Penataan ruang REDD di Indonesia REDD di Indonesia
149 Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestaion and Forest Degradaion REDD sebagai kasus
lahan yang kontestasinya sangat tinggi; apalagi dengan kondisi Indonesia yang kemajuan ekonominya masih mengandalkan
pada sumber daya alam. Tetapi pertanian juga berperan sebagai penyumbang emisi.
Jika dihubungkan dengan soal peningkatan emisi dari hutan, peran pertanian, terutama perkebunan memegang peranan
besar. Pembukaan lahan hutan, baik berizin maupun tidak berizin, untuk kepentingan perkebunan yang berjalan dengan
sangat masif telah menjadi faktor utama terjadinya deforestasi di Indonesia. Perhatian yang lebih besar untuk mengarahkan
sektor perkebunan agar tidak mempergunakan lahan hutan dalam ekspansi lahannya perlu dilakukan segera. Apalagi,
banyak pembukaan lahan hutan atau praktik perkebunan besar yang dikerjakan di lahan bergambut. Praktek ini sebenarnya
diperbolehkan dengan kriteria tertentu yang ditentukan oleh perundang-undangan mis. Permentan no. 14Permentan
PL.11022009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit
Agar deforestasi bisa dibatasi dan pemakaian lahan gambut untuk kepentingan perkebunan harus dibuat kebijakan yang
mempersulit kedua proses itu terjadi yang dalam kenyataannya justru lebih mudah, karena misalnya hanya dengan perizinan dari
bupati, perkebunan di lahan APL dapat dilangsungkan. Selain pendekatan lewat perubahan regulasi, mempersulit pemakaian
lahan hutan dan lahan bergambut buat perkebunan dapat juga dilakukan lewat pendekatan ekonomi, seperti pengenaan
disinsentif berupa pajak ekspor atau bentuk pajak lainnya.
Dalam soal lahan untuk pangan, pemerintah makin menyadari semakin sempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi
lahan pertanian yang masif yang terjadi di Jawa. Sebagai usaha untuk mencapai ketahanan pangan, pemerintah mencari lahan-
lahan subur yang berada di luar jawa. Kebanyakan lahan itu berada di kawasan hutan. Ini juga menjadi persoalan penting
di dalam pengendalian perubahan iklim.
Apalagi disadari bahwa iklim yang berubah-ubah seperti sekarang ini membuat posisi pertanian juga menjadi rentan
yang mendatangkan berbagai masalah seperti sulitnya memulai masa tanam, kerusakan saat panen, timbulnya hama tanaman
baru dan lebih kebal terhadap pestisida, dan masih banyak lagi. Masalah tersebut tentu akan menggangu ketahanan pangan yang
dengan tersengal dicobategakkan oleh pemerintah.
150 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
ii Kelembagaan Kelembagaan merupakan faktor kedua yang penting untuk melihat
bagaimana suatu kebijakan pemerintah direalisasikan di tingkat lapangan. Pembentukan kelembagaan merupakan isyarat penting bahwa
kebijakan itu bisa dijalankan. Dalam menganalisa kelembagaan ini ada beberapa isu yang bisa dikemukakan, seperti misalnya: 1 distribusi hak
dan kewajiban antar aktor; 2 koordinasi atau interaksi antar aktor dan 3 Institusilembaga ini menentukan siapa yang mempunyai akses ke
suatu sumber daya dan kekuasaan untuk membuat keputusan.
Pengertian kelembagaan ini hanya merujuk pada proses pembentukan lembaga dan bagaimana lembaga tersebut bekerja untuk mewujudkan
kebijakan pemerintah. Karenanya ia tidak merujuk pada pengertian “institutionalisasi” yang tidak hanya mencakup pembentukan
lembaga tetapi juga proses pelembagaan nilai-nilai dan struktur yang berkembang.
Sebelum melangkah ke arah sana, akan dibicarakan terlebih dahulu sejarah singkat pembentukan lembaga terkait perubahan iklim dan
REDD di Indonesia.
1 Sejarah singkat pembentukan kelembagaan terkait perubahan iklimREDD
Dalam soal pembentukan lembaga yang mengurus perubahan iklim, Indonesia sudah berjalan jauh. Kementerian Lingkungan
Hidup menjadi pionirnya. Bukan hanya dalam soal ditunjuknya KLH sebagai “national focal point” atau “perwakilan nasional” Indonesia
perundingan UNFCCC atau adanya Unit Perubahan Iklim yang berada di bawah Deputi Perlindungan Lingkungan Hidup. Namun, KLH
pada awal tahun 1990-an diisi oleh orang-orang yang punya visi jauh dan berdedikasi tinggi dalam soal lingkungan hidup sehingga
menghasilkan ide-ide perlindungan lingkungan hidup cukup visioner untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia.
Pada tahun 1990, Pemerintah Indonesia sudah membentuk lembaga yang bernama Komisi Nasional tentang Iklim dan
Lingkungan Hidup yang diketuai oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan anggotanya yang berasal dari berbagai sektor seperti
kehutanan dan pertanian NEDO, 2006. Pembentukan lembaga ini mendahului keterlibatan pemerintah Indonesia dalam Konvensi
Bumi di Rio de Janeiro, 1992. Ia merupakan respon KLH dengan semakin menanjaknya isu perubahan iklim – waktu itu tepatnya
soal lapisan ozon yang bolong – di dunia internasional.
Pada tahun 1992, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, kembali membentuk lembaga ad