Mantra Horizontal Makna Referensial Mantra Hindu Jawa

51 kuasa kuasaning kuasa, yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “sekuasa-kuasanya kekuasaan penguasa”.Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada sosok seorang penguasa yang memiliki kekuasaan yang begitu besar.Sosok seorang penguasa yang begitu besar ini kemudian dibandingkan dengan sosok Tuhan pada baris 31r isih kuasa Kang Maha Kuasa, yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “lebih kuasa yang maha kuasa”.Baris 31r memiliki referen yang mengacu pada kekuasaan Tuhan yang maha kuasa.Dengan begitu baris 31q dan 31r merupakan perbandingan dari besarnya kekuasaan Tuhan yang tidak dapat disaingi oleh apapun di dunia. Kemudian pada baris 31s, kekuasaan Tuhan yang tidak dapat dibandingkan ini diberikan penekanan dalam bentuk lain sebagai kekuasaan yanggilang gumilang tan hana pindane, atau dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “terang benderang tanpa ada yang menyamai”. Baris 31s memiliki referen yang mengacu pada bentuk cahaya yang sangat terang hingga tidak tersaingi.Pada baris 31s, kekuasaan Tuhan yang begitu berkuasa digambarkan sebagai sebuah terang cahaya yang tidak dapat disaingi.Pada baris terakhir 31t, dijelaskan Sang Hyang Widhi yen ngendika hakarana warana, yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “Tuhan Yang Maha Esa memberikan petunjuk melalui sarananya”.Baris ini memiliki referen yang mengacu pada sosok Tuhan, petunjuk atau biasa dimengerti dengan wahyu, dan sarananya yang mengacu pada berbagai berkat Tuhan di dunia. Baris terakhir ini merangkum berbagai berkat duniawi Tuhan sebagai bagian dari cara Tuhan untuk memberikan petunjuk. Mantra horizontal pertama merupakan wujud dari Tuhan yang telah 52 memberikan beragam berkat melalui cahaya-cahayanya untuk dimanfaatkan oleh manusia untuk mencukupi kebutuhan duniawinya.Tetapi melalui berkat Tuhan yang dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan duniawi, kemudian dapat timbul berbagai macam godaan dan cobaan. Paragraf terakhir pada rangkaian mantra horizontal pertama mengingatkan bahwa segala kelebihan duniawi yang mampu diraup di dunia adalah pemberian Tuhan, dan tidak akan mampu menyaingi kuasa Tuhan.

3.2.2.2 Mantra Horizontal Kedua “Penjabaran Unsur Diri”

Mantra horizontal kedua adalah mantra yang menjelaskan secara rinci unsur-unsur mikrokosmos diri manusia.Masyarakat Hindu Jawa percaya bahwa sebuah kehidupan dimulai ketika sel sperma bertemu dengan sel telur.Kehidupan ini kemudian berlanjut menjadi sebuah janin yang dilindungi oleh air ketuban dianggap sebagai kakak bayi, karena keluar dari kandungan terlebih dahulu, dan dihidupi oleh placenta dianggap sebagai adik bayi, karena keluar dari kandungan setelah bayi. Setelah proses kelahiran, kakak air ketuban dan adik placenta dianggap telah meninggal alasan mengapa masyarakat Jawa menghormati dan mengubur placenta demi dapat dimulainya hidup seorang manusia di dunia. Masyarakat Hindu Jawa percaya bahwa dalam proses kehidupan di dunia, di dalam diri setiap manusia terdapat roh yang kemudian dikelilingi oleh empat unsur penyeimbang yang dimanifestasikan ke dalam empat arah mata angin dan empat warna. Keempat unsur ini merepresentasikan empat nafsu buruk dan baik dalam kehidupan.Seorang manusia dikatakan telah menemukan Guru Sejati 53 keseimbangan duniawi setelah mampu mengendalikan dan memadukan keempat nafsu dalam kehidupan duniawi ini dengan roh.Seluruh rangkaian dari pertemuan sel telur dan sel sperma, air ketuban yang dianggap adik, placenta yang dianggap kakak, dan keempat unsur yang mengelilingi roh, dianggap sebagai satu rangkaian kehidupan seorang manusia, dan bukan oknum-oknum yang terpisah.Secara singkat inilah hal-hal yang menjadi latar belakang pembahasan mantra horizontal ketiga.Dalam membaca mantra ini, kedua tangan berada di depan hidung memegang bunga warna merah. 