia juga kehilangan sang ibu. Hal ini juga yang membuat partisipan I memakan
waktu 5 bulan pada tahapan pertama ini. Kesedihan akan kehilangan yang dialami juga membuat partisipan I menyesali apa yang sudah terjadi padanya. Sedangkan
pada partisipan II rasa sedih yang dirasakan karena kehilangan tangan kanannya bercampur dengan rasa khawatir akan tanggapan orang tua mengenai dirinya yang
tidak lagi sempurna. Kekhawatiran dan kesedihan akan melihat reaksi orang tuanya ini membuat partisipan II berusaha untuk tegar menghadapi kehidupan
yang berketerbatasan sehingga tidak pernah menyesali apa yang terjadi padanya. Namun, kedua partisipan tetap merindukan masa-masa dimana dirinya bertubuh
normal. Reaksi yang sering terlihat pada individu yang merasakan ketidaknyamanan
adalah kebencian atau keengganan akan hal tersebut Germer, 2009. Pada kedua partisipan perasaan tidak nyaman akan kecacatannya itu memunculkan rasa marah
dan benci. Rasa marah dan benci ini mempengaruhi kehidupan sosial kedua partisipan. Kedua partisipan merasa minder dan malu akan kondisinya. Hal ini
dikarenakan kedua partisipan tidak suka dengan tanggapan orang-orang dilingkungan sekitarnya yang menganggap remeh ataupun memberikan perhatian
berlebihan seperti mengasihani atau bertanya-tanya kepada mereka. Hal ini sesuai
Universitas Sumatera Utara
dengan yang dikatakan Somantri 2006 sebagai dampak penyandang tunadaksa cacat fisik secara perkembangan sosial, yang salah satunya adalah lingkungan
disekitar anak tunadaksa akan mempengaruhi pergaulan sosial mereka. Keterbatasan yang dialami oleh penyandang tunadaksa dapat membuat mereka
menarik diri dari pergaulan masyarakat. Berbeda dengan partisipan I, pada tahap pertama ini partisipan II suka
menyendiri apabila perasaan dan pikiran mengenai kecacatannya datang. Hal ini dikarenakan partisipan II yang tidak ingin menambah kesedihan orang tuanya
apabila melihatnya meratapi nasipnya yang tidak lagi sempurna. Keberhasilan kedua partisipan untuk melewati tahap pertama tidak terlepas
dari peranan keluarga ataupun lingkungan sekitarnya yang selalu memberikan motivasi. Akibat motivasi tersebut kedua partisipan tidak menemui hambatan
untuk belajar menjalani kehidupan dengan keterbatasan masing-masing. Lingkungan yang mendukung seseorang untuk memperoleh keberhasilan akan
memberikan keyakinan pada orang tersebut bahwa pencapaian akan sesuatu hal yang diinginkan adalah hal yang realistis Hurlock, 1974.
Dukungan dan motivasi yang diberikan membuat kedua partisipan memasuki tahapan kedua penerimaan diri yaitu keingintahuan curiosity.
Menurut Germer 2009 rasa ingin tahu ditunjukkan dengan memiliki pertanyaan- pertanyaan pada hal-hal yang dirasa perlu untuk diperhatikan. Akibat dukungan
yang diberikan, pada tahapan ini kedua partisipan menunjukkan rasa keingintahuan terhadap cara melakukan kegiatan-kegiatan sehari-hari dengan
keterbatasan yang dimiliki. Maka, kedua partisipan pun mulai mempelajarinya.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya pada partisipan I, ia memperlihatkan rasa ingin tahunya mengenai terjadinya kecelakaan dan mengapa ia harus kehilangan beberapa
anggota tubuh. Hal ini dikarenakan partispan I yang tidak ingat mengenai kecelakaan. Berbeda dengan partisipan II, ia tidak pernah bertanya-tanya
mengenai kecelakaan karena pada saat kecelakaan terjadi partisipan II dalam keadaan sadar.
Hal-hal yang perlu diperhatikan lainnya menurut kedua partisipan adalah mengenai masa depan. Kedua partisipan mengkhawatirkan bagaimana jika nanti
mereka akan menikah dan mempunyai anak. Diusia mereka yang masih remaja merupakan hal yang wajar untuk berpikiran mengenai perkawinan dan kehidupan
berkeluarga, karena itu merupakan salah satu tugas perkembangan remaja yang dinyatakan Havighurst dalam Agustiani, 2006. Kekhawatiran perihal bagaimana
sikap pasangan akan kecacatan yang dimiliki pada kedua partisipan juga merupakan hal yang wajar. Menurut Hastuti 2012 penyandang tunadaksa
memiliki kecemasan yang tinggi dalam memperoleh pasangan. Perasaan rendah diri, tidak percaya diri dan merasa tidak berdaya seringkali menimbulkan
kekhawatiran dan kecemasan pada individu tunadaksa dalam memilih pasangan hidup. Kecemasan ini juga sesuai dengan yang dinyatakan Somantri 2006
sebagai dampak anak tunadaksa yang menunjukkan perasaan rendah diri, cemas, dan agresif.
