3.7.2 Biaya produksi pertanian
Ibu M. Manurung menjelaskan seluruh pengeluarannya pada produksi pertanian. Ibu ini mengerjakan sebanyak 17 rante milik mertuanya, yang nantinya
akan diberikan uang sebagai sewa kepada mertuanya tersebut.
- Bibit padi yaitu untuk satu rante membutuhkan bibit 2 Kg Rp4.500kg = 2x17 x Rp 4.500 = Rp 153.000.
- Hand traktor 17 x Rp 40.000 = 680.000. - Pestisida atau obat-obatan = Rp 200.000.
- Biaya pekerja memupuk dan menyemprot Rp 250.000. - Biaya menanam bibit padi 17 x Rp 28.000 = Rp 476.000
- Biaya pekerja cabut bibit 3 orang x Rp 50.000 = Rp 150.000 - Pupuk pertama: 2 zak Urea
: Rp 220.000 1 zak SP
: Rp 135.000 1 zak NPK Phonska : Rp 150.000
Jumlah = Rp 505.000
- Pupuk kedua : 1 zak Urea
: Rp 110.000 2 NPK Phonska
: Rp 300.000 Jumlah
= Rp 410.000 Jumlah pupuk 1 dan 2 = Rp 505.000 + Rp 410.000
= Rp 915.000
Universitas Sumatera Utara
-Biaya panen tidak bisa ditentukan sebelumnya, karena pada setiap musimnya berbeda dan biasanya pengeluaran biaya untuk panen dihitung setelah panen
selesai. Tergantung pada cara apa yang digunakan petani untuk memanen sawahnya, sistem cabutan, kira rante atau dengan menggunakan odong-odong.
Jumlah seluruh biaya produksi pertanian yang dikeluarkan ibu M Manurung sebesar Rp 2.824.000, itu juga belum termasuk biaya panen.
Universitas Sumatera Utara
3.7.3 Biaya pendidikan anak
Sebagian masyarakat mengatakan pendidikan adalah modal utama untuk mencapai sesuatu kehidupan yang lebih baik. Mereka tahu untuk mengecam
pendidikan membutuhkan biaya yang besar, semakin tinggi jenjang pendidikan semakin besar pula biaya yang dibutuhkan. Atas dasar itu yang menjadikan petani
bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya. Dengan keadaan susah payah mereka berusaha menyekolahkan anak-
anaknya sampai ketingkat perguruan tinggi, bahkan mereka berani meminjam uang dengan bunga yang tinggi untuk biaya pendidikan anak-anak mereka. seperti
penuturan bapak H. Ambarita 40 tahun, bertani sudah 15 tahun, pekerjaan sampingan erbete
20
“Saya mempunyai lima orang anak, 3 putri dan 2 putra. Yang pertama perempuan sekolah di SMA
RK, uang sekolahnya Rp 120.000. Yang kedua laki- laki sekolah di SMA Nusantara, uang sekolahnya Rp
110.000. Ketiga perempuan sekolah SMP Wira-jaya, uang sekolahnya Rp 60.000. Keempat kelas 6 SD
dan beberapa bulan lagi masuk SMP. Terahir laki- laki kelas 2 SD, uang sekolahnya Rp 25.000 itu juga
karena mendapat bantuan dari pemerintah, sehingga sedikit dapat meringankan. Setiap bulan saya harus
mengeluarkan uang sekitar Rp 350.000, itu juga belum terhitung ongkos dan uang jajan mereka.
Terkadang saya meminjam uang kepada tetangga untuk membayar uang sekolah anak saya.
wawancara 27 Februari 2013.
Apabila hanya mengandalkan hasil panen untuk semua kebutuhan jelas tidak cukup, sehingga saya
mencari tambahan sebagai erbete ”
20
Erbete bahasa lokal adalah tukang ojeg
Universitas Sumatera Utara
Sama halnya dengan ibu M. Manurung, 53 tahun, petani. Hampir sepuluh tahun berjuang sendiri untuk menghidupi dan menyekolahkan keenam putra-putrinya.
Ayah mereka sudah lama dipanggil yang maha kuasa. Ibu ini mengatakan : “Kepergian suami saya adalah awal sakitnya
kehidupan yang saya rasakan. Tidak sedikit tanah yang saya jual demi menyekolahkan anak-anak saya.
Keadaan itupun mulai berubah sekitar 2 tahun yang lalu hingga sekarang.
Anak pertama saya laki-laki, semester terakhir Teknik Otomotif di Universitas Imanuel, uang
kuliahnya Rp 3.000.000 semester, dengan bekerja untuk menambah uang kuliahnya. Yang kedua laki-
laki di kuliahkan tulangnya di jakarta dan sekarang sudah bekerja di pelayaran. Yang ketiga laki-laki
hanya tamat SMA dan sekarang sudah bekerja. Yang keempat perempuan, kelas 2 SMP. Yang kelima
perempuan, kelas 2 SMP dan yang terahir kelas 4 SD. Sekarang sudah mulai terasa ringan, karena
tinggal si abangan kuliah dan membutuhkan uang yang lumayan banyak. Biaya anak saya yang masih
sekolah dibantu oleh abang-abangnya yang sudah bekerja. Sekarang saya hanya bisa berdoa untuk
anak-anak saya, semoga kami diberi kesehatan dan umur yang panjang. Saya yakin, suatu saat tanah
yang terjual dulu akan ditebus kembali oleh anak- anak saya”
Berbeda halnya dengan bapak Sucipto 45 tahun, petani sekaligus buruh upah tani. Memiliki 5 rante sawah. wawancara 26 Februari 2013. Berdasarkan
penuturannya : “Hasil dari setiap penen dan istri saya sebagai buruh
upah tani yang dibayar Rp 50.000 – Rp 60.000 per hari. Apabila buruh tani tidak diperlukan lagi, istri
saya membantu tetangga membuat emping dan mendapat upah Rp 50.000 per hari. Dari pendapatan
Universitas Sumatera Utara
inilah kami gunakan untuk memenuhi semua kebutuhan rumah-tangga termasuk biaya pendidikan
anak. Nyatanya mampu menyelesaikan sekolah anak kami, walaupun hanya tamat SMA dan SMP. Anak
saya 3, yang pertama perempuan, tamat SMA sudah bekerja sebagai buruh pabrik. Yang kedua laki-laki
hanya tamat SMP bekerja kuli bangunan. Terahir laki-laki kelas 3 SMP, biaya yang dibantu
kakaknya.”
Pandangan yang diberikan ibu M. Manurung dengan bapak Sucipto berbeda. Ibu Manurung bekerja keras untuk dapat menyekolahkan anak-anaknya.
Kekurangan biaya memaksa dia untuk menjual sebagian sawahnya. Tujuan utama dia melakukan itu adalah supaya nanti kelak anak-anaknya mendapat kehidupan
yang lebih baik dan tidak seperti ibunya sebagai petani. Sedangkan bapak Sucipto tidak perlu berusaha keras untuk menyekolahkan anaknya bahkan sampai
menginjak bangku perkuliahan. Biaya yang dipakai untuk melanjutkan ketingkat yang lebih tinggi sudah dapat menutupi kebutuhan lain, sehingga tidak perlu
melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi. Dia beranggapan bahwa tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena nantinya pasti menjadi buruh pabrik atau ibu rumah-
tangga bahkan pengangguran.
3.7.4 Biaya adat