Konteks penelitian Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan

277 Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklimREDD: Studi di iga desa di Kalimantan Sejarah migrasi orang Kantuk juga ditandai dengan perubahan rumah tinggal, semula mendiami rumah panjang kemudian membentuk rumah tunggal sendiri-sendiri. Terlepas dari alasan perpindahan di paragrap sebelumnya, perubahan rumah tinggal merupakan implikasi dari program resettlement penduduk desa terpencil yang diusung oleh Dinas Sosial pada tahun 1970-an, dimana masyarakat diminta untuk tidak lagi membuat dan tinggal di rumah panjang dengan alasan rawan kebakaran dan tidak memenuhi standar kesehatan. Perubahan ini juga diikuti dengan hilangnya pranata rumah panjang termasuk struktur adat Tuai Rumah dan Kepala Kampung sampai dijalankannya struktur adat versi lama tahun 1970- 1989. Melihat sejarah perpindahannya, dapat dikatakan bahwa Desa Jelemuk berusia masih sangat muda, 39 tahun per 2010. Sampai saat ini, orang Kantuk merupakan salah satu populasi yang cukup besar tidak saja di desa ini, tetapi secara umum, orang Kantuk, dengan bahasa Kantuk sebagai bahasa pengantar, juga adalah salah satu suku besar di Kabupaten Kapuas Hulu. Selain di Desa Jelemuk, orang Kantuk juga tersebar di beberapa desa lain di pinggir Sungai Manday seperti Desa Tekalong, Desa Pala Pintas, Desa Keling Semulung, Desa Nanga Tuan, dan Desa Bunut Hulu. c Sistem kontrol sosial dan mekanisme penyelesaian konlik lokal Sistem peradilan adat masih dijalankan dan dipercaya oleh orang Kantuk bisa memberikan akses terhadap keadilan. Namun, karena sudah terjadi percampuran dengan struktur desa, kasus-kasus diselesaikan melalui mekanisme musyawarah di tingkat RT dan RW terlebih dahulu baru kemudian naik ke struktur adat di atasnya Kepala Kampung, dan jika tidak terselesaikan akan naik ke atasnya lagi Kepala komplek, demikian selanjutnya terus mengikuti tingkatan adat sampai tingkatan tertinggi untuk kasus-kasus yang ‘rumit’. Bagaimana menentukan bentuk pelanggaran dan sanksi atas pelanggaran yang terjadi, orang Kantuk menjadikan Buku Ketentuan Hukum Adat dan Budaya Suku Dayak Kantuk sebagai pegangan dalam pertimbangan dan keputusan suatu kasusperkara. Buku ini pertama kalinya dibuat pada tahun 2002 ketika terjadi konlik tapal batas antara Desa Jelemuk dan Nanga Tuan. Buku ini dirasakan perlu digagas penulisannya berdasarkan musyawarah desa untuk bisa menjadi pegangan dalam penyelesaian konlik. Untuk perkara ringan, orang Kantuk akan mengutamakan dan mengusahakan musyawarah dan penyelesaian kekeluargaan. Sedangkan untuk perkara yang ‘rumit’, dimana kedua belah pihak bersikukuh tidak bersalah, mekanisme penyelesaian paling akhir adalah dengan sumpah atau sabung ayam. Sumpah biasanya tidak disarankan oleh pengurus adat karena dianggap terlalu berat dan tidak berprikemanusiaan dimana yang 278 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? terbukti bersalah diyakini akan mati karena proses dalam sumpah melibatkan hal-hal yang mistis misal memanggil roh-roh dan seluruh binatang buas dan masih diyakini kebenarannya. Dalam 10 tahun terakhir, sistem sabung ayam merupakan mekanisme yang sering dijalankan oleh orang Kantuk karena dianggap penyelesaian ‘paling akhir’ yang lebih berperikemanusiaan dan memenuhi rasa keadilan dibandingkan sumpah dalam penyelesaian perkara yang rumit kondisi dimana kedua belah pihak yang bersengketa bertikai saling ngotot merasa benar. Sabung ayam biasanya melibatkan seluruh warga dalam gelar perkara dan tentunya beserta pengurus adat. Di samping mengatur penyelesaian perkara, buku hukum adat orang Kantuk juga memuat pengaturan-pengaturan terkait pengelolaan Sumber Daya Alam di wilayah mereka. Menyadari dinamika di masyarakat, orang Kantuk di Desa Jelemuk ini juga terus menerus melakukan