3. Kontrol dosis tertinggi atau Kontrol dosis III
Kontrol dosis III merupakan kontrol dosis tertinggi yaitu 137,14 mgkgBB yang diberikan secara p.o. Tujuan dilakukan kontrol dosis III untuk melihat
pengaruh pemberian FHEMM jangka panjang tanpa adanya penginduksi hepatotoksin CCl
4,
dimana pada dosis tertinggi dianggap memiliki kandungan senyawa FHEMM yang paling tinggi sehingga dapat menurunkan aktivitas LDH
yang paling baik. Dosis tertinggi dipilih karena dianggap dapat mewakili efek atau respon yang ditimbulkan oleh dosis I dan II FHEMM dalam menurunkan aktivitas
serum LDH. Uji ini dilakukan dengan memberikan FHEMM selama 6 hari berturut-turut dan 24 jam kemudian atau pada hari ke-7 diambil darahnya untuk
pengukuran aktivitas serum LDH. Hasil pengukuran aktivitas serum LDH pada kontrol dosis III yaitu sebesar 964,4 ± 84,7 UL. Pada tabel VI hasil uji statistik
menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna antara kontrol dosis III 964,4 ± 84,7 UL dengan kontrol negatif CMC-Na 1 877,8 ± 79,2 UL yang berarti
bahwa aktivitas serum LDH ketika diberikan dosis III atau tertinggi 137,14 mgkgBB FHEMM berada dalam keadaan normal. Perbedaan yang bermakna
terjadi pada kontrol dosis III dengan kontrol hepatotoksin 1848,8 ± 47,8 UL yang berarti bahwa dosis III atau dosis tertinggi 137,14 mgkgBB FHEMM
secara per oral tidak menyebabkan kerusakan hepar sehingga tidak menyebabkan peningkatan serum LDH pada jam ke-24.
4. Kelompok perlakuan FHEMM dosis I 34,28 mgkgBB, dosis II
68,57 mgkgBB, dan dosis III 137,14 mgkgBB pada tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl
4
dengan dosis 2 mlkgBB
Pengaruh pemberian FHEMM dapat dilihat dengan ada tidaknya penurunan aktivitas serum LDH pada tikus yang terinduksi CCl
4.
Kelompok IV merupakan kelompok praperlakuan dosis I FHEMM yaitu sebesar 34,28
mgkgBB. Kelompok V merupakan kelompok praperlakuan dosis II FHEMM yaitu sebesar 68,57 mgkgBB. Kelompok VI merupakan kelompok praperlakuan
dosis III FHEMM yaitu sebesar 137,14 mgkgBB. Pada tabel V dapat dilihat bahwa aktivitas serum LDH kelompok IV yaitu 1064,0 ± 80,9 UL, aktivitas
serum LDH kelompok V yaitu 1069,0 ± 34,0 UL, dan aktivitas serum LDH kelompok VI yaitu 902,2 ± 23,4 UL.
Berdasarkan tabel VI dari hasil uji statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara perlakuan dosis I 1064,0 ± 80,9 UL dengan
kontrol hepatotoksin 1848,8 ± 47,8 UL. Hal ini berarti bahwa pada dosis 1 34,28 mgkgBB FHEMM jangka panjang mempunyai pengaruh dalam
menurunkan aktivitas serum LDH pada tikus setelah diinduksi CCl
4.
Untuk hasil uji statistik kelompok CMC-Na 1 877,8 ± 79,2 UL dengan perlakuan dosis I
sebesar 34,28 mgkgBB menunjukkan hubungan perbedaan yang tidak bermakna. Hal ini berarti bahwa pemberian FHEMM jangka panjang dengan dosis terendah
34,28 mgkgBB, mampu menyebabkan penurunan aktivitas serum LDH yang setara dengan keadaan normal.
Pada kelompok dosis tengah atau dosis II FHEMM sebesar 68,57 mgkgBB 1069,0 ± 34,0 UL menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan
kontrol hepatotoksin CCl
4
1848,8 ± 47,8 UL. Hal ini berarti bahwa dosis II 68,57 mgkgBB FHEMM jangka panjang mempunyai pengaruh terhadap
penurunan aktivitas serum LDH pada tikus setelah diinduksi CCl
4
. Untuk hasil uji statistik kelompok CMC-Na 1 877,8 ± 79,2 UL dengan perlakuan dosis II
sebesar 68,57 mgkgBB menunjukkan hubungan perbedaan yang tidak bermakna. Hal ini berarti bahwa pemberian FHEMM jangka panjang dengan dosis tengah
68,57 mgkgBB, mampu menyebabkan penurunan aktivitas serum LDH yang setara dengan keadaan normal.
Pada kelompok dosis tertinggi atau dosis III FHEMM sebesar 137,14 mgkgBB 902,2 ± 23,4 UL menunjukkan perbedaan yang bermakna dengan
kontrol hepatotoksin CCl
4
1848,8 ± 47,8 UL. Hal ini berarti bahwa dosis III 137,14 mgkgBB FHEMM jangka panjang mempunyai pengaruh terhadap
penurunan aktivitas serum LDH pada tikus setelah diinduksi CCl
4
. Untuk hasil uji statistik kelompok CMC-Na 1 877,8 ± 79,2 UL dengan perlakuan dosis III
sebesar 137,14 mgkgBB menunjukkan hubungan perbedaan yang tidak bermakna. Hal ini berarti bahwa pemberian FHEMM jangka panjang dengan dosis
tertinggi 137,14 mgkgBB, mampu menyebabkan penurunan aktivitas serum LDH yang setara dengan keadaan normal.
