R E D D d a n Pe rl i n d u n g a n Ha k d a n Ke p e n t i n g a n Masyarakat

266 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? Selain ketiadaan kerangka hukum dan kebijakan yang kuat terkait REDD di Kapuas Hulu, kabupaten ini pun mengalami kendala dalam soal kelembagaan. Karena hingga saat tidak ada lembaga yang secara khusus mengurusi isu perubahan iklim berikut proyek kerja samanya. Lembaga yang selama ini menjadi persinggahan pemrakarsa REDD adalah instansi konvensional bidang kehutanan yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kapuas Hulu. Dinas ini dalam segala keterbatasannya, mencoba memfasilitasi pemrakarsa REDD dalam informasi lahan atau kawasan hutan, dan jembatan koordinasi dengan instansi lain di Kabupaten Kapuas Hulu. Inisiatif untuk membentuk kelembagaan berupa Kelompok Kerja Pokja Perubahan Iklim memang sudah berkembang, dengan beredarnya info bahwa draft Surat Ketetapan Bupati tentang Pokja Perubahan Iklim sudah memasuki tahap inal. Namun kendalanya adalah pergantian rezim daerah Pilkada yang dapat sewaktu-waktu ’mengganggu’ isi SK Bupati terutama berkaitan dengan mutasi personil di Pemda. Oleh sebab itu, SK akan diserahkan kepada bupati terpilih yang akan dilantik pada bulan Agustus 2010. Persoalan lain, minimnya pengetahuan aparatus Pemda terkait isu perubahan iklim dan termasuk REDD, membuat beban Dinas Kehutanan kian bertambah karena dinas dan kantor lain yang terkait secara erat dalam isu iklim Lingkungan Hidup, Bappeda, Sekretariat Daerah ’melimpahkan’ isu ini kepada Dinas Kehutanan. Dalam semua rangkaian ujicoba perubahan iklim baik yang berbasis pasar Voluntary-based yang diusung oleh FFI dan Macquarie Capital Group Limited, maupun yang menggunakan pendekatan pasar wajib Compliance Mandatory-based yang pakai oleh kerjasama bilateral Indonesia-Jerman, sejauh ini belum menyentuh masyarakat adat secara utuh. Dari hasil pantauan lapangan dan penelusuran dokumen, tidak menemukan adanya pelibatan masyarakat adat secara substantif baik dalam hal perencanaan, maupun pelaksaanaan proyek ujicoba REDD. Selain itu sosialisasi yang dilakukan berkenaan dengan pelaksanaan proyek, belum menghasilkan pemahaman yang memadai di tingkat masyarakat. Karena sosialisasi lebih banyak menekankan pada aspek beneit-sharing daripada memberikan gambaran bagaimana dampak proyek pada hak-hak masyarakat adat di sekitar lokasi. b Rekomendasi Berangkat dari kompleksitas persoalan yang ada di Kapuas Hulu, berkenaan dengan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim yang terjadi dan melanda komunitas masyarakat adat di Kapuas Hulu, dan telah dimulainya ujicoba REDD yang telah dilaksanakan oleh FFI dan Pemerintah Indonesia-Jerman, serta bagaimana menyoal hal-hal yang berkenaan dengan pemenuhan hak-hak masyarakat adat yang wilayahnya dijadikan lokasi 267 “Indah kabar dari rupa: Kerangka hukum dan kelembagaan pelaksanaan Demonstraion Aciviies REDD di Kalimantan Barat pilot project REDD dipenuhi secara utuh, maka penelitian ini hendak merekomendasikan hal-hal sebagai berikut : • Penting untuk memastikan proyek ujicoba REDD yang dilaksanakan di Kapuas Hulu menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas hutan. Oleh sebab itu, dalam proses mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim di Kapuas Hulu perlu melibatkan masyarakat adat secara penuh. Pelibatan masyarakat tersebut mesti ada di setiap proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek iklim yang ada di Kapuas Hulu; • Pemda Kapuas Hulu perlu membentuk Kelompok Kerja Perubahan Iklim dan atau dengan nama lain, yang bertugas mengurusi isu Perubahan Iklim termasuk REDD. Sehingga, semua hal yang berkaitan dengan isu tersebut menjadi terpusat dan terkonsolidasi dengan baik; • Penting untuk pemda mengeluarkan kebijakan dan atau aturan hukum yang kuat sebagai fondasi pelaksanaan REDD di Kapuas Hulu secara khusus dan secara umum memberikan dasar pelaksanaan kegiatan yang berkaitan dengan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Dengan catatan, kebijakan tersebut mesti menempatkan masyarakat adat sebagai pemangku kepentingan penting. Untuk lebih memaksimalkan hal tersebut segala pembiayaan dibebankan ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD dan atau bekerjasama dengan pihak ketiga. 269 Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan iklimREDD: Studi di iga desa di Kalimantan

6. Kesiapan dan kerentanan sosial menghadapi kebijakan perubahan

iklimREDD: Studi di tiga desa di Kalimantan Semiarto Aji Purwanto, Iwi Sartika dan Rano Rahman

