BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bencana alam selama ini selalu dipandang sebagai forcemajore yaitu sesuatu hal yang berada di luar kontrol manusia, oleh karena itu, untuk
meminimalisir terjadinya korban akibat bencana diperlukan kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kesadaran dan kesiapan menghadapi
bencana ini idealnya sudah dimiliki oleh masyarakat melalui kearifan lokal daerah setempat, karena mengingat wilayah Indonesia merupakan daerah yang mempuyai
risiko terhadap bencana. Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia
merupakan wilayah yang mempunyai risiko terhadap bencana. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng
tektonik yaitu lempeng Benua Asia dan Benua Australia serta lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Terdapat 130 gunung merapi aktif dan terdapat lebih
dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30 di antaranya melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir bandang dan tanah longsor pada
musim hujan Depkes RI, 2007. Menurut Bakornas Penanggulangan Bencana 2008, risiko bencana adalah
interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya hazards.
Universitas Sumatera Utara
Ancaman bahaya khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga
internal maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan vulnerability daerah dapat dikurang dengan melakukan mitigasi tindakan preventif, serta kemampuan
ketahanan dalam menghadapi ancaman disaster resilience tersebut semakin meningkat sehingga dapat meminimalisir dampak akibat bencana.
Semakin tinggi ancaman bahaya, kerentanan dan ketidakmampuan, maka semakin besar pula risiko bencana yang dihadapi. Berdasarkan potensi ancaman
bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan risiko bencana yang akan terjadi di wilayah Indonesia tergolong tinggi. Dengan mengetahui risiko
yang terjadi akibat bencana masyarakat dan bekerja sama dengan pemerintah diharapkan dapat melakukan penanggulangan bencana Bakornas Penanggulangan
Bencana, 2008. Penanggulangan bencana PB sebagai rangkaian kegiatan baik sebelum
maupun saat dan sesudah terjadi bencana dilakukan untuk mencegah, mengurangi, menghindari dan memulihkan diri dari dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Secara umum kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana adalah sebagai berikut: pencegahan, pengurangan dampak bahaya, kesiapsiagaan,
tanggap darurat, pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi, dan pembangunan berkelanjutan yang mengurangi risiko bencana UNDP Indonesia, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa kejadian besar bencana alam di Indonesia seperti, gempa bumi dan tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan sebagian Provinsi Sumatera Utara pada
akhir tahun 2004 tercatat telah menelan korban sangat besar yaitu 120.000 orang meninggal, 93.088 orang hilang, 4.632 orang luka-luka. Gempa bumi Nias Sumatera
Utara yang terjadi pada awal tahun 2005 menelan korban 128 orang meninggal, 25 orang hilang dan 1.987 orang luka-luka Depkes RI, 2007.
Gempa bumi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 juga mengakibatkan 5.778 orang meninggal, 26.013 orang luka di rawat inap
dan 125.195 orang rawat jalan. Demikian juga gempa bumi dan tsunami yang terjadi di pantai Selatan Jawa Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandar, Cilacap,
Kebumen, Gunung Agung dan Tulang Agung pada tanggal 17 Juli 2006 telah menelan korban, meninggal dunia sebanyak 684 orang, korban hilang sebanyak 82
orang dan korban dirawat inap sebanyak 477 orang dari 11.021 orang yang luka-luka Depkes RI, 2007.
Bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang terjadi pada tahun 2004 tergolong bencana dahsyat bahkan membawa dampak ke wilayah
yang lebih luas seperti Sri Langka. Beberapa penelitian yang dilakukan setelah bencana, menyebutkan, banyaknya jumlah korban justru disebabkan para korban
tidak mempunyai pengetahuan tentang ancaman gempa dan tsunami Ella dan Usman, 2008.