Pada tabel VI terdapat perbedaan yang tidak bermakna antara perlakuan dosis I dengan perlakuan dosis II 68,57 mgkgBB yang berarti bahwa terjadi
penurunan aktivitas serum LDH yang relatif sama pada kedua tingkatan dosis. Hal
ini juga terjadi pada perlakuan dosis I yang dibandingkan dengan perlakuan dosis III 137,14 mgkgBB 902,2 ± 23,4 UL setelah pemejanan CCl
4
terjadi perbedaan yang tidak bermakna yang berarti bahwa kedua dosis ini dapat
memberikan penurunan aktivitas serum LDH yang relatif sama. Pada perlakuan dosis II 68,57 mgkgBB FHEMM jika dibandingkan dengan perlakuan dosis III
137,14 mgkgBB FHEMM jangka panjang memiliki perbedaan yang tidak bermakna secara statistik yang berarti bahwa baik dosis II maupun dosis III juga
menyebabkan penurunan aktivitas serum LDH yang relatif sama. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa secara statistik dengan uji Scheffe antara dosis I 34,28
mgkgBB, dosis II 68,57 mgkgBB, dan dosis III 137,14 mgkgBB terjadi perbedaan yang tidak bermakna satu sama lain berdasarkan penurunan aktivitas
serum LDH pada tikus yang terinduksi CCl
4
. Oleh karena itu, tidak ada pengaruh tingkatan dosis yang signifikan dan bermakna terhadap respon atau efek yang
ditimbulkan atau dengan kata lain tidak terdapat kekerabatan dosis dengan aktivitas serum LDH yang muncul, yang terlihat dari semakin besar dosis
praperlakuan FHEMM yang diberikan, kadar LDH relatif sama. Senyawa ellagitannin dapat menurunkan kadar serum LDH dikarenakan
potensi ellagitannin sebagai antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang jika berada pada konsentrasi yang relatif lebih rendah dibandingkan konsentrasi
suatu substrat, maka akan teroksidasi lebih dulu, sehingga dapat mencegah terjadinya
oksidasi substrat
tersebut. Ellagitannin dapat
menghambat pembentukan oksigen aktif yang dapat menyebabkan oksidasi. Aktivitas
antioksidatif ellagitannin berkaitan dengan struktur kimianya. Naiknya jumlah
gugus galloil, berat molekul, dan struktur ortohidroksil meningkatkan aktivitas antioksidatif dari ellagitannin. Aktivitas antioksidatif ellagitannin meliputi
penghambatan peroksidasi lipid yang diinduksi oleh adenine 5’ diphosphate
ADP pada mitokondria hepar tikus, menghambat peroksidasi lipid yang diinduksi oleh ADP dan NADPH pada mikrosom hepar tikus, penghambatan
anion radikal superoksida dan aktivitas penangkapan radikal terhadap DPPH Okuda, Yoshida, and Hatano, 1992. Oleh karena itu, senyawa ellagitannin dapat
melindungi hepar dengan berikatan dengan radikal bebas yang terbentuk triklorometil sehingga senyawa radikal tersebut tidak menimbulkan efek toksik
Dengan demikian pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian FHEMM pada dosis 34,28; 68,57; dan 137,14 mgkgBB terbukti
berpengaruh dalam menurunkan aktivitas serum LDH tikus betina galur Wistar yang terinduksi CCl
4
dengan dosis 2 mlkgBB dan tidak terdapat kekerabatan dosis FHEMM dengan aktivitas serum LDH yang muncul, yang terlihat dari
semakin besar dosis praperlakuan FHEMM yang diberikan, kadar LDH relatif sama.
Berdasarkan hasil penelitian, pemberian FHEMM mampu melindungi hepar dari perlemakan hepar yang diakibatkan oleh model hepatotoksin CCl
4
. Untuk menguji kemampuan FHEMM apakah juga mampu melindungi hepar pada
bentuk kerusakan hepar yang sama, perlu dilakukan penelitian dengan hepatotoksin lain seperti parasetamol. Adanya kemampuan FHEMM dalam
melindungi hepar diharapkan karena adanya kandungan ellagitannin pada FHEMM yaitu chebulagic acid, macatanin A dan B. Namun, dari ketiga senyawa
ellagitannin tersebut belum diketahui senyawa mana yang benar-benar berperan dalam melindungi hepar. Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya dapat
dilakukan uji kandungan spesifik ketiga senyawa ellagitannin yang berpengaruh dalam melindungi hepar. Selain LDH, ada beberapa parameter lain yang dapat
digunakan sebagai penanda kerusakan hepar, salah satunya adalah gamma- glutamil transferase GGT.
E. Rangkuman Pembahasan