Dilihat dari aspek pranata sosial, masyarakat Aceh mempunyai kelembagaan pranata sosial yang cukup lengkap, dan demokrasi yang sangat kuat. Lembaga
tersebut mempunyai struktur yang diisi oleh berbagai cerdik pandai, yaitu ahli agama ulama, ahli pemerintahan mukim, ahli ekonomi hariya dan tokoh adat. Dari bawah
hingga keatas mempunyai saluran yang saling berkoordinasi satu sama lainnya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara musyawarah, demokratis,
cepat dan tepat Aswar, 2009. Fungsi yang dijalankan oleh kelembagaan pranata sosial masyarakat tidak
hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, tetapi juga menyangkut kegiatan ekonomi masyarakat. Hingga saat ini, kepercayaan masyarakat
terhadap pemimpin-pemimpin pranata sosial seperti; tokoh ulama, mukim pemerintahan, tokoh ekonomi dan tokoh adat masih sangat kuat Aswar, 2009.
2.2.2 Berguru Kepada Alam Nenek moyang orang Aceh menetapkan suatu kearifan lokal selalu belajar
dari alam, sebagai Contoh kearifan lokal juga telah mampu menjadi peringatan dini
yang efektif dan terbukti menyelamatkan banyak orang dari tsunami sebagaimana kearifan lokal yang dikembangkan masyarakat Pulau Simelue. Sehingga ketika
terjadi megatsunami pada 2004, ribuan manusia terselamatkan. Mereka belajar dari kejadian tsunami yang terjadi beberapa ratusan tahun silam dan mengembangkannya
menjadi sistem peringatan dini. Teriakan smong yang berarti air laut surut dan segera
Universitas Sumatera Utara
lari menuju ke bukit merupakan kearifan lokal yang melekat di hati setiap penduduk Pulau Simelue Yusuf, 2007.
Sebagai manusia yang bijak tentu kita dapat memaknai segala bencana yang terjadi di alam ini, yang memiliki pertanda dan maksud yang dapat kita tangkap, tidak
saja melalui kecerdasan intelegensi IQ tetapi juga melalui kecerdasan spiritual SQ kita. Kearifan lokal dan mitos yang berkaitan dengan gempa tidak saja muncul pada
saat sekarang. Hal tersebut telah ada sejak dulu dan setiap wilayah yang pernah mengalami gempa akan menjaga kelestarian mitos tersebut secara turun temurun
Yusuf, 2007. Peristiwa smong tahun 1907 diceritakan secara turun-temurun antar genarasi
dalam masyarakat Simeulue. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai gejala-gejala alam yang
mendahuluinya. Sehingga generasi yang hidup pada masa sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan
smong. Kisah smong diceritakan oleh nenek atau ibu kepada cucu dan anak-anak pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita lisan yang dikisahkan secara turun-
temurun itu disebut terma nafi-nafi Abubakar, 2009. Melalui nafi-nafi, pengetahuan tentang tanda-tanda smong tetap lestari dan
tersebar luas di Simeulue dan nyaris meliputi semua tingkatan usia. Karena nafi-nafi, saat tsunami membunuh ratusan ribu penduduk Aceh tahun 2004, masyarakat Pulau
Simeulue yang dikelilingi lautan hanya mendapati tujuh orang penduduknya
Universitas Sumatera Utara
meninggal dunia. Ketika gempa dahsyat menggoyang Simeulue pada Minggu kelabu itu, laki-laki dewasa di sana segera berlari ke pinggir laut. Begitu melihat air laut
surut, mereka membawa anggota keluarganya ke gunung atau perbukitan, sehingga terhindar dari amukan tsunami Abubakar, 2009.
Keberhasilan masyarakat Simeulue dalam menghadapi bencana smongtsunami kiranya dapat menjadi pelajaran penting bagi kita untuk mempelajari
kembali dan merevitalisasi kearifan-kearifan budaya lokal local wisdom. Kearifan budaya lokal tersebut secara kontinu dan simultan perlu dilestarikan, jika tidak maka
secara gradual akan terlupakan dan hilang. Upaya melestarikan pengetahuan tentang bencana alam melalui nafi-nafi, sayangnya tidak tersosialisasi. Terma smong sendiri
hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue, tanpa tersosialisasi kepada masyarakat di luar pulau itu. Seandainya seluruh masyarakat yang berdomisili di Aceh memiliki
pengetahuan itu, tentu saja korban manusia yang jatuh dapat diminimalisir secara drastis. Begitupun tentang terma yang digunakan, tentu bencana dahsyat pada 26
Desember 2004 itu akan dinamai dengan smong, bukan tsunami Abubakar, 2009 Selain yang telah di sebutkan diatas, masyarakat Aceh juga memiliki kearifan
lokal dalam menghadapi bencana yaitu pada arsitektur bangunan Rumoh Aceh. Sebagai asset budaya arsitektur rumoh Aceh masih harus tetap dipelihara dan
dipertahankan, karena disamping identitas budaya suku bangsa, juga ada sisi positifnya didalamnya yaitu mampu mengantisipasi terhadap bencana seperti
Universitas Sumatera Utara
kebakaran, angin topan, banjir dan tsunami serta bencana gempa Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006.
Konsep Dasar Rumah
2.3.1 Defenisi Rumah