Pengaruh Pengetahuan, Pengalaman, Kebutuhan dan Harapan Terhadap Persepsi Tokoh Masyarakat Aceh Tentang Rumoh Aceh Sebagai Kearifan lokal dalam Menghadapi Bencana Gempa dan Tsunami Di Kota Banda Aceh

(1)

PENGARUH PENGETAHUAN, PENGALAMAN, KEBUTUHAN DAN HARAPAN TERHADAP PERSEPSI TOKOH MASYARAKAT

ACEH TENTANG RUMOH ACEH SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM MENGHADAPI BENCANA GEMPA DAN

TSUNAMI DI KOTA BANDA ACEH

T E S I S

Oleh

CUT ELFIZAHARA 097032085/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

EFFECT OF KNOWLEDGE, EXPERIENCES, NEEDS AND EXPECTATIONS OF COMMUNITY LEADERS PERCEPTION OF FIGUREABOUT RUMOH

ACEH WISDOM LOCAL AS DEALING IN EARTHQUAKE AND TSUNAMI DISASTER CITY IN BANDA ACEH

T H E S I S

By

CUT ELFIZAHARA 097032085/IKM

S2 SCIENCE STUDY PROGRAM PUBLIC HEALTH FACULTY OF PUBLIC HEALTH UNIVERSITY

OF NORTH SUMATRA MEDAN


(3)

PENGARUH PENGETAHUAN, PENGALAMAN, KEBUTUHAN DAN HARAPAN TERHADAP PERSEPSI TOKOH MASYARAKAT ACEH TENTANG RUMOH ACEH SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM

MENGHADAPI BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI DI KOTA BANDA ACEH

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

CUT ELFIZAHARA 097032085/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : PENGARUH PENGETAHUAN, PENGALAMAN, KEBUTUHAN DAN HARAPAN TERHADAP PERSEPSI TOKOH MASYARAKAT ACEH TENTANG RUMOH ACEH SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM MENGHADAPI BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI DI KOTA BANDA ACEH

Nama Mahasiswa : Cut Elfizahara Nomor Induk Mahasiswa : 097032085

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Manajemen Kesehatan Bencana

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si)

Ketua Anggota

( Drs. Tukiman, M.K.M)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si) (Dr.Drs. Surya Utama, M.Si)


(5)

Telah diuji Pada Tanggal :

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si Anggota : 1. Drs. Tukiman, M.K.M

2. Dr. Fikarwin Zuska 3. Suherman, S.K.M, M.Si


(6)

PERNYATAAN

PENGARUH PENGETAHUAN, PENGALAMAN, KEBUTUHAN DAN HARAPAN TERHADAP PERSEPSI TOKOH MASYARAKAT ACEH TENTANG RUMOH ACEH SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM

MENGHADAPI BENCANA GEMPA DAN TSUNAMI DI KOTA BANDA ACEH

TESIS

Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2011

CUT ELFIZAHARA 097032085/IKM


(7)

ABSTRAK

Banda Aceh merupakan suatu daerah yang rawan terhadap gempa dan tsunami karena terletak pada lempengan patahan pulau Sumatera dan sebahagian besar wilayahnya berupa pesisir pantai. Rumoh Aceh merupakan rumah khas Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana terutama bencana gempa dan tsunami.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, pengalaman, kebutuhan dan harapan terhadap persepsi Tokoh Masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Jenis penelitian ini adalah survei eksplanatori. Populasi adalah Tokoh Masyarakat Adat (tuha peut) setiap desa yang ada di Kota Banda Aceh yang berjumlah 90 orang yang tersebar di 9 kecamatan. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan regresi linier berganda pada α = 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel pengetahuan, pengalaman, dan harapan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi Tokoh Masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Variabel yang paling berpengaruh terhadap

persepsi hanya kebutuhan (β = 5,4I).

Majelis Pemangku Adat disarankan agar dapat mensosialisasikan kembali kepada Tokoh Masyarakat Aceh untuk meningkatkan parsepsi Tokoh Masyarakat mengenai manfaat dan fungsi rumoh Aceh dan bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti bagaimana persepsi masyarakat tentng rumoh Aceh.


(8)

ABSTRACT

Banda Aceh is an area which is vulnerable to earthquake and tsunami because it is located on the plate and fault of Sumatera Island and most of its area lies along the coast. Rumoh Aceh is a specific Aceh traditional house functions as a local wisdom in facing disaster especially the earthquake and tsunami.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the influence of knowledge, experience, need and expectation on the perception of Aceh community prominent figure about Rumoh Aceh as a local wisdom in facing earthquake and tsunami disaster. The population of this study were 90 Aceh community adat prominent figures (tuha peut) in each urban village spread in 9 sub-districts in the city of Banda Aceh. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviewed and analyzed through multiple linear regression tests at α = 0.05.

The result of this study showed that statistically the variables of knowledge, experience, and expectation did not have significant influence on the perception of Aceh community prominent figure about Rumoh Aceh as a local wisdom in facing earthquake and tsunami disaster. The variable of need was the most influencing variable on the perception (β = 5.41).

The Municipal Government of Banda Aceh especially the Adat Council is suggested to cooperate with Banda Aceh Public Work Service and the Banda Aceh Legislative Assembly to design the concept of Rumoh that can anticipate the disaster. The Aceh community prominent figure is expected to be able to socialize it to the society.

Keywords: Knowledge, Experience, Need, Expectation, Perception


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat dan rahmat serta pertolonganNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul ”Pengaruh Pengetahuan, Pengalaman, Kebutuhan dan Harapan Terhadap Persepsi Tokoh Masyarakat Aceh Tentang Rumoh Aceh Sebagai Kearifan lokal dalam Menghadapi Bencana Gempa dan Tsunami Di Kota Banda Aceh”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis dalam menyusun tesis ini mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih dan peghargaan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Dra Ida Yustina, M,Si. Selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang sekaligus selaku pembimbing yang telah banyak meluagkan


(10)

waktu, tenaga dan pikiran daam memberikan bimbingan dan arahan serta dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Ir. Evawani Aritonang, M.Kes. selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

5. Drs, Tukiman, M.K.M. selaku anggota komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai. 6. Dr. Fikarwin Zuska dan Suherman, S.K.M, M.Si. Selaku penguji tesis yang

dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

7. Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Aceh serta jajarannya yang telah berkenan memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan dan sekaligus memberikan izin belajar pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Mayarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Para dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Manajemen Kesehatan Bencana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

9. Ucapan terima kasih yang tulus dan ikhlas kepada Ayahanda T. Nyak Umar Ismail (Alm) dan Ibunda Hj. Cut Keumala Sari, Bapak Mertua T.M. Gade, dan


(11)

Ibu Mertua Hj. Cut Kardan, atas segala jasa dan do’anya sehingga penulis selalu mendapatkan pendidikan terbaik.

10. Teristimewa buat Suami tercinta H.Teuku Amiruddin, ST., serta anak-anakku tercinta: Teuku Ade Fathullah Rachman, Teuku Ade Farhan Ramadhanna, dan Pocut Afra Azuchra. Kakak dan Adik-adik tersayang, teman-teman serta semua pihak yang telah memberikan do’a, motivasi dan dukungan agar bisa menyelesaikan pendidikan ini tepat waktu.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan dalam penulisan tesis ini yang masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu kritikan dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan harapan semoga tesisi ini dapat bermamfaat bagi pengambil kebijakan, dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi peneliti selanjutnya.

Medan, September 2011 Wassalam

Penulis

097032085/IKM Cut Elfizahara


(12)

RIWAYAT HIDUP

Cut Elfizahara, lahir pada tanggal 05 Maret 1973 di Bireuen, agama Islam, anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Ayahanda T. Nyak Umar Ismail (Alm), dan Ibunda Hj, Cut Keumala Sari.

Pendidikan formal penulis, dimulai dari pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri No 2 Bireuen, selesai tahun 1985, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Bireuen, selesai tahun 1988, Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Bireuen, selesai tahun 1991, tahun 1992 melanjutkan pendidikan di Akademi Keperawatan Pemda Lhok Seumawe, tamat tahun 1995, tahun 1998 melanjutkan pendidikan di Diploma IV Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 1999.

Mulai bekerja sebagai tenaga pendidik di Akademi Keperawatan Dep. Kes RI Banda Aceh tahun 2000, Pegawai Dinas Kesehatan Provinsi Aceh (UPTD Balai Pendidikan Tenaga Kesehatan) sejak tahun 2001 sampai sekarang.

Penulis mengikuti pendidikan lanjutan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Manajemen Kesehatan Bencana, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2009 hingga saat ini.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN PROPOSAL ………... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ………... iii

DAFTAR GAMBAR ……….. vi

DAFTAR LAMPIRAN ... v

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis ... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Bencana 2.1.1.Pengertian Bencana ... 11

2.1.2.Pembagian Bencana dan Faktor-faktor Terjadinya Bencana 13

2.1.3.Bencana Gempa dan Tsunami di Aceh ... 14

2.1.4.Pemahaman Masyarakat Tentang Bencana ... 18

2.2. Kearifan Lokal ... 19

2.2.1. Kepercayaan Tradisional ... 19

2.2.2. Berguru Kepada Alam ... 21

2.3. Konsep Dasar Rumah ... 23

2.3.1. Definisi Rumah ... 23

2.3.2. Rumoh Aceh Sebagai Kearifan Lokal ... 26

2.4. Persepsi ... ... 27

2.4.1. Pengertian ... 27

2.4.2. Faktor-faktor Pembentuk Persepsi ... 28

2.4.3. Pengatahuan ... 30

2.4.4. Pengalaman ... 32

2.4.5. Kebutuhan ... 32

2.4.6. Harapan ... 35

2.5. Landasan Teori ... 36


(14)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Jenis Penelitian ... 38

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 38

3.2.2. Waktu Penelitian ... 39

3.3. Populasi dan Sampel ... 39

3.3.1. Populasi ... 39

3.3.2. Sampel ... 39

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 40

3.4.1. Data Primer ... 40

3.4.2. Data Skunder ... 41

3.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 41

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 44

3.5.1. Variabel Independen ... 44

3.5.2. Variabel Dependen ... 47

3.6. Metode Pengukuran ... 48

3.7. Metode Analisa Data ... 49

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 50

4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50

4.2. Deskripsi Variabel ………... 53

4.2.1. Karakteristik Responden ... 53

4.2.2. Pengetahuan ... 59

4.2.3. Pengalaman ... 61

4.2.4. Kebutuhan ... 62

4.2.5. Harapan ... 64

4.2.6. Persepsi Tokoh Masyarakat Aceh (Tuha Peut) ………… 66

4.3. Analisa Bivariat ... 68

4.4. Analisa Multivariat ... 69

BAB 5. PEMBAHASAN ... 73

5.1. Pengaruh pengetahuan terhadap persepsi tokoh masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Kota Banda Aceh ... 73