32 a Hong b Sedulurku keblat papat kalima pancer c Kakang kawah, adi ari-ari d Kakang mbarep, adi wuragil e Sedulurku kang manggon hing jagad wetan, jagad kidul, jagad kulon, jagad lor f Karep putih, abang, kuning, ireng g Karsa Putih, abang, kuning, ireng h Sedulurku kang metu bareng sak uwat i Mati seje panggonan j Kakang sabdo palon, kakang naya genggong k Kaki mong, nini mong l Ibu abang, bapa putih m Ibu abang, gendongen aku 54 n Bapa putih, aling-alingana aku o Sang Hyang Wening p Suksma sejati, jabang bayiku q Hu teguh rahayu slamet Sama seperti mantra pada rangkaian mantra kedalaman lainnya, mantra pembuka dalam rangkaian mantra horizontal kedua dibuka dengan kata Hong, seperti pada mantra 32a.Kata Hong adalah sebuah kata referensial karena kata Hong memiliki referen yang mengacu pada suatu situasi yang kosong, hening, tetapi penuh dengan isi.Yang dimaksud dengan kosong tetapi penuh isi adalah situasi batin seseorang ketika tengah bermeditasi.Penggunaan kata Hong di awal juga berfungsi sebagai pengantar bagi umat untuk mencapai tahap kosong yang penuh isi tersebut. Pada baris kedua 32b, dituliskan sedulurku keblat papat kalima pancer yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “saudaraku yang ada pada keempat arah dan kelima sebagai pusat”.Frasa keblat papat memiliki referen yang mengacu pada keempat unsur yang mewakili nafsu baik dan buruk yang mengitari roh manusia.Sedangkan roh manusia merupakan referen yang dijelaskan pada frasa kalima pancer.Secara keseluruhan baris 32b menjelaskan tentang keseimbangan empat nafsu baik buruk di dunia dengan roh sebagai elemen kelima, yang menempati posisi tengah penyeimbang dari keempat nafsu dunia tersebut. Pada baris ketiga 32c, dituliskan kakang kawah, adi ari-ari yang dapat 55 diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “kakak air ketuban, adik placenta”.Kata kakak memiliki referen yang mengacu pada sosok seseorang yang lahir terlebih dahulu dibandingkan seorang bayi.Kata air ketuban memiliki referen yang mengacu pada air yang melindungi bayi selama berada di dalam kandungan.Kata adik memiliki referen yang mengacu pada sosok seseorang yang lahir setelah seorang bayi dilahirkan.Kata placenta memiliki referen yang mengacu pada bagian di dalam kandungan yang menjadi sarana nutrisi dari seorang ibu kepada bayi. Secara keseluruhan baris 32c yang dituliskan sebagai kakang kawah, adi ari-ari, merupakan perumpamaan air ketuban sebagai kakak karena lahir terlebih dahulu sebelum bayi dilahirkan, dan placenta sebagai adik karena lahir setelah bayi dilahirkan. Baris 32c kemudian ditekankan kembali pada baris 32d kakang mbarep, adi wuragil.Baris ini dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “Kakak sulung, adik bungsu”.Kata kakang mbarep memiliki referen yang mengacu pada kakang kawah pada baris sebelumnya.Sedangkan adi wuragil memiliki referen yang mengacu pada adi ari- ari pada baris sebelumnya.Sehingga baris 32d merupakan penekanan kembali dari baris 32c, bahwa kakang kawah adalah kakang mbarep dan adi ari-ari adalah adi wuragil. Pada baris 32e dituliskan sedulurku kang manggon hing jagad wetan, jagad kidul, jagad kulon, jagad lor.Frasa ini dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “saudaraku yang bertempat di alam Timur, alam Selatan, alam Barat, alam Utara”.Baris 32e memiliki referen yang mengacu pada frasa sedulurku keblat papat di baris 32b.Empat arah mata angin ini merupakan 56 empat keblat yang mewakili nafsu baik dan buruk yang mengitari roh manusia.Saudara di alam Timur merepresentasikan nafsu baik hidup secukupnya, dan nafsu buruk malas.Saudara di alam Selatan merepresentasikan nafsu baik rasa semangat, dan nafsu buruk amarah.Saudara di alam Barat merepresentasikan nafsu baik cinta kasih, dan nafsu buruk melebih-lebihkan suatu hal.Saudara