Temuan-temuan utama REDD di Indonesia, kebijakan p e m e r i n t a h d a n k e r e n t a n a n

19 REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar Melengkapi analisisnya, Muhajir memaparkan sejumlah contoh. Misalnya pembuatan Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. P.682008 mengenai Demonstration Activities REDD tidak diketahui adanya perencanaan terlebih dahulu. Demikian pula, Dewan Nasional Perubahan Iklim DNPI yang dibentuk tahun 2008, dengan tugas mengkoordinasikan kementerianlembaga pemerintah terkait, tetapi tidak diberikan anggaran sampai tahun 2010. Situasi ini membuat kita patut mempertanyakan bagaimanakah kebijakan dan lembaga-lembaga ini mampu secara efektif melindungi kepentingan masyarakat potensial terkena dampak proyek REDD Keadaan yang hampir sama ditemukan pula di tingkat pemerintah daerah. Tanggapan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah serta Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Kapuas Hulu terhadap isu perubahan iklimREDD bukan tanggapan yang sudah direncanakan sebelumnya. Bukan pula diikuti dengan dengan pembuatan peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan alokasi anggaran yang memadai. Di Kalimantan Tengah, sebagaimana dijelaskan oleh Muhajir bab 4, pemerintah provinsi sebenarnya sudah memiliki “pendapat” terkait dengan responnya pada perkembangan implementasi REDD. Pendapat itu berupa bahwa tahun 2009 dipandang sebagai awal permulaan diterapkannya beberapa skema mitigasi perubahan iklim pada tingkatan lokal atau daerah, salah satunya adalah REDD. Untuk keperluan itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah akan mempersiapkan diri dan ikut terlibat dalam berbagai proses dan kegiatan untuk mitigasi perubahan iklim dan pemanasan global khususnya yang dikaitkan dengan deforestasi dan degradasi hutan tropis dan hutan rawa gambut. Hanya saja, belum ada infrastruktur kebijakan yang mewadahi atau memberikan penahapan agar tujuan itu tercapai. Pembuatan dua lembaga, Komisi Daerah REDD Komda REDD dan Dewan Daerah Perubahan Iklim DDPI memang bisa diapresiasi, namun tantangan selanjutnya adalah soal koordinasi serta alokasi anggaran harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum bisa bekerja dengan baik. Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah sudah memiliki kebijakan penguatan kelembagaan adat dan penguatan kepemilikan masyarakat adat atas tanah dan hak-hak atas tanah. Namun penelusuran secara berhati-hati pada kebijakan tersebut berpotensi mengaburkan tujuan penguatan posisi masyarakat adat itu, karena, salah satunya, terlalu kentalnya aroma birokrasi negara di kelembagaan adat. Sementara di Kalimantan Barat situasinya juga sama. Gawing dalam bab 5 menyatakan bahwa respon pemerintah berjalan seperti trial and error sehingga menyingkapkan adanya inkonsistensi kebijakan. Kabupaten Kapuas Hulu mendeklarasikan diri sebagai Kabupaten Konservasi, namun karena kurang disambut pihak lain membuat Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu berpindah haluan mengeluarkan izin pengusahaan hutan. Ketika REDD 20 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? diperkenalkan, dengan tangan terbuka Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu menerima. Namun, karena ketidakjelasan kontribusi REDD pada Penerimaan Asli Daerah PAD kabupaten membuat pemerintah kabupaten ini mulai terlihat enggan dengan REDD. Apa yang muncul dalam rangkuman temuan-temuan penelitian di atas menunjukkan pada kita bahwa pemerintah pusat dan daerah masih harus berjuang untuk menyiapkan kebijakan yang efektif menyambut REDD. Sekarang kita beralih pada level analisis yang terendah namun terpenting, yaitu masyarakat. Sebagaimana masalah penelitian yang kami sampaikan pada bagian sebelumya, sangat penting bagi kita untuk mengetahui derajat pengetahuan dan kesiapan masyarakat mengenai REDD ini. Untuk menjawab pertanyaan itulah hasil penelitian yang dituliskan Purwanto, Kartika dan Rahman bab 6 menorehkan urgensi yang tidak dapat dipisahkan dalam keseluruhan hasil studi ini. Mereka menemukan bahwa dampak perubahan iklim dirasakan oleh masyarakat di desa-desa penelitian, namun diskursus mengenai perubahan iklim masih beredar pada elit desa. Demikian pula informasi mengenai rencana pelaksanaan proyek REDD di sekitar lokasi mereka masih samar-samar diketahui masyarakat. Purwanto, Kartika dan Rahman memperingatkan bahwa proyek REDD akan kontraproduktif dalam membangun modal sosial dalam masyarakat, menyelesaikan konlik dan mengakui hak-hak mereka atas tanah dan hutan jika pemerintah dan pelaku proyek tidak belajar dari pengalaman intervensi pembangunan di masa silam. Intervensi pembangunan ternyata sama memberikan efek traumatiknya dengan intervensi konservasi pada masyarakat desa penelitian di Kalimantan Tengah. Mereka harus mengalihkan mata pencaharian mereka agar mengikuti intervensi konservasi yang dibawa oleh pemerintah dan lembaga konservasi orangutan. Sementara itu di Kalimantan Barat, para peneliti ini menemukan daya resiliensi sosial yang cukup tinggi dari masyarakat melalui lembaga-lembaga adat mereka. Meskipun demikian, informasi yang terbatas mengenai REDD tak pelak membuat masyarakat bertanya-tanya tentang kepastian hak mereka dan sistem normatif apa yang akan mengatur dan melindungi mereka seperti tampak dalam kutipan sebuah pernyataan tokoh masyarakat yang kami ambil dari bab 6 di bawah ini: “Dalam sosialisasi memang udah cukup transparan tetapi ada yang kurang jelas, seperti apa perjanjiannya nanti misalnya, hukum apa yang kita mau pakai, seandainya terjadi pelanggaran-pelanggaran. Secara proyek jelas, cuma belum ada perjanjian untuk menguatkan siapa yang bertanggung jawab jika ada masalah.” Proyek-proyek REDD yang akan dijalankan, oleh siapapun, dengan skema apapun, hendaknya mampu menjawab pertanyaan di atas. Atas dasar itulah kita dapat menilai seberapa jauh proyek-proyek ini mampu memberikan 21 REDD di Indonesia, kebijakan pemerintah dan kerentanan masyarakat: sebuah pengantar perlindungan pada masyarakat adatlokal yang ruang kehidupannya harus berbagi dengan proyek ini. Lebih dari itu, kesiapan internal dalam masyarakat juga menjadi prasyarat kesuksesan lain bagi calon-calon proyek REDD. Selama ini, lembaga pemerintahan desa merupakan benteng terakhir masyarakat agar dapat beradaptasi secara formal dengan intervensi pembangunan dan konservasi. Perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan penguatan lembaga- lembaga adat. Bagaimanakan kedua lembaga dengan sumber otoritas yang berbeda ini dapat bersinergi adalah persoalan terpentingnya. Selain itu, patut pula dipertanyakan bagaimana keduanya memberikan ruang bagi suara dari kaum muda dan perempuan.