5.2. Pengaruh pengalaman terhadap persepsi tokoh masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Kota BandaAceh ... 74

5.3. Pengaruh kebutuhan terhadap persepsi tokoh masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Kota BandaAceh ... 76

5.4. Pengaruh harapan terhadap persepsi tokoh masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi


(15)

bencana gempa dan tsunami di Kota BandaAceh ... 79

5.6. Keterbatasan penelitian ... 82

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

6.1. Kesimpulan ... 83

6.2. Saran …………... ………... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

3.1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jumlah Desa ... 40

3.2. Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengetahuan ... 42

3.3.Validitas dan Reliabilitas Variabel Pengalaman ... 42

3.4. Validitas dan Reliabilitas Variabel Kebutuhan ... 43

3.5.Validitas dan Reliabilitas Variabel Harapan ... 43

3.6. Validitas dan Reliabilitas Variabel Persepsi ... 44

4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kecamatan ... 54

4.2.Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 55

4.3.Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 56

4.4.Distribusi Responden Berdasarkan Jarak Rumah ... 56

4.5Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Rumah ... 57

4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 58

4.7.Distribusi Responden Berdasarkan Pendapatan ... 58

4.8.Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 59

4.9.Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 60

4.10.Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan ... 61

4.11.Distribusi Responden Berdasarkan Pengalaman ... 62

4.12.Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengalaman ... 62


(17)

4.14.Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Kebutuhan ... 64

4.15.Distribusi Responden Berdasarkan Harapan ... 65

4.16.Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Harapan ... 66

4.17.Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi ... 67

4.18.Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Persepsi ... 68

4.18.Hasil Analisis Bivariat Antara Variabel Independen dengan Variabel Dependen ... 69

4.19.Hasil Analisis Bivariat Antara Variabel Independen dengan Variabel Dependen ... 70

4.20.Hasil Uji Regresi Linear Berganda Pengaruh Kebutuhan dan Harapan Terhadap Persepsi Tokoh Masyarakat Aceh ... 71


(18)

DAFTAR GAMBAR

NO Judul Halaman

2.1 2.2 2.3 2.4

Kejadian Bencana ……….. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ……….. Theory of Reasoned Action and Theory of Planned Behavior …….. Kerangka Konsep ………..

11 30 37 37


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1 2 3

Surat pernyataan kesediaan menjadi responden Daftar Pertanyaan/ Kuesioner

Hasil Uji Statistik

88

89


(20)

ABSTRAK

Banda Aceh merupakan suatu daerah yang rawan terhadap gempa dan tsunami karena terletak pada lempengan patahan pulau Sumatera dan sebahagian besar wilayahnya berupa pesisir pantai. Rumoh Aceh merupakan rumah khas Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana terutama bencana gempa dan tsunami.

Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, pengalaman, kebutuhan dan harapan terhadap persepsi Tokoh Masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Jenis penelitian ini adalah survei eksplanatori. Populasi adalah Tokoh Masyarakat Adat (tuha peut) setiap desa yang ada di Kota Banda Aceh yang berjumlah 90 orang yang tersebar di 9 kecamatan. Data diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan regresi linier berganda pada α = 0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel pengetahuan, pengalaman, dan harapan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi Tokoh Masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Variabel yang paling berpengaruh terhadap

persepsi hanya kebutuhan (β = 5,4I).

Majelis Pemangku Adat disarankan agar dapat mensosialisasikan kembali kepada Tokoh Masyarakat Aceh untuk meningkatkan parsepsi Tokoh Masyarakat mengenai manfaat dan fungsi rumoh Aceh dan bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti bagaimana persepsi masyarakat tentng rumoh Aceh.


(21)

ABSTRACT

Banda Aceh is an area which is vulnerable to earthquake and tsunami because it is located on the plate and fault of Sumatera Island and most of its area lies along the coast. Rumoh Aceh is a specific Aceh traditional house functions as a local wisdom in facing disaster especially the earthquake and tsunami.

The purpose of this explanatory survey study was to analyze the influence of knowledge, experience, need and expectation on the perception of Aceh community prominent figure about Rumoh Aceh as a local wisdom in facing earthquake and tsunami disaster. The population of this study were 90 Aceh community adat prominent figures (tuha peut) in each urban village spread in 9 sub-districts in the city of Banda Aceh. The data for this study were obtained through questionnaire-based interviewed and analyzed through multiple linear regression tests at α = 0.05.

The result of this study showed that statistically the variables of knowledge, experience, and expectation did not have significant influence on the perception of Aceh community prominent figure about Rumoh Aceh as a local wisdom in facing earthquake and tsunami disaster. The variable of need was the most influencing variable on the perception (β = 5.41).

The Municipal Government of Banda Aceh especially the Adat Council is suggested to cooperate with Banda Aceh Public Work Service and the Banda Aceh Legislative Assembly to design the concept of Rumoh that can anticipate the disaster. The Aceh community prominent figure is expected to be able to socialize it to the society.

Keywords: Knowledge, Experience, Need, Expectation, Perception


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bencana alam selama ini selalu dipandang sebagai forcemajore yaitu sesuatu hal yang berada di luar kontrol manusia, oleh karena itu, untuk meminimalisir terjadinya korban akibat bencana diperlukan kesadaran dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kesadaran dan kesiapan menghadapi bencana ini idealnya sudah dimiliki oleh masyarakat melalui kearifan lokal daerah setempat, karena mengingat wilayah Indonesia merupakan daerah yang mempuyai risiko terhadap bencana.

Secara geografis, geologis, hidrologis, dan sosio-demografis, Indonesia merupakan wilayah yang mempunyai risiko terhadap bencana. Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng Benua Asia dan Benua Australia serta lempeng Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Terdapat 130 gunung merapi aktif dan terdapat lebih dari 5.000 sungai besar dan kecil yang 30% di antaranya melewati kawasan padat penduduk dan berpotensi terjadinya banjir, banjir bandang dan tanah longsor pada musim hujan (Depkes RI, 2007).

Menurut Bakornas Penanggulangan Bencana (2008), risiko bencana adalah interaksi antara tingkat kerentanan daerah dengan ancaman bahaya (hazards).


(23)

Ancaman bahaya khususnya bahaya alam bersifat tetap karena bagian dari dinamika proses alami pembangunan atau pembentukan roman muka bumi baik dari tenaga internal maupun eksternal, sedangkan tingkat kerentanan (vulnerability) daerah dapat dikurang dengan melakukan mitigasi (tindakan preventif), serta kemampuan/ ketahanan dalam menghadapi ancaman (disaster resilience) tersebut semakin meningkat sehingga dapat meminimalisir dampak akibat bencana.

Semakin tinggi ancaman bahaya, kerentanan dan ketidakmampuan, maka semakin besar pula risiko bencana yang dihadapi. Berdasarkan potensi ancaman bencana dan tingkat kerentanan yang ada, maka dapat diperkirakan risiko bencana yang akan terjadi di wilayah Indonesia tergolong tinggi. Dengan mengetahui risiko yang terjadi akibat bencana masyarakat dan bekerja sama dengan pemerintah diharapkan dapat melakukan penanggulangan bencana (Bakornas Penanggulangan Bencana, 2008).

Penanggulangan bencana (PB) sebagai rangkaian kegiatan baik sebelum maupun saat dan sesudah terjadi bencana dilakukan untuk mencegah, mengurangi, menghindari dan memulihkan diri dari dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Secara umum kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam penanggulangan bencana adalah sebagai berikut: pencegahan, pengurangan dampak bahaya, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi), dan pembangunan berkelanjutan yang mengurangi risiko bencana (UNDP Indonesia, 2007).


(24)

Beberapa kejadian besar bencana alam di Indonesia seperti, gempa bumi dan tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan sebagian Provinsi Sumatera Utara pada akhir tahun 2004 tercatat telah menelan korban sangat besar yaitu 120.000 orang meninggal, 93.088 orang hilang, 4.632 orang luka-luka. Gempa bumi Nias Sumatera Utara yang terjadi pada awal tahun 2005 menelan korban 128 orang meninggal, 25 orang hilang dan 1.987 orang luka-luka (Depkes RI, 2007).

Gempa bumi DI Yogyakarta dan Jawa Tengah terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 juga mengakibatkan 5.778 orang meninggal, 26.013 orang luka di rawat inap dan 125.195 orang rawat jalan. Demikian juga gempa bumi dan tsunami yang terjadi di pantai Selatan Jawa (Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandar, Cilacap, Kebumen, Gunung Agung dan Tulang Agung) pada tanggal 17 Juli 2006 telah menelan korban, meninggal dunia sebanyak 684 orang, korban hilang sebanyak 82 orang dan korban dirawat inap sebanyak 477 orang dari 11.021 orang yang luka-luka (Depkes RI, 2007).

Bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Sumatera Utara yang terjadi pada tahun 2004 tergolong bencana dahsyat bahkan membawa dampak ke wilayah yang lebih luas seperti Sri Langka. Beberapa penelitian yang dilakukan setelah bencana, menyebutkan, banyaknya jumlah korban justru disebabkan para korban tidak mempunyai pengetahuan tentang ancaman gempa dan tsunami (Ella dan Usman, 2008).


(25)

Gempa disebabkan oleh pelepasan yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan yang bergerak. Semakin lama, tekanan semakin membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan di mana tekanan tersebut tidak dapat ditahan oleh pinggiran lempengan, pada saat itulah gempa bumi terjadi (Ella dan Usman, 2008).

Secara umum terdapat tiga tipe patahan dalam gempa bumi yaitu patahan normal, patahan balik dan patahan mendatar. Jika kekuatan gempa saling berlawanan arah maka akan terjadi saling tarik menarik, sehingga menimbulkan patahan-patahan normal yang saling menjauh dan terjadi bidang naik turun, namun jika kekuatan gempa searah maka patahan akan terjadi tumbukan sehingga menimbulkan patahan balik dan kedua bidang patahan akan naik-turun, sedangkan jika arah kekuatan gempa bergeser ke kiri atau ke kanan maka patahan terjadi secara mendatar (Ella dan Usman, 2008).

Gempa bumi yang terjadi di bawah laut mengakibatkan terjadinya gerakan kerak bumi ke atas dan ke bawah dan kemudian menyebabkan dasar laut naik dan turun secara tiba-tiba. Pergerakan naik dan turun dasar laut ini seterusnya menggerakkan air laut, menciptakan pergerakan gelombang yang kuat dan ketika gelombang ini sampai di pantai atau daratan, kecepatannya melambat dan tumbuh menjadi tembok air yang tinggi (Ella dan Usman, 2008).