di alam Utara merepresentasikan nafsu sifat kesadaran diri, dan nafsu buruk sifat rakus. Baris 32f yang dituliskan karep putih, abang, kuning, ireng, dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “keinginan emosional putih, merah, kuning, hitam” dan baris 32g yang dituliskan karso putih, abang, kuning, ireng, dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “keinginan sublimatif putih, merah, kuning, hitam”.Sama dengan baris 32e, kedua baris ini memiliki referen yang mengacu pada sedulurku keblat papat di baris 32b.Kesamaan referen yang mengacu ini karena memang keempat nafsu baik dan buruk yang biasa dikenal dengan sedulur keblat papat dapat diidentifikasi dengan empat arah mata angin maupun empat warna, yaitu putih, merah, kuning, dan hitam.Segala nafsu negatif pada keempat mata angin direpresentasikan pada baris 32f.Warna putih yang merepresentasikan arah Timur, menggambarkan nafsu malas.Warna merah yang merepresentasikan arah Selatan, menggambarkan nafsu amarah.Warna kuning yang merepresentasikan arah Barat, menggambarkan nafsu berbicara dengan melebih-lebihkan.Warna hitam yang merepresentasikan arah Utara, menggambarkan nafsu ingin memiliki segalanya rakus.Sedangkan segala nafsu positif pada keempat mata angin direpresentasikan pada baris 57 32g.Warna putih yang merepresentasikan arah Timur, menggambarkan nafsu untuk hidup secukupnya.Warna merah yang merepresentasikan arah Selatan, menggambarkan nafsu rasa semangat.Warna kuning yang merepresentasikan arah Barat, menggambarkan nafsu cinta kasih.Warna hitam yang merepresentasikan arah Utara, menggambarkan nafsu sadar diri. Frasa sedulurku kang metu bareng sak uwat pada baris 32h dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “saudaraku yang berasal dari satu wadah”, dan merupakan frasa dengan referen yang mengacu pada kakang kawah dan adi ari-ari pada baris 32c. Mengacu pada 32c, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sedulurku adalah air ketuban yang dianggap sebagai kakak, dan placenta yang dianggap sebagai adik.Sedangkan yang dimaksud dengan kata sak uwat adalah kandungan seorang ibu.Bukti bahwa yang dimaksud sebagai sedulurku adalah kakang kawah dan adi ari-ari dapat ditemukan pada baris 32i. Pada baris ini dituliskan mati seje panggonan yang berarti “mati di lain tempat” dalam Bahasa Indonesia. Frasa ini jelas mengacu pada kakang kawah dan adi ari-ari, karena memang placenta maupun air ketuban dianggap mati pada saat proses kelahiran, sedangkan bayi yang lahir akan mati di lain waktu dan tempat. Pada baris 32j, 32k, dan 32l disebutkan beragam jenis manifestasi yang sesungguhnya merupakan referen yang mengacu pada sel sperma pria dan sel telur wanita. Pada baris 32j dituliskan kakang sabdo palon, kakang naya genggong. Kakang sabdo palon mengacu pada sel sperma pria, sedangkan kakang naya genggong mengacu pada sel telur wanita.Pada baris 32k dituliskan kaki 58 mong, nini mong.Kaki mong, mengacu pada sel sperma pria, sedangkan nini mong mengacu pada sel telur wanita.Pada baris 32l dituliskan ibu abang, bapa putih.Ibu abang mengacu pada sel telur wanita, dan bapa putih mengacu pada sel sperma pria.Keseluruhan pengulangan ini bertujuan untuk menunjukkan berbagai bentuk manifestasi wujud sel sperma pria dan sel telur wanita. Pada baris 32m dituliskan ibu abang, gendongen aku yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “ibu merah, gendonglah aku”, dan pada baris 32n dituliskan bapa putih, aling-alingana aku yang dapat diterjemahkan sebagai “bapak putih lindungilah aku”. Kedua baris ini memiliki referen yang mengacu pada sosok ibu abang, bapa putih pada baris 32l, yang juga mengacu pada sosok kaki mong, nini mong pada baris 32k.Bagian mantra ini dituliskan karena besarnya peran sel sperma dan sel telur sebagai bentuk awal kehidupan.Masyarakat Hindu Jawa percaya bahwa ketika sel sperma