6.1 Pendahuluan: Indonesia dan antisipasi perubahan iklim global

Kontribusi sektor kehutanan, baik sebagai penyerap maupun penghasil emisi gas rumah kaca, pada perubahan iklim global sudah lama disadari oleh para ilmuwan. Laporan IPCC ketiga 2001 dan keempat 2007 173 secara konsisten memperlihatkan bahwa seperlima dari emisi gas rumah kaca global disumbangkan oleh sektor perubahan lahan dimana kontribusi paling besar berasal dari deforestasi. Sebelum COP 11 di Montreal, Kanada, perhatian negara pihak pada hutan masih terbatas pada aforestation dan reforestation yang diatur dalam Protokol Kyoto. Belum ada perhatian pada kontribusi hutan yang ada sekarang existing forest sebagai penyerap emisi gas rumah kaca. Pada COP 11 inilah muncul usulan dari Papua Nugini dan Kosta Rika agar UNFCCC mempertimbang sebuah mekanisme mitigasi emisi gas rumah kaca dari deforestasi atau RED Reducing Emissions from Deforestation in Developing Countries. Dua tahun kemudian, Di COP 13, Bali, lahirlah Bali Roadmap yang selain mempertegas perlu dimasukkannya emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara berkembang ke dalam skema perundingan perubahan iklim, juga mengusulkan inisiatif skema pelaksanaannya. Skema ini bahkan diharapkan menjadi penerus dari Protokol Kyoto pasca 2012. Inisiatif tersebut muncul dalam banyak istilah, namun istilah REDD Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation, yang diusulkan oleh Indonesia, mendapatkan banyak perhatian. Perundingan internasional tentang REDD ini masih berlangsung di tingkat internasional. Ia memasuki 173 Soal Laporan IPCC serta perundingan COP sampai COP 15 di Kopenhagen 2009 dapat dilihat di bab 1 serta di bab 2 buku ini. 270 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah? masa perundingan krusial menjelang COP 15 tahun 2009 di Kopenhagen. Meskipun demikian, belum ada kesepakatan solid bagaimana konsep, cakupan dan strategi implementasi REDD. Di sudut lain, bagi banyak pihak di Indonesia, REDD – walau dalam bentuk prototypenya – selain berpotensi memperuncing perkara tetapi bisa juga membuka pintu penyelesaian tunggakan perkara yang ada di sektor kehutanan. Pemerintah Indonesia sendiri merespon potensi besar REDD itu dengan mengikat kerja sama dengan pihak lain dalam melaksanakan pilot proyek REDD, yang dikenal dengan istilah Demonstration Activities selanjutnya disingkat DA dan menyiapkan perangkat kebijakan nasional yang terkait dengan pelaksanaan REDD. Potensi besar yang ada dalam REDD selayaknya diantisipasi demi untuk keuntungan masyarakat dan keberlanjutan hutan. Kebijakan, hukum serta kelembagaan yang menunjang tercapainya kedua hal tersebut perlu kiranya dikenali dan kalau perlu dibangun di tingkat nasional maupun daerah. 174 Karenanya perlu ada kajian yang komprehensif mengenai kerangka hukum dan kelembagaan apa saja yang ada dan perlu ada bagi pengakuan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak masyarakat adatlokal dan keberlanjutan hutan. Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya adalah kajian mengenai kesiapan dan kerentananan sosial masyarakat sosial readiness and vulnerability terhadap potensi pelaksanaan proyek- proyek perubahan iklim khususnya REDD. Kajian yang terakhir ini akan menemukan berbagai kapasitas dan masalah sosial dalam masyarakat yang akan memengaruhi daya kesiapan dan kerentanan mereka untuk mengelola hutan dan melindungi hak-hak mereka terhadap berbagai proyek REDD.

6.2 Konteks penelitian

Learning Centre HuMa – sekarang menjadi Yayasan Epistema – berinisiatif menyelenggarakan penelitian untuk mempelajari persoalan- persoalan hukum dan sosial dalam perumusan dan pelaksaaan kebijakan dan proyek REDD di Indonesia sebagai masukan bagi perumusan dan advokasi kebijakan pada isu tersebut. Penelitian untuk mengungkap aspek sosial budaya pada komunitas terdekat dengan sumber daya alam, dalam hal ini hutan, penting dilakukan karena tiga hal. Pertama, komunitas sekitar hutan merupakan komunitas lokal yang selama ini terekspos oleh berbagai investasi modal. Sebagai komunitas lokal, 175 sebagian dari mereka hidup dalam alam subsisten atau 174 Penjelasan soal ini dapat dilihat di Bab 3, 4 dan 5 buku ini. 175 Komunitas lokal mengacu pada konsep masyarakat setempat, yang dipakai oleh Koentjaraningrat untuk merujuk pada satuan sosial yang utuh dan terikat pada sistem ekologi tertentu. Koentjaraningrat 1990. Dalam konsep ini, keterikatan pada wilayah atau tempat tinggal lebih tinggi ketimbang ikatan kerabat atau etnik. Sekalipun demikian, susah untuk begitu saja memisahkan frase komunitas lokal dengan kelompok sosial yang telah lama menempati suatu wilayah. Pada situasi tersebut, komunitas lokal beririsan dengan konsep masyarakat adat indigenous people. Dalam laporan ini, komunitas lokal dipakai sebagai konsep