Ukuran gelombang tsunami agak rendah di laut yang dalam, gelombang tampak seperti ombak biasa, tingginya hanya sekitar satu meter dan lewat tanpa


(26)

disadari oleh nelayan. Namun ketika mencapai laut dangkal gelombang tsunami tumbuh hingga tiga puluh meter. Gelombang tsunami dapat bergerak hingga 900 Km/jam, di laut yang dalam tapi ketika mencapai laut dangkal dekat daratan, gelombang tersebut melambat. Pada kedalaman 15 meter kecepatannya bisa menjadi sekitar 45 Km/jam, kecepatan ini masih terlalu sukar bagi orang-orang di pantai untuk dapat lari menyelamatkan diri (Ella dan Usman, 2008).

Peramalan gempa bumi dan tsunami dari segi keilmuan adalah yang paling sulit dilakukan dibandingkan dengan gunung meletus, tanah longsor dan banjir. Dengan kajian geologi bencana ini bukanlah hal yang tidak dapat diramalkan namun rentang waktu ketidaktentuan terjadinya mempunyai derajat ketidakpastian cukup besar terhadap akurasi peramalannya (Ella dan Usman, 2008).

Saat terjadi gempa bumi 8,2 skala richter yang diikuti tsunami dahsyat yang melanda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 sehingga menimbulkan banyak korban harta dan benda bahkan nyawa masyarakat Aceh pada umumnya. Dalam peristiwa tersebut disinyalir di antara rumah yang rusak berat termasuk di antaranya rumah-rumah dan bangunan-bangunan megah yang terbuat dari beton-beton. Ironisnya bangunan-bangunan yang terbuat dari kayu dan bambu masih tetap utuh dan sama sekali tidak rusak (Aswar, 2010).

Menurut Winslow dalam Enjang (2000), rumah seharusnya dapat melindungi penghuni agar terhindari dari bahaya/ kecelakaan dan di usahakan tidak mudah ambruk. Secara psikologis penghuni rumah tersebut merasa nyaman untuk tinggal di


(27)

rumah. Untuk itu di perlukan konstruksi rumah dan bahan bangunannya harus kuat sehingga tidak mudah ambruk, terhindar dari kecelakaan seperti tertimpa bahan bangunan apabila terjadi gempa.

Menurut Aswar (2009), masyarakat Aceh zaman dahulu, sudah mengetahui daerahnya rawan terhadap gempa, oleh karena itu nenek moyang masyarakat Aceh dengan arsitektur yang berguru kepada alam, dengan alam pikiran yang sederhana mereka merancang bangunan yang tahan gempa. Rumah tersebut dinamakan dengan rumoh Aceh. Rumoh Aceh agak berbeda dengan suku-suku lain, arsitektur rumoh ini menyelaraskan pada susunan alam yang harmonis dan dinamis dan juga konsep folosofi rumoh Aceh yang Islami dan suci sehingga rumoh Aceh berbentuk panggung dan menghadap kiblat.

Bangunan tradisional rumoh Aceh tersebut terbuat dari kayu ataupun bambu yang tidak akan mengalami kerusakan apabila diguncang oleh gempa karena sifat kelenturan dari material bangunan tersebut terhadap guncangan gempa, selain itu fondasi bangunan, ikatan tiang dan pasak pada kayu yang diatur sedemikian rupa sehingga saling memperkuat bagian-bagian yang ada pada bangunan tersebut dan membuat bangunan semakin lentur terhadap guncangan. Rumoh ini pun didirikan dengan tidak menggunakan paku besi tetapi menggunakan paku yang terbuat dari kayu (Aswar, 2009).

Rumoh Aceh akan mengikuti tekanan gempa yang melandanya sehingga bangunan tidak akan roboh dan rusak. Kelenturan ini merupakan pengaruh dari


(28)

tiang-tiang rumoh yang dihubungkan dengan pasak dan tali ijuk yang diikat sampai ke atap sehingga bangunan ini saling terkait antara komponen yang satu dengan yang lainnya, Semakin digoyang gempa semakin berfungsi pasak terhadap posisi tiang yang miring yang titik beratnya berada di tengah (Aswar, 2009).

Hasil survei yang penulis lakukan di lokasi Taman Ratu Safiatuddin Banda Aceh sebagai tempat perayaan pekan kebudayaan Aceh dan di tempat tersebut merupakan miniatur daerah Aceh dengan berbagai budaya Aceh juga bangunan rumah yang merupakan bangunan dengan arsitektur rumoh Aceh. Pada saat terjadinya goyangan gempa yang dahsyat apakah itu pada saat gempa pada tanggal 28 Maret 2005 atau gempa dahsyat yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan gempa tersebut menimbulkan tsunami hingga ketinggian mencapai 4 meter, rumoh Aceh tetap berdiri dengan tegak. Tiang-tiang pada rumoh Aceh ini memberikan peluang pada air laut dan sampah-sampah untuk melewati rumoh tersebut dan tidak terjadi tekanan yang hebat pada tiang-tiang sehingga rumoh tetap dapat berdiri dengan kokoh. Rumoh Aceh merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat Aceh yang dapat memenuhi fungsi rumah secara psikologis.

Kejadian yang serupa terjadi di Tasikmalaya Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009, tidak satu pun rumah yang ada di kampong Naga yang rusak, apalagi hancur. Padahal seluruh rumah di kampung tradisional masyarakat asli Sunda ini terbuat dari bambu, umur rumahpun rata-rata sudah puluhan tahun (Aswar, 2010).


(29)

Bukan hanya itu, ratusan rumah buruh perkebunan teh di kabupaten Bandung yang sebahagian besar terbuat dari bambu dan berdinding gedek juga tetap utuh meski diguncang gempa berkekuatan 7,3 Skala Richter yang berpusat di Tasikmalaya. Sementara itu sekitar 8.800 rumah lain yang umumnya terbuat dari bata rusak berat dan sekitar 9.300 rumah lainnya rusak ringan (Aswar, 2010).

Kejadian gempa bumi yang mengguncang Padang Pariaman Sumatera Barat, akhir September 2009, kondisinya hampir sama dengan kejadian di Bandung dan di Aceh. Bangunan-bangunan beton bertingkat, termasuk hotel dan rumah hancur diguncang gempa dahsyat berkekuatan 7,6 Skala Richter, namun bangunan tradisional rumah gadang yang sebagian besar terbuat dari kayu tetap utuh tidak rubuh di guncang gempa. Rumah tradisional inilah yang merupakan kearifan lokal yang harus dipertahankan untuk mengurangi dampak akibat bencana gempa tapi sekarang ini secara tidak sadar telah diabaikan oleh masyarakat (Aswar, 2010).

Dampak dari mengabaikan kearifan lokal ini cukup fatal. Saat terjadi gempa bumi di Sumatra Barat, September 2009 sekitar 200 orang tewas dan 500 bangunan hancur, korban tewas umumnya karena tertimpa bangunan bata dan beton yang runtuh (Aswar, 2010).

Kearifan lokal masyarakat Aceh membangun rumoh Aceh juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam meminimalisir kerugian yang terjadi akibat bencana. Konstruksi bangunannya yang lentur dan materialnya yang ringan karena


(30)

terbuat dari kayu dan bambu sehingga apabila tertimpa material tersebut tidak menyebabkan kematian.

Sementara itu persepsi masyarakat Aceh sekarang ini apabila membangun rumoh Aceh merasa ketinggalan zaman dan berlagak ingin dikatakan moderen sehingga bangunan rumah tinggal pun dibuat dari beton yang sudah terbukti berbahaya dan akan roboh pada skala rata-rata. Masyarakat hanya memperhitungkan aspek estetika tanpa memperhatikan aspek keamanan dengan pertimbangan bahwa Aceh merupakan daerah yang rawan terjadinya gempa.

Menurut Rakhmat (2007), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi adalah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensori stimuli). Persepsi ada hubungannya dengan sensasi. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga atensi, ekspektasi, motivasi dan memori.

Mengingat begitu kompleksnya masalah yang ditimbulkan oleh karena persepsi masyarakat Aceh tentang Rumoh Aceh, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengetahuan, Pengalaman Kebutuhan dan Harapan Terhadap Persepsi Tokoh Masyarakat Aceh Tentang Rumoh Aceh Sebagai Kearifan Lokal Dalam Menghadapi Bencana Gempa dan Tsunami Di Kota Banda Aceh Tahun 2011.”


(31)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang penelitian, kita dapat menganalisis bagaimana persepsi masyarakat Aceh yang berhubungan dengan pengalaman, pengetahuan, kebutuhan dan harapan tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Kota Banda Aceh tahun 2011.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, pengalaman, kebutuhan, dan harapan terhadap persepsi tokoh masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa di Kota Banda Aceh Tahun 2011.

1.4 Hipotesis

Ada pengaruh pengetahuan, pengalaman, kebutuhan dan harapan terhadap persepsi tokoh masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Ilmu Pengetahuan

Secara teoritis, dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu kesehatan masyarakat khususnya persepsi tentang pengendalian risiko bencana.


(32)

Sebagai bahan pemikiran yang didasari pada teori dan analisis terhadap kajian praktis dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membangun rumah yang berbasis mitigasi bencana

1.5.3 Pemerintah

Sebagai bahan masukan bagi pemerintah terkait dalam menyusun program mitigasi bencana khususnya bidang yang mendasari pada pengendalian risiko bencana.


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bencana

2.1.1 Pengertian Bencana

Menurut Bakornas PB (2007), bencana terjadi jika ada ancaman yang muncul dengan kondisi kerentanan yang ada secara sederhana hubungan ancaman dan kerentanan dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.1 Kejadian Bencana

Ancaman adalah suatu kejadian atau peristiwa yang berpotensi menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, kerusakan lingkungan, dan menimbulkan dampak suatu kondisi yang ditentukan oleh psikologis. Kerentanan adalah suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial, ekonomi dan sosial budaya dan lingkungan yang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana (Bakornas PB, 2007).

Bencana alam adalah konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Kerugian yang terjadi dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian yang disebabkan karena ketidakberdayaan manusia akibat kurang


(34)

baiknya manajemen keadaan darurat. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini berhubungan dengan pernyataan: “bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu dengan ketidakberdayaan”. Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah “alam” juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri peradaban umat manusia (Tohari, 2008).