1.6 Organisasi buku

Buku ini terdiri dari enam bab. Pada bab 2 kita akan menemukan sebuah deskripsi dan analisis mengenai pekembangan diskursus dan kebijakan perubahan iklim dan REDD di tingkat intenasional. Bab ini memberikan latar belakang untuk mengetahui situasi terkini isu-isu yang dirundingkan serta sudah sejauh mana perkembangan skema REDD. Tidak hanya REDD yang disinggung, mekanisme insentif lain yang bergerak dalam wilayah mitigasi perubahan iklim juga dibeberkan lengkap dengan potensi dampaknya bagi masyarakat. Bab 3 secara khusus mendiskusikan kebijakan pemerintah pusat menanggapi isu perubahan iklimREDD dengan mendasarkan diri pada empat aspek yakni perencanaan kebijakan, peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan alokasi anggaran. Bab 4 dan 5 membahas isu serupa namun yang terjadi di daerah, Bab 4 merupakan tulisan tentang situasi terkini dari kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Kabupaten Kapuas terkait respon mereka pada isu perubahan iklim dan tawaran insentif berupa REDD; sedangkan Bab 5 memperlihatkan kebijakan serupa di Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Kapuas Hulu. Setelah bagaimana situasi terkini perundingan di tingkat internasional dan respon kebijakan pemerintah di berbagai tingkatan diketahui, tulisan dalam bab 6 melengkapi kajian ini dengan memperlihatkan bagaimana masyarakat di tiga desa di Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah memberikan responnya, baik atas apa yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak lain terkait dengan isu perubahan iklim, tawaran skema REDD atau proyek-proyek pembangunan lain yang terkait. Bab ini sekaligus menunjukkan bahwa apa yang terjadi di tingkat internasionalnasional regional ternyata berpengaruh pada tatanan sosial masyarakat di tingkat tapak. 23 Perubahan Iklim, REDD dan perdebatan hak: Dari Bali sampai Kopenhagen