Universitas Sumatera Utara
Gempa disebabkan oleh pelepasan yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama, tekanan semakin membesar
dan akhirnya mencapai pada keadaan di mana tekanan tersebut tidak dapat ditahan oleh pinggiran lempengan, pada saat itulah gempa bumi terjadi Ella dan Usman,
2008. Secara umum terdapat tiga tipe patahan dalam gempa bumi yaitu patahan
normal, patahan balik dan patahan mendatar. Jika kekuatan gempa saling berlawanan arah maka akan terjadi saling tarik menarik, sehingga menimbulkan patahan-patahan
normal yang saling menjauh dan terjadi bidang naik turun, namun jika kekuatan gempa searah maka patahan akan terjadi tumbukan sehingga menimbulkan patahan
balik dan kedua bidang patahan akan naik-turun, sedangkan jika arah kekuatan gempa bergeser ke kiri atau ke kanan maka patahan terjadi secara mendatar Ella dan
Usman, 2008. Gempa bumi yang terjadi di bawah laut mengakibatkan terjadinya gerakan
kerak bumi ke atas dan ke bawah dan kemudian menyebabkan dasar laut naik dan turun secara tiba-tiba. Pergerakan naik dan turun dasar laut ini seterusnya
menggerakkan air laut, menciptakan pergerakan gelombang yang kuat dan ketika gelombang ini sampai di pantai atau daratan, kecepatannya melambat dan tumbuh
menjadi tembok air yang tinggi Ella dan Usman, 2008. Ukuran gelombang tsunami agak rendah di laut yang dalam, gelombang
tampak seperti ombak biasa, tingginya hanya sekitar satu meter dan lewat tanpa
Universitas Sumatera Utara
disadari oleh nelayan. Namun ketika mencapai laut dangkal gelombang tsunami tumbuh hingga tiga puluh meter. Gelombang tsunami dapat bergerak hingga 900
Kmjam, di laut yang dalam tapi ketika mencapai laut dangkal dekat daratan, gelombang tersebut melambat. Pada kedalaman 15 meter kecepatannya bisa menjadi
sekitar 45 Kmjam, kecepatan ini masih terlalu sukar bagi orang-orang di pantai untuk dapat lari menyelamatkan diri Ella dan Usman, 2008.
Peramalan gempa bumi dan tsunami dari segi keilmuan adalah yang paling sulit dilakukan dibandingkan dengan gunung meletus, tanah longsor dan banjir.
Dengan kajian geologi bencana ini bukanlah hal yang tidak dapat diramalkan namun rentang waktu ketidaktentuan terjadinya mempunyai derajat ketidakpastian cukup
besar terhadap akurasi peramalannya Ella dan Usman, 2008. Saat terjadi gempa bumi 8,2 skala richter yang diikuti tsunami dahsyat yang
melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 sehingga menimbulkan banyak korban harta dan benda bahkan nyawa masyarakat Aceh pada umumnya. Dalam
peristiwa tersebut disinyalir di antara rumah yang rusak berat termasuk di antaranya rumah-rumah dan bangunan-bangunan megah yang terbuat dari beton-beton.
Ironisnya bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu masih tetap utuh dan sama sekali tidak rusak Aswar, 2010.
Menurut Winslow dalam Enjang 2000, rumah seharusnya dapat melindungi penghuni agar terhindari dari bahaya kecelakaan dan di usahakan tidak mudah
ambruk. Secara psikologis penghuni rumah tersebut merasa nyaman untuk tinggal di
Universitas Sumatera Utara
rumah. Untuk itu di perlukan konstruksi rumah dan bahan bangunannya harus kuat sehingga tidak mudah ambruk, terhindar dari kecelakaan seperti tertimpa bahan
bangunan apabila terjadi gempa. Menurut Aswar 2009, masyarakat Aceh zaman dahulu, sudah mengetahui
daerahnya rawan terhadap gempa, oleh karena itu nenek moyang masyarakat Aceh dengan arsitektur yang berguru kepada alam, dengan alam pikiran yang sederhana
mereka merancang bangunan yang tahan gempa. Rumah tersebut dinamakan dengan rumoh Aceh. Rumoh Aceh agak berbeda dengan suku-suku lain, arsitektur rumoh ini
menyelaraskan pada susunan alam yang harmonis dan dinamis dan juga konsep folosofi rumoh Aceh yang Islami dan suci sehingga rumoh Aceh berbentuk panggung
dan menghadap kiblat. Bangunan tradisional rumoh Aceh tersebut terbuat dari kayu ataupun bambu
yang tidak akan mengalami kerusakan apabila diguncang oleh gempa karena sifat kelenturan dari material bangunan tersebut terhadap guncangan gempa, selain itu
fondasi bangunan, ikatan tiang dan pasak pada kayu yang diatur sedemikian rupa sehingga saling memperkuat bagian-bagian yang ada pada bangunan tersebut dan
membuat bangunan semakin lentur terhadap guncangan. Rumoh ini pun didirikan dengan tidak menggunakan paku besi tetapi menggunakan paku yang terbuat dari
kayu Aswar, 2009. Rumoh Aceh akan mengikuti tekanan gempa yang melandanya sehingga
bangunan tidak akan roboh dan rusak. Kelenturan ini merupakan pengaruh dari tiang-
Universitas Sumatera Utara
tiang rumoh yang dihubungkan dengan pasak dan tali ijuk yang diikat sampai ke atap sehingga bangunan ini saling terkait antara komponen yang satu dengan yang lainnya,
Semakin digoyang gempa semakin berfungsi pasak terhadap posisi tiang yang miring yang titik beratnya berada di tengah Aswar, 2009.