Namun demikian pada daerah yang memiliki tingkat bahaya tinggi (hazard) serta memiliki kerentanan/ kerawanan (vulnerability) yang juga tinggi tidak akan memberi dampak yang hebat/ luas jika manusia yang berada di sana memiliki ketahanan terhadap bencana (disaster resilience). Konsep ketahanan bencana merupakan evaluasi kemampuan sistem dan infrastruktur-infrastruktur untuk mendeteksi, mencegah & menangani tantangan-tantangan serius yang hadir. Meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup akan meminimalisir dampak yang di timbulkan akibat bencana (Hilman, 2007).


(35)

Bencana lingkungan yang melanda berbagai daerah di tanah air diperkirakan akan terus meluas dan mengkhawatirkan apabila faktor pencegahan tidak menjadi fokus penanganan. Secara geologis, klimatologis, dan geografis, wilayah Indonesia tergolong rentan. Kajian geologis menunjukkan, batuan belum padat atau solid mendominasi struktur batuan di Indonesia. Hujan di atas normal bertempo lama, didukung kemiringan bukit, dan terbatasnya tutupan lahan menimbulkan gerakan tanah (Tohari, 2008).

2.1.2 Pembagian Bencana dan Faktor-Faktor Terjadinya Bencana

Menurut Depkes RI (2007), bencana dapat dikelompokkan menjadi bencana alam dan bencana non alam, yaitu bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan tingginya risiko bencana baik yang disebabkan oleh faktor alam maupun non alam antara lain :

a) Kondisi alam serta perbuatan manusia dapat menimbulkan bahaya bagi makluk hidup, yang dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi, bahaya hidrometeorologi, bahaya biologi, bahaya teknologi dan penurunan kualitas lingkungan.

b) Kerentanan yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam suatu wilayah yang berisiko bencana.

c) Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.

Dengan beragamnya faktor penyebab bencana serta luasnya ruang lingkup dan dimensi bencana sesuai UU No 24 Tahun 2007, maka dibutuhkan keterlibatan


(36)

beragam keahlian dalam upaya mengatasi dan pengurangan risiko bencana, mulai dari keilmuan sosial menyangkut kelembagaan, organisasi, pemberdayaan keluarga dan masyarakat, sampai di bidang teknik dan ahli dinamika model dan analisis system ( Depkes RI, 2007).

2.1.3 Bencana Gempa dan Tsunami di Aceh

Istilah gempa bumi sesungguhnya bermacam-macam tergantung dari penyebabnya, misalnya gempa vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan. Gempa vulkanik disebabkan oleh desakan magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di pengunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar dam (penahan air) dikarenakan fluktuasi air dam (penahan air) dan gempa buatan adalah gempa yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari bahan mineral. Sedangkan gempa yang disebabkan oleh tabrakan/ tumbukan antar lempeng. Skala gempa tektonik jauh lebih besar di bandingkan dengan jenis gempa lainnya sehingga dampaknya lebih besar terhadap bangunan (Ella dan Usman, 2008).

Teori tentang gempa dikatakan bahwa lapisan kulit bumi dengan ketebalan 100 Km mempunyai temperatur relatif jauh lebih rendah di bandingkan dengan lapisan dalamnya (mantel dan inti bumi) sehingga terjadi aliran konveksi dimana massa dengan temperatur tinggi mengalir kedaerah temperatur rendah atau sebaliknya. Teori aliran konveksi ini sudah lama berkembang untuk menerangkan


(37)

pergeseran lempeng tektonik yang menjadi penyebab utama terjadinya gempa bumi tektonik atau lebih dikenal dengan gempa bumi (Ella dan Usman, 2008).

Teori yang terbaru menerangkan bahwa gempa tektonik berasal dari dekade 1960-an. Menurut teori ini kerak bumi terdiri dari 14 lempeng tektonik besar dan puluhan lempeng kecil yang selalu bergerak. Lempengan ini terus bergerak karena bagian dalam bumi bentuknya adalah cairan pekat. Cairan-cairan tersebut selalu mengalir, walaupun rata-rata pergerakannya hanya beberapa sentimeter pertahun (Ella dan Usman, 2008).

Menurut Ella dan Usman (2008), bentuk lempengan yang tidak rata sering terjadi gesekan dalam pergerakan ini. Energi yang disebabkan oleh gesekan ini sebagian besar lepas dalam bentuk panas ke dalam bumi dan sebagian kecil saja yang terasa oleh kita sebagai goncangan atau di kenal sebagai energi seismik. Selain terjadi pergeseran lempeng bisa juga terjadi perekahan di dalam lempeng itu sendiri. Jika ada gaya yang bekerja cukup besar, maka lempeng kerak bumi akan retak dan mengakibatkan goncangan. Goncangan tersebut akan menyebabkan timbulnya patahan pada permukaan bumi.

Secara umum terdapat tiga tipe patahan, yaitu patahan normal, patahan balik dan patahan mendatar. Jika kekuatan gempa saling berlawanan arah maka akan terjadi saling tarik menarik sehingga menimbulkan patahan normal yang saling menjauh dan terjadi bidang naik turun, namun jika kekuatan gempa searah maka akan terjadi tumbukan sehingga menimbulkan patahan balik ada kedua bidang akan naik


(38)

turun, sedangkan jika arah kekuatan gempa bergeser ke kiri atau ke kanan maka patahan terjadi secara mendatar (Ella dan Usman, 2008).

Gempa bumi atau letusan gunung berapi yang terjadi di bawah laut mengakibatkan terjadinya kerak bumi keatas dan kebawah dan kemudian menyebabkan dasar laut naik dan turun secara tiba-tiba. Pergerakan naik dan turun dasar laut ini seterusnya menggerakkan air laut, menciptakan pergerakan gelombang yang kuat dan ketika gelombang ini sampai di pantai atau daratan, kecepatannya melambat dan tumbuh menjadi tembok air yang tinggi (Ella dan Usman, 2008).

Menurut Ella dan Usman (2008), laut yang dalam ukuran gelombang tsunami agak rendah, gelombang tampak seperti ombak biasa, tingginya hanya sekitar satu meter dan lewat tanpa disadari oleh kebanyakan nelayan, namun ketika mencapai laut dangkal gelombang tsunami tumbuh hingga tiga puluh meter. Dalam laut yang gelombang tsunami dapat bergerak hingga 900 km/jam, tapi ketika mencapai laut dangkal dekat daratan gelombang tersebut melambat. Pada kedalaman 15 meter kecepatannya bisa menjadi 45 km/jam, kecepatan ini masih terlalu sukar bagi orang-orang di pantai untuk dapat lari menyelamatkan diri.

Gelombang tersebut mendorong ke depan dengan berat lautan di belakangnya, ketika itu rumah dan bangunan roboh, jalan hilang, kapal terlempar, jembatan putus, manusia dan hewan terhempas dan tertarik ke laut serta semua yang tidak tertanam kuat di dalam tanah akan tercabut oleh tsunami (Ella dan Usman, 2008).


(39)

Gempa dengan 9.1 skala richter dan menyebabkan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2004 merupakan salah satu bencana alam terbesar di dunia yang menimpa Indonesia. Setelah 45 menit terjadi gempa, gelombang tsunami menyapu bersih pesisir pantai NAD sepanjang 800 km hanya dalam beberapa menit. Gempa susulan yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2005 menambah jumlah korban, termasuk di Nias, Simeulue dan Aceh Bagian Selatan (LIPI- UNESCO/ISDR, 2006).

Berdasarkan laporan bersama BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi) dan mitra internasional (Desember, 2005), dinyatakan bahwa bencana tersebut telah menyebabkan 167.900 orang meninggal atau hilang, 500.000 orang kehilangan rumah di Aceh, 13.500 orang kehilangan rumah di Nias. Laporan Media Center Aceh menyebutkan bahwa bencana tersebut telah menyebabkan 192.000 orang mengungsi, 120.000 rumah rusak/hancur serta sebagian besar infrastruktur ekonomi dan sosial juga rusak. Bagi semua korban yang tertimpa bencana, peristiwa tersebut telah meninggalkan beragam trauma yang mendalam. Korban jiwa yang begitu besar secara langsung mempengaruhi ketersediaan SDM di Aceh, maupun kemampuan kelembagaan pemerintah dan non pemerintah untuk merekonstruksi, merehabilitasi dan me-recovery wilayah yang rusak dan masyarakat yang tingkat ekonominya rentan dan miskin (LIPI-UNESCO/ISDR, 2006).

Aceh dalam peta geologi termasuk wilayah yang rawan gempa, sehingga gempa dalam berbagai skala sering terjadi. Data seratus tahun terakhir menunjukkan


(40)

bahwa gempa yang menimbulkan bencana di Aceh terjadi pada tahun 1936 (9 orang meninggal), 1983 (100 orang luka-luka), 2004 (menimbulkan tsunami dan kurang lebih 230.000 orang meninggal). Hingga saat ini gempa skala kecil sering terjadi di NAD (Badan Arsip NAD, 2005).

Dalam seratus tahun terakhir, tsunami terjadi di Aceh sebanyak 2 kali (tahun 1907 dan 2004). Korban jiwa pada tsunami tahun 1907 mencapai 400 orang, sedangkan pada tahun 2004 mencapai kurang lebih 230.000 orang dengan kerusakan yang sangat parah pada berbagai infrastruktur dasar (Badan Arsip NAD, 2005).

Secara teoritis, tsunami lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan gempa. Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di pantai memungkinkan untuk dapat menganalisa karakteristik gempa. Informasi tersebut kemudian dapat segera disampaikan ke masyarakat sebelum gelombang tsunami menerjang pantai. Ide inilah yang mendasari didirikannya pusat system peringatan dini tsunami (Tsunami Warning System) dibeberapa Negara Pasifik (Hilman, 2007).

Persoalan di Indonesia adalah tenggang waktu tersebut hanya berkisar antara 10-50 menit saja, karena jarak antara pusat gempa dan garis pantai tidak lebih dari 200 km. Hal ini berbeda dengan di negara-negara pasifik yang tenggang waktunya dapat mencapai satu sampai tiga jam. Akibat terbatasnya waktu untuk menyampaikan informasi dan fasilitas komunikasi yang belum memadai, sangat mungkin terjadi informasi belum sampai sementara gelombang tsunami telah menyapu pantai (Hilman, 2007).


(41)

2.1.4 Pemahaman Masyarakat Tentang Bencana

Pemahaman masyarakat terutama terhadap karakter bencana merupakan jaminan investasi keselamatan hidup di masa depan, mengingat pengalaman sejarah peristiwa bencana lebih banyak menyisakan kepiluan dan penderitaan. Sekalipun peristiwa bencana di Indonesia merupakan kejadian yang selalu berulang, namun begitu mudahnya masyarakat melupakan dahsyatnya akibat yang ditimbulkan.

