39
Ketiga, Pola hubungan antar manusia dalam kelompok masyarakat Batak Toba berubah secara terus menerus. Oleh karena itu, maka pelaksanaan adatnya
juga mengalami perubahan sesuai kebutuhan tanpa melihat sisi ruang dan waktu. Keempat, pandangan dan nilai yang diberikan terhadap adat itu juga
mengalami perubahan, akibat dari pengaruh teknologi dalam penyebaranluasan informasi. Hal itu tampak dalam praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat
pendukungnya. Adat ini juga mengarahkan bagaimana orang-orang Batak Toba dalam
menciptakan, mengkreasikan, menggubah, dan mempraktikkan kesenian- keseniannya termasuk dalam nyanyian. Kemudian aspek-aspek adat yang
mentradisi ini diteruskan ke dalam konteks musik populer Batak Toba, termasuk juga bagaimana mengadopsi musik-musik dunia dalam kebudayaan batak Toba itu
sendiri. Bagaimanapun, peran adat tetap berlanjut baik secara tradisi atau di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini.
2.2 Religi: Dari Tradisi ke Agama Kristen
Apa yang terjadi dalam musik popular Batak Toba dengan fenomena adopsi beberapa lagu dari budaya dunia, khususnya peradaban Eropa, sebenarnya adalah
ekspresi dari kontinuitas dan perubahan dari system religi yang dianut masyarakat Batak Toba. Awalnya mereka menganut religi tradisi, dengan berpusat pada
penyembahan kepada Tuhan yang disebut Debata Mulajadi Nabolon, yang kemudian secara berangsur-angsur berpindah kepada system religi baru yaitu
Kristen Protestan, terutama yang dibawa oleh zending Jerman, dimotori oleh Ingwer Ludwig Nommensen. Kontinuitas dan perubahan system religi ini, menurut
penulis juga menjadi daya dorong bagi tumbuh dan berkembangnya kebudayaan
Universitas Sumatera Utara
40
musik populer Batak Toba, yang di dalamnya mengandung unsure musik tradisi dan juga music Barat. Oleh karena itu perlu di sini diuraikan secara umum
mengenai sistem religi tradisi dan kemudian peralihannya ke Kristen Protestan. Menurut sistem kepercayaan orang-orang Batak Toba dalam mitologinya,
persoalan kehidupan selalu ada sangkut pautnya dengan ketuhanan yang dipercaya sebagai karya dariMula Jadi Nabolon. Mite yang mirip dengan mitologi dalam
kepercayaan Hindu dalam cerita turun temurun masyarakat Batak Toba ini, yaitu adanya tiga oknum dewa masing-masing Batara Guru, Soripada,dan Mangala
Bulan sebagai aspek dari Mulajadi Nabolon yang memiliki otoritas di bumi untuk mengatur kehidupan manusia Situmorang, 2009:21.
Dalam beberapa literature budaya, konsep mitologi ini berbeda dengan konsep yang diungkapkan oleh Sitor Situmorang tentang “tri tunggal” Dewa orang
Batak. Dalam tulisan lain, Tampubolon menyebut ketiga Dewa tersebut bukanlah implisit dari jelmaan Mula Jadi Nabolon, melainkan tiga dewa yang berdiri secara
sendiri-sendiri yaitu:1 Mulajadi Nabolon, 2 Debata Asi-asi,dan 3 Batara Guru yang sesuai dengan pekerjaannya di bumi.
Debata Mulajadi Nabolon diyakini sebagai pencipta alam semesta alam yang besar Nabolon, dan menciptakan dewa-dewa yang lebih rendah. Debata Asi-
asi sebagai dewa yang menurunkan berkat dan kasih melalui oknum perantara roh leluhur, roh penghuni suatu tempat. Batara Guru berarti maha guru yang memberi
ilmu pengetahuan, ilmu-ilmu gaib, pengobatan dan penangkalan roh-roh jahat. Tampubolon, 1978:9-10.