dan sel telur bertemu, pada saat itu juga Tuhan memberikan roh ke dalam suatu raga.Secara terpisah sel sperma merupakan bapak dan sel telur merupakan ibu yang kemudian menjadi satu di dalam diri seorang manusia. Pada baris 32o dituliskan Sang Hyang Wening.Frasa Sang Hyang Wening memiliki referen yang mengacu pada roh manusia yang sadar pada tatanan jagad cilik.Masyarakat Hindu Jawa percaya bahwa dengan memahami tatanan pada mantra ini, dan menjalaninya, roh seorang manusia akan menjadi Sang Hyang Wening. Kemudian pada baris 32p dituliskan suksma sejati, jabang bayiku.Frasa suksma sejati memiliki referen yang mengacu pada roh manusia yang diturunkan oleh Tuhan.Sedangkan jabang bayiku memiliki referen yang 59 mengacu pada bayi yang baru lahir.Kemudian pada 32q keseluruhan rangkaian mantra horizontal kedua ditutup dengan frasa hu teguh rahayu slamet, yang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “hidup dengan teguh sejahtera dan selamat”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada sosok suksma sejati, jabang bayiku pada baris 32p. Secara keseluruhan mantra ini ditutup dengan harapan bahwa karena seorang umat telah memahami dan menjalani pelajaran yang diajarkan di dalam mantra ini, seorang suksma sejati akan kemudian menjadi Sang Hyang Wening, dan hidup dengan teguh, sejahtera, dan selamat. Secara umum, mantra horizontal kedua dapat dimengerti sebagai syukur dan harapan seorang manusia atas hidup yang didapatkannya.Rasa syukur merupakan hal yang penting karena masyarakat Hindu Jawa melihat seorang manusia sebagai suatu makhluk hidup yang sangat kompleks. Sedangkan berbagai lapisan-lapisan dalam proses terciptanya seorang manusia yang disebutkan dalam mantra ini untuk kemudian ditutup dengan suksma sejati, jabang bayiku, hu teguh rahayu slamet, merupakan cara yang sangat lengkap untuk menyampaikan harapan agar Tuhan memberkati hambanya.

3.2.2.3 Mantra Horizontal Ketiga “Rangkuman Rangkaian Mantra”

Mantra horizontal ketiga adalah mantra yang berbeda dari yang lain, karena mantra ini merangkum Jagad pepadhang, jagad gedhe dan jagad cilik dibahas secara rinci pada bab 4. Secara singkat, jagad pepadhang adalah dunia cahaya, atau dalam pewayangan dikenal sebagai kahyangan.Kemudian jagad 60 gedhe adalah dunia yang kita tinggali.Segala unsur alam, baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat merupakan bagian dari jagad gedhe unsur-unsurnya dibahas pada mantra vertikal kedua.Sedangkan jagad cilik adalah dunia yang berada di dalam diri kita unsur-unsurnya dibahas pada mantra horizontal kedua. Setelah dibuka dengan hong, baris kedua hingga baris keempat dalam mantra merupakan deskripsi jagad pepadhang yang juga merupakan penggambaran awal terciptanya segala hal.Baris kelima merupakan deskripsi jagad cilik secara singkat mantra jagad cilik lengkap dapat dilihat pada mantra vertikal ketiga.Baris keenam hingga baris kedelapan merupakan deskripsi jagad gedhe.Dalam membaca mantra ini, kedua tangan berada di depan dada memegang bunga warna kuning. 33 a Hong Bagian pembuka b Hong wilaheng hawigena Bagian Jagad pepadhang c Hong bawana langgeng Bagian Jagad pepadhang d Hong hyang hyang hyang Bagian Jagad pepadhang e Sukma sejati dewa kang linuwih Bagian jagad cilik f Sang hyang jagad, hyang nagaraja Bagian jagad gedhe g Pamonging jagad, hyang Ismaya Bagian jagad gedhe h Dhanyanging tanah Jawa, Eyang Kopek Bagian jagad gedhe Sama seperti mantra pada rangkaian mantra kedalaman lainnya, mantra pembuka dalam rangkaian mantra horizontal kedua dibuka dengan kata Hong, seperti pada mantra 33a.Kata Hong adalah sebuah kata referensial karena kata Hong memiliki referen yang mengacu pada suatu situasi yang kosong, hening, 61 tetapi penuh dengan isi.Maksud dari kosong tetapi penuh isi adalah situasi batin seseorang ketika tengah bermeditasi.Penggunaan kata Hong di awal juga berfungsi sebagai pengantar bagi umat untuk mencapai tahap kosong yang penuh isi tersebut. Baris 33b adalah bagian pertama dari bagian jagad pepadhang di dalam tubuh mantra horizontal ketiga.Bagian jagad pepadhang dibuka dengan hong wilaheng hawigena.Baris 33b dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “hong isi yang bermakna”.Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada awal dari segalanya, yaitu kosong, tetapi dilandasi dengan tujuan dan makna yang jelas.hong wilaheng hawigena dapat diumpakan seperti sebuah biji. Sebuah awal yang tidak berwujud apapun, tetapi di tempat yang tepat, sebuah biji akan menjadi sebuah tanaman. Setelah keadaan yang kosong dengan isi yang bermakna, kemudian pada baris 33c dimulailah bagian kedua yaitu hong bawana langgeng.Baris 33c dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “kekosonganyang kemudian menjadi alam yang abadi”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada situasi bumi yang akhirnya terbentuk dan menjadi abadi karena adanya trimurtiBrahma, Wisnu, Siwa. Keabadian yang dimaksud adalah karena peran ketiga dewa ini, alam dan segala isinya diciptakan, dipelihara, kemudian dihancurkan agar dapat dimulai sebuah kehidupan baru lagi. Demikianlah siklus yang diciptakan trimurti berjalan terus menerus secara abadi. Baris 33d adalah bagian terakhir dari bagian jagad pepadhang yang berisi hong hyang hyang hyang.Hyang dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa 62 Indonesia sebagai cahaya Tuhan.Sehingga baris 33d memiliki referen yang mengacu pada berkat-berkat Tuhan yang diberikan dan kita rasakan melalui keabadian seperti yang disebutkan pada baris 33b. Pada bagian 33e dituliskan satu-satunya bagian dalam mantra ini yang berhubungan dengan jagad cilik.Dalam baris ini dituliskan suksma sejati dewa kang linuwih.Seperti pembahasan sebelumnya pada mantra vertikal ketiga, baris ini dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “sukma sejati dewa yang paling utama”. Frasa ini memiliki referen yang mengacu pada roh manusia yang disebut sebagai suksma sejati yang memang dianggap sebagai manifestasi Tuhan dewa yang paling sempurna karena manusia diciptakan sebagai akumulasi dari berbagai berkat Tuhan. Pada baris 33f dituliskan manifestasi Tuhan yang menguasai energi bumi. Manifestasi ini disebut sebagai Sang Hyang Jagad, Hyang Nagaraja, atau dalam Bahasa Indonesia dapat dimengerti sebagai “Dewa bumi Hyang Nagaraja”. Meskipun Hyang Nagaraja adalah manifestasi Tuhan dewa yang berbentuk cahaya, beberapa masyarakat Jawa percaya bahwa Hyang Nagaraja memiliki sosok seekor naga.Sehingga baris 33f memiliki referen yang mengacu pada manifestasi Tuhan yang menguasai energi bumi, yang untuk beberapa orang dianggap sebagai seekor naga. Pada baris 33g dituliskan manifestasi Tuhan yang memelihara bumi.Manifestasi ini disebut sebagai pamonging jagad, Hyang Ismaya, atau dalam Bahasa Indonesia dapat dimengerti sebagai “pemelihara bumi, Hyang Ismaya”.Sosok Ismaya pada wayang dikenal sebagai sosok Semar setelah 63 bertapa.Sehingga baris 33g memiliki referen yang mengacu pada manifestasi Tuhan yang memelihara bumi yang bernama Hyang Ismaya. Pada baris 33h dituliskan manifestasi Tuhan yang mewakili energi Tanah Jawa.Manifestasi ini disebut sebagai dhanyanging tanah Jawa, Eyang Kopek, atau dalam Bahasa Indonesia dapat dimengerti sebagai “dhanyang Tanah Jawa, Eyang Kopek”.Baris 33h memiliki referen yang mengacu pada manifestasi Tuhan yang mewakili energi Tanah Jawa yang bernama Eyang Kopek. Secara garis besar, keseluruhan mantra horizontal ketiga adalah mantra yang mengucap syukur pada keseluruhan dunia yang berada di sekitar manusia.Melihat mantra 33 yang mencakup ketiga dunia dan berada di posisi akhir, dapat dipastikan bahwa mantra 33 memiliki fungsi yang merangkum seluruh unsur-unsur yang rangkaian mantra kedalaman.

