Bagian Penutup Mantra Hindu Jawa

Berbeda dengan mantra lainnya, mantra ini menggunakan Bahasa Jawa Ngoko karena ditujukan pada diri sendiri.Hal ini dipercaya sebagai tahap pertama dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam Hindu Jawa dipercaya bahwa terdapat tiga dunia, yaitu dunia mikro kosmosbawana alit yang berarti hubungan manusia dengan diri sendiri, dunia makro kosmos bawana gede yang berarti hubungan manusia dengan alam semesta dunia sekitar, dan nur kosmos bawana pepadhang yang berarti hubungan manusia dengan sang pencipta. Pemilihan Bahasa Jawa Ngoko dalam mantra ini dikarenakan ini adalah sebuah mantra mikro kosmos atau bawana alit, yang bertujuan untuk mengenali dan membersihkan diri sendiri sebelum dapat menuju kedua dunia lainnya, terutama Tuhan. Adapun penggunaan bahasa Indonesia dapat ditemukan pada beberapa mantra, namun hal ini sedikit diragukan, karena bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh Sansekerta, begitu juga Bahasa Jawa, dan Bahasa Jawa kuna. Bahkan beberapa kata dalam bahasa Indonesia diadopsi langsung dari Bahasa Jawa. Contoh kata yang kita kenali dalam bahasa Indonesia yang digunakan dalam mantra ini adalah sejati, suci, maha dan kuasa.

2.2.5 Gaya Bahasa Mantra Hindu Jawa

Pembahasan gaya bahasa mantra Hindu Jawa akan menyinggung majas, karena dalam penulisan mantra-mantra Hindu Jawa ditemukan beberapa majas yang digunakan. Sebagian besar majas yang digunakan adalah majas metafora.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI 2009:1020, majas metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata untuk menyatakan maksud yang lain menyatakan maksud yang lain bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Berdasarkan pengertian ini, majas metafora ditemukan dalam salah satu mantra berikut: Tabel 3. Gaya Bahasa Mantra “Penjabaran Unsur Diri” Mantra dalam Bahasa Asli Mantra dalam Bahasa Indonesia Hong Hong Sedulurku keblat papat kalima pancer Saudaraku yang ada pada keempat arah Kakang kawah, adi ari-ari Kakak air ketuban, adik placenta Kakang mbarep, adi wuragil Kakak sulung, adik bungsu Sedulurku kang manggon hing jagad wetan, jagad kidul, jagad kulon, jagad lor Saudaraku yang bertempat di Timur, Selatan, Barat, Utara Karep putih, abang, kuning, ireng Keinginan emosional putih, merah, kuning, hitam Karsa Putih, abang, kuning, ireng Keinginan sublimatif putih, merah, kuning, hitam Sedulurku kang metu bareng sak uwat Saudaraku yang berasal dari satu wadah Mati seje panggonan Mati di lain tempat Kakang sabdo palon, kakang naya genggong Kakak sabdo palon, kakak naya genggong Kaki mong, nini mong Kaki mong sel sperma pria, nini mong sel telur wanita Ibu abang, bapa putih Ibu merah sel telur wanita, bapak putih sel sperma pria Ibu abang, gendongen aku Ibu merah, gendonglah aku Bapa putih, aling-alingana aku Bapak putih, lindungilah aku Sang Hyang Wening Dewa Wening Suksma sejati, jabang bayiku Suksma sejati, jabang bayiku Majas metafora pertama pada mantra tersebut adalah istilah kakak sulung dan adik bungsu yang berarti air ketuban dan ari-ari placenta. Hal ini mengacu pada proses melahirkan, dimana sebelum bayi dilahirkan didahului dengan air ketuban, dan sesudah bayi dilahirkan diikuti dengan ari-ari placenta. Kedua adalah perumpamaan wadah yang mengacu pada rahim seorang ibu yang bersifat sebagai wadah calon anak.Ketiga adalah kaki mong dan bapak putih, merupakaan perumpaan sel sperma yang berarti bibit cikal bakal sebelum lahirnya seorang bayi. Keempat adalah nini mong dan ibu merah, merupakan perumpaan sel telur wanita yang berarti proses awal mula terciptanya suatu kehidupan. Majas metafora terakhir adalah istilah cahaya yang mengacu pada jalan kebenaran.Perumpaan ini ditemukan pada mantra berikut. Tabel 4. Gaya Bahasa Mantra “Rangkuman Rangkaian Mantra dan Tribawana” Mantra dalam Bahasa Asli Mantra dalam Bahasa Indonesia Hong Hong Sukma sejati dewa kang linuwih ‘Sukma sejati dewa yang paling utama’ Hinggih Sang Guru Sejati ‘Yaitu guru sejati’ Dados warananing Sang Hyang Widhi ‘Menjadi sarana Tuhan Yang Maha Esa’ Haparing tuntunan dhumateng pepadhang saha keslametan ‘Menjadi tuntunan kepada cahaya dan keselamatan’ Majas metafora tidak banyak ditemukan pada mantra-mantra lain. Hal ini dikarenakan mantra lain digunakan dalam ritual yang mengacu pada dewa-dewa maupun manifestasi dewa yang mendiami dunia, sehingga banyak digunakan simbolisasi. Sedangkan pada mantra yang memiliki banyak majas dipercaya sebagai mantra yang mengacu pada diri sendiri, sehingga banyak digunakan majas sebagai perumpaan agar lebih mudah dipahami.Dengan begitu penulis dapat menyimpulkan bahwa penggunaan majas digunakan sebagai alat untuk lebih memahami unsur filosofis dalam jasmani manusia, sedangkan pada wujud yang lebih suci, majas dirasa kurang pantas digunakan, sehingga penulis mantra lebih banyak mengacu pada simbolisasi.