Tahap ketiga penerimaan diri ditandai dengan individu menanggung rasa sakit emosional yang dirasakan, tetapi individu tetap melawannya dan berharap
perasaan tersebut akan segera hilang Germer, 2009. Pada tahap ini baik
Universitas Sumatera Utara
partisipan I maupun partisipan II merasa sudah terbiasa dengan kehidupan dengan kecacatan yang dimiliki. Perasaan dan pikiran mengenai keinginan untuk kembali
sempurna atau tentang kecelakaan kerap kali datang kepada kedua partisipan, maka pada saat hal itu terjadi kedua partisipan memilih untuk mencari kesibukan
agar tidak terlalu memikirkan hal-hal tersebut. Menguatkan diri juga dipilih partisipan II sebagai cara untuk menghadapi orang-orang yang mengasihani atau
memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai kecacatannya. Pada partisipan I dirinya masih berada dalam tahap ketiga penerimaan diri
dikarenakan partisipan I masih belum mau dan merasa mampu untuk hidup dengan keterbatasannya. Hal ini terlihat dengan ketidakinginan partisipan I untuk
bertemu dengan pacar barunya dan bahkan mengatakan bahwa ia menjadi korban kecelakaan yang mengalami patah tulang. Pernyataan partisipan I ini menguatkan
bahwa dirinya masih belum ingin dianggap sebagai orang yang memiliki cacat fisik. Tidak hanya menolak untuk bertemu dengan pacar barunya, partisipan I
juga belum berani untuk bepergian disiang hari, hal ini dikarenakan dirinya yang tidak ingin melihat orang-orang memperhatikan kecacatannya dengan berlebihan.
Pada tahapan keempat, individu akan mulai membiarkan perasaan dan pikiran yang membuatnya tidak nyaman itu datang dan pergi Germer, 2009.
Partisipan II sudah mencapai tahap keempat penerimaan diri ini ditandai dengan perasaan nyaman hidup dengan keterbatasannya. Partisipan II bahkan mampu
menghibur sang ibu apabila sedih melihat kondisi kecacatannya. Tetapi, partisipan II masih memiliki keinginan untuk bisa kembali sempurna. Keinginan ini bisa
muncul saat partisipan II bertemu dengan lawan jenis yang menurutnya menarik.
Universitas Sumatera Utara
Partisipan II memang seorang remaja yang memperhatikan penampilan, dirinya selalu ingin terlihat menarik. Maka, saat ia bertemu dengan lawan jenis yang
membuatnya tertarik lalu menyadari kondisinya yang tidak sempurna, keinginan itu akan muncul. Namun selanjutnya partisipan II akan kembali sadar diri dan
memilih untuk tidak terlalu memikirkan keinginannya tersebut.
Universitas Sumatera Utara
123
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini akan menguraikan tentang kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Dalam bab ini juga akan dikemukakan saran-saran praktis maupun
metodologis yang mungkin berguna untuk penelitian yang selanjutnya mengenai proses penerimaan diri.
V.1 Kesimpulan
Partisipan I baru mencapai tahap penerimaan diri ketiga. Perubahan fisik yang dialami memberikan dampak pada psikologis dan aktifitas sehari-hari
partisipan I. Ia merasa sedih dan kaget dengan kondisi fisiknya dan kesulitan untuk beraktifitas. Perubahan-perubahan yang dialaminya setelah kecelakaan
membuat partisipan I sulit untuk menerima dirinya. Pada tahap pertama penerimaan diri yaitu aversion, partisipan I menghabiskan waktu 5 bulan pada
tahapan ini. Rasa sedih akan kehilangan kaki dan ibunya menjadi salah satu pemicu lamanya waktu yang dihabiskan. Reaksi lainnya yang berupa bentuk
keengganan atau kebencian terhadap ketunaannya ditunjukan dengan bentuk menyesal, minder, menyatakan belum bisa menerima dirinya, dan merindukan
dirinya yang dulu. Partisipan I bahkan menunjukkan rasa tidak nyamannya ketika bertemu dengan penyandang tunadaksa lainnya. Tahap dua penerimaan
Universitas Sumatera Utara