Hal ini terutama terdapat pada peristiwa bencana yang siklus kejadiannya cukup lama, sementara upaya untuk menyediakan media bagi pembelajaran bencana untuk masyarakat belum terencana dengan baik. Sehingga pada setiap kejadian bencana selalu timbul kepanikan dan tidak pernah siap. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah memasyarakatkan pendidikan kebencanaan sehingga mampu memberi jaminan investasi bagi keselamatan hidup manusia di masa depan (PSB-UGM, 2008).

Untuk dapat memahami suatu situasi ataupun kejadian apakah situasi tersebut membahayakan dirinya atau tidak, masyarakat membutuhkan pengetahuan khususnya dibidang bencana atau bahaya yang ditimbulkan akibat bencana. Terutama bagi keluarga yang memilih berdomisili di daerah rawan bencana, karena seharusnya masyarakat yang berdomisili di daerah yang rawan terhadap bencana perlu di tekankan bagaimana cara seharusnya mempersiapkan diri dan keluarganya untuk menghadapi bencana sebaik mungkin.


(42)

Karifan Lokal

2.2.1 Kepercayaan Tradisional

Masyarakat Aceh memiliki sejumlah kearifan lokal dalam penanggulangan bencana. Diantaranya, masyarakat Aceh memiliki institusi adat yang bertangung jawab mengelola lingkungan dan memastikan tidak ada pengrusakan yang bisa menimbulkan bencana, seperti institusi adat: Ulee Seneuboek, Ketuha Uteun yang menjaga pengelolaan hutan dalam pemukiman mereka dan Panglima Laot yang bertanggung jawab dalam mengatur penggunaan sumberdaya laut dan menjaga kelestarian alam laut ( Aswar, 2009).

Beberapa orang yang dituakan di desa mampu memprediksi lebih akurat tentang waktu terjadinya banjir, sehingga musim cocok tanam disesuaikan untuk menghindari bersamaan dengan datangnya banjir. Pengetahuan ini belakangan semakin hilang di desa-desa, terutama pasca tsunami terjadi perubahan besar pada kondisi alam, sehingga ilmu tradisonal yang dimiliki oleh masyarakat di desa-desa di Aceh sudah sulit memperkirakan tanda-tanda alam ( Aswar, 2009).

Masyarakat Aceh memiliki memori kolektif tentang tsunami yang terjadi pada tahun 1907. Memori kolektif bahwa setiap gempa besar orang harus mencari bukit sudah direkam dalam hadih maja lokal di Simeulue, sehingga memori ini mudah diturunkan kepada generasi berikutnya yang tidak mengalami tsunami tahun 1907. Pengetahuan inilah yang telah membantu masyarakat Aceh bisa menyelamatkan diri dari tsunami 2004 ( Aswar, 2009).


(43)

Dilihat dari aspek pranata sosial, masyarakat Aceh mempunyai kelembagaan pranata sosial yang cukup lengkap, dan demokrasi yang sangat kuat. Lembaga tersebut mempunyai struktur yang diisi oleh berbagai cerdik pandai, yaitu ahli agama/ ulama, ahli pemerintahan/ mukim, ahli ekonomi (hariya) dan tokoh adat. Dari bawah hingga keatas mempunyai saluran yang saling berkoordinasi satu sama lainnya sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara musyawarah, demokratis, cepat dan tepat ( Aswar, 2009).

Fungsi yang dijalankan oleh kelembagaan pranata sosial masyarakat tidak hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan, tetapi juga menyangkut kegiatan ekonomi masyarakat. Hingga saat ini, kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin-pemimpin pranata sosial seperti; tokoh ulama, mukim/ pemerintahan, tokoh ekonomi dan tokoh adat masih sangat kuat ( Aswar, 2009).

2.2.2 Berguru Kepada Alam

Nenek moyang orang Aceh menetapkan suatu kearifan lokal selalu belajar dari alam, sebagai Contoh kearifan lokal juga telah mampu menjadi peringatan dini yang efektif dan terbukti menyelamatkan banyak orang dari tsunami sebagaimana kearifan lokal yang dikembangkan masyarakat Pulau Simelue. Sehingga ketika terjadi megatsunami pada 2004, ribuan manusia terselamatkan. Mereka belajar dari kejadian tsunami yang terjadi beberapa ratusan tahun silam dan mengembangkannya menjadi sistem peringatan dini. Teriakan smong yang berarti air laut surut dan segera


(44)

lari menuju ke bukit merupakan kearifan lokal yang melekat di hati setiap penduduk Pulau Simelue (Yusuf, 2007).

Sebagai manusia yang bijak tentu kita dapat memaknai segala bencana yang terjadi di alam ini, yang memiliki pertanda dan maksud yang dapat kita tangkap, tidak saja melalui kecerdasan intelegensi (IQ) tetapi juga melalui kecerdasan spiritual (SQ) kita. Kearifan lokal dan mitos yang berkaitan dengan gempa tidak saja muncul pada saat sekarang. Hal tersebut telah ada sejak dulu dan setiap wilayah yang pernah mengalami gempa akan menjaga kelestarian mitos tersebut secara turun temurun (Yusuf, 2007).

Peristiwa smong tahun 1907 diceritakan secara turun-temurun antar genarasi dalam masyarakat Simeulue. Bukan hanya cerita tentang kedahsyatan smong dan akibat yang ditimbulkannya, tetapi juga mengenai gejala-gejala alam yang mendahuluinya. Sehingga generasi yang hidup pada masa sekarang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai gejala-gejala alam yang berpotensi mendatangkan smong. Kisah smong diceritakan oleh nenek atau ibu kepada cucu dan anak-anak pada waktu senggang atau menjelang tidur. Cerita lisan yang dikisahkan secara turun-temurun itu disebut terma nafi-nafi (Abubakar, 2009).

Melalui nafi-nafi, pengetahuan tentang tanda-tanda smong tetap lestari dan tersebar luas di Simeulue dan nyaris meliputi semua tingkatan usia. Karena nafi-nafi, saat tsunami membunuh ratusan ribu penduduk Aceh tahun 2004, masyarakat Pulau Simeulue yang dikelilingi lautan hanya mendapati tujuh orang penduduknya


(45)

meninggal dunia. Ketika gempa dahsyat menggoyang Simeulue pada Minggu kelabu itu, laki-laki dewasa di sana segera berlari ke pinggir laut. Begitu melihat air laut surut, mereka membawa anggota keluarganya ke gunung atau perbukitan, sehingga terhindar dari amukan tsunami (Abubakar, 2009).

Keberhasilan masyarakat Simeulue dalam menghadapi bencana smong/tsunami kiranya dapat menjadi pelajaran penting bagi kita untuk mempelajari kembali dan merevitalisasi kearifan-kearifan budaya lokal (local wisdom). Kearifan budaya lokal tersebut secara kontinu dan simultan perlu dilestarikan, jika tidak maka secara gradual akan terlupakan dan hilang. Upaya melestarikan pengetahuan tentang bencana alam melalui nafi-nafi, sayangnya tidak tersosialisasi. Terma smong sendiri hanya dimiliki oleh masyarakat Simeulue, tanpa tersosialisasi kepada masyarakat di luar pulau itu. Seandainya seluruh masyarakat yang berdomisili di Aceh memiliki pengetahuan itu, tentu saja korban manusia yang jatuh dapat diminimalisir secara drastis. Begitupun tentang terma yang digunakan, tentu bencana dahsyat pada 26 Desember 2004 itu akan dinamai dengan smong, bukan tsunami (Abubakar, 2009)

Selain yang telah di sebutkan diatas, masyarakat Aceh juga memiliki kearifan lokal dalam menghadapi bencana yaitu pada arsitektur bangunan Rumoh Aceh. Sebagai asset budaya arsitektur rumoh Aceh masih harus tetap dipelihara dan dipertahankan, karena disamping identitas budaya suku bangsa, juga ada sisi positifnya didalamnya yaitu mampu mengantisipasi terhadap bencana seperti


(46)

kebakaran, angin topan, banjir dan tsunami serta bencana gempa (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).

Konsep Dasar Rumah 2.3.1 Defenisi Rumah

Rumah adalah bangunan yang di jadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu. Rumah bisa menjadi tempat tinggal baik manusia maupun hewan. Tempat tinggal khusus bagi hewan ada yang dinamakan sangkar, sarang atau kandang. Sedangkan bagi manusia rumah mengacu pada konsep–konsep sosial kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, tempat bertumbuh (berkembang biak), makan, tidur dan beraktivitas (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).

Sebagai bangunan rumah berbentuk ruangan yang dibatasi oleh dinding dan atap, biasanya memiliki jalan masuk berupaa pintu, bisa berjendela ataupun tidak. Lantainya bisa berupa tanah, ubin, bambu, keramik ataupun bahan lainnya. Rumah modern biasanya lengkap memiliki unsur-unsur seperti jendela, pintu, dinding, atap dan lantai. Bagian dalam rumah terbagi-bagi menjadi beberapa kamar yang berfungsi spesifik seperti kamar tidur, kamar mandi, WC, ruang makan, ruang keluarga, ruang tamu, garasi, gudang, teras dan pekarangan (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).

Dalam kegiatan sehari-hari, orang berada di luar rumah untuk bekerja, bersekolah atau melakukan aktivitas lain, tetapi paling sedikit rumah berfungsi sebagai tempat untuk tidur bagi keluarga ataupun perorangan. Selebihnya rumah juga


(47)

digunakan sebgai tempat berktivitas antara keluarga atau teman baik didalam maupun di luar rumah (pekarangan) (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).

Menurut Entjang (2000), salah satu fungsi rumah sehat yang di ajukan oleh Winslow adalah harus memenuhi kebutuhan psikologis. Keadaan rumah dan sekitarnya serta cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan (aesthetis) sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat, adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut.

Bagi setiap anggota keluarga yang terutama yang mendekati dewasa harus mempunyai ruangan sendiri-sendiri sehingga privacynya tidak terganggu. Rumah sehat juga harus mempunyai ruangan untuk menjalankan kehidupan keluarga di mana semua anggota keluarga dapat berkumpul, juga harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat (ruang tamu), dan harus dapat menghindari terjadinya kecelakaan / aman (Entjang, 2000).

Fungsi rumah yang dapat melindungi/ menghindari terjadinya kecelakaan/ aman dan terhindar dari bahaya atau bencana diperlukan kontruksi bangunan rumah dan bahan-bahan bangunan yang harus kuat sehingga tidak mudah ambruk dan di usahakan tidak mudah terbakar. Untuk mengantisipasi hal tersebut di perlukan kontruksi rumah yang tahan terhadap gempa, tahan terhadap terpaan angin, terhindar dari banjir dan dapat mengantisipasi apabila terjadi kecelakaan.