2. Pe r u b a h a n I k l i m , R E D D d a n perdebatan hak: Dari Bali sampai

Kopenhagen Bernadinus Steni

2.1 Pendahuluan

Pada 1898, ilmuwan Swedia, Svante Ahrrenius, mengingatkan bahwa emisi karbon dioksida CO 2 dapat menjadi penyebab pemanasan global. Tahun 1950, Saturday Evening Post, sebuah koran yang kemudian menjadi salah satu yang terbesar di Amerika, menampilkan artikel dengan pertanyaan “Is the world getting warmer?” Artikel itu meski mulai membuka pandora pemanasan global namun isu yang diangkat tidak mendalam bahkan cenderung seperti lelucon. Misalnya, akibat cuaca panas maka ikan terbang negeri tropis pun meluncur di pinggiran pantai New Jersey Amerika Henson, 2006:235. Namun, apapun yang dikemukakan oleh koran itu, telah menjadi titik awal informasi ke publik mengenai sesuatu telah terjadi pada suhu dan iklim global. Perdebatan ilmiah mengenai perubahan iklim baru mulai muncul pada tahun 1960-an, tapi banyak hal lain yang lebih menyita perhatian, seperti perang nuklir, sehingga sangat sedikit orang yang mengetahui isu ini. Ketika perdebatan ilmiah dimulai tahun 1970-an pun bukan pemanasan global yang menjadi perhatian pers tetapi justru pendinginan global cool down. Suhu bumi secara perlahan menurun selama kurang lebih tiga dekade. Sejumlah ahli yang tidak konvensional berspekulasi bahwa debu dan partikel sulfat yang menutupi matahari menjadi sebab pendinginan tersebut. Sebuah ilm dokumenter Inggris tahun 1974 memberi peringatan bahwa musim dingin yang brutal cukup memadai untuk menutup garis lintang utara dengan kilauan salju dan dalam musim panas berikutnya tidak bisa hilang sepenuhnya. Hal ini potensial untuk menjadi benua dengan lapisan kerak es dalam dekade mendatang. Dua studi yang dilakukan pada penghujung 1970-an dari National Aeronautics and Space Administration NASA mengkonirmasi bahwa konsentrasi CO 2 yang terus bertambah di udara akan menuju pada pemanasan yang signiikan. Uji coba model berbasis komputer kemudian 24 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? berkembang pesat. Model-model tersebut selanjutnya mengkonirmasi bahwa pemanasan sedang berjalan. Pada akhirnya, perubahan di atmosir sendiri secara empirik membenarkan simulasi komputer dan temuan-temuan ilmiah tersebut. Pada penghujung 1980, temperatur global telah mulai meningkat dan sejak itu tidak pernah menurun kecuali penurunan selama dua tahun setelah erupsi vulkanik Gunung Pinatubo tahun 1991 Henson, 2006:236. Situasi berubah ketika lubang pada lapisan ozon ditemukan di Antartika tahun 1985. Meskipun masih belum begitu jelas perbedaan antara pengurangan ozon dengan perubahan iklim, penemuan tersebut menjadi sebuah tanda mengenai kerentanan atmosir yang diperlihatkan dengan jelas oleh foto satelit. Perubahan iklim bergema pada musim panas 1988 di Amerika. Ketika itu kebakaran hutan skala luas terjadi di Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat, sebagian aliran sungai Mississippi kering dan bulan juni sebagai bulan terpanas di Washington membuat seorang ilmuwan NASA, James Hansen, bersaksi di depan Kongres Amerika dengan yakin 99 perubahan iklim sedang terjadi di depan mata dan nampaknya sebagian besar dipicu oleh kegiatan manusia Henson, 2006:236. Meskipun dibayangi oleh pandangan dari beberapa politisi konservatif yang meragukan perubahan iklim, kandidat presiden Amerika ketika itu, George Bush Sr, dalam kampanyenya mengatakan bahwa “siapa yang beranggapan bahwa kita tidak dapat melakukan sesuatu atas efek gas rumah kaca, maka dia harus melupakan ’Efek Gedung Putih”. Meskipun drama meteorologis 1988 secara khusus melanda Amerika Serikat, namun gelombang politiknya berkumandang jauh dan luas. Pada September tahun itu, Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher juga mengingatkan rakyat Inggris bahwa “kita tanpa sadar telah memulai eksperimen yang masif terhadap sistem planet”. Seorang pengajar di Royal School of Mines, Jeremy Leggett, dalam bukunya The Carbon War menulis “1998 merupakan tahun istimewa yang tidak pernah terjadi dalam sejarah” Henson, 2006:237-8. Di sisi lain, peta perundingan politik di tingkat global semakin memperlihatkan makin kuatnya aliansi negara-negara selatan untuk menekan negara maju agar keadilan global terwujud lewat pembagian sumber daya yang merata. Menguatnya diskusi hak atas pembangunan hingga menghadirkan Deklarasi PBB mengenai Hak atas Pembangunan tahun 1986 merupakan hasil dari kekuatan lobi politik negara berkembang, meskipun masih diwarnai dissenting opinion pendapat berbeda dari Amerika Serikat. Menurut Amartya Sen dan David Beetham, secara garis besar hak atas pembangunan mereleksikan dua hal. Pertama, sebagai tuntutan ke negara maju untuk menghargai hak negara berkembang membangun. Hak tersebut tidak boleh dihalangi. Kedua, sebagai pernyataan yang menegaskan kontrol penuh oleh negara berkembang dan juga masyarakat atas kesejahteraan dan sumber daya alam mereka sendiri Sen, Beetham, 2006:1-8, 79-95.