Mitologi Batak Toba pada umumnya disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut tradisi lisan, biasanya pemberitaan seperti ini sukar untuk dipercaya. Hal
ini terbukti dari banyaknya beredar cerita-cerita dongeng di kalangan
Universitas Sumatera Utara
41
sukuBatakToba. Selanjutnya, Warneck mengemukakan bahwa hampir semua suku bangsa di dunia memiliki dongeng, yang tidak memiliki hubungan satu sama lain.
Masing-masing berdiri sendiri Hutauruk, 2006:8
2
2
Dongeng ini masuk ke dalam sebuah kajian yang disebut secrita rakyat atau folklor. Danandjaya 1994:3 mengemukakan Sembilan ciri folklor yaitu: 1
Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan. 2 Folkor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif atau dalam bentuk standar dalam
waktu yang lama minimal dua generasi. 3 Folklor ada exist dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya
dari mulut ke mulut lisan, biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman sehingga oleh proses lupa folklore mudah mengalami perubahan. 4 Folklor bersifat anonim,
nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. 5 Biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola. Cerita rakyat bisanya selalu mempergunakan kata-kata klise
seperti “bulan empat belas hari.” 6 Folklor mempunyaikegunaan function dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya sebagai alat pendidik,
pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam. 7 Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan ligika umum.
Ciri folkor ini berlaku bagi folklor lisan dan sebagain lisan. 8 Folklor menjadi milik bersama dari kolektif tertentu. Hal ini disebabkan karena penciptanya yang
pertama sudah tidak ada sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya. 9 Folklor umumnya bersifat polos dan lugu,sehingga sering
terlihat kasar, terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folklor merupakan proteksi emosi manusia yang paling jujur
manifestasinya. Ajaran religi Batak Toba yang terdapat dalam mitologi ini, diperjelas oleh
Batara Sangti, yang menyebutkan ketiga dewa sama dengan versi Situmorang sebagai pemilik otoritas kedewaan dengan konsep pekerjaan ketiga dewa tersebut
mengatur tata kehidupan manusia. Dalam legenda Siboru Deak Deang Parujar dalam tonggo-tonggo doa yang disampaikan pada Mula Jadi Nabolon disebutkan
sebagai Debata Natolu, Natolu Suhu, Naopat Harajaon. BataraSangti menguraikan pekerjaan dan tugas keempat oleh Debata Asi-asi yaitu menolong manusia dengan
bersusah payah dan berkorban. Dewa ini berfungsi sebagai: naso pinele jala naso sinomba yang tidak disaji dan tidak disembah sebagai tugas keempat dimaksud
dari na opat harajaon Sangti, 1977:279.
Universitas Sumatera Utara
42
Dari beberapa versi cerita lisan yang terdapat kehidupan orang Batak Toba dapat disimpulkan, bahwa orang Batak Toba pada zaman keberhalaan sudah
mempercayai adanya Tuhan yang satu yang disebut Mulajadi Na Bolon yang menjadi sumber dari segala yang ada. Orang Batak kala itu percaya ada kekuatan
besar Debata yang menjadikan langit dan bumi dan segala isinya. Ia juga memelihara kehidupan secara terus menerus. Debata Mulajadi Na Bolon adalah
sebagai Tuhan yang tidak bermula dan tidak berakhir. Dia adalah awal dari semua yang ada. Kepercayaan terhadap dewa-dewa ini, kemudian berubah menjadi
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seiring datangnya agama Kristen Protestan ke Tano Batak, yang dibawa oleh Ingwer Ludwig Nommensen.
Ben M. Pasaribu mengatakan tentang konsep menyatunya antara agama dan adat pada masyarakat Batak Toba sebagai berikut.