(48)

Salah satu rumah yang dirancang oleh riset dan tehnologi (RISTEK), untuk keamanan penghuninya di daerah yang rawan terhadap gempa yaitu konsep rumah tahan gempa. Konsep ini pada dasarnya adalah upaya untuk membuat seluruh elemen rumah menjadi satu kesatuan yang utuh, yang tidak lepas/ runtuh akibat gempa. Penerapan konsep tahan gempa antara lain dengan cara membuat sambungan yang cukup kuat di antara berbagai elemen , serta pemilihan material dan pelaksanaan yang tepat. Konsep rumah contoh yang di kembangkan Kantor Menteri Negara Riset dan Tekhnologi (KMNRT) tidak hanya mengacu pada konsep desain tahan gempa saja, akan tetapi mencakup konsep pemanfaatan material setempat, budaya masyarakat dalam membangun rumah, serta aspek kemudahan pelaksanaan (Ruswan, 2008).

2.3.2 Rumoh Aceh Sebagai Kearifan Lokal

Rumoh Aceh adalah rumah tradisional masyarakat Aceh yang digunakan sebagai tempat tinggal orang Aceh, pada umumnya rumoh Aceh dapat di bagi dalam tiga jenis yaitu: rumoh Aceh, rumoh santeut dan rumoh jambo atau biasanya di sebut dengan jambo. Rumoh santeut adalah bentuk lain dari rumoh Aceh dengan ketinggian permukaan tanah antara 120-150 cm. Rumoh santeut terdiri dari beberapa ruang. Perbedaan khas dengan rumoh Aceh di samping lebih rendah adalah lantainya rata (santeut). Rumah ini mulai berkembang sejak akhir abad ke 19 atau awal abad ke 20.

Rumoh santeut ini menjadi satu tren pembangunan rumah oleh orang-orang pada masa itu. Rumoh santeut memiliki kemiripan dengan rumah melayu yang terdapat di daerah Langkat, Deli dan Sumatra Timur. Rumoh santeut juga mempunyai


(49)

kemiripan dengan rumah melayu yang terdapat disemenanjung Malaysia, hanya saja postur rumahnya relative lebih tinggi di banding dengan rumoh santeuet di Aceh (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).

Bentuk ketiga rumah Aceh adalah yang disebut dengan jambo (gubuk). Rumah bentuk ini cukup sederhana karena dibangun dengan tiang-tiang dan dinding-dinding yang sangat sederhana. Dalamnya ada yang berkamar ada yang tidak. Rumah ini biasanya milik orang-orang miskin yang kurang mampu, orang yang baru berkeluarga yang belum mampu membuat rumah yang besar dan biasanya juga merupakan rumah kedua dari orang-orang yang berada di kebun guna dihuni oleh penjaganya (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).

Rumoh Aceh berkembang berdasarkan konsep kehidupan masyarakat yaitu suci. Konsep suci menyebabkan rumoh Aceh berdiri diatas panggung. Dari segi agama bentuk panggung ini dapat menghindari najis seperti anjing, bila kotor mudah di cuci. Peletakan ruang kotor seperti toilet atau ruang basah seperti sumur di buat jauh dari rumah (Widosari, 2010).

Konsep selanjutnya Widosari, (2010) menjelaskan penyesuaian terhadap tata cara beribadah seperti sholat. Sholat yang menghadap ke kiblat menyebabkan peletakan rumoh Aceh memanjang menghadap kiblat (ke barat) sehingga rumoh Aceh dapat menampung banyak orang sholat. Peletakan tangga tidak boleh di depan orang sholat sehingga tangga di tempatkan di ujung timur atau di bawah kolong rumah. Reunyeun (tangga) berfungsi sebagai titik batas yang boleh di datangi tamu selain


(50)

anggota keluarga terutama laki-laki yang bukan keluarga dekat. Konsep ukhuwah atau hubungan antara masyarakat yang dekat dan terbuka menyebabkan rumoh Aceh yang relatif rapat dan tidak mempunyai pagar yang permanen.

Lebih lanjut Widosari, (2010) menjelaskan rumoh Aceh merupakan hasil respons penghuni terhadap geografis sehingga memiliki tipe berbentuk panggung yang memberikan kenyamanan thermal kepada penghuninya. Tipe rumah ini juga membuat pandangan tidak terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta ketertiban kampung, sehingga dapat di manfaatkan sebagai sistem kontrol yang praktis untuk menjamin keamanan, ketertiban dan keselamatan penghuninya dari bahaya seperti; banjir, binatang buas, gempa, tsunami, kebakaran, dan orang asing.

Struktur bangunan rumoh Aceh mempunyai kunci kekokohan dan keelastisan yaitu pada hubungan antara struktur utama yang saling mengunci, hanya dengan pasak dan bajoe tanpa paku, serta membentuk kotak tiga dimensional yang utuh (rigid), keelastisan ini menyebabkan rumah tidak mudah patah, namun hanya terombang-ambing ataupun bangunan terangkat keatas yang kemudian mampu jatuh ketempat semula, walaupun bergeser hanya beberapa centimeter. Sebuah pondasi batu utuh yang hanya ditanam 5 cm juga memperlentur pergerakan keseluruhan bangunan sesuai dengan pergerakan tanah (Widosari,2010).

Akhir-akhir ini ada kecendrungan masyarakat Aceh untuk meninggalkan arsitektur tradisionalnya karena dinilai kurang praktis. Ditinjau dari aspek budaya, hal


(51)

tersebut disatu sisi ada kerugiannya. Budaya juga pada dasarnya selalu berevolusi dan berubah mencari bentuk baru (akulturasi) bukan hanya kearah yang negatif tetapi juga mempunyai sisi positifnya yaitu dalam mencari suatu kepraktisan dalam memberi kemudahan kepada pemakainya yaitu masyarakat itu sendiri, misalnya masyarakat pedesaan sekarang sudah banyak yang memiliki kenderaan bermesin seperti sepeda motor. Menyimpan sepeda motor di atas rumoh Aceh sangat sulit, maka yang praktis adalah rumah di atas tanah atau rumah gedung (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).

Selain kurang praktis, sulitnya mendapatkan tukang dan material bangunan serta upacara ritual pada saat pendirian rumah juga merupakan kendala di masyarakat untuk membangun rumoh Aceh. Upacara ritual yang begitu banyak saat mendirikan rumoh Aceh di mulai dari pemotongan kayu, penentuan tukang, mendirikan rumah dan penghuninya semua di tepung tawar (peuesijuek) yang disertai penyajian pulut kuning. Ritual ini juga diiringi pembacaan doa keselamatan, keberkahan hidup dan kemudahan rezeki.

Ritual lain yang dilakukan pada saat mendirikan rumah yaitu menanam sikurah yaitu sebuah periuk tanah yang berukuran sedang didalamnya di masukkan telur ayam, daun seunijuek, keumenyan putih, bulu ijuk, sedikit emas (0,5 gram) dan jarum. Periuk di bungkus dengan kain putih, lewat tengah malam di tanam di bawah tiang utama dengan ke dalaman sehasta, lalu empat gumpal tanah diambil kemudian


(52)

dilemparkan ke empat jurusan mata angin sambil di bacakan doa untuk keselamatan, kemudian baru ditanam (Dinas Perkotaan dan Pemukiman, 2006).

Persepsi

2.4.1 Pengertian Persepsi

Menurut Rakhmat (2007), persepsi adalah pengalaman tentang peristiwa atau hubungan-hubungan yang di peroleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.

Persepsi adalah suatu proses tentang petunjuk indrawi (sensory) dan pengalaman masa lampau yang relevan di organisasikan untuk memberikan kepada kita gambaran yang terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu, sedangkan Atkinson dan Hilgard dalam Rakhmad (2007), mengemukakan persepsi itu adalah proses dimana kita menafsirkan dan mengorganisasikan pola stimulus dalam lingkungan. Gibson dan Donely menjelaskan persepsi adalah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu (Gibson dan Donely, 1996).

Persepsi berhubungan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang kejadian pada saat tertentu, maka persepsi terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indra. Persepsi juga di artikan sebagai proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera (Caplin, 2006).

Persepsi merupakan makna hasil pengamatan yang dilakukan oleh individu terhadap suatu objek yang mendefinisikan pengenalan akan suatu hal/objek melalui


(53)

penginderaan yang disatukan dan dikoordinasikan dalam saraf yang lebih tinggi (Sarwono, 1992).

2.4.2 Faktor-faktor Pembentukan Persepsi

Menurut Rakhmad (2007), Faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman. Lebih lanjut Rakhmad juga menjelaskan yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respons terhadap stimuli. Persepsi juga meliputi kognisi (pengetahuan), yang mencakup penafsiran objek, tanda dan orang dari sudut pengalaman orang yang bersangkutan (Gibson,1996).

Robbins (2005) menyatakan terdapat tiga faktor yang mempengaruhi persepsi, yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu memandang kepeda objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, maka penafsiran tersebut akan sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi itu. Karakteristik pribadi yang mempengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian, motif, kebutuhan atau minat, pengalaman dan harapan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi terdiri atas dua faktor, yaitu faktor eksternal atau dari luar yakni concreteness yaitu gagasan yang abstrak yang sulit dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, Velocity atau percepatan, misalnya pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimuli munculnya persepsi lebih


(54)

efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang dikondisikan. Sedangkan faktor internal adalah motivasi yaitu dorongan untuk merespons sesuatu, interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan dari pada yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir asumtions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain. Jika digambarkan polanya, maka terlihat seperti pada Gambar 2.2 di bawah ini:

Gambar 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi (Robbins, 2005) Situasi

a. Waktu

b. Keadaan tempat

Pelaku persepsi

a. Sikap b. Motif

c. Kebutuhan atau minat d. Pengalaman

e. Pengharapan

PERSEPSI

Target yang dipersepsikan

a. Hal baru b. Gerakan c. Bunyi d. Ukuran

e. Latar belakang f. Kedekatan


(55)

2.4.3 Pengetahuan

Pengetahuan adalah segala apa yang diketahui berkenaan dengan suatu hal/objek (Azwar, 2005). Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang mengadakan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2002).

Menurut Bloom yang di jabarkan oleh Notoatmodjo (2002), pengetahuan mencakup enam tingkatan :

a) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.

b) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.

c) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.


