23
Dengan melalui perspektif disiplin etnomusikologi tersebut dapat dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan melodi adalah rangkaian nada-nada yang
membentuk sebuah bentuk musik yang disusun oleh formula-formulanya baik itu frase maupun nmotif melodi. Kemudian yang dimaksud dengan nada dasar adalah
sebagai nada pusat tonal center bagi sebuah komposisi lagu atau nyanyian. Selanjutnya wilayah nada adalah jarak yang dapat diukur dengan satuan langkah
atau laras maupun cent dalam konteks ilmu musik. Seeterusnya yang dimaksud dengan nada adalah bunyi yang dikaitkan dengan
music dan biasanya mengacu sebagai materi dasar pembentuk melodi. Setelah itu, yang dimaksud dengan interval adalah ukuran jarak antara nmada yang satu dengan
nada yang lainnya, yang biasa diukur dengan sebutan seperti prima murni, sekunde mayor, ters minor, dan seterusnya. Setelah itu, pola kadens adalah bahagian ujung-
ujung frase melodi dan juga termasuk yang paling ujung melodi tersebut. Kemudian yang dimaksud dengan formula melodi adalah rumusan yang menjadi dasar
pembentukan melodi, baik iru bentuk, frase, maupun motif. Terakhir kali, kontur adalah garis lintasan melodi, yang dapat dideskripsikan dalam bentuk-bentuk
seperti pendulum, berjenjang, setengah lingkaran, dan lain-lain. Teori inilah yang penulis gunakan untuk melakukan analisis komparatif terhadap keenam lagu yang
menjadi sampel dalam penelitian ini.
1.6.2 Teori Semiotik
Semiotika adalah ilmu juga teori tentang tanda-tanda. Ilmu ini berpandangan bahwa fenomena sosial dan budaya pada dasarnya merupakan tanda-
Universitas Sumatera Utara
24
tanda. Semiotika mengkaji sistem-sistem, aturan-aturan dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti.
Dua tokoh penting perintis ilmu semiotika modern, yaitu Charles Sanders Peirce 1839-l9l4 dan Ferdinand de Saussure 1857-1813 mengemukakan
beberapa pendapat mereka mengenai semiotika. Saussure menampilkan semiotika dengan membawa latar belakang ciri-ciri linguistik yang diistilahkan dengan
semiologi, sedangkan Peirce menampilkan latar belakang logika yang diistilahkan dengan semiotika. Peirce mendudukkan semiotika pada berbagai kajian ilmiah
lihat Zoest 1993:l-2. Dalam penelitian ini, konsep semiotika yang digunakan adalah konsep yang
didasarkan pada pemikiran Saussure yang dikembangkan oleh Riffaterre. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep semiotika yang dikembangkan oleh
Riffaterre, penulis anggap tepat untuk diterapkan dalam penelitian ini. Konsep dan teori yang digunakan Riffaterre lebih mengkhusus pada pemaknaan puisi secara
semiotika, sehingga lebih memberikan ruang untuk interpretasi makna yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Untuk puisi, secara semiotika Riffaterre dalam
bukunya Semiotics of Poetry 1978 mengemukakan empat hal pokok sebagai langkah pemroduksian makna.
1 Hal pertama adalah bahwa puisi merupakan aktivitas bahasa yang berbeda dengan pemakaian bahasa pada umumnya. Puisi memiliki bahasa yang
dapat menyatakan beberapa konsep secara tidak langsung. Dalam puisi, ketidaklangsungan ekspresi menduduki posisi yang utama, Ketidaklangsungan
ekspresi yang dimaksud disebabkan oleh adanya penggantian arti displacing of meaning, penyimpangan arti distorting of meaning, dan penciptaan arti
creatingof meaning. Riffaterre 1978:2 menyatakan bahwa penggantian arti
Universitas Sumatera Utara
25
disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi, serta bahasa kiasan yang lain. Penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaifu ambiguitas ketaksaan,
kontradiksi, dan nonsens. Penciptaan arti diciptakan melalui enjambement, homologue, dan tipografi.
2 Hal kedua adalah pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan pada taraf mimesis atau pembacaan yang
didasarkan konvensi bahasa. Karena bahasa memiliki arti referensial, pembaca harus memiliki kompetensi linguistik agar dapat menangkap arti meaning.
Kompetensi linguistik yang dimiliki oleh pembaca itu berfungsi sebagai sarana untuk memahami beberapa hal yang disebut sebagai ungramatikal
ketidakgramatikalan teks. Pembacaan ini juga disebut dengan pembacaan semiotika pada tataran pertama. Dalam pembacaan pada tataran ini, masih banyak
arti yang beraneka ragam, makna yang tidak utuh, dan ketakgramatikalan. Untuk itu, pembacaan pada tataran ini masih perlu dilanjutkan ke pembacaan tahap kedua.