... dalam masyarakat Batak Toba, yang mayoritas beragama Kristen dan Katolik, terdapat beberapa organisasi agamaniah yang berdasar
kepada sistem kepercayaan Batak asli, yang dijalankan menurut persepsi dari pendiri-pendiri oraganisasi-organisasi tersebut dan
beberapa persentuhan dengan agama wahyu.
Hubungan antara organisasi agamaniah yang tradisi dengan organisasi gereja Kristen merupakan suatu hubungan yang bervariasi
sekali, tergantung kepada perkembangan situasi masa yang mempengaruhi persepsi Kristen terhadap unsur kebudayaan tersebut.
... Sehingga selain gereja Kristen Protestan yang menghadirkan acara margondang dalam beberapa peristiwa gereja, gereja Katolik
juga mengadakan suatu misa yang didasari oleh beberapa sekwen- sekwen dalam acara margondang dari organisasi agamaniah tersebut.
Misalnya,
GondangElek-elek sebagai kyre, daupa sebagai evangelium, GondangSanti sebagai offertorium, TortorUlubalang
sebagai agnusdei, GondangPuji-Pujian sebagai sanctus
Etnik Batak Toba adalah salah satu etnik natif Sumatera Utara, yang daerah kebudayaannya berada di seputar danau Toba, yang kini adalah sebagai salah satu
pusat industri pariwisata di Indonesia. Etnik Batak Toba pada masa sekarang ini dan
sebagainya Ben M. Pasaribu 1986:53-54.
Universitas Sumatera Utara
43
daerah budayanya meliputi empat Kabupaten di Sumatera Utara, yaitu Kabupaten: a Tapanuli Utara, b Toba Samosir, c Samosir, dan d Humbang Hasundutan.
Mereka memiliki berbagai kesenian, seperti sastra, tari tortor, musik gondang, dan rupa gorga, dan lain-lain.
Masyarakat Batak Toba ini sejak abad ke-19 telah berinteraksi secara pesat dengan peradaban Eropa dan agama Kristen Protetan khususnya dari organisasi
Reinische Mission Gesselschaft RMG yang kemudian berubah menjadi Verenigte Evangelische Mission VEM.
Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggeris tahun 1824. Kedua pendeta ini mencoba
memperkenalkan Injil di kawasan Silindung sekitar Tarutung sekarang. Kehadiran mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba. Kemudian tahun
1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat, mengirimkan dua orang pendeta, yaitu Munson dan Lymann. Kedua misionaris ini dibunuh oleh penduduk di bawah
pimpinan Raja Panggalamei, di Lobupining, sekitar Tarutung, pada bulan Juli 1834. Tahun 1849, Kongsi Bibel Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. van der Tuuk
untuk menyelidiki budaya Batak. Ia menyusun Kamus Batak-Belanda, dan menyalin sebahagian isi Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utama Kongsi Bibel
Nederland ini adalah merintis penginjilan ke Tanah Batak melalui budaya. Tahun 1859, Jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen mengirim pendeta muda
G. Van Asselt ke Tapanuli Selatan. Ia tinggal di Sipirok sambil bekerja di perkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh para pendeta dari Rheinische Mission
Gesellschaft RMG, pada masa sekarang menjadi Verenigte Evangelische Mission VEM, dipimpin Dr. Fabri. Penginjilan sampai saat ini berjalan lambat.
Kemudian tahun 1862 datanglah pendeta RMG, yang kemudian diterima oleh
Universitas Sumatera Utara
44
masyarakat Batak Toba, yaitu Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Di bawah pimpinannya misi penginjilan terjadi dengan pesat. Sampai dekade-dekade awal
abad kedua puluh, sebagian besar etnik Batak Toba telah menganut agama Kristen Protestan. Berdasarkan rapat pendeta pada 3 Februari 1903, penginjilan diperluas
ke daerah Simalungun dan Karo, dan ternyata berhasil dengan baik Nestor Rico Tambunan 1996:58-60.
2.3 Gambaran Umum Kesenian Batak Toba