(56)

d) Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menjabarkan materi yang ada kaitannya satu sama lain.

e) Sintesis (Syntesis)

Menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. f) Evaluation (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.4.4 Pengalaman

Pengalaman adalah segala sesuatu yang dirasakan atau dialami seseorang pada masa lalu terhadap suatu hal/objek (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005)

Masa lalu membawa pengaruh yang besar sekali terhadap masa yang akan datang. Menurut Freud dalam Setiabudi (2010), mengatakan secara ekstrim setiap masalah di sebabkan oleh pengalaman, baik pengalaman positif maupun negatif, yang seolah-olah seperti menjadi batu penjuru dan penentu kehidupan di masa yang akan datang.

Setiap pengalaman yang di tekan di bawah alam sadar biasanya akan muncul secara sadar sebagai mekanisme pertahanan diri, seperti; proyeksi, rasionalisasi, dan reaksi formasi (Jung, dalam Setiabudi, 2010). Masa lalu yang pahit jangan di


(57)

tutup-tutupi karena secara psikologis maupun rohani akan mempengaruhi pertumbuhan fisik yang tidak sehat dan tidak normal (Setia Budi, 2010).

2.4.5 Kebutuhan

Menurut Maslow dalam Luthans (2006), apabila suatu kebutuhan terpenuhi, maka kebutuhan itu tidak lagi merupakan motivator perilaku. Kebutuhan-kebutuhan dengan kekuatan tinggi yang telah terpenuhi di nyatakan seseorang sebagai kebutuhan ”satisfied” yaitu kebutuhan yang terpenuhi dalam kadar tertentu sehingga kebutuhan lain lebih potensial.

Kebutuhan adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia sehingga dapat mencapai kesejahteraan, bila ada di antara kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka manusia merasa tidak akan sejahtera atau kurang sejahtera. Kebutuhan juga merupakan suatu aspek psikologis yang menggerakkan makhluk hidup dalam aktivitas dan menjadi dasar atau alasan untuk berusaha (Caplin, 2006).

Menurut Luthans (2006), Maslow juga mengemukakan beberapa hal tentang perilaku manusia sebagai berikut:

a) Manusia merupakan makhluk yang serba berkeinginan (man is a wanting being), manusia senantiasa menginginkan sesuatu dan menginginkannya lebih banyak, tetapi apa yang diinginkannya tergantung pada apa yang sudah di miliki olehnya. Setelah salah satu dari keinginannya terpenuhi, barulah muncul keinginan yang lain. Keinginan-keinginan tersebut terus muncul mulai


(58)

dari lahir hingga manusia meninggal, maka pada umumnya kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak akan terpuaskan semuanya.

Kebutuhan yang sudah terpenuhi bukanlah suatu motivator perilaku, hanya kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhilah yang menjadi motivator sehingga timbullah kekuatan-kekuatan besar atas apa yang diinginkan seseorang.

b) Kebutuhan manusia diatur dalam suatu seri tingkatan suatu hirarkhi menurut pentingnya masing-masing kebutuhan, setelah kebutuhan yang mendasar terpenuhi, meningkatlah pada kebutuhan selanjutnya.

Maslow mengidentifikasi lima tingkatan dalam hirarkhi kebutuhan manusia (Luthans, 2006).

a. Kebutuhan fisiologis.Tingkatan paling dasar dalam hirarkhi ini umumnya berhubungan dengan kebutuhan primer yaitu Kebutuhan lapar, haus, tidur dan seks merupakan beberapa contoh. Menurut teori, sekali kebutuhan dasar terpuaskan, maka tidak lagi memotivasi. Misalnya orang yang kelaparan akan berjuang memperoleh makanan yang susah di dapat. Akan tetapi setelah dia mendapatkan makanan tersebut, orang itu tidak akan berjuang memperoleh yang lainnya lagi dan hanya akan termotivasi oleh tingkat kebutuhan yang lebih tinggi.

b. Kebutuhan keamanan. Tingkat kebutuhan kedua ini kurang lebih ekuivalen dengan kebutuhan keamanan. Maslow menekankan keamanan emosi dan


(59)

fisik. Keseluruhan organisme mungkin menjadi mekanisme yang mencari keamanan. Sama halnya dengan kebutuhan fisiologis, jika kebutuhan keamanan terpuaskan, mereka tidak akan memotivasi lagi.

c. Kebutuhan cinta. Tingkat kebutuhan yang ketiga ini berhubungan dengan kebutuhan afeksi dan afiliasi. Seperti Freud, Maslow sepertinya merasa bersalah karena pemilihan kata yang tidak tepat untuk mengidentifikasi tingkat kebutuhan ini. Penggunaan kata cinta memiliki konotasi negatif seperti seks yang sebenarnya merupakan kebutuhan fisiologis. Mungkin kata yang tepat untuk mendeskripsikan tingkat ini adalah memiliki (belongingness) atau sosial.

d. Kebutuhan penghargaan. Tingkat penghargaan mewakili kebutuhan manusia yang lebih tinggi. Kebutuhan akan kekuasaan, prestasi, dan status dapat dianggap sebagai bagian dari tingkat ini. Maslow secara cermat menunjukkan bahwa tingkat penghargaan diri dan penghargaan pada orang lain.

e. Kebutuhan aktualisasi diri. Tingkat ini adalah puncak semua kebutuhan manusia yang rendah, sedang, dan lebih tinggi. Orang yang telah memiliki aktualisasi diri adalah orang yang terpenuhi dan menyadari semua potensinya. Aktualisasi diri merupakan motivasi seseorang untuk mengubah persepsi diri ke dalam realita.


(60)

2.4.6 Harapan

Harapan adalah kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam tata cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut (Robbin, 1996).

Menurut Snyder dalam Luthans (2006), harapan yaitu keadaan motivasi positif yang didasarkan pada rasa keberhasilan (1) agensi (energi terarah pada tujuan) (2) jalan (rencana mencapai tujuan). Jadi dapat disimpulkan harapan yaitu mencakup kekuatan dan keinginan (willpower) dan kekuatan jalan atau way power (pathways), yaitu energi besar dan kuat yang luar biasa atau semacam daya gerak yang besar yang dapat menimbulkan hasil yang besar.

Vroom mengatakan bahwa harapan terbentuk oleh karena adanya kekuatan motivasional (valensi), yaitu kekuatan preferensi individu untuk memperoleh hasil akhir tertentu. agar valensi menjadi positif, orang harus lebih menyukai memperoleh hasil daripada tidak memperolehnya sama sekali. Valensi nol terjadi saat individu mengabaikan hasil, valensi akan negatif saat individu lebih suka tidak memperoleh hasil dari pada memperolehnya.

Dalam hal ini tokoh masyarakat Aceh akan mempunyai harapan agar adanya keinginan dari masyarakat dan pemerintah perubahan dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami yang kemungkinan akan terjadi lagi. Perubahan tersebut dilakukan baik secara moderen ataupun dengan mengandalkan kearifan lokal yang


(61)

ada untuk meminimalisir korban akibat bencana gempa dan tsunami karena mengingat daerah Aceh merupakan daerah yang mempunyai risiko terhadap bencana gempa dan tsunami.

Landasan Teoritis

Kerangkan teori pada penelitian ini adalah modifikasi dari beberapa landasan teori yang memberi kontribusi atas persepsi seseorang. Menurut Robbin (1996), persepsi dipengaruhi oleh karakteristik pribadi yaitu pengalaman individu.

Menurut Theory of Reasoned Action (Azjen, 1991), persepsi terbentuk di jembatani komponen sikap berperilaku, norma subyektif serta kontrol berperilaku sebagai penentu penting dari kebutuhan dan harapan. Marshal dalam Notoatmodjo (2005), menyatakan faktor yang memengaruhi persepsi adalah pengetahuan. Persepsi sebagai interpretasi, perhatian dan seleksi melalui indra penerima stimulus mengacu pada teori Robbin (1996). Perpaduan dari pendapat Azjen (1991), Marshal dalam Notoatmodjo (2005) digunakan sebagai landasan teori penelitian dapat di lihat pada skema berikut:


(62)

Gambar 2.3. Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned Behavior (Azjen,1991), Marshal dalam Notoatmodjo (2005), dan Robbin

(1996). Kerangka konsep

Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas, maka peneliti akan memfokuskan untuk mengkaji pengaruh variabel pengetahuan, pengalaman masa lalu, kebutuhan dan harapan terhadap persepsi tokoh masyarakat tentang romoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami dapat di lihat pada skema kerangka konsep di bawah ini:

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 2.4. Kerangka konsep

Sikap Berperilaku

Norma Subjektif

Kontrol Keperilakuan yang Disarankan

Pengetahuan

Pengalaman

Kebutuhan

Harapan

Persepsi Interpretasi Perhatain dan

Seleksi indra Penerima

Stimulus

Pengetahuan

Pengalaman

Kebutuhan

Harapan

Persepsi Tokoh Masyarakat

Tentang Rumoh Aceh


(63)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian explanatory research, bertujuan untuk menganalisis pengaruh pengetahuan, pengalaman masa lalu, kebutuhan dan harapan terhadap persepsi tokoh masyarakat tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di kota Banda Aceh dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

3.2 Lokasi dan Waktu penelitian 3.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di kota Banda Aceh dengan pertimbangan sebagai berikut: secara demografi letak kota Banda Aceh merupakan wilayah yang sangat potensial mengalami bencana karena berada pada pertemuan lempengan tektonik yaitu pada pertemuan lempengan Eurosia dan lempengan Australia di lepas pantai samudera Indonesia yang merupakan daerah yang rawan terhadap gempa dan tsunami. Banda Aceh juga merupakan ibu kota Provinsi Aceh yang sebahagian besar penduduk Aceh berdomisili di Banda Aceh.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 3 (tiga) bulan terhitung mulai bulan April sampai dengan Juni 2011.


(64)

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat (Tuha Peut) yang ada di setiap desa di Kota Banda Aceh. Tuha Peuet ini merupakan organisasi pemerintahan desa yang membawahi 4 (empat) bidang yang diduduki oleh cerdik pandai yaitu: tokoh adat, ulama, ekonomi dan penasehat pemerintahan/ mukim. Setiap desa yang ada di Kota Banda Aceh memiliki 1 (satu) orang tokoh masyarakat yang membidangi tokoh adat. Selanjutnya jumlah desa yang ada di Kota Banda Aceh sebanyak 90 (sembilan puluh) desa yang tersebar di 9 (sembilan) Kecamatan.

3.3.2Sampel

Pengambilan sampel dengan cara probability Proportionate to size (PPS)ini merupakan variasi dari pengambilan sampel bertingkat dengan pemilihan primary sampling unit (PSU) yang dilakukan secara proporsional (Budiarto, 2002).