peninjauan ulang atas Buku Ketentuan Hukum Adat dan Budaya mereka. Dan, sampai saat ini sudah dilakukan 4 kali revisi atas substansi yang dilakukan pada Mei 2006. Selain Buku Ketentuan Hukum Adat dan Budaya, orang Kantuk juga memberikan porsi khusus pengaturan wilayah danau dan sungai dalam Peraturan Pengelolaan Sungai, Danau dan Perairan Umum di Wilayah Desa Jelemuk. Peraturan ini dihasilkan melalui Musyawarah Desa yang dilakukan pada tahun 2009. Peraturan ini dirasakan perlu mengingat wilayah mereka memiliki banyak danau dan sungai kecil, yang tidak diatur dalam buku hukum adat mereka. Meskipun diungkapkan dengan jelas bahwa hukum adat masih menjadi alat kontrol sosial yang efektif untuk menciptakan keteraturan sosial namun fakta bahwa ada kekhawatiran masyarakat terkait penegakan hukum adat bisa dirasakan ketika berdiskusi dengan perangkat desa dan perangkat adat. Ini utamanya ketika mereka harus berhadapan dengan pihak yang menjadikan hukum negara sebagai alas klaim penguasaan atas suatu wilayah, misalnya perusahaan. Di samping itu, kekhawatiran bahwa hukum adat tidak dipercayai dan dihormati juga terdengar, terutama jika menyangkut pelanggaran yang melibatkan aktor dari fungsionaris adat itu sendiri. Menurut mereka lagi, hal-hal seperti ini bisa berdampak pada tidak diakuinya lagi kekuatan hukum adat jika harus berhadapan dengan kekuasaan yang lebih besar dan akibatnya adalah ketidakpercayaan orang Kantuk dalam menegakan hukum adat mereka sendiri. Dengan alasan ini pula, mekanisme penyelesaian konlik dengan menggunakan hukum negara juga mau tidak mau mereka tempuh meskipun mereka sadar mereka harus menembus birokrasi yang sangat tidak berpihak kepada mereka. d Tradisi dan adat istiadat orang Kantuk di Desa Jelemuk Orang Kantuk di Desa Jelemuk masih memegang teguh tradisi dan adat istiadat yang mereka sebut dengan istilah adat lama’ meski seluruh 279 Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklimREDD: Studi di iga desa di Kalimantan penduduk sudah memeluk agama Katolik dan Kristen Protestan agama mayoritas. Sehingga, ritual-ritual pegelak, pedera’ masih dijalankan, terutama oleh orang-orang tua yang masih kuat memegang adat lama’. Bahkan, gereja Katolik memungkinkan melakukan inkulturasi penggabungan praktik tradisi lama dan tradisi gereja dalam beberapa kondisi. Sedangkan gereja Protestan, jelas melarang praktik-praktik seperti ini dilakukan oleh jemaatnya karena dianggap men-Tuhankan benda. Secara umum, masyarakat Desa Jelemuk menggambarkan bahwa sejauh ini tidak pernah sedikitpun ada konlik yang berbau etnis dan agama, mereka masih bisa mempertahankan hidup toleransi tanpa adanya diskriminasi terhadap komunitas non-Kantuk dan non-Kristen meski jumlahnya sangat sedikit. Orang Kantuk juga relatif terbuka untuk menerima komunitas dari etnis dan agama lain sepanjang eksistensi tradisi dan adat istiadat mereka dihormati. Tidak banyak orang Kantuk di Desa Jelemuk yang bekerja di pemerintahan, kalaupun ada, paling sebatas guru honorer di Sekolah Dasar. Untuk satu Sekolah Dasar yang ada di Desa Jelemuk, hanya ada 4 orang Guru yang bertanggung jawab untuk 90-an orang murid. Dari empat orang Guru, 3 orang adalah Pegawai Negeri Sipil 2 orang adalah orang lokal dan 1 orang dari NTT, yakni kepala sekolah dan hanya satu orang guru bantu perempuan yang juga orang lokal di Desa Jelemuk. Sebagian besar anak-anak tamatan SD terpaksa dikirim oleh orang tua mereka ke Kecamatan Bika untuk melanjutkan ke SLTP dan SLTA karena Desa Jelemuk hanya memiliki satu saja Sekolah SD. Kondisi ini juga memaksa para orang tua untuk mulai membiasakan anak-anak mereka hidup mandiri dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengepel lantai, memasak, mencuci pakaian sendiri, demikian diungkapkan oleh seorang ibu yang anaknya sudah kelas enam SD saat