Pembacaan tataran kedua yang dimaksud adalah pembacaan hermeneutik. Pada pembacaan ini, akan terlihat hal-hal yang semula tidak gramatikal menjadi
himpunan kata-kata yang ekuivalen Riffaterre,1978:54. 3 Hal ketiga adalah penentuan matriks dan model. Dalam hal ini, matriks
dapat dimengerti sebagai konsep abstrak yang tidak pernah teraktualisasi. Konsep ini dapat dalam satu kata atau frase. Meskipun demikian, kata atau frase yang
dimaksud tidak pemah muncul dalam teks puisi yang bersangkutan, tetapi yang muncul adalah aktualisasinya. Aktualisasi pertama dari matriks adalah model.
Model ini dapat berupa kata atau kalimat tertentu. Berdasarkan hubungan ini, dapat
Universitas Sumatera Utara
26
dikatakan bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model menjadi pembatas derivasi itu Riffaterre,1978:19-21.
4 Hal keempat adalah prinsip intertekstual. Prinsip intertekstual adalah prinsip hubungan antar teks sajak. Sebenarnya hal itu berangkat dari asumsi bahwa
karya sasta termasuk puisi, tidak lahir dari kekosongan budaya. Dalam keadaan seperti ini, sebuah sajak merupakan respons atau tanggapan terhadap karya-karya
sebelumnya. Tanggapan tersebut dapat berupa penyimpangao atau penerusan tradisi. Dalam hal ini, mau tidak mau terjadi proses transformasi teks.
Mentransformasikan adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain yang pada hakikatnya sama Pradopo, 1994:25. Dalam proses tersebut dikenal
adanya istilah hipogram. Riffaterre 1978:2 mendefinisikan hipogram adalah teks yang menjadi latar atau dasar penciptaan teks lain. Dalam praktiknya, hipogram
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu hipogram potensial dan hipogram aktual. Hipograrn potensial yang dapat ditelusuri dalam bahasa bersifat hipotesis, seperti
yang terdapat dalam matriks, sedangkan hipogram aktual bersifat nyata atau eksplisit.
Keempat hal pokok tersebut di atas yang dikemukakan oleh Riffaterre sebagai langkah pemroduksian makna, tiga di antaranya akan digunakan sebagai
acuan untuk mengungkap makna yang terkandung dalam mantra melaut suku Melayu Aras Kabu. Lewat tanda-tanda yang terdapat dalam mantra itu, maka
proses pemaknaan akan dilakukan. Dengan bertotak pada kerangka teori di atas, dapat dikatakan bahwa untuk
dapat memahami hakikat makna dari lagu-lagu Batak Toba dan lagu-lagu budaya Barat perlu dilakukan interpretasi semiotika. Interpretasi ini selanjutnya akan
Universitas Sumatera Utara
27
mempertimbangkan dan menerapkan dua sisi pandang. Sisi pertama adalah cara pandang masyarakatnya sebagai pengamal dan penghayat lagu-lagu ini dalam
budaya mereka.
1
1
Dalam dunia ilmu pengetahuan, pendekatan seperti ini lazim disebutdengan pendekatan emik. Artinya adalah bahwa penelitian yang dilakukan lebih
menumpukan perhatian kepada pendapat-pendapat informan kunci dalam rangka memahami makna-makna yang terkandung di dalam kebudayaan yang diteliti
dalam konteks kerja ilmiah. Namun demikian, seorang peneliti tidaklah harus sepenuhnya berdasarkan kepada penjelasan yang diperoleh dari para informan
kunci. Seorang peneliti diharapkan lebih jauh menafsirkan sumber data berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah yang diperoleh dari kinerjanya sebagai ilmuwan. Tentu saja
penafsiran ini bisa berbeda-beda antara seorang peneliti dengan peneliti lainnya, yang pasti akan dilatarbelakangi oleh pengalaman keimlmuannya. Pendekatan
kedua ini lazim disebut sebagai pendekatan etik. Sisi kedua adalah perlunya penafsiran berdasarkan kaidah-kaidah
saintifik terhadap lagu-lagu tersebut. Dua titik pandang ini menghasilkan suatu sintesa keilmuan yang tentu berdasar kepada empirisme, logika, pembuktian,
penelaahan, tafsiran, dan hasil yang diperoleh dari penelitian lapangan field work.
1.6.3 Teori Belajar Behavioristik