1. Kontrol negatif
Pada penelitian ini digunakan kontrol negatif berupa CMC-Na 1 dengan dosis 137,14 mgkgBB secara per oral. Kontrol negatif merupakan kontrol dari
pelarut FHEMM. Kontrol CMC-Na 1 bertujuan untuk membuktikan bahwa CMC-Na 1 sebagai pelarut FHEMM tidak bersifat toksik dan tidak berpengaruh
terhadap aktivitas serum LDH sehingga dapat dijadikan patokan nilai normal yang akan dibandingkan dengan kelompok perlakuan dosis. Aznam, Atun,
Arianingrum, Sulisdiarto, Utami, dan Sholeh 2010 mengatakan bahwa hasil histopatologi hepar tikus yang diinduksi dengan CMC-Na 0,5 sebagai kontrol
selama 4 hari menunjukkan hasil yang normal. Begitupula juga pada penelitian Rao and Kumar 2013 menyatakan bahwa pada kelompok kontrol CMC yang
diberikan selama 8 hari menunjukkan hasil histopatologi normal yang signifikan dibandingkan dengan perlakuan hepatotoksin parasetamol. Clichici, Olteanu,
Nagy, Oros, Filip, and Mircea 2014 menyatakan bahwa tidak ditemukan peningkatan kadar LDH pada kelompok hewan uji dengan perlakuan CMC. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada pengaruh CMC-Na 1 terhadap kerusakan hepar sehingga tidak mempengaruhi aktivitas serum LDH.
2. Kontrol hepatotoksin
Kontrol hepatotoksin bertujuan untuk melihat kerusakan hepar yang ditimbulkan oleh pemberian CCl
4
dengan dosis 2 mlkgBB secara i.p pada jam ke- 24 berdasarkan peningkatan aktivitas serum LDH yang dibandingkan dengan
kontrol negatif CMC-Na 1. Kontrol hepatotoksin dibandingkan dengan kontrol
CMC-Na 1 karena seperti yang sudah dibahas sebelumnya bahwa CMC-Na 1 tidak memberikan pengaruh apapun pada hepar tikus sehingga dapat
menggambarkan keadaan hepar tikus yang normal dimana tidak terjadi peningkatan aktivitas LDH. Berdasarkan tabel V, dapat dilihat bahwa hasil
pengukuran aktivitas LDH kontrol hepatotoksin pada jam ke-24 yaitu 1848,8 ± 47,8 UL. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan kontrol negatif CMC-Na 1
yaitu sebesar 877,8 ± 79,2 UL sehingga dapat dilihat bahwa telah terjadi kenaikan serum LDH secara signifikan setelah pemejanan hepatotoksin CCl
4
. Hal ini sesuai dengan teori dimana bila hepar mengalami kerusakan akibat
hepatotoksin, maka aktivitas serum LDH akan meningkat. Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Scheffe menyatakan bahwa terdapat perbedaan aktivitas
serum LDH yang bermakna antara kontrol hepatotoksin dan kontrol negatif secara signifkan, seperti yang ditunjukkan pada tabel VI dan gambar 17.
Peningkatan aktivitas serum LDH disebabkan oleh produksi laktat yang meningkat atau penurunan bersihan laktat oleh hepar. Hal ini dikarenakan CCl
4
akan menarik oksigen dan berikatan membentuk metabolit yang lebih reaktif yaitu triklorometilperoksi, sehingga sel akan kekurangan oksigen dan mengganggu
jalannya fungsi mitokondria Timbrell, 2008. Apabila ketersediaan oksigen berkurang, maka metabolisme berganti dengan menonaktifkan transfer elektron di
mitokondria dan mengaktifkan glikolisis anaerob. Pada keadaan aerob, isozim LDH 1 mengubah laktat menjadi piruvat. Sebaliknya pada keadaan anaerob,
isozim LDH 5 akan mengubah piruvat menjadi laktat. ATP yang dihasilkan melalui metabolisme aerob lebih tinggi dibandingkan energi yang dihasilkan oleh
anaerob. Glikolisis anaerob hanya menghasilkan 2 ATP, sedangkan glikolisis aerob menghasilkan 36 ATP. Oleh karena itu diperlukan 18 kali glukosa yang
lebih banyak. Untuk memenuhi kebutuhan glukosa tersebut diperoleh dari proses glukoneogenesis yaitu proses pembentukan glukosa baru dari bahan lain yaitu
protein Bartrons and Jaime, 2007. Peningkatan glukosa sejalan dengan meningkatnya aktivitas serum LDH
isoenzim LDH 4 dan isoenzim LDH 5 dan sintesis asam lemak Lieberman and Allan, 2009. Kadar glukosa yang tinggi merangsang pembentukan glikogen dari
glukosa, sintesis asam lemak dan kolesterol dari glukosa. Kadar glukosa darah yang tinggi dapat mempercepat pembentukan trigliserida dalam hepar.
Trigliserida merupakan salah satu bagian komposisi lemak yang ada dalam tubuh. Dimana jika kadar trigliserida dalam batas normal mempunyai fungsi yang normal
dalam tubuh, semisal sebagai sumber energi. Tetapi apabila berlebihan, dapat menyebabkan perlemakan hepar atau steatosis Koestadi, 1989. Selain itu, setelah
pemejanan CCl
4
selama satu sampai tiga jam, trigliserida dapat menumpuk di hepatosit. Lipid yang terbentuk dapat menghambat sintesis protein sehingga
menurunkan produksi lipoprotein, yang bertugas dalam transport lipid untuk keluar dari hepatosit sehingga CCl
4
juga dapat menyebabkan stetatosis Wahyuni, 2005.
Apabila keadaan ini terjadi secara terus menerus, dapat menyebabkan kematian sel.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tikus yang diberikan CCl
4
secara i.p dengan dosis 2 mlkgBB pada jam ke-24 mengalami kerusakan hepar akut yaitu steatosis dengan adanya bukti kenaikan serum LDH pada tikus pada
jam ke-24.
3. Kontrol dosis tertinggi atau Kontrol dosis III