Hasil survei yang penulis lakukan di lokasi Taman Ratu Safiatuddin Banda Aceh sebagai tempat perayaan pekan kebudayaan Aceh dan di tempat tersebut
merupakan miniatur daerah Aceh dengan berbagai budaya Aceh juga bangunan rumah yang merupakan bangunan dengan arsitektur rumoh Aceh. Pada saat
terjadinya goyangan gempa yang dahsyat apakah itu pada saat gempa pada tanggal 28 Maret 2005 atau gempa dahsyat yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004
dan gempa tersebut menimbulkan tsunami hingga ketinggian mencapai 4 meter, rumoh Aceh tetap berdiri dengan tegak. Tiang-tiang pada rumoh Aceh ini
memberikan peluang pada air laut dan sampah-sampah untuk melewati rumoh tersebut dan tidak terjadi tekanan yang hebat pada tiang-tiang sehingga rumoh tetap
dapat berdiri dengan kokoh. Rumoh Aceh merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Aceh yang dapat memenuhi fungsi rumah secara psikologis.
Kejadian yang serupa terjadi di Tasikmalaya Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009, tidak satu pun rumah yang ada di kampong Naga yang rusak,
apalagi hancur. Padahal seluruh rumah di kampung tradisional masyarakat asli Sunda ini terbuat dari bambu, umur rumahpun rata-rata sudah puluhan tahun Aswar,
2010.
Universitas Sumatera Utara
Bukan hanya itu, ratusan rumah buruh perkebunan teh di kabupaten Bandung yang sebahagian besar terbuat dari bambu dan berdinding gedek juga tetap utuh
meski diguncang gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter yang berpusat di Tasikmalaya. Sementara itu sekitar 8.800 rumah lain yang umumnya terbuat dari bata
rusak berat dan sekitar 9.300 rumah lainnya rusak ringan Aswar, 2010. Kejadian gempa bumi yang mengguncang Padang Pariaman Sumatera Barat,
akhir September 2009, kondisinya hampir sama dengan kejadian di Bandung dan di Aceh. Bangunan-bangunan beton bertingkat, termasuk hotel dan rumah hancur
diguncang gempa dahsyat berkekuatan 7,6 Skala Richter, namun bangunan tradisional rumah gadang yang sebagian besar terbuat dari kayu tetap utuh tidak
rubuh di guncang gempa. Rumah tradisional inilah yang merupakan kearifan lokal yang harus dipertahankan untuk mengurangi dampak akibat bencana gempa tapi
sekarang ini secara tidak sadar telah diabaikan oleh masyarakat Aswar, 2010. Dampak dari mengabaikan kearifan lokal ini cukup fatal. Saat terjadi gempa
bumi di Sumatra Barat, September 2009 sekitar 200 orang tewas dan 500 bangunan hancur, korban tewas umumnya karena tertimpa bangunan bata dan beton yang
runtuh Aswar, 2010. Kearifan lokal masyarakat Aceh membangun rumoh Aceh juga merupakan
salah satu faktor yang penting dalam meminimalisir kerugian yang terjadi akibat bencana. Konstruksi bangunannya yang lentur dan materialnya yang ringan karena
Universitas Sumatera Utara
terbuat dari kayu dan bambu sehingga apabila tertimpa material tersebut tidak menyebabkan kematian.
Sementara itu persepsi masyarakat Aceh sekarang ini apabila membangun rumoh Aceh merasa ketinggalan zaman dan berlagak ingin dikatakan moderen
sehingga bangunan rumah tinggal pun dibuat dari beton yang sudah terbukti berbahaya dan akan roboh pada skala rata-rata. Masyarakat hanya memperhitungkan
aspek estetika tanpa memperhatikan aspek keamanan dengan pertimbangan bahwa Aceh merupakan daerah yang rawan terjadinya gempa.
Menurut Rakhmat 2007, persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi
dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi sensori stimuli. Persepsi ada hubungannya dengan sensasi. Sensasi adalah bagian
dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori.
Mengingat begitu kompleksnya masalah yang ditimbulkan oleh karena persepsi masyarakat Aceh tentang Rumoh Aceh, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh Pengetahuan, Pengalaman Kebutuhan dan Harapan Terhadap Persepsi Tokoh Masyarakat Aceh Tentang Rumoh Aceh Sebagai
Kearifan Lokal Dalam Menghadapi Bencana Gempa dan Tsunami Di Kota Banda Aceh Tahun 2011.”
Universitas Sumatera Utara
1.2. Permasalahan