penelitian ini sedang dilakukan. “… apalagi anak-anak yang masuk kelas enam harus mulai dibiasakan hidup mandiri, biar nanti kalau mereka tamat dan mau melanjutkan sekolah ke Bika atau Putussibau, kalau tidak masuk asrama paling dititip di rumah keluarga atau kerabat yang ada di sana. Jadi, memang harus diajari bekerja” 183 Ini juga dialami oleh beberapa anak muda yang terpaksa bermigrasi ke kota seperti Pontianak untuk melanjutkan kuliah, ke Putussibau untuk menjadi pekerja lepas dan paling jauh ke Malaysia tetapi hanya sebentar. Aktiitas kaum muda di desa ini bisa terlihat sore hari ketika mereka sedang bermain bola voli. Secara umum, orang Kantuk di Desa Jelemuk ini bekerja sebagai nelayan mencari ikan, pengusaha keramba ikan, peladang gilir balik dan pemburu. Sebagian penduduk juga bekerja di luar desa yakni di Danau Sentarum, Danau Beliung dan Kobul. Namun, sebagian besar memang bekerja sebagai petani. 183 Diungkapkan oleh Ibu Ida kepada penulis di Jelemuk pada tanggal 5 Mei 2010. 280 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? e Perekonomian Desa Hutan i Orang Kantuk dan Hutan Orang Kantuk di Desa Jelemuk hampir seluruhnya hidup dari berladang gilir-balik beumai, dan menoreh karet sebagai mata pencaharian utama. Di samping itu, mereka menanam tanaman buah dan sayur-mayur, berternak unggas ayam dan bebek dan hewan babi dan sapi serta mencari ikan di sungai dengan Pukat, Jala, dan Bubu serta berburu ke hutan. Beberapa orang membuka warung sembako terdapat tujuh warung sembako di Desa Jelemuk. Pada musim tertentu, mereka juga mengumpulkan buah ncerinak dan majau tengkawang. Pekerjaan ini sebagian besar dilakukan oleh ibu-ibu karena memang di beberapa keluarga melakukan pembagian kerja, kaum laki-laki pergi ke hutan untuk mengumpulkan buah hingga sore, sedangkan kaum perempuan membersihkan dan merebus buah sembari melakukan kegiatan-kegiatan domestik lainnya seperti memasak, mengasuh anak dan mencuci. Namun demikian, umumnya tidak ada pemisahan peran yang jelas antara laki-laki dan perempuan kaitannya dengan aktiitas ekonomi mereka, sangat tergantung kepada kesepakatan dalam setiap keluarga. Terkadang, bahkan anak-anak juga dilibatkan membantu pekerjaan membersihkan buah tengkawang di sela-sela waktu pulang sekolah atau libur dengan upah 1 bungkus indomie untuk 1 karung buah. Bagi orang Kantuk, berladang masih menjadi kegiatan ekonomi penting yang dilakukan turun temurun. Tahun 2009, penilaian yang dilakukan oleh lembaga KaBan Kami Anak Bangsa 184 menunjukan bahwa ada sekitar 576.000meter wilayah hutan yang sudah diladangi oleh orang Kantuk. Konsep berladang ini sendiri jauh melampui sekedar menjalankan tradisi dari nenek-moyang mereka. Diungkapkan, “ … kalau tidak beladang, bagaimana kami bisa hidup. Berladang saja hidup masih susah, apalagi tidak berladang. Ini cukup untuk menggambarkan tingkat ketergantugan mereka terhadap produksi padi beras sebagai salah satu bahan pokok yang memasok kebutuhan mereka terhadap karbohidrat dengan menanam berbagai jenis padi di ladang dan tanaman-tanaman sumber karbohidrat lainnya bisa menjadi pengganti nasi seperti singkong, ketela, talas, jawak sejenis gandum dan lingkau tanaman biji. Di samping itu, berladang juga memungkinkan mereka menyediakan sumber protein nabati dan vitamin dengan menanam kacang-kacangan dan sayur-mayur seperti mentimun, katup, periak, 184 Perkumpulan KaBan adalah sebuah organisasi lembaga swadaya masyarakat yang berkedudukan di Pontianak, yang dalam program REDD dari FFI mengerjakan survei awal mengenai kondisi masyarakat di desa-desa wilayah DA. Nama KaBan diambil dari singkatan Kami Anak Bangsa namun jika dilafalkan sebagai kaban dalam bahasa setempat berarti ‘kawan’. Lembaga ini sendiri fokus melakukan pengorganisasian rakyat dan good governance, budidaya madu dan karet.