Kebencanaan REDD di Indonesia REDD di Indonesia
150 Seri Hukum Dan Keadilan Iklim: REDD di Indonesia, ke mana akan melangkah?
ii Kelembagaan Kelembagaan merupakan faktor kedua yang penting untuk melihat
bagaimana suatu kebijakan pemerintah direalisasikan di tingkat lapangan. Pembentukan kelembagaan merupakan isyarat penting bahwa
kebijakan itu bisa dijalankan. Dalam menganalisa kelembagaan ini ada beberapa isu yang bisa dikemukakan, seperti misalnya: 1 distribusi hak
dan kewajiban antar aktor; 2 koordinasi atau interaksi antar aktor dan 3 Institusilembaga ini menentukan siapa yang mempunyai akses ke
suatu sumber daya dan kekuasaan untuk membuat keputusan.
Pengertian kelembagaan ini hanya merujuk pada proses pembentukan lembaga dan bagaimana lembaga tersebut bekerja untuk mewujudkan
kebijakan pemerintah. Karenanya ia tidak merujuk pada pengertian “institutionalisasi” yang tidak hanya mencakup pembentukan
lembaga tetapi juga proses pelembagaan nilai-nilai dan struktur yang berkembang.
Sebelum melangkah ke arah sana, akan dibicarakan terlebih dahulu sejarah singkat pembentukan lembaga terkait perubahan iklim dan
REDD di Indonesia.
1 Sejarah singkat pembentukan kelembagaan terkait perubahan iklimREDD
Dalam soal pembentukan lembaga yang mengurus perubahan iklim, Indonesia sudah berjalan jauh. Kementerian Lingkungan
Hidup menjadi pionirnya. Bukan hanya dalam soal ditunjuknya KLH sebagai “national focal point” atau “perwakilan nasional” Indonesia
perundingan UNFCCC atau adanya Unit Perubahan Iklim yang berada di bawah Deputi Perlindungan Lingkungan Hidup. Namun, KLH
pada awal tahun 1990-an diisi oleh orang-orang yang punya visi jauh dan berdedikasi tinggi dalam soal lingkungan hidup sehingga
menghasilkan ide-ide perlindungan lingkungan hidup cukup visioner untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia.
Pada tahun 1990, Pemerintah Indonesia sudah membentuk lembaga yang bernama Komisi Nasional tentang Iklim dan
Lingkungan Hidup yang diketuai oleh Menteri Lingkungan Hidup dengan anggotanya yang berasal dari berbagai sektor seperti
kehutanan dan pertanian NEDO, 2006. Pembentukan lembaga ini mendahului keterlibatan pemerintah Indonesia dalam Konvensi
Bumi di Rio de Janeiro, 1992. Ia merupakan respon KLH dengan semakin menanjaknya isu perubahan iklim – waktu itu tepatnya
soal lapisan ozon yang bolong – di dunia internasional.
Pada tahun 1992, Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup, kembali membentuk lembaga ad
151 Tanggapan kebijakan perubahan iklim di Indonesia: Mekanisme Reducing Emissions
from Deforestaion and Forest Degradaion REDD sebagai kasus
hoc yang berhubungan dengan antisipasi perubahan iklim bernama Komisi Nasional Perubahan Iklim Komnas PI. Komnas PI ini
dibentuk dengan Keputusan MenLH No. 35 Tahun 1992. Keanggotaan Komisi Nasional Perubahan Iklim ini pada awalnya
lebih luas dari Komisi Nasional Iklim dan Lingkungan Hidup, karena anggotanya tidak hanya datang dari pihak pemerintah, tetapi
juga dari kalangan akademik dan NGO. Jika dilihat dalam struktur pemerintah saat itu, pembentukan lembaga pemerintah yang
memasukkan unsur NGO menjadi catatan tersendiri. Bahkan bisa dikatakan, pembentukan lembaga selanjutnya, baik di dalam soal
perubahan iklim maupun REDD tidak lagi menempatkan anggota non-pemerintah sebagai salah satu anggotanya.
Namun, struktur keanggotaan Komnas PI ini berubah seiring dengan lahirnya Keputusan MenLH No. 53 Tahun 2003 dengan
hanya meninggalkan anggota dari kalangan pemerintah saja. Tugas Komnas PI ini adalah membantu Pemerintah Indonesia
dalam membuat kebijakan untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim, memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang ada terkait
perubahan iklim dan pelaksanaan di lapangan. Komnas juga bertugas untuk memberikan bantuan kepada Pemerintah Indonesia dalam
menanggapi perkembangan perundingan internasional terkait perubahan iklim dan menginisiasi kerjasama baik secara nasional,
regional dan internasional dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim.
Seiring dengan makin ramainya perbincangan soal mitigasi perubahan iklim dari sektor kehutanan yang diatur dalam Protokol
Kyoto, Indonesia menanggapinya dengan meratiikasi Protokol Kyoto dengan UU No 17 Tahun 2004. Sayang sekali, ketika Protokol Kyoto
diimplementasikan di lapangan, pengurangan emisi dari deforestasi dijadikan skema yang hanya berlaku di negara-negara industri
Annex 1, dan dikeluarkan dari Mekanisme Pembangunan Bersih atau CDM. Padahal hanya dalam skema CDM inilah, negara-negara
berkembang dapat bekerja sama dengan negara-negara maju dalam usaha mitigasi perubahan iklim.
Kebijakan Indonesia terkait CDM cukup tanggap dengan pembentukan peraturan serta lembaga. Sebelum adanya CDM,
kebijakan Indonesia terkait perubahan iklim masih kabur dan tidak ada keterkaitannya dengan apa yang dilakukan di dalam negeri
Indonesia. CDM merupakan piranti internasional pertama terkait perubahan iklim yang diadopsi oleh Indonesia dan dimasukkan
dalam kebijakan pemerintah Indonesia. Wujud dari kebijakan itu tampak dalam peraturan perundang-undangan serta pembentukan
lembaga.