Besar sampel dalam dalam penelitian ini yaitu sebanyak 90 (sembilan puluh) orang. Jumlah populasi dan sampel di setiap kecamatan dapat dilihat pada tabel berikut:


(65)

Tabel 3.1 Distribusi Sampel Berdasarkan Jumlah Desa

No Nama Kecamatan Jumlah Desa

1 Baiturrahman 10

2 Banda Raya 10

3 Jaya Baru 9

4 Kuta Alam 11

5 Kuta Raja 6

6 Lueng Bata 9

7 Meuraxa 16

8 Syiah Kuala 10

9 Ulee Kareng 9

Jumlah 90

Sumber:BPS Provinsi Aceh, 2010

1. Metode Pengumpulan Data 2. Data primer

Data ini diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden (Tuha peuet gampong) yang berpedoman pada kuesioner tertutup yang telah disiapkan terlebih dahulu, dengan penjelasan kuesioner secara lengkap sebagai acuan pewawancara dalam melakukan wawancara mendalam. Kuesioner telah dilakukan uji coba kepada orang yang memiliki karakteristik yang sama dengan responden penelitian, untuk mengetahui apakah kuesioner memenuhi validitas dan reliabilitas sebagai alat ukur penelitian.

Uji coba kuesioner dilakukan pada 2 kecamatan yang lain yang ada di kota luar kota Banda Aceh yang mempunyai karakteristik yang sama yaitu Kecamatan Baitussalam sebanyak 13 (tiga belas) desa yang berarti 13 (tiga belas) orang Tuha


(66)

peuet dan Kecamatan Lhok Nga sebanyak 17 (tujuh belas) desa yang berarti 17 (tujuh belas orang) Tuha peuet.

Uji dilakukan terhadap 30 (tiga puluh) orang responden (Tuha Peuet gampong) yang mempunyai Karakeristik yang hampir sama dengan sampel penelitian yaitu di Kecamatan Baitussalam dan Kecamatan Lhok Nga.

3. Data sekunder

Data yang diperoleh dari catatan dan laporan maupun dokumen dari Kantor Pemangku Adat Aceh, Kantor Walikota Banda Aceh, Kantor Kecamatan dan Kantor Kepala Desa dalam wilayah Kota Banda Aceh.

4. Uji Validitas dan Reliabilitas

Sebelum dilakukan pengumpulan data primer, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan reliabilitas, uji statistik yang akan dipergunakan agar layak digunakan sebagai alat pengumpulan data primer, yaitu untuk mengetahui atau mengukur sejauh mana kuesioner dapat dijadikan sebagai alat ukur yang mewakili variabel terikat dan variabel bebas pada suatu penelitian. Pertanyaan pada kueioner dapat dikatakan valid apabila nilai koefisien korelasi > 0,3 dan dikatakan reliabel apabila nilai alpha cronbach > 0,6 (Gozhali, 2005).

Kelayakan menggunakan instrumen yang akan dipakai dalam penelitian, maka peneliti melakukan uji coba kuesioner kepada 30 Tokoh Masyarakat adat (Tuha Peuet) 13 Responden di desa dalam kecamatan Baitussalam dan 17 Responden di


(1)

Berdasarkan hal tersebut di atas diperlukan peran dari pemerintah dan dinas terkait serta dewa perwakilan rakyat (DPR) untuk menyelamatkan kearifan lokal serta mengurangi dampak akibat bencana perlu merancang/ mendesain rumah yang dapat mengantisipasi bencana dengan mengadopsi desain rumoh Aceh.

5.4 Keterbatasan Penelitian

Adapun keterbatasan dalam melakukan penelitian ini adalah:

1 Waktu pengurusan administrasi (surat menyurat) peneliti membutuhkan waktu yang lama disebabkan pada saat itu bertepatan dengan persiapan ulang tahun kota Banda Aceh, sehingga camat sering tidak berada ditempat.

2. Dalam melakukan wawancara dan pengisian kuesioner dengan responden terkendala mengenai waktu, ketika peneliti mendatangi kantor kepala desa pada jam kerja, sebahagan besar responden tidak berada di kantor kepala desa karena sebahagian besar responden bekerja sebagai pegawai negeri, oleh karena itu peneliti mendatangi responden pada hari sabtu dan minggu ke rumah responden, sehingga peneliti membutuhkan waktu yang lama untuk pengisian kuesioner dan wawancara untuk memperoleh data.


(2)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan latar belakang penulisan, tujuan dan hipotesis penelitian maka sebagai kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Pengetahuan Tokoh Masyarakat tentang rumoh Aceh tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi Tokoh Masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Kota Banda Aceh, sehingga Tokoh Masyarakat tidak dapat dijadikan tumpuan untuk dapat melestarikan rumoh Aceh karena persepsi mereka terhadap rumoh Aceh kurang baik.

2. Pengalaman Tokoh Masyarakat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi Tokoh Masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Kota Banda Aceh, karena Tokoh Masyarakat beranggapan bahwa setelah ada musibah pasti ada kemudahan dan sebahagian besar Tokoh Masyarakat masih menempati rumah beton yang notabene merupakan rumah bantuan.

3. Kebutuhan Tokoh Masyarakat berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi Tokoh Masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Kota Banda Aceh karena Tokoh Masyarakat menyadari bahwa fungsi dari rumoh Aceh yang dibutuhkan masyarakat karena dapat memperkecil dampak akibat bencana gempa dan


(3)

tsunami, sedangkan model dari rumoh Aceh tidak diminati oleh Tokoh Masyarakat karena dianggap tidak praktis sehingga persepsi Tokoh Masyarakat menjadi kurang baik terhadap rumoh Aceh.

4. Harapan Tokoh Masyarakat tidak berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi Tokoh Masyarakat Aceh tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami di Kota Banda Aceh, karena romoh Aceh dianggap tidak praktis dan efisien.

6.2 Saran

1. Bagi Majelis Pemangku Adat Aceh agar dapat mensosialisasikan kembali kepada Tokoh Masyarakat untuk meningkatkan persepsi Tokoh Masyarakat mengenai manfaat dan fungsi rumoh Aceh baik secara langsung yaitu melalui tatap muka ataupun secara tidak langsung melalui media seperti membagikan buku saku. 2. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti bagaimana persepsi masyarakat

tentang rumoh Aceh sebagai kearifan lokal dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar,Bustami., 2009. Kearifan Lokal Masyarakat Simeulue, Antropologi Pada Fakultas Adab IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh.

Arikunto, S., 2002. Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.

Aswar, T.R.I., 2009. Pelestarian Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup dalam Adat dan Budaya Aceh, Majelis Pemangku Adat dan Budaya Aceh, Banda Aceh.

--- 2009. Orang Aceh Suka Berfalsafah Dalam Hidup dan Kehidupan, Majelis Pemangku Adat dan Budaya Provinsi Aceh, Banda Aceh.

--- Seluk Beluk Adat, Qanun, dan Reusam, Majelis Pemangku Adat dan Budaya Provinsi Aceh, Banda Aceh.

--- 2010. Sekitar Duek Pakat, Majelis Pemangku Adat dan Budaya Provinsi Aceh, Banda Aceh.

--- Bencana dan Kearifan Lokal Rumoh Aceh, Harian Serambi Indonesian, Terbit 10 – 11 – 2010, Banda Aceh.

Azjen, I. And Fishbein,M., 1980. Understanding Attitudes and Predicting Social Behavior, Prentice – Hall, Englewood Cliffs, Nj.

Azjen,I., 1991. The Theory of Planned Behavior, Organizational Behavior and Human Decision Processes, Prentice – Hall, Englewood Cliffs, Nj.

Azwar, Saifuddin., 2008. Penyusunan Skala Psikologi, Cetakan X, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Badan Arsip NAD, 2005. Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2005, Banda Aceh. BAKORNAS PB, 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasi di

Indonesian , Jakarta: Direktorat Mitigasi Lakhar.

Budiarto, E., 2002. Biostatistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, EGC, Jakarta.


(5)

Carter, W.N., 1991. Disaster Managemen: a Disaster Managemen Hand Book, Manila.

Caplin, J.P., 2006. Kamus Lengkap Psikologi Alih Bahasa Kartini Kartono, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Depkes RI, 2006. Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana, Depkes RI, Banda Aceh.

--- 2007. Pedoman Teknis Penanggulangan Bencana Krisis Kesehatan Akibat Bencana, Depkes RI, Jakarta.

Dinas Perkotaan dan Pemukiman Penduduk Provinsi NAD, 2003. Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, Banda Aceh.

Enjang,I., 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Ella., Usman., 2008. Mencerdasi Bencana, Jakarta.

Gibson et All,. 1996. Organisasi Perilaku Struktur dan Proses, Jilid I, Erlangga, Jakarta.

Hilman,Masnellyarti., 2007. Tata Ruang dan Perubahan Iklim, Deputi III MENLH Bidang Peningkatan Konversi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan-KLH, Jakarta.

LIPI-UNESCO/ISDR. 2006, Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantisipasi Bencana Gempa dan Tsunami, Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesian, Jakarta.

Luthans,F., 2006. Perilaku Organisasi, Andi Offset, Yogyakarta.

Meutia, Erna., 2003. Kajian Pengaruh Gempa terhadap Struktur Rumah Tradisional Aceh. Program Magister Arsitektur Program Pasca Sarjana Institut Tehnologi Bandung, Bandung.

Notoadmodjo,S., 2002. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Andi Offset, Yogyakarta.

--- 2005. Metodelogi Penelitian Kesehatan, PT. Asdi Mahasatya, Jakarta.


(6)

Nugroho, Wahjudi., 2010. Perawatan Lanjut Usia, EGC, Jakarta.

PSB-UGM, 2008. Reorientasi Pendidikan Kebencanaan dalam Rangka Pengurangan Risiko Bencana Digelar Seminar Nasional Reorientasi Pendidikan Kebencanaan, Yogyakarta.

Rakhmat, J., 2007. Psikologi Komunikasi, PT. Remaja Rosda Karya, Edisi Revisi, Bandung.

Riduwan., 2009. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitia, Cetakan Kelima, Alphabeta, Bandung.

Robbins, S., 1996. Perilaku Organisasi, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta --- 1996. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi, Erlangga, Jakarta. Ruswan,D., 2007. Konsep Rumah Tahan Gempa, diakses 5 Januari 2011;

Setiabudi, 2007. File Setiabudi Tinjauan Pustaka, diakses 5 Januari 2011; http//www.damandiri.or.id.

Tohari Adrin., 2008. Bencana Alam di Indonesia,Tim Kajian Likuifaksi dan Sumber Daya Air Pusat Penelitian (Puslit) Geoteknologi LIPI, Jakarta.

Yusuf, Indra., 2007. Mitos dan Kearifan Lokal, Jurusan Geografi UPI Bandung, Bandung.