3.2.3 Mantra Penutup “Harapan Kedamaian”

Mantra horizontal ketiga merupakan akhir dari keseluruhan rangkaian mantra horizontal dan juga akhir dari isi mantra kedalaman Hindu Jawa.Melalui mantra vertikal pertama, hingga mantra horizontal ketiga, seluruh aspek-aspek yang dirasa menjadi bagian penting dalam hidup seorang umat Hindu Jawa telah disebutkan.Sebagai bagian paling akhir dari seluruh rangkaian vertikal dan horizontal, kemudian tangan umat disatukan di atas kepala dan membacakan mantra penutup. 64 34 a Hong b Sidhem sidhem sidhem c Hong Penggunaan kata hong dalam mantra penutup digunakan sebagai awal 34a dan akhiran 34c. Tetapi meskipun demikian, kata hong tetap memiliki fungsi dan arti yang sama, yaitu suatu situasi yang kosong, hening, tetapi penuh dengan isi. Yang dimaksud dengan kosong tetapi penuh isi adalah situasi batin seseorang ketika tengah bermeditasi.Kedua kata hong ini merupakan referen yang mengacu pada situasi yang kosong dan penuh isi tersebut.Sedangkan pada baris 34b, diapit oleh kedua kata hong, sidhem sidhem sidhem dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “damai damai damai”. Mantra penutup berfungsi sebagai harapan bahwa dengan mempelajari dan memahami keseluruhan rangkaian mantra kedalaman, seorang umat akan menemukan kedamaian. 65

BAB IV FUNGSI MANTRA HINDU JAWA

4.1 Pengantar

Menurut Hendropuspito 1989:29, agama dipandang sebagai suatu institusi yang lain, yang mengemban tugas fungsi agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Berdasarkan pendapatnya ini, dalam tinjauannya yang dipentingkan ialah daya guna dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksistensi dan fungsi agama agama-agama cita-cita masyarakat akan keadilan dan kedamaian, dan akan kesejahteraan jasmani dan rohani dapat terwujud. Mengacu pada pendapat yang dikemukakan Hendropuspito, beberapa fungsi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah fungsi filosofis, fungsi religius, dan fungsi edukatif. Ketiga unsur fungsi mantra ini dirasa dapat mewakili pengertian dasar yang cukup untuk dapat mengikuti jalannya penelitian ini. Dengan begitu pembaca akan mengerti fungsi-fungsi mantra Hindu Jawa yang memiliki pengaruh besar pada umat-umatnya.

4.2 Fungsi Filosofis Mantra Hindu Jawa

Secara garis besar, fungsi filosofis mantra-mantra kedalaman adalah sebagai bentuk pengakuan total dari seorang manusia kepada pencipta serta segala manifestasinya. Berlandaskan pengakuan total, kemudian mantra-mantra ini menjadi sebuah pedoman untuk menuntun arah hidup kepada kehidupan yang 66 seimbang dan eling selalu ingat bahwa selalu ada Tuhan maupun manifestasinya yang menyertai seorang manusia agar mampu tetap hidup. Tetapi untuk memahami hal ini, diperlukan pengertian tentang salah satu filosofi utama masyarakat Hindu Jawa yang dikenal dengan istilah tribawana. Salah satu filosofi utama yang menjadi latar belakang dari mantra-mantra yang digunakan dalam penelitian ini adalah tribawana.Tribawana adalah pemahaman masyarakat Hindu Jawa tentang adanya tiga dunia di sekitar diri setiap manusia.Ketiga dunia ini perlu disadari keberadaannya agar dapat mencapai suatu keseimbangan dalam kehidupan. Ketiga dunia yang dimaksud dalam tribawana adalah:  Dunia Ilhami Bawana pepapdhang Jagad pepapdhang Adalah hubungan manusia dengan sang pencipta. Dalam masyarakat Hindu Jawa, dunia ilhami juga biasa dikenal dengan istilah nur kosmos.  Dunia Kedalaman Diri Bawana Alit Jagad Cilik Adalah hubungan manusia dengan diri sendiri.Dalam masyarakat Hindu Jawa, dunia kedalaman diri juga biasa dikenal dengan istilah mikro kosmos.  Dunia Semesta Alam Bawana Gede Jagad Gede Adalah hubungan manusia dengan alam semesta dunia sekitar.Dalam masyarakat Hindu Jawa, dunia semesta alam juga dikenal dengan istilah makro kosmos. Tribawana juga dapat dipahami melalui sudut pandang filosofi lain, yaitu filosofi tentang urip, sing nguripi dan sing nggawe urip. 67  Urip Urip berarti ‘hidup’ dalam bahasa Jawa.Pemahaman paling sederhana untuk urip adalah hadirnya sosok kehidupan seorang manusia di dunia, atau dapat dipahami sebagai mikro kosmos.Manusia itu sendiri terdiri dari dua unsur, yaitu unsur ragawi dan unsur sukmawi. Unsur ragawi dapat hadir karena adanya hubungan dalam bentuk panca indera dengan sing nguripi. Sedangkan unsur sukmawi dapat hadir karena adanya campur tangan sing nggawe urip.  Sing Nguripi Sing nguripi berarti ‘yang menghidupkan’ dalam bahasa Jawa. Pemahaman paling sederhana untuk sing nguripi adalah hadirnya alam semesta beserta unsur-unsurnya air, api, tanah, dll. di sekitar manusia, atau dapat dipahami sebagai makro kosmos. Sedangkan keberadaan sing nguripi adalah juga karena adanya campur tangan sing nggawe urip. Sehingga kontak manusia dengan sing nguripi hubungannya bersifat horizontal.  Sing Nggawe Urip Sing nggawe urip berarti ‘yang menciptakan kehidupan’ dalam bahasa Jawa. Pemahaman paling sederhana untuk sing nggawe urip adalah hadirnya sosok Tuhan yang telah memberikan kehidupan pada manusia dan alam semesta di sekitarnya, atau dapat dipahami sebagai nur kosmos. Kontak manusia dengan sing nggawe urip hubungannya bersifat vertikal. Filsafat tiga dunia bawana pepapdhang, bawana alit, bawana gede, ataupun urip, 68 sing nguripi, dan sing nggawe urip tidak hanya diterapkan sebagai sebuah pemahaman dasar yang kemudian menjadi fondasi utama mantra-mantra kedalaman. Pemahaman ini juga memiliki korelasi yang sangat erat pada tiga unsur lain selain mantra.  pandhita Rsi Seorang pandhita Rsi adalah pemimpin upacara dalam sebuah ritual Hindu Jawa. pandhita Rsi dianggap sebagai ujung tombak umat dan dipercaya memiliki kemampuan lebih karena telah melalui berbagai tataran dan memiliki pedoman khusus dalam hidupnya. Salah satu pedoman pokok seorang pandhita Rsiadalah berpedoman bahwa apa yang diucapkan sama dengan yang diperbuat. Melalui berbagai tataran dan pedoman, seorang pandhita Rsi dipercaya memiliki unsur kesucian di atas manusia biasa, sehingga kesucian pendeta mampu menjadi wadah bagi mantra-mantra agar dapat menyampaikan tujuan umat bersembahyang kepada Tuhan. Melalui penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang pandhita Rsi memiliki fungsi untuk mempersatukan sing nggawe urip dan sing urip.  Sesaji Sajen Sesaji sajen memiliki fungsi dan unsur yang sama dengan Mantra. Keduanya digunakan sebagai penghubung antara bawana alit dan bawana gede. Tujuan dan fungsi diciptakannya sesaji kembali lagi kepada pandhita rsi yang memimpin sebuah ritual. Pada pandhita rsi yang telah mencapai tingkat kesucian tertentu, dipercaya tidak perlu menggunakan sesaji sajen karena sesaji digunakan sebagai perwakilan mantra yang dirasa kurang tepat 69 diucapkan oleh seorang manusia yang kotor dan penuh dosa. Tetapi pandhita Rsi atau orang pada umumnya akan menggunakan sesaji sajen sebagai unsur pelengkap dan simbolisasi mantra.  Tempat Suci Tempat suci yang digunakan sebagai lokasi untuk diadakan ritual ataupun meditasi dipercaya memiliki pengaruh besar dalam pencapaian tujuan ritual maupun meditasi. Memiliki fungsi yang sama dengan pandhita rsi, sebuah tempat suci berlaku sebagai ujung tombak bawana gede. Mengingat filsafat utama Hindu Jawa, yaitu persatuan tiga dunia, maka pelaksanaan ritual hanya dengan pandhita rsi sebagai ujung tombak bawana alit,mantra dan sesaji Sebagai ujung tombak bawana gede tanpa tempat suci akan dirasa kurang lengkap. Apabila dipahami dalam bentuk gambar, tribawana dan manifestasinya dapat